SANG PUTRI 28

 

SANG PUTRI  28

(Tien Kumalasari)

 

Sejenak Pri tegak ditempatnya. Ucapan Mirah sangat mengganggu perasaannya.

“Silahkan pak Pri, silahkan masuk..” sapa Mirah ramah.

Pri masuk, tapi hanya duduk di teras. Galau hatinya, kacau pikirannya. Banyak tanda tanya memenuhi benaknya. Hubungan yang bagaimana sebenarnya diantara Palupi dan suaminya? Berpisah, tapi masih dikunjungi. Sebenarnya Pri ingin betanya, entah dengan cara apa, tapi kalau nanti tiba-tiba Handoko datang bagaimana ? Aduuh, kapan ya kesempatan itu ada?

“Minumnya bapak..” tiba-tiba Mirah keluar sambil membawa baki dengan 1 gelas teh panas di dalamnya.

“Hati-hati ya, jangan memandikan saya dengan teh panas lagi,” seloroh Pri.

Mirah tersenyum malu. Dia tentu saja tidak perlu menumpahkan teh panasnya lagi, karena ia yakin ucapannya barusan pasti sudah didengar dan dirasakan oleh Pri.

“Ma’af bapak..” katanya sambil meletakkan gelas dengan hati-hati.

“Tapi sesungguhnya saya tidak akan lama disini.”

“Alhamdulillah,” kata Mirah tapi hanya dalam hati. Kalau sampai keluar dari mulutnya Mirah takut Pri akan menyiramkan teh panas itu ketubuhnya.

“Lho.. kok buru-buru bapak? Nanti sebentar lagi pasti pak Handoko akan datang,” itulah yang kemudian keluar dari mulutnya, masih dengan api yang disemburkan disela ucapannya.

“Iya, saya titip Nanda saja. Ini saya minum sekarang, lalu saya mau pamitan,” kata Pri yang benar-benar merasa seperti tersulut api.

Ia menghirup tehnya perlahan karena masih panas, lalu berdiri dan beranjak kebelakang.

“mBak Lupi, saya mau pamit,” teriaknya dari ruang tamu.

Palupi keluar dengan membawa serbet untuk mengelap tangannya karena dia sedang di dapur.

“Kok buru-buru mas?”

“Iya, ada urusan mbak, saya titip Nanda, ma’af merepotkan.”

“Ya, tidak apa-apa.. biar dia puas bermain sama Bintang.”

Tapi ternyata Bintang tidak suka bermain sama Nanda. Ia selalu menjauh dan tak pernah mau didekati.

“Bintang, nggak boleh begitu, Nanda kan teman Bintang juga,” kata Palupi.

“Tapi Bintang nggak suka sama dia.”

“Mengapa Bintang, Nanda nggak nakal kok. Ya kan Nanda?”

Nanda mengangguk pelan, barangkali sedih karena merasa tidak disukai.

“Tapi Bintang nggak suka dia memanggil ibu. Ibu kan ibuku..” sungut Bintang.

“Bintang, Nanda sudah tidak punya ibu lagi. Dia ingin punya ibu, jadi biarkan dia memanggil ibu sama ibu ya.”

Bintang masih merengut. Mobil-mobilan yang tadi dipegang Nanda direbutnya.

“Bintang, anak baik harus menyayangi semua temannya.”

“Jangan panggil ibu..!”

“Mengapa kalau panggil ibu? Kan cuma memanggil, tapi dia tidak mengambil ibu. Ibu tetap ibunya Bintang. Biarkan saja kalau hanya memanggil. Ya sayang? Anak baik, anak pintar. Nanda tidak akan mengambil ibu kok.”

“Kalau begitu ayo ibu pulang, supaya Nanda tidak datang-datang lagi.”

Mirah yang mendengar dari jauh bertepuk tangan pelan sambil tersnyum senang.

“Bintang.. sayang, anak baik anak pintar.. dengar kata ibu. Bintang harus sayang sama Nanda. Kasihan bukan, Nanda sudah tidak punya ibu.”

Tibatiba terdengar isak, Nanda menangis perlahan, air mata mengalir disepanjang pipinya.  Ia mendengar semua perkataan Palupi, lalu teringat bahwa memang dia tidak lagi punya ibu. Palupi mendekati Nanda.

“Nanda, mengapa menangis..? Tidak apa-apa.. ayo Bintang.. peluk Nanda..”

“Ibuu.. mana ibu...” tangisnya.

“Nanda, bukankah ibu ada di sorga? Ibu sedang ada bersama kamu, tapi kamu tidak melihatnya. Ibu tidak suka melihat Nanda menangis.”

Nanda mengusap air matanya dengan tangan. Mirah pun merasa iba. Ia mengambilkan tissue lalu diusapnya air mata Nanda.

“Sudah ya mas Nanda, nggak boleh nangis. Mas Bintang, sini.. peluk dia,” kata Mirah.

Rupanya melihat Nanda menangis Bintang juga merasa kasihan. Ia mendekati Nanda dan kemudian memeluknya.

“Nanda, kamu boleh kok panggil ibu .. “ kata Bintang.

“Tuh, Nanda.. ini juga ibunya Nanda kok.”

Nanda diam, tapi matanya masih basah oleh sisa air mata.

“Ayo.. main bersama ya. Bintang, berikan mobilnya .. lalu main bersama. “

Palupi geleng-geleng kepala, lalu pergi ke belakang. Melanjutkan memasak bersama Mirah.

“Sudah Rah tinggalkan saja, biar aku. Kapan aku pintar memasaknya kalau semua-semua kamu kerjakan.”

“Baiklah ibu, saya menjaga anak-anak itu saja, takutnya bertengkar lagi.”

“Iya Rah, aku kasihan sama Nanda, dia sangat merindukan ibunya yang sudah meninggal. Tapi Bintang kan masih kecil, dia belum mengerti. Tahunya kok ada orang lain mengakui aku sebagai ibunya.”

“Miris mendengarnya bu. Tapi sebenarnya Mirah khawatir..”

“Khawatir tentang apa Rah?”

"Pak Pri, kelihatannya suka sama ibu,”

Palupi tertawa keras.

“Kamu itu ada-ada saja Rah. Dia kesini kan karena anaknya, bukan karena dia suka sama aku.”

“Ah, hati orang siapa tahu. Ibu itu cantik, sendirian di rumah ini, pasti dia mengira kalau ibu itu janda. Alangkah mudah laki-laki jatuh cinta kepada seorang wanita cantik seperti ibu.”

“Tidak Rah, dia tidak pernah ngomong apa-apa. Buktinya ini tadi juga cuma mengantar Nanda lalu pulang. Kalau dia suka sama aku pasti ingin berlama-lama disini.”

“Hmh.. ibu tidak tahu, kan aku yang mengusirnya,” kata batin Mirah yang tak berani mengungkapkannya.

“Ya sudah, temani anak-anak sana.”

Tapi dalam hati Palupi juga berfikir. Terkadang tatap mata Pri agak aneh, tidak seperti ketika awal-awal bertemu.

 "Ya ampuun, mana mungkin aku bisa menerimanya? Hidup begini lebih enak.”

Tapi terbayang kemudian sesosok laki-laki ganteng yang kemarin berdiri didepan pintu dapur, lalu memandangnya tak berkedip, memujinya dengan kata-kata ‘luar biasa’.

“Ah, apa bener dia memuji dengan tulus? Apakah dia telah melihat bahwa aku telah berubah, lalu dia kembali jatuh cinta sama aku? Tidak.. dia hanya mengejek aku, bukankah dia ingin menceraikan aku? Tapi mana surat cerai itu? Sudah berbulan belum juga muncul. Apa dia ragu-ragu, karena masih mencintai aku? Tidaaak..Tak mungkin. Gila kalau aku memikirkan itu.

“Ibuuu... bau gosong...!” tiba-tiba Mirah berteriak.

Palupi terkejut, tangannya masih memegang susuk, dan diatas wajan, empat buah tempe telah berwarna kehitaman.

“Aduuh..bagaimana ini?”

Palupi buru-buru mengentasnya, lalu membuangnya ke keranjang sampah.

“Ibu.. bukankah ibu berdiri di depan kompor? Kok bisa hangus?”

“Iya tuh..” Palupi menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ibu pasti sedang melamun. Awas ya bu, jangan sampai ngelamunin pak Pri.”

“Hush !! Kamu tuh !!” kata Palupi sambil mengganti minyak diatas wajaan yang kehitaman dengan minyak yang baru.

“Dengar ya Mirah, kamu nggodain aku sama mas Pri, aku do’akan agar tiba-tiba kamu jatuh cinta sama dia.”

“Iih.. ibu.. Enggak lah..”

“Siapa tahu.. ,” kata Palupi enteng sambil memasukkan lagi tempe yang baru kedalam wajan.

***

Siang itu Handoko pulang kerumah, maksudnya mau makan siang dirumah. Tapi yang ada hanya Suprih.

“Iya, bapak, tadi mas Bintang rewel mau kerumah ibu, terpaksa nak Mirah mengantarkannya.”

“Kok nggak bilang?”

“Makan siang sudah saya siapkan bapak.”

“Iya yu, sebentar.”

Handoko sudah mengangkat ponselnya untuk menelpon Mirah, tapi diurungkannya. Bintang ingin ketemu ibunya, mengapa dia marah? Sebenarnya dia kesal karena kemarin Nanda sudah menelpon dan akan datang kesana. Pasti dengan bapaknya. Lalu Handoko pergi keruang makan, duduk sendiri dilayani Suprih. Ia bayangkan Palupi sedang melayani tamu istimewanya..

Berbagai perasaan mengaduk-aduk hatinya.

“Tidak, jangan biarkan orang lain merebutnya.”

Tapi Handoko teringat ketika dia mengejeknya bahwa Pri adalah tamu istimewa dan Palupi tidak menolaknya. Apakah Palupi benar-benar menyukai laki-laki itu?

“Bukankah aku lebih ganteng?” gumamnya pelan, dan kali itu Suprih mendengarnya samar, ia mengira Handoko mengajaknya bicara.

“Ya bapak.””

“Tidak, bukan apa-apa.”

Tapi Suprih merasa bahwa tuan ganteng itu sedang gelisah. Namun ia tak seberani Mirah untuk mengatakan sesuatu.

Ia juga tak bertanya apapun ketika sang tuan kemudian pergi begitu saja meninggalkan rumah, tampak ada rasa prihatin yang menghimpitnya. Prihatin melihat keluarga yang seharusnya  bisa hidup damai dan habagia itu seperti  saling menyakiti.

“Kasihan mas Bintang,” gumam Suprih sambil mengunci pintu depan.

***

“Bapaaak.. apakah bapak nanti menjemput ke rumah ibu?” tanya Bintang ketika Handoko dalam perjalanan kembali ke kantor.

“Tidak.”

“Bapak tidak mau jemput?”

“Kan Bintang nggak bilang kalau mau pergi?”

“Tadi hapenya yu Mirah nggak ada pulsa, katanya.”

“Pulang sendiri saja, naik taksi.”

Ponsel begitu saja ditutup.

“Bagaimana mas?” tanya Mirah.

“Bapak menyuruh kita naik taksi.”

“Oh.. ya sudah. Mas Bintang mau pulang sekarang?”

“Ya.. pulang saja, lama-lama Nanda nakal,” kata Bintang cemberut.

“Nakal bagaimana? Nggak tuh.”

“Mobilku dibawa, nggak boleh diminta ..”

“Ya sudah biarkan saja, nanti mas Bintang beli lagi yang lebih bagus.”

“Ayo pulang saja sekarang.”

Namanya anak kecil, berdamai sebentar kemudian berantem lagi. Tapi Mirah tak ingin meninggalkan rumah sebelum Nanda dijemput.

“Nanti kalau saya pulang akan banyak kesempatan pak Pri bicara sama ibu.” Gumamnya lalu beranjak kebelakang.

“Ibu, tampaknya mas Nanda capek, sebaiknya ibu menelpon pak Pri supaya menjemput.”

“Oh, iya.. sebentar.”

Tapi rupanya ponsel pak Pri sedang tidak aktif.

“Nggak nyambung tuh Rah.”

“Begini saja bu, mas Bintang kan minta pulang, saya naik taksi saja, tapi sekalian mengantarkan mas Nanda pulang. Ibu kasih tahu tukang taksi  ke mana harus mengantar mas Nanda.

“Bintang juga mau pulang?”

Bintang mengangguk.

“Baiklah, tidak apa-apa, ibu juga mau pergi belanja. Sekalian saja ya.”

“Oh, ibu mau pergi juga?”

“Iya, membeli keperluan dapur. Setelah kamu mengajari aku, aku jadi harus lebih banyak menyetok sayur di kulkas.  Aku sedang bersemangat memasak nih.”

“Pasti bapak akan senang kalau ibu rajin memasak.”

“Apa?”

“Iya, bapak pasti senang kalau ibu rajin memasak.”

“Omong kosong apa kamu itu Rah. Sudah, jangan ngaco, aku ganti baju sebentar sambil memanggil taksi.”

“Oh, baiklah kalau begitu.”

Mirah tersenyum dalam hati. Palupi benar-benar berubah, dan tuan gantengnya akan dipaksa untuk merayunya agar mau kembali.

“Yu Mirah...”  tiba-tiba Bintang berteriak.

“Kita akan pulang, sambil mengantar mas Nanda, terus sekalian bareng ibu berlanja. Ya?”

Mirah senang, dengan mengantar Nanda berarti pak Pri tidak akan datang untuk menemui Palupi. Paling nanti hanya ketemu sekilas ketika menurunkan Nanda, setelah itu Pri boleh gigit jari karena Palupi langsung pergi.

***

Palupi sudah menurunkan Nanda di rumahnya, lalu dia minta diantar ke supermarket tempat dia harus belanja, barulah taksi mengantarkan Bintang dan Mirah pulang.

Palupi sedang memilih-milih barang yang harus dibelinya ketika tiba-tiba dilihatnya bu Ismoyo sedang belanja bersama simbok. Palupi ingin menegurnya, tapi takut bu Ismoyo masih marah padanya. Sayangnya simbok melihatnya, dan memberitahu bu Ismoyo sambil menunjuk kearah Palupi.

Dengan berdebar Palupi melangkah mendekati. Ia meraih tangan ibu mertuanya, lalu menciumnya lama. Sikap itu membuat bu Ismoyo heran, karena selama ini Palupi tak pernah menciumnya begitu lama. Ketika Palupi mengangkat kepalanya, bu Ismoyo melihat mata Palupi tampak memerah.

“Ibu...” gemetar suara Palupi.

“Saya minta ma’af..” lanjutnya.

Bu Ismoyo sesa’at tak bisa bicara. Sibuk meraba-raba, apa yang membuat Palupi bisa mengungucapkan kata ma’af  sambil mencium tangannya.

“Ibu..,” Palupi masih menggenggam erat tangan mertuanya.

“Kamu Palupi kan?”

“Iya ibu.. “

Kabarnya kamu pergi dari rumah?”

“Mas Handoko mau menceraikan saya.”

“Kamu tinggal dimana?”

“Saya menyewa sebuah rumah sederhana, yang murah.”

“Mengapa tidak pulang kerumah orang tua kamu?”

“Masih dikontrak orang bu, masih dua tahun lagi.”

“Apakah kamu benar-benar tak bisa merubah sikap kamu selama ini?”

“Saya sedang belajar bu. “

“Belajar?”

“Mas Handoko pernah pergi ke rumah kontrakan saya, untuk menjemput Bintang.”

“Bintang mau sama kamu? Biasanya Mirah..”

“Dia sama Mirah.”

“O...”

“Ibu, saya minta ma’af..” kata Palupi sambil kembali mencium tangan ibu mertuanya, kemudian menepuk pundak simbok dan berlalu.

Bu Ismoyo menatap punggung Palupi sampai Palupi menghilang di tikungan supermarket itu.

“Bu Palupi seperti aneh ya?”

“Setan apa yang merasukinya sehingga dia mencium tanganku berkali-kali sambil meminta ma’af.”

“Itu bukan setan bu, malaikat barangkali,” tukas simbok.

“Iya, benar. Dis bersikap aneh, atau memang dia sudah berubah?”

“Syukurlah kalau berubah menjadi baik.”

“Aku tidak tahu, apakah Handoko sudah mengurus perceraian itu, atau belum. Nanti kita mampir kerumahnya ya mbok?”

“Bukankah mas Handoko sudah masuk kerja dalam beberapa minggu ini?”

“Oh, iya.. aku lupa. Nanti aku menelpon dia saja mbok.”

“Saya mau membeli terong ungu dulu bu, katanya ibu ingin masak terong bumbu pedas.”

“Iya mbok, ayo lanjutkan belanjanya.”

***

Palupi melanjutkan belanja sambil menghindari bertemu dengan mertuanya lagi. Palupi heran, mengapa tiba-tiba dia mendatangi mertuanya, mencium tangannya dan meminta ma’af.

“Apa yang aku lakukan? Tapi aku memang ingin melakukannya. Aku merasa pernah berbuat salah pada ibu. Anehkah? Bukankah aku harus melakukannya? Aku juga senang ibu menerimaku dengan baik, tidak bersikap kasar seperti dulu,” kata batin Palupi sambil keluar dari supermarket, lalu memanggil taksi untuk pulang.

Palupi tidak merasa, bahwa dia telah berubah dengan sendirinya. Hari-hari yang dilaluinya membuat dia merasa mana yang baik dilakukan, dan mana yang tidak.

Palupi juga ingin berbaik-baik dengan Handoko, tapi Handoko selalu menganggapnya buruk. Ia merasa Handoko mengejeknya, dan itu membuatnya sakit hati.

“Kalau ketemu nanti, aku akan mempertanyakan tentang surat cerai itu. Sudah berbulan-bulan aku belum menerima surat dari pengadilan agama manapun.” Palupi terus berfikir dalam perjalanan pulang itu.

Tapi membayangkan surat cerai itu, tiba-tiba ada rasa pilu yang mengiris jantungnya. Barangkali ada darah menetes dari sana, dari luka yang menganga.

“Aku benci perasaan ini, apakah aku masih mencintai suamiku? Seandainya dia datang dan berkata dengan manis, aku janji.. akan mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Haaa? Apa ? Aku masih mencintainya?”

Batin Palupi berperang dengan sengit. Antara masih cinta, atau membencinya.

Ia masih berfikir tentang perasaan hatinya sampai tiba di depan rumah kontrakannya. Ia membayar taksi dan turun sambil menenteng belanjaannya.

Bayangan Handoko seperti mengikutinya. Palupi mengibaskannya tanpa berhasil, sampai dia memasuki teras, lalu melihat seseorang sudah duduk disana, seperti menunggu kedatangannya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15