SANG PUTRI 21

SANG PUTRI  21

(Tien Kumalasari)

 

Priyambodo terkejut. Palupi langsung mendekati Nanda dan memeluknya erat. Palupi teringat Bintang yang harus ditinggalkannya. Ada yang menyentuh hatinya dalam pertemuannya dengan Nanda. Ia kemudian teringat anak semata wayangnya yang tak pernah secara langsung diasuhnya. Ada yang menyentuh hatinya ketika melihat rumah tangga Priyambodo, dimana isterinya mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dengan senang hati. Begitu tiba-tiba Palupi menyadarinya. Begitu tiba-tiba Palupi merasa bahwa selama ini ia tak pernah melakukannya. Ia adalah sang putri, tapi sekarang dia sedang meresapi hidup yang belum pernah dijalaninya. Anehkah kalau tiba-tiba saja perasaan itu muncul? Anehkah  kalau tiba-tiba ia menyesali perbuatannya hanya dalam sehari sejak pertemuannya dengan Nanda dan melihat kehidupan rumah tangga Priyambodo?

“Salahkah aku selama ini?” tapi Palupi  benar-benar merasakan perasaan aneh dalam hatinya.

Palupi menitikkan air mata ketika memeluk Nanda. Ada sesal dan pilu ketika hal-hal kecil seperti ini tak pernah dirasakannya.

“Ibu.. Nanda mau pipis.”

Palupi melepaskan pelukannya.

“Oh, baiklah.. ayo kekamar mandi. Dan dengan kikuk pula Palupi melepas celana Nanda dan membiarkannya pipis.

“Belum diguyur ibu..”

“Oh, iya ibu lupa.”

Nanda tertawa.

“Ibu lupa terus...”

“Mengapa mbak kemari lagi?” tanya Pri ketika selesai mengantarkan Nanda kekamar mandi, sementara dia sudah menyiapkan secangkir coklat  dimeja tamu.

“Saya kasihan sama Nanda. Saya ingin menyakinkan dia bahwa saya bukan ibunya.”

“Benar, di harus yakin supaya tidak rewel terus menerus. Selama ini saya sudah mengatakan yang sebenarnya, tapi dia tidak percaya.”

“Ibu.. Nanda mau mandi..” Nanda berteriak.

“Sini, sama bapak.”

“Mau sama ibu..” Nanda berteriak lagi.

“Biar saya saja.”

Palupi berdiri dan menghampiri Nanda.

“Mana handuk Nanda?”

“Ibu lupa lagi?” lalu Nanda menarik handuknya dan berlari kekamar mandi.

Pri benar-benar sungkan. Palupi datang dengan wajah kusut. Ia merasa kasihan.

Ketika Nanda sudah selesai didandani, Palupi kembali duduk diruang tamu.

“Saya sangat sungkan mbak Palupi. Mbak begitu baik dan penuh kasih sayang, sementara diri mbak sendiri tampak sedang ada masalah.”

Palupi menghela nafas berat.

“Tidak apa-apa, saya akan mengurai masalah saya satu demi satu. Sekarang saya harus bilang kepada Nanda, bahwa saya bukan ibunya. Semoga Nanda bisa menerimanya.”

Pri hanya mengangguk. Wajah yang tampak kuyu itu menghirup coklat hangat yang dihidangkannya.

“Nanda... sini.” Palupi berdiri didekat foto Priyambodo dan isterinya.

Nanda mendekat.

“Yang ada di foto ini siapa?”

“Itu bapak.. sama ibu..”

“Coba Nanda lihat baik-baik, samakah ibu ini dengan yang ada di foto?” tanyanya sambil menunjuk dirinya lalu kearah foto yang terpampang.

Nanda menatap Palupi tak mengerti. Palupi menarik tangannya agar lebih dekat.

“Lihat, ibu ini.. sama yang di foto itu... samakah?”

Nanda menatap Palupi, lalu menatap foto ibunya.

“Mengapa bisa tidak sama?” kata Nanda bingung.

“Karena, ibu ini bukan ibu yang ada difoto itu.”

Nanda diam, lalu menatap Palupi lekat-lekat.

“Nanda tahu? Ibu yang ada difoto itu sudah ada di surga.”

“Di surga?”

“Iya, ibunya Nanda sudah ada di surga, yang ini bukan ibunya Nanda, " katanya sambil menunjuk kearah dirinya.

Nanda terus menatap Palupi.

“Tapi, Nanda boleh memanggil ibu sama ibu yang ini.”

Barangkali Nanda baru sadar, bahwa ibunya memang berbeda. Ia menatap Palupi tak berkedip. Mata bening itu terkadang berkejap.

“Ini juga boleh dipanggil ibu kok. Tapi bukan ibu yang di foto itu,” kata Palupi sambil meraih tubuh Nanda. Tanpa sadar Palupi telah menunjukkan bahwa itulah seorang ibu, merangkul  dan mengucurkan kasih sayang dengan kata-kata lembut. Mengapa baru sekarang Palupi merasa, bahwa beginilah seorang ibu?. Tiba-tiba saja.. dalam sehari ini, rasa keibuan menyelimuti hati nuraninya.

“Ibuku tak akan kembali?”

“Ibu tidak kembali, tapi ibu selalu memandangi Nanda dari atas sana.”

“Dari surga?”

“Iya. Makanya Nanda jangan nakal ya, meskipun Nanda hanya bersama bapak, tapi ibu selalu ada untuk menemani dari atas sana. Mengerti? Jadi jangan rewel kalau hanya bapak yang menemani Nanda tidur, makan, mandi, bermain.. “

Priyambodo mengusap setitik air matanya.

“Apa ibu akan pergi?”

“Ibu akan pergi, karena bukan disini rumah ibu. Tapi kalau Nanda ingin ketemu ibu, Nanda boleh menelpon ibu.”

Nanda menatap ayahnya yang kemudian mengangguk angguk.

“Berjanjilah pada ibu bahwa Nanda tak akan menangis.”

“Kalau Nanda menangis.. ibu melihatnya?”

“Ibu melihatnya dan akan ikut menangis.”

Palupi meninggalkan rumah Priyambodo setelah menemani Nanda makan. Ada rasa sedih seperti orang kehilangan. Palupi kemudian melangkah menyusuri jalan yang ramai oleh hiruk pikuknya malam. Ia tak tahu harus kemana. Rumah peninggalan orang tuanya yang kecil masih dikontrak orang. Mau kerumah teman-temannya.. pasti mereka justru akan menyalahkannya. Tak ada orang yang tak menyalahkannya.
Terngiang kembali kata-kata Handoko sebelum dia mengucapkan apapun ketika pulang kerumah.

“Palupi, aku sudah memikirkannya masak-masak, rupanya kamu memang bukan seorang isteri dan ibu yang baik. Barangkali kamu akan lebih bahagia kalau terlepas dari aku. Aku sudah menyiapkan sebuah surat cerai untuk kamu, jadi bergembiralah.”

Palupi merasa sakit hati. Sifat tinggi hati itu masih ada, sifat tak mau mengalah itu masih tersisa. Ia tak ingin mengucapkan apa-apa, lebih-lebih untuk meminta ma’af. Handoko sudah memutuskannya dan ia tak sudi mengemis belas kasihannya.

“Baiklah, walau aku tidak bergembira tapi aku menerima keputusan kamu.”

Palupi terus melangkah sambil sesekali mengusap air matanya.

Hari sudah malam, lalu ia memutuskan untuk menginap disebuah hotel.

“Besok pagi aku akan kembali untuk mengambil barang-barangku,” gumamnya sedih.

***

Handoko masih saja duduk diteras sampai malam tiba, ketika Bintang mendekatinya.

“Bapak, mana ibu ?”

Handoko terkejut. Tak biasanya Bintang menanyakan ibunya.

“Ibu mana... bapak..” kali ini Bintang menggoyang-goyang tangan ayahnya.

“Ibu.. sedang.. pergi.. memangnya kenapa?”

“Ayo kita makan, sama ibu juga..”

Ini luar biasa. Handoko menatap Bintang tak percaya. Ia berdiri, lalu berjalan tertatih mengikuti Bintang. Handoko mulai melatih berjalan tanpa penyangga.

“Ibu mana? Ayo kita makan sama ibu..”

“Tapi ibu sedang pergi Bintang. Ayo kita makan, hm.. masak apa yu Mirah sore ini ya?

Bintang tak menjawab. Mirah melayani seperti biasa, tapi wajahnya muram.

“Ada apa ini? Ada yang beda malam ini ya?” celetuk Handoko sambil menyendok nasi, sementara Mirah melayani Bintang.

Sampai akhir mereka makan tak ada yang bersuara. Mirah mengajak Bintang bermain sebentar lalu menyuruhnya tidur.

“Ibu pergi kemana?” kata Bintang ketika Mirah menepuk-nepuk pantatnya.

“Yu Mirah tidak tahu mas, kan ibu juga biasanya pulang malam?”

Bintang tak menjawab. Mirah juga heran sejak sore Bintang menanyakan ibunya, padahal biasanya tak peduli. Mirah sedikit kesal kepada tuan gantengnya karena tak menahan ketika Palupi pergi.

Malam ketika Bintang sudah tidur, Mirah membantu Suprih mengemasi barang-barang Palupi yang ada dikamar.

“Mengapa menjadi seperti ini ya nak?”

“Entahlah bu, sebenarnya saya enggan mengemasi barang-barang ini. Menurut saya lebih baik ibu tidak pergi.”

“Nak Mirah sangat baik. Ibu sangat membenci nak Mirah, tapi nak Mirah masih sangat peduli pada ibu.”

“Ibu hanya terbawa emosi bu Suprih.”

“Saya juga minta ma’af sama nak Mirah.”

“Minta ma’af untuk apa ?”

“Tentang uang saya itu... yang..”

“Ah, sudahlah bu, lupakan saja, saya sudah tahu semuanya dan saya tidak sakit hati kok.”

“Nak Mirah sudah tahu?”

“Bapak melihat ketika ibu memindahkan uang itu dari dompet bu Suprih, lalu bapak mengembalikannya. Tapi sudahlah, tidak usah dibicarakan lagi ya bu.”

“Nak Mirah sungguh baik. Hatinya putih seperti mutiara..”

“Aah, bu Suprih, mana ada hati putih seperti mutiara?”

“Itu benar nak.”

“Ah, sudahlah bu..”

“Tadi bapak menyuruh juga mengambil barang-barang yang ada dikamar bapak.”

“Sudah bu, ini saja, saya masih berharap ibu akan kembali.”

“Iya nak, aku juga.”

Lalu bu Suprih juga teringat ucapan Palupi yang katanya Mirah berusaha memikat pak Handoko, ternyata semuanya tidak terbukti.

“Mirah..” tiba-tiba Handoko memanggilnya. Tuan ganteng itu sedang duduk diteras ketika Mirah menghampirinya.

“Duduklah..”

Mirah menarik kursi kecil lalu duduk didepan Handoko.

“Kamu seperti marah sama aku.”

“Bagaimana mungkin saya marah bapak, saya kan hanya pembantu.”

“Aku tahu, kamu menyesali kepergian Palupi. Tapi kan itu sudah menjadi kehendak dia? Mengatur rumah tangga tidak mau, dilarang ini itu juga tidak mau, aku sudah putus asa.”

“Bapak kurang sabar menghadapi ibu. Saya tahu, ibu itu tidak suka disalahkan, tidak suka dikalahkan.”

“Kalau tidak ssuka disalahkan ya harus berbuat baik, sebagai seorang isteri.”

“Tapi saya yakin ibu akan menjadi baik.”

“Darimana kamu yakin?”

Mirah terdiam. Ia teringat ketika Palupi memeluk Bintang sambil menangis, lalu meminta ma’af kepada dirinya. Itu sebuah sisi baik yang tidak pernah terlihat sebelumnya, tapi Mirah merasakannya sekarang.

“Sudah, biarkan saja begini.”

“Kalau begitu besok kalau ibu datang, bapak harus berbicara lagi dengan baik. Kalau bapak berucap dengan rasa kesal, maka jawabannya pasti juga dengan ucapan yang tidak enak didengar.”

“Mengapa kamu begitu peduli sama dia padahal dia sangat membenci kamu.”

“Tidak bapak, ibu tidak membenci saya.”

Handoko menyandarkan tubuhnya dikursi, lalu Mirah berdiri dan beranjak kebelakang.

Handoko menatap wajah lugu yang cantik itu sekilas. Pernah terbersit dalam angannya untuk mengambilnya sebagai isteri, karena MIrah dianggapnya bisa menjadi isteri yang sempurna.

“Bapak, mana ibu?” suara Bintang terngiang ditelinganya.

“Mengapa anak itu tiba-tiba menanyakan ibunya?” gumamnya pelan.

Lalu kebimbangan mulai merayapi hatinya.

***

Danang membunyikan klakson mobilnya ketika sudah sampai dihalaman. Handoko sudah menunggu diteras dengan pakaian rapi.

Ketika Danang turun, dilihatnya Handoko berjalan agak terpincang tanpa penyangga.

“Sudah kuat mas?”

“Harus dilatih, nanti keterusan kakiku lupa caranya berjalan,” kata Handoko bercanda.

Danang menuntunnya ke mobil.

“Bapaaak, Bintang ikuttt,” tiba-tiba Bintang berteriak.

“Bapak mau kekantor. Sudah lama bapak tidak bekerja. Nanti tidak diberi gaji oleh om Danang.”

“Bintang ikuttt..” rengeknya sambil menghentak-hentakkan sebelah kakinya.

“Miraaah!” teriak Handoko.

“Ya bapak..”

“Ini, Bintang mau ikut.”

“Mas Bintang, bapak mau ke kantor, dirumah saja ya.”

“Nggak mau... Bintang mau ikut.”

“Ya sudah, ganti bajumu dan ikutlah Rah, nanti kamu boleh sekalian belanja.”

Mirah berlari kebelakang, sementara Bintang sudah naik keatas mobil.

“Bintang mau membantu om Danang di kantor ?”

“Iya.”

“Mana mbak Lupi?”

“Pergi.”

“Pergi? Jadinya bagaimana sih mas, ibu sudah bilang sama Danang.”

“Ya, aku sudah bilang sama ibu tentang rumah tanggaku.”

“Mas benar-benar serius?”

“Entahlah, aku bingung.”

“Mas masih cinta kan?”

“Entahlah aku bingung.”

“Waduh, nanti kalau sudah mengerjakan pekerjaan kantor jangan sambil bingung deh.”

“Cepat, yu Mirah..” teriak Bintang ketika melihat Mirah mendekat.

***

Dikantor Handoko hanya sebentar, karena Bintang kemudian merengek beli makanan.

“Bapak, saya ajak mas Bintang belanja saja sekalian,”

“Baiklah, ini uangnya, kamu bawa, belanja dan belikan apa yang Bintang minta.”

“Baik pak.”

“Tunggu didepan, biar aku suruh sopir mengantar kalian, tapi nanti pulangnya naik taksi saja ya.”

“Baik bapak.”

“Bintang nggak boleh nakal.”

“Ayo mas Bintang, pamit sama bapak dulu.”

Bintang mendekati bapaknya, mencium tangannya lalu berlari-lari kecil keluar.

“Hati-hati Mirah.”

***

Tapi didalam belanja itu tiba-tiba Bintang teringat untuk menanyakan ibunya, gara-gara ia melihat anak kecil digandeng ibunya sambil memilih barang belanjaan.

“Yu, mana ibu?”

“Lho, mas Bintang .. nanti saja dirumah, pasti ketemu ibu.”

“Benar ?”

“Iya sayang, ayo cepat belanjanya lalu kita pulang. Ibu pasti sudah ada dirumah.”

Tiba-tiba Mirah berharap agar bisa ketemu Palupi dirumah, dan Bintang bisa menghentikan keinginan Palupi untuk pergi. Bukankah Palupi mengatakan bahwa pagi ini akan kembali untuk mengambil barang-barangnya?

Beberapa barang yang dibutuhkan sudah dibeli, juga sayur dan ayam kesukaan Bintang.

“Aku mau coklat..”

“Ya sudah, coklat saja ya.. lalu kita pulang.”

Mirah membelikan coklat dan beberapa kue untuk camilan, lalu keluar untuk memanggil taksi.

Dalam perjalanan pulang itu hati Mirah dipenuhi oleh harapan akan bisa ketemu Palupi dan Bintang bisa menghentikannya.

Turun dari taksi Bintang langsung berlari kedalam dan berteriak-teriak.

“Ibu... ibuu...”

Mirah mengusung belanjaannya kedalam. Dilihatnya Bintang memasuki kamar ibunya, lalu lari kebelakang.

“Mana ibu ?”

Suprih muncul dari belakang dan membantu Mirah membawa belanjaan.

“Ibu belum datang ya?”

“Sudah.”

“Apa?”

“Tak lama setelah bapak pergi, ibu datang, hanya mengambil kopor yang kita siapkan, lalu pergi.”

Mirah terduduk dikursi dengan lemas, sementara Bintang keluar masuk kamar sambil meneriaki ibunya.

“Ibu... ibu dimana?”

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15