CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 01

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  01

(Tien Kumalasari)

 

Mery sibuk di warungnya, warung yang dirintisnya sejak lima tahun lalu, dan selalu ramai pembeli. WARUNG TIMLO MBAK MERY,  terkenal karena citarasanya yang berbeda dan bikin ketagihan, kata para langganan. Mery sudah bisa beli mobil sendiri, biarpun bekas tapi masih bagus, tapi dia masih menumpang dirumah Timan, suami Sri, sahabatnya. Ia menyewa sebuah tempat didekat pasar untuk membuka warungnya.

Mery sedang melongok keluar setelah mengawasi pegawainya yang sedang menata pesanan, ketika tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang sudah selesai makan, lalu berdiri dan melangkah keluar. Mery tak sempat melihat wajahnya karena sejak datang dia duduk menghadap kejalan. Ia hanya menatap pungungnya yang tampak tegap, dan mengingatkannya akan seseorang.

Seseorang, yang pernah dicintainya, yang kemudian dilupakannya karena perilakunya yang membuatnya kecewa.

"Pasti bukan dia, mana mau orang berduit makan diwarung seperti ini," gumamnya.

"Siapa bu? Ibu kenal?" tanya Mini, salah seorang pembantunya.

"Ah, tidak, bukan siapa-siapa."

"Bapak yang barusan keluar itu sangat royal. Kembalian limapuluh lebih  tidak diminta, diberikan kepada pelayan," kata Mini lagi.

"Oh ya, baguslah. Berarti dia baik hati."

"Baik hati dan banyak duit."

Mery mengangguk dan tersenyum. Apakah dia? Ah, Mery benci akan ingatan itu. Bukankah dia tidak pernah mencintainya? Yang dilakukannya hanyalah kobaran nafsu. Pelampiasan yang sebenarnya adalah pamrih. Pamrih ingin menguasainya, dan membantunya melakukan apa yang diinginkannya.

"Bu, ada yang ingin bertemu ibu," kata salah seorang karyawan ketika mendekatinya.

"Siapa?"

"Itu, biasa, yang suka memakai mobil merah," kata karyawan itu penuh arti.

"Aduh, bilang saja aku tidak ada di warung."

"Ibu gimana, saya sudah bilang bahwa ibu ada."

"Hm.. kamu itu," gerutu Mery sambil berdiri. Bagaimanapun ia tak ingin mengecewakan langganan, dan laki-laki muda bermobil merah itu adalah langganan tetapnya. Setiap sa'at makan siang pasti dia datang dan makan di warungnya.

Mery melangkah keluar, mendekati meja dimana  laki-laki muda itu menunggunya sambil tersenyum-senyum.

"Hm, masih anak-anak, apa sih maunya selalu minta ditemani setiap kali makan?" batin Mery sambil mendekat, lalu duduk didepan anak muda itu.

"Hallo, mbak cantik... "

"Iih, apa sih kamu, setiap kali makan pasti manggil-mangil aku."

"Iya nih, nggak enak kalau makan nggak ditungguin mbak."

"Manja."

Laki-laki muda itu tertawa, dan sesungguhnya tawa itu manis sekali. Mery memalingkan wajahnya agar tidak tenggelam dalam pemandangan didepan matanya yang selalu mampu mengaduk-aduk hatinya. Bukannya Mery tak suka, tapi Mery merasa sudah terlalu tua untuk laki-laki ganteng didepannya. Cintanya bukan disitu, tapi terselip diantara mega, entah kemana angin akan membawanya.

"mBak Mery tau nggak, masakan mbak itu enak sekali."

"Terimakasih..."

"Kok terimakasih sih?"

"Lha aku suruh jawab apa, dipuji ya bilang terimakasih."

"Senyum dong.."

"Eh, kamu itu anak kecil sukanya nggodain orang tua ya."

"mBak Mery kok selalu bilang kalau aku anak kecil sih, aku tuh sudah jadi sarjana bertahun lalu lho."

"Iya, lalu kenapa? Menurut aku, kamu itu tetap saja seperti anak kecil, manja dan..."

"Dan menggemaskan..."  potong anak muda itu.

Mery mencibir.

"Iih, mbak Mery kalau mencibir tambah cantik lho."

"Kamu itu maunya makan apa ngoceh sih.. dari tadi ngomong melulu.."

"Iya, aku kan sudah makan, maunya pelan-pelan, so'alnya kalau cepet habis mbak Mery pasti segera mengusir aku."

"Aku tuh ya, pekerjaanku banyak dibelakang."

"Bos kok bekerja sih, bos itu ya tinggal perintah.. komando.. "

"Enak aja.. "

"Aku sebenarnya lagi sedih nih mbak.."

"Kenapa?"

"Aku tuh kan kerja disuatu perusahaan, bosku itu perempuan.. eh.. dia ngejar-ngejar aku terus mbak, aku bingung."

"Ya baguslah, bekerja belum lama sudah disukai bos."

"Aku nggak suka mbak."

"Apa dia tidak cantik?"

"Terlalu cantik, seperti boneka barby.."

"Bagus itu.. mana ada laki-laki disukai wanita cantik kok malah sedih."

"Namanya nggak suka mbak, dandanannya itu lho, aduuh... nggak.. nggak.. aku lebih suka gadis yang sederhana, tidak banyak tingkah... seperti mbak Mery ini."

"Bagas.. kamu itu sudah berapa kali bilang begitu?"

"Dan sudah berapa kali mbak Mery menolaknya?"

"Aku itu sudah terlalu tua untuk kamu Bagas., sadari itu. Kamu akan menyesal nanti."

"Nggak, mana mungkin aku menyesal kepada pilihanku sendiri?"

"Kamu belum tau siapa aku."

"Aku sudah tau.."

"Beluuuum..."

"mBak Mery kok gitu."

"Sudah, habiskan makanannya.. ini sudah jam satu lebih, nanti kalau terlambat kembali ke kantor bisa ditegor sama bosmu."

"Aku mau resign saja."

"Lhoh.. bekerja belum lama kok mau resign."

"Mau jadi pegawainya mbak Mery saja, biar bisa ketemu setiap sa'at."

Aduuh, Mery benaar-benar mengeluh menghadapi Bagas yang nekat. Iya sih, Mery memang cantik. Tubuhnya padat berisi, tinggi semampai. Hidung mancung, mata bulat dan bibir tipis yang selalu mengulaskan senyum, membuat banyak lelaki tergoda. Namun Mery tak pernah menanggapinya. Dia selalu merasa tua, dan tak pantas jatuh cinta, padahal umurnya baru tigapuluhan lebih. Ada cinta yang digenggamnya dan tak pernah lepas dari angannya. 

"mBak, aku benar-benar bingung nih .."

"Kamu itu laki-laki, kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka, beres kan."

"Susah, dia nempel terus kayak perangko."

"Enak dong ditempel bos cantik."

"Aku benar-benar mau resign, ini bulan terakhir. Mau cari pekerjaan lain saja."

"Ya sudah, pilih yang terbaik, tapi pikirkan masak-masak sebelum bertindak."

***

"Bagas.. kok baru kembali? Kamu makan dimana sih, tadi aku ajak makan siang bersama nggak mau", kata Kristin sang bos cantik, sambil cemberut. 

Bagas memalingkan muka. Wajah cantik menawan itu sesungguhnya tetap saja cantik walau cemberut, tapi Bagas tak pernah menanggapinya. 

"Ma'af mbak, terlanjur kencan sama teman."

"Perempuan?"

"Mmm.. ya..," tiba-tiba Bagas ingin memanas-manasi Kristin.

"Oouww... pacar?"

"Hm..emh... " kata Bagas sambil duduk didepan meja kerjanya.

Kristin mengejarnya lalu duduk dihadapan Bagas. Menatapnya tak berkedip.

"Kamu sudah punya pacar, Bagas?"

"Ah, sudahlah mbak, saya boleh melanjutkan pekerjaan saya ?"

"Aku tidak percaya. mana berani kamu pacaran? Tapi itu sebabnya aku suka kamu. Polos dan tidak neko-neko." kata Kristin sambil membalikkan tubuh, kembali ke meja kerjanya. Bagas sedikit kesal, mengapa dia ditempatkan satu ruang dengan wanita cantik tapi tampak ganas ini.

"Besok kamu akan bertugas bertemu klient di rumah makan... mm.. aku lupa dimana, nanti aku lihat dicatatanku. Jam sebelas siang."

"Ya.." jawab Bagas singkat, kemudian menekuni lagi pekerjaannya.

 

*** 

Bagas duduk diruang tengah rumahnya sambil melihat televisi, tapi ia seperti tak menikmati acara yang terpampang didepannya. Ia merasa tersesat telah masuk kedalam perusahaan yang dipimpin seorang gadis genit dan pesolek. Padahal tanpa bersolekpun harusnya dia sudah cantik. Kesalnya lagi dia selalu ingin mendekatinya.

"Bagas, " tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil.

Bagas hanya hidup bersama ayahnya. Ibunya meninggal sejak dia masih bayi, dan setelah itu ayahnya tak mau menikah lagi. Dia membesarkan sendiri anaknya, dibantu oleh pembantunya yang setia, mbok Sumi.

"Bagas.."  pak Darmono, ayahnya mengulangi panggilannya karena Bagas tak segera beranjak.

Bagas berdiri dan berjalan mendekati ayahnya, yang rupanya sudah duduk didepan meja makan.

"Ya  bapak.."

"Kamu tidak lapar?"

"Iya.. lapar bapak."

"Duduk dan mari kita makan, simbok masak enak hari ini."

"Iya bapak."

"Bagaimana pekerjaan kamu?"

"Baik, tapi Bagas kurang suka."

"Apa yang membuat kamu tidak suka? Memang orang bekerja itu banyak tidak enaknya, minimal diperintah oleh atasan. Ya kan?" kata pak Darmono sambil menyendok nasinya.

"Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Lingkungan kerjanya, teman sekerjanya.."

"Bukankah nak Kristin itu gadis yang sangat cantik. Katanya kamu satu ruang dengan dia."

"Bagas tidak suka. Mengapa dulu bapak menyuruh Bagas melamar kesitu?"

"Karena bapak kenal sama pemiliknya, Bapaknya Kristin itu kan teman sekolah bapak."

"Oh, jadi Bagas diterima karena bapaknya Kristin itu teman bapak?"

"Memangnya kenapa? Cari pekerjaan itu susah, kalau kita tidak kenal sama orang dalam, tidak mudah mendapat pekerjaan itu."

Bagas terdiam, pura-pura menikmati makanan yang disuguhkan simbok. Bapaknya tak pernah memberitau tentang kedekatannya dengan pak Suryo.

"Simbok selalu masak enak, ya kan?"

"Bagas mau resign saja pak."

Pak Darmono menghentikan suapan yang hampir masuk kemulutnya.

"Apa maksudmu ?"

"Mau cari pekerjaan lain saja pak."

"Jangan seenaknya kamu. Bapak jadi nggak enak sama pak Suryo dong. Susah-susah bapak minta supaya kamu diterima, baru sebulan saja kamu sudah mau resign. Memangnya mudah cari pekerjaan itu?"

Bagas diam. Ia tak mengira bahwa ayahnya terikat dengan budi baik yang diberikan pak Suryo, ayahnya Kristin.

"Pertahankan dulu, jangan tergesa-gesa resign. Nggak enak sama pak Suryo aku .."

***

 

Mery memasuki rumah Timan ketika hari sudah malam. Warungnya buka sekitar jam sebelas, dan tutup sore hari sekitar jam empat. Selama ini dia masih menumpang dirumah Timan, karena Sri sahabatnya memintanya begitu. 

"Kok baru pulang mbak?" sapa Sri begitu Mery masuk kerumah.

"Tadi banyak bahan bumbu yang habis, aku belanja dulu."

"Oh, pantesan."

"Aku mandi dulu, aku belanja sekalian untuk kamu memasak besok pagi," kata Mery sambil mengulurkan bungkusan belanjaan.

"mBak Mery selalu begitu deh, kan mas Timan itu kerjanya di pasar, bisa aku titipin belanja kalau aku butuh."

"Kasihan mas Timan dong, dia bekerja, melayani pembeli, masih disuruh belanja juga. Sudah, jangan rewel. Kalau ada yang kurang bilang saja," kata Mery langsung masuk kekamarnya, kemudian mandi.

Sri membawa bungkusan kearah dapur. Dilihatnya suaminya sedang menggendong Tiwi dari kamar. Tiwi itu anaknya Sri, yang sudah berumur tiga tahun.

"Kok sudah bangun?"

"Minta minum, katanya."

"Oh, sayang.. sini sama ibu."

Sri meraih Tiwi dari gendongan suaminya.

"Tadi seperti mendengar suara mbak Mery. Baru pulang dia?"

"Iya, tuh.. belanja macam-macam buat aku masak besok."

"Selalu mbak Mery begitu. Padahal dia makan hanya pagi sama malamnya saja."

"Iya tuh, aku sudah melarangnya lho."

"Ibu... minum..." rengek Tiwi.

"Oh.. iya.. iya.. yuk.. ibu buatkan dibelakang ya."

Timan mengacak rambut Tiwi sebelum isterinya menggendongnya kebelakang. 

***

 

Malam itu setelah Tiwi tidur, Timan dan isterinya serta Mery duduk diruang tengah. Biasanya begitu, sebelum ngantuk mereka pasti berbincang, sambil menonton televisi, atau bercanda tentang apa saja. Mereka memang  keluarga yang bahagia.

"mBak, yang suka nemuin mbak di warung itu masih suka kesana?" tanya Sri tiba-tiba.

"Yang mana sih?"

"Itu, yang mbak bilang pakai mobil merah."

"Oh, dia.. memang tiap hari dia kesana."

"Tampaknya dia jatuh cinta sama mbak."

"Aku tuh ingin tertawa kalau ingat sikap dia. Aku kan sudah tua, masa harus bercintaan sama anak-anak begitu."

"Masa sih anak-anak?"

"Iya, umurnya paling duapuluh tiga atau duapuluh lima begitu, sedangkan aku? Sudah tua  nih, rambutku sudah ada ubannya."

"Uban itu bukan berarti tua, ada lho, masih muda sudah ubanan.."

"Aku merasa nggak pantas lagi. Pokoknya nggak akan memikirkan cinta, yang penting cari duit dulu. Supaya aku bisa beli rumah, dan tidak bikin repot kamu terus."

"Eeh.. siapa yang repot, aku malah suka kalau mbak Mery ada disini. Ya kan mas?" kata Sri kepada suaminya yang asyik melihat berita.

"Apa?"

"Huh, dia tuh kalau orang lagi ngomong nggak pernah merhatiin deh." 

"Oh, iya.. aku mau bilang jadi lupa.. tadi tuh aku ketemu dia.."

"Dia siapa?"

"Siapa namanya, lupa aku.. mm.. yang menculik kamu itu lho Sri.."

"Yang menculik Sri itu aku kan mas Timan?" potong Mery.

"Bukan itu..aduh.. mm... Basuki... "

Mery terkejut.

"Benar aku melihat sedang berjalan di pertokoan."

"Mas berhenti dan bicara sama dia?"

"Ya enggak, aku sudah pengin segera sampai rumah ketemu Tiwi.. lagipula kalau bicara mau bicara apa?"

"Jadi dia sudah keluar dari penjara?"

"Sudah lah.. kalau belum masa bisa jalan-jalan."

Mery diam. Ia teringat punggung laki-laki tinggi besar yang keluar dari warungnya. Benarkah dia? Tahukah dia bahwa dia ada diwarung itu?

Tiba-tiba ponsel Mery berdering.

"Tuh mbak.. ada yang menelpon."

"Siapa malam-malam begini?"

"Terima saja mbak, siapa tau orang mau pesan  makanan dari warung mbak Mery."

"Selamat malam," sapa Mery.

"Malam, ini warung Timlo mbak Mery?"

"Benar. Ma'af ini siapa ya?" 

"Bisakah saya memesan makanan untuk besok siang?"

"Aduh, mengapa mendadak?"

"Iya, majikan kami ada tamu mendadak besok siang, tidak banyak, hanya kira-kira sepuluh porsi untuk makan siang, dengan sayur timlo dan lauk-pauknya."

"Tidak bisa mas, kalau pesan harus dua hari sebelumnya."

"Tapi ini sangat mendadak mbak, majikan saya bersedia membayar dua kali atau tiga kali lipat, yang penting tamunya tidak kecewa."

"Aduh... gimana nih, pesanan mendadak besok siang, penting katanya," kata Mery sambil menatap Sri.

"Diterima saja mbak, besok aku bantuin, sayang rejeki ditolak," kata Sri lirih.

"Baiklah kalau begitu."

"Bisa dikirim kan, nanti saya beritaukan alamatnya."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15