SANG PUTRI 29

SANG PUTRI  29

(Tien Kumalasari)

 

Palupi tertegun. Pri duduk sendirian di teras. Kemudian Palupi berdebar, teringat kata Mirah, katanya Pri suka sama dirinya.  Agak kaku ketika Palupi menyapa.

“Kok ada mas Pri?”

“Ma’af mbak, saya tadi habis belanja, mampir.”

“O, yang ada mobil box didepan itu punya mas Pri?”

“Iya, kalau kehabisan barang saya belanja sendiri.”

“Mana Nanda?”

“Dia ada di toko bersama pegawai saya.”

“Ooh...”

Palupi membuka pintu, meletakkan belanjaan di dalam, tapi  tidak mempersilahkan Pri masuk. Palupi ikut duduk di kursi teras yang hanya ada dua buah.

“Dari mana ?”

“Saya juga dari belanja. Sayuran dan beberapa kebutuhan.”

“Oh... apakah saya mengganggu ?”

“Tidak.. tidak..” kata Palupi walau sebenarnya ia sungguh merasa terganggu, apalagi setelah mendengar kata Mirah pagi tadi.

“Sebenarnya.. saya...”

“Oh ya, saya ambilkan minum dulu..”

“Tidak usah, terimakasih, saya hanya sebentar..”

Palupi berdebar, apa yang sebenarnya ingin dikatakannya?

Pri berdehem, tampaknya sulit mengeluarkan kata-kata.

“Sebetulnya.. saya ingin bertanya, ma’af kalau tidak berkenan. Mm.. sebenarnya.. mas.. Handoko itu.. siapa? Ma’af sekali.. ma’aaaf..”

“Dia... suami saya..”

“Ooh.. tapi..”

“Tapi mengapa kami berpisah rumah?”

“Yy...yaa.. itu maksud ssaya..”

“Kami sedang ada masalah.”

“Iya.. sepertinya begitu. Tapi.. kemarin mbak kan dijemput?”

“Dijemput.. siapa?”

“Dijemput suami kan?”

“Tidak.. kata siapa..?”

“mBak Mirah yang bilang..”

Aduh, mengapa Pri membuka rahasia Mirah? Palupi tertegun.

“Hmm.. itu..” bingung Palupi menjawabnya.

“Ssaya.. hanya.. ingin tahu.. sekali lagi ma’af .. saya.. lancang bukan? Mm.. saya hanya bicara.. sebagai.. sahabat.. mohon tidak tersinggung ya mbak.”

“Tidak.. tidak apa-apa..”

“Semoga mbak Palupi berbaikan kembali sama mas Handoko,” akhirnya ucapan itu yang keluar dengan lancar.

“Terimakasih do’anya ya mas.”

Pembicaraan itu menurut Palupi adalah pembicaraan yang memancing-mancing, tentang hubungan dirinya dan suaminya. Dan Pri juga sudah mendapat jawaban atas apa yang dipertanyakan dalam benaknya beberapa hari terakhir ini.

“Apakah mas Pri berharap aku bercerai dari mas Handoko.. lalu dia akan mendekati aku?” gumam Palupi ketika Pri sudah pulang. Lalu wajah ganteng yang sesungguhnya amat dirindukannya itu terbayang lagi.

“Akan sampai kapan semua ini?” gumamnya lagi sambil menata barang belanjaannya.

***

“Tanti... Tanti.. tunggu !” sebuah panggilan menghentikan langkah Tanti yang sudah hampir keluar dari halaman kantor. Ia menoleh dan dilihatnya Danang mendekatinya setengah berlari.

“Tanti..” katanya sedikit terengah.

“Ya mas..”

“Kamu selalu pulang tergesa-gesa sih..”

“Oh, apa ada pekerjaan saya yang belum selesai?”

“Bukan, tungguin aku dong..”

“Mengapa?”

“Pulangnya bareng sama aku. “

“Ah, enggak mas.. eh pak..”

“Lho, sudah bagus ‘mas’ kok diganti ‘pak’ , nggak mau aku. ‘Mas’ saja.”

“Ya, baiklah, ada apa?”

“Ayo pulang bareng aku, sudahlah, sekalian pulang juga kan?”.

“Jangan pak, nanti keterusan.”

“Mas!”

“Ya mas, sudah, saya pulang sendiri saja seperti biasanya.”

“Tidak boleh begitu. Ini perintah!”

“Kok..”

“Ayo Tanti, apa aku harus menggendong kamu?”

“Ya ampun mas.”

“Ayolah..”

Tanti berdebar ketika Danang menarik tangannya.

“Cuma diajak bareng saja kok susah,” kata Danang sambil membukakan pintu, dan mempersilahkan Tanti masuk.

“Ok tuan puteri...” kata Danang sambil menstarter mobilnya keluar dari halaman kantor.

“Besok jangan buru-buru pulang.”

“Lha..”

“Tungguin aku.. aku antar setiap hari.”

“Ah, nggak enak pak, sekali ini saja.”

“Kamu bandel ya.”

“Tapi..”

“Tidak ada tapi. Aku memaksa nih...”

“Kenapa harus memaksa pak.. mggak boleh dong, memaksakan kehendak.”

“Boleh kok. Khusus untuk aku sama kamu. Dan sekali lagi jangan 'pak'."

“Nggak enak dilihat orang.”

“Kenapa nggak enak. Kamu tahu Tanti, aku suka sama kamu.”

Tanti terkejut, menoleh kearah Danang yang juga sedang menatapnya. Ada getaran aneh dirasakan keduanya.

“Aku bersungguh-sungguh.”

Lalu Tanti teringat kata Widi, bahwa Danang mata keranjang.

“Pasti dia bercanda, dan hanya mempermainkan aku, kata Widi aku harus hati-hati,” kata batin Tanti.

“Tanti.. aku serius..”

“Apa?”

“Aku jatuh cinta sama kamu. Apa kamu berfikir bahwa aku hanya main-main? Jangan terpancing omongan si galak itu bahwa aku mata keranjang. Ada sa’atnya bahwa aku benar-benar jatuh cinta.”

Ungkapan yang seharusnya diucapkan dalam suasana romantis, tapi Danang mengatakannya sambil menyetir mobilnya. Memang Danang mata keranjang, tapi anehya benar-benar tidak romantis.

Tanti terdiam. Dia belum pernah mendengar ungkapan cinta dari seorang laki-lakipun.  Ungkapan itu membuatnya gugup dan tak tahu harus menjawab apa.

“Mengapa diam? Apa kamu sudah punya pacar?”

Tanti menggeleng.

“Kalau begitu terimalah aku,” kata Danang enteng.

“Begitu cepat..” gumam Tanti, seperti berkata kepada dirinya sendiri.

“Karena aku jatuh cinta sejak pada pandangan pertama."

“Aku bukan gadis yang pantas dicintai.”

“Mengapa?”

“Aku bukan siapa-siapa. Orang tuaku miskin.”

“Aku tidak peduli. Kalau kamu mau aku akan segera mengajak kamu menemui ibuku.”

Tanti benar-benar terkejut. Ini tidak main-main.

“Bagaimana ?” Danang mendesak.

“Apa mas tahu apa pekerjaan ibu? Ibuku seorang pembantu rumah tangga.”

Danang menoleh kearah Tanti.

“Pantaskah mas punya mertua seorang pembantu rumah tangga?”

Bahwa Tanti dari keluarga yang sederhana, Danang sudah tahu, tapi ketika Tanti mengatakan bahwa ibunya seorang pembantu rumah tangga, Danang belum pernah mendengarnya. Sejenak dia teriam. Sebenarnya bukan karena tidak suka, tapi karena terkejut. Tapi Tanti menerimanya sebagai rasa kecewa karena derajat orang tuanya yang pasti dianggapnya rendah. Tantipun diam. Menatap kearah depan dengan tatapan pasrah. Dia sama sekali tidak menyesal dilahirkan sebagai anak seorang pembantu. Ibunya membuatnya bangga. Dia akan menjunjung tinggi ibunya biarpun orang lain merendahkannya.

“Memangnya kenapa kalau ibumu seorang pembantu?’

Tanti terkejut. Menoleh lagi kearah Danang. Menatap laki-laki tampan yang tiba-tiba menembaknya dengan ungkapan cinta, dan membuatnya gemetar.

“Mana pantas..?”

“Apa yang tidak pantas?”

“Jangan terburu memutuskan sesuatu. Nanti mas akan menyesal.”

“Aku tidak akan menyesal.”

Tanti terdiam. Tak mudah mempercayai ucapan yang seperti tiba tiba itu. Biarpun senang mendengarnya, tapi Tanti belum ingin bersorak dan merasa bahagia.

Danang ingin masuk kerumah Tanti ketika mengantarkannya, tapi Tanti menolaknya.

“Ma’af, bukan saya tak suka, tapi saya hanya sendiri, apa kata tetangga kalau saya menerima tamu laki-laki dirumah?”

Danang tersenyum mengerti.

“Aku menunggu jawabanmu, nggak pakai lama,” kata Danang sambil tersenyum. Senyum yang bagi Tanti terasa sangat manis dan menawan.

“Ya ampuun, apa aku juga suka sama dia? Tapi aku takut. Dia harus memikirkannya masak-masak,” pikir Tanti.

“Mas pikirkan dulu masak-masak, lalu bicara sama keluarga mas. Saya tak ingin mas menyesal nantinya.”

***

Widi juga terkejut ketika Tanti menceritakan tentang apa yang dikatakan Danang ketika mengantarnya pulang.

“Dasar. Nggak romantis sama sekali dia tuh.”

“Yang romantis itu yang bagaimana?”

“Ya.. mungkin diajak kesuatu tempat yang indah, lalu dipetikkan setangkai bunga, diselipkan ditelinga kamu. Atau beli seikat mawar, lalu berjongkok dihadapan kamu, baru ucapkan cinta itu.”

Tati terkekeh.

“Kayak yang di film-film itu ya?”

“Ya.. harusnya begitu.”

“Dulu mas Ryan juga melakukan itu?”

Widi tertawa.

“Pokoknya mas Ryan itu romantis banget.

“Entahlah, aku minta dia memikirkannya. Masa sih, keluarga pemilik perusahaan besar mau berbesan dengan seorang pembantu seperti ibuku? Aku tak berani bermimpi Wid.”

“Tapi apa sesungguhnya kamu juga suka sama dia?”

“Kasih tau nggak ya....”

“Iih.. genit deh kamu. Kalau suka ya bilang suka.”

“Aku ini kan manusia Wid, rasa cinta aku juga punya. Tapi aku ini kan juga harus tahu diri. Mana mungkin pungguk bisa terbang mencapai rembulan.”

“Kamu tidak boleh rendah diri. Bahagia itu milik semua kalangan.”

Tiba-tiba ada seseorang memasuki halaman. Seorang laki-laki.

“Eh, ada tamu tuh, aku mau pulang dulu ya. Lagian sudah hampir maghrib nih,” kata Widi sambil berdiri.

“Ooh,  itu paklik ku, adik ibuku.”

“Ya sudah, aku pulang dulu, besok Minggu aku kemari lagi.”

Widi melangkah keluar, diantarkan Tanti sampai ke pintu. Laki-laki itu mengangguk ketika bersimpangan dengan Widi. Widi membalasnya dengan anggukan pula, tapi Widi kemudian mengingat-ingat, dimana dia pernah melihat laki-laki itu.

***

“Tumben bapak datang kamu sudah dirumah? Tadi pergi sebentar ya?” tanya Handoko ketika sore hari sedang santai diteras rumahnya.

“Bintang nggak suka sama Nanda.”

“Memangnya dia ada disana ?”

“Ada.. Kata ibu, ibunya Nanda ada disurga. Tapi Nanda suka nakal.”

“Masa?”

“Iya bapak, Bintang sudah meminjamkan mobil-mobilan, tapi dia nggak mau mengembalikan.”

“Jadi sekarang mobilnya dibawa Nanda?”

“Kata ibu, nanti beli lagi yang baru.”

“Ibu sayang banget ya sama Nanda?”

“Kata ibu, Bintang harus sayang sama Nanda, karena Nanda tidak punya ibu.”

“Boleh nggak kalau ibu kemudian menjadi ibunya Nanda?”

“Nggak boleeeh.. Bintang nggak mau.”

“Tapi kan Nanda setiap hari kerumah ibu?”

“Tadi ketika Bintang pulang, taksinya mengantar Nanda dulu.”

“Mengapa harus diantar?”

“Kan Nanda ditinggal dirumah ibu.”

“Bapaknya nggak ada?”

“Mengantar saja, lalu pulang.”

“Oo...”

Ada rasa lega ketika mendengar jawaban Bintang.

“Bapak bilang dong sama ibu, Nanda jangan boleh kesana.”

“Bintang dong yang bilang..”

“Ibu nggak mau kalau Bintang yang bilang. Kata ibu, Bintang harus menyayangi Nanda. Kasihan Nanda, karena ibunya ada di sorga.”

“Iya juga sih, bagaimana kalau Nanda boleh datang, tapi bapaknya tidak...” eitt.. tampaknya Handoko kelepasan bicara.

“Bapaknya kan nggak nakal, bapak..”

Lalu Handoko tersenyum sendiri. Ia merasa seperti anak sekecil Bintang yang antipati kepada seseorang karena seseorang itu telah merebut mainannya.

Jangan biarkan orang lain merebutnya.

Itu kata-kata Mirah yang selalu diingatnya. Tapi kan Palupi begitu sombong. Samasekali wajahnya tidak menunjukkan rasa senang ketika dia datang. Bibir tipis yang kalau tersenyum sangat menawan itu tidak sedikitpun menyunggingkan senyuman.

Handoko menyandarkan tubuhnya dikursi, membiarkan Bintang berlari masuk kerumah.

“Bapak...” Handoko terkejut ketika Suprih sudah duduk bersimpuh dihadapannya.

“Ya, ada apa yu?”

“Saya minta ijin, besok Minggu mau pulang sehari saja.”

“Oh, iya.. silahkan saja yu. Kangen sama anaknya ya yu?”

“Mau memberikan uang gaji saya untuk anak saya, bapak. Dia adanya sekarang kalau hari Minggu, so’alnya dia sudah bekerja.”

“Oh, syukurlah. Apa dia sudah tidak sekolah?”

“Dia kuliah, hampir selesai bapak, katanya sudah selesai tugas akhirnya.. atau bagaimana, saya kurang paham.”

“Bukan main yu Suprih ini, bisa menyekolahkan anak sampai hampir selesai kuliah. Bagus yu, salut sama yu Suprih. Dengan keringat sendiri bisa menyekolahkan anak.”

“Ini karunia buat saya, bapak.”

“Aku ikut senang yu. Semoga anak yu Suprih nanti berhasil menjadi orang, dan yu Suprih tidak harus memeras keringat lagi.”

“Iya bapak, dia juga sudah pernah bilang, kalau dia sudah punya penghasilan, saya dilarang bekerja lagi.”

“Waduh, jadi kehilangan yu Suprih  aku. Tapi tidak apa-apa yu, sudah seharusnya seorang anak membalas semua jerih payah orang tuanya. Ya sudah yu, sampaikan salam aku untuk anak yu Suprih ya.”

“Akan saya sampaikan, bapak.”

“Anaknya laki-laki atau perempuan yu?”

“Perempuan bapak.”

“Wow.. siap-siap mantu dong yu.”

“Aah, bapak.. mohon do’anya ya pak, supaya saya mendapat menantu yang baik. Maklum, hanya anak seorang pembantu.”

“Lho, memangnya kenapa kalau anak pembantu? Justru tangan yu Suprih itu tangan yang mulia, karena memeras keringat untuk anaknya sehingga menjadi orang. Baik yu, pulanglah besok Minggu. Kalau perlu menginap juga tidak apa-apa.”

“Iya bapak, terimakasih banyak.”

***

Hari Minggu itu Suprih benar-benar merasa bahagia. Anak semata wayangnya sudah bisa menghasilkan uang, dan justru menolak uang yang diberikan Suprih padanya.

“Bu, ini disimpan ibu saja, nanti kalau Tanti kekurangan baru bilang sama ibu. Kan Tanti sudah punya gaji?

“Apa kamu sudah gajian ?”

“Belum bu, kan bekerjanya baru mau sebulan. Tapi sebentar lagi Tanti sudah punya uang sendiri.”

“Kuliah kamu apa sudah benar-benar selesai?”

“Bulan depan Tanti maju ujian bu. Do’akan lulus ya bu.”

“Do’a terbaik hanya untuk anakku yang cantik ini,” kata Suprih sambil mencium pipi anaknya.”

“Terimakasih ibu..”

“Kamu bilang paklikmu mau datang hari ini. Mana?”

“Belum datang bu, beberapa hari yang lalu kemari, katanya kangen sama ibu. Tanti juga diberi uang oleh paklik.”

“Syukurlah. Ibu sebenarnya kasihan sama paklikmu. Setelah isterinya meninggal seperti orang bingung begitu. Sebulan yang lalu kan ketemu disini juga.”

“Iya bu. Harusnya segera dicarikan isteri.”

“Ibu tuh punya lho, teman.. ya sama-sama pembantu sih, tapi dia cantik, sabar, baik.. apa paklikmu sekiranya mau ya kalau ibu jodohkan sama dia?”

“Waah, bagus bu.. temukan saja dia sama paklik. Misalnya kencan disini pas hari Minggu. Gitu bu.”

“Coba nanti aku bicara kalau ketemu.”

“Itu bu, paklik sudah datang.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15