ADA YANG MASIH TERSISA 17
(Tien Kumalasari)
“Tejo !!” hardik pak Kusumo. Tejo bangkit duduk, sedangkan Ana kemudian berdiri, ia memegang minyak kayu putih ditangannya, dan memang bau minyak kayu putih menyeruak memenuhi kamar Tejo.
“Apa yang kamu lakukan? Apa pembantumu ini tidak mengatakan bahwa Miranti akan melahirkan?”
“Ssaya sudah bilang pak,” sela Ana
“Kalau sudah mendengar bahwa isteri kamu sudah ada dirumah sakit, mengapa tidak segera berangkat?”
“Begitu datang pak Tejo bilang badannya sakit, lalu langsung tidur. Baru saja dia minta dikerokin pak, saya sudah menolaknya karena sungkan, tapi pak Tejo memarahi saya, ” sambung Ana lagi, yang kemudian setengah berlari kebelakang, ngeri mendengar suara pak Kusumo begitu keras.
“Ya bapak, Tejo masuk angin pak.”
“Seberat apa rasa sakitmu itu, sampai tidak perduli pada isteri yang mau melahirkan anak kamu?”
“Ma’af pak, badan Tejo sangat lemas tadi.”
“Lalu menyuruh pembantumu, yang masih gadis, menggosok tubuhmu, mengeroki tubuhmu didalam kamar tertutup, apa itu pantas?”
“Ma’af bapak. Sekarang sudah agak baikan, saya kerumah sakit sekarang.” Kata Tejo sambil meraih baju yang tersampir dibawah ranjangnya.
“Kamu ini benar-benar keterlaluan Tejo,” omel pak Kusumo yang terus menggelitik telinga Tejo.
“Kamu juga aneh, mengapa mematikan ponsel?”
“Tejo lupa mengecasnya pak, itu Tejo tinggalkan dimeja, belum sempat mengecas karena badan rasanya tidak enak.”
“Banyak alasan, banyak jawaban. Bapak kecewa sama kamu.”
“Ana, tolong ponselku di cas ya, aku mau kerumah sakit sama bapak.”
“Baik pak,” jawab Ana sambil menunduk.
Tejo keluar dengan langkah gontai, agar tampak seperti orang sakit, lalu mengikuti masuk kedalam mobil bapaknya.
Ana mengantar sampai keteras, tersenyum lebar ketika menemukan akal untuk mengelabui pak Kusumo. Walau tetap saja terdengar pak Kusumo marah-marah tanpa mau mendengar alasan Tejo. Ana tersenyum meraba wajahnya, dan merasa beruntung tidak lupa tadi memasang lagi tahi lalat palsunya ditempat semula.
***
Pak Kusumo membawa Tejo keruangan Miranti. Agak kaku ketika ia mendekati Miranti, yang pura-pura memejamkan matanya, lalu Tejo mengucapkan sesuatu dengan lirih.
“Syukurlah kamu melahirkan dengan selamat. Aku tidak tahu tadi.”
Pak Kusumo duduk didekat isterinya dengan wajah muram.
Tejo duduk dikursi disamping tempat tidur Miranti, tapi Miranti terus memejamkan matanya. Ia tak membukanya sedikitpun walau ia tahu Tejo masih duduk disampingnya.
“Minta ma’af kepada isteri kamu. Salah besar kamu seorang suami sama sekali tidak peduli sa’at isteri melahirkan,” kata pak Kusumo keras dan kaku.
“Aku minta ma’af,” katanya lirih, sesuai anjuran pak Kusumo, seperti murid menirukan aba-aba gurunya.
Tapi Miranti tetap memejamkan matanya. Tejo menyandarkan tubuhnya. Sebal juga disuruh menatap tubuh terbujur diam dan tanpa mempedulikan kedatangannya.
“Barangkali Tejo ingin melihat anaknya,” kata bu Kusumo.
“Dia tak akan perduli.”
“Sudah pak, jangan marah-marah lagi, kasihan nanti Miranti tidak bisa istirahat, Ayo Jo, kita lihat anakmu.
Tejo berdiri, lalu mengikuti ibunya keluar dari kamar.
“Kamu itu suka sekali membuat bapak marah,” omel bu Kusumo dalam berjalan kearah kamar bayi.
“Tejo sakit bu, pulang lalu tidur. Ketika bapak datang, Tejo lagi dikerokin Ana.”
“Itu kan perbuatan tidak pantas. Kamu laki-laki, masih muda, dan Ana seorang gadis, berada dikamar walau hanya untuk kerokan.”
“Lalu bagaimana lagi bu, adanya cuma Ana,” kata Tejo yang sekarang sudah sangat pintar berbohong dan bersandiwara.
“Apa sakit sekali sehingga tidak kuat menahannya, dan mengalahkan perhatian kamu ketika isteri mau melahirkan?”
“Badan Tejo sangat lemas, lalu makan sedikit, lalu tidur. Lalu Tejo menyuruh Ana agar mengeroki Tejo. Nyatanya kemudian Tejo sudah bisa bangun.”
Sementara itu Tejo dan bu Kusumo sudah sampai dikamar bayi. Bu Kusumo yang sudah tahu lebih dulu, menunjukkan bayi Miranti yang terlelap.
“Itu anakmu Tejo..”
Tejo menatap bayi itu, dan dadanya berdesir. Seperti mimpi rasanya ketika menyadari bahwa dia sudah punya anak. Bayi mungil yang tampan, lalu Tejo menatapnya tak berkedip.
“Ganteng kan anakmu?”
“Iya bu..”
“Kamu senang kan sekarang sudah punya anak?”
“Iya bu, Tejo senang.”
Bu Kusumo mengajak Tejo kembali kekamar Miranti, sa’at pak Winardi dan bu Winardi sudah ada disana. Pelukan haru bu Winardi dan tangis bahagia memenuhi ruangan itu. Miranti juga sangat senang melihat ibu bapaknya datang.
Tejo mendekati pak Winardi dan mencium tangannya.
“Lama tidak ketemu ya nak Tejo, ketika saya kerumah nak Tejo juga belum pulang dari kantor,” kata pak Winardi.
“Iya pak, saya selalu pulang sore.”
“Silahkan kalau mau melihat bayinya lho bu Win sama pak Win. Tejo, tolong antarkan mertua kamu keruang bayi,” kata bu Kusumo.
“Iya nak, ibu ingin melihat cucu ibu, ayo pak.. kita melihat cucu..” ajaknya kepada suaminya.
Tejo terpaksa mengantarkan kedua mertuanya.
***
Pramadi masih berada diatas mobil. Hari mulai gelap. Ia tak tahu harus berbuat apa. Mau langsung pulang juga nggak enak. Kan dia sopir. Tapi mau ikut kedalam juga sungkan, biarpun dia sudah memakai kumis palsunya. Bingung kan.. ada pak Kusumo.. ada pak Winardi..
Untunglah tiba-tiba pak Kusumo menelpon.
“Pram, kamu dimana?”
“Diparkiran bapak..”
“Ini sudah malam, kamu pulang saja. “
“Apa mobilnya saya tinggal disini saja pak?”
“Bawa pulang saja.. besok baru kamu kesini lagi.”
“Baiklah, saya pulang sekarang pak.”
Pramadi yang merasa letih lalu membawa mobilnya pulang. Lega karena Miranti ditungguin oleh keluarganya. Dan bingung antara melepas atau memakai kumis palsunya.
***
Ana menunggu sampai malam, tapi tak ada kabar dari Tejo. Ana mulai bosan. Mobil Tejo masih ada diluar. Ana bisa memasukkannya ke garasi, tapi takut nanti pak Kusumo curiga, jadi Ana membiarkannya saja. Lalu ia mengunci pintu dan masuk kekamarnya. Tejo tak mengabari apapun, mungkin karena masih ada bapak dan ibunya, atau mungkin juga mertuanya.
Sudah jam 10 malam ketika Tejo mengirim pesan singkat.
“Aku masih dirumah sakit. Bapak melarangku pulang.”
Ana merengut, dibalasnya pesan itu dengan emotikon orang marah.
“Sabar Nis, masih ada hari esok.”
“Mobilmu masih diluar, kamu bisa pulang dengan alasan harus memasukkan mobil ke garasi. Gampang kan. Tapi kamu harus naik taksi pulangnya.”
“Oh iya, kamu pintar. Baiklah. Mobil bapak ditinggal dirumah sakit, aku bisa naik mobil bapak.”
“Cepat ya, aku tunggu, aku takut sendirian dirumah.”
“Tapi aku tidak bisa lama, alasanku kan cuma memasukkan mobil ke garasi.”
“Ya sudah, tidak apa-apa. Cepat ya.”
Ana tersenyum . Baginya, apa yang dikatakannya selalu dilakukan oleh Tejo, itu sudah membuatnya senang.
Ia membuka kunci pintu depan, lalu pura-pura tidur, agar nanti ketika pulang Tejo membangunkannya.
***
Miranti tak menjawab ketika Tejo pamit mau pulang sebentar untuk memasukkan mobil ke garasi.
Hari sudah malam dan ia merasa sangat letih. Ia hanya mengirim emotikon jempol ketika sebuah pesan singkat terkirim.
“Selamat tidur bidadari..”
Miranti memejamkan matanya. Ingin ia merasa tenang, setenang wanita yang baru selesai melahirkan dengan selamat. Tapi pikirannya melayang jauh. Haruskah ia melanjutkan rumah tangga yang terasa sangat tidak nyaman ini ?”
Lalu apa setelah ia melahirkan? Melanjutkan hidupnya dengan merawat anaknya tanpa mempedulikan apa yang ada dikiri kanannya? Selama ini Pram masih selalu bisa menghiburnya, tapi tidak sampai hati dia membiarkan Pram terus menerus berkorban untuk dirinya. Pram juga harus memikirkan hidupnya.
“Ibu mengapa belum juga tidur?” tiba-tiba seorang perawat mendekatinya.
“Ya suster, ini mau tidur..”
“Ada yang ibu rasakan? Pusing, atau apa?”
“Tidak ada suster, saya baik-baik saja.”
“Tidak ada yang menunggui ibu malam ini?”
“Ada sus, baru pulang sebentar..”
“Baiklah, kalau merasa ada yang sakit, bilang ya bu.”
“Baiklah suster.”
Perawat itu berlalu, lalu Miranti memejamkan matanya. Ia tak peduli ketika menyadari bahwa Tejo pergi lama sekali. Barangkali ia mendapatkan kesempatan untuk bersenang-senang. Terserahlah.
***
Ketika pagi itu bu Kusumo datang dengan membawa banyak makanan, dilihatnya Tejo masih terlelap. Dengan gemas bu Kusumo membangunkannya. Bu Kusumo tidak tahu bahwa menjelang pagi Tejo baru kembali dari mengandangkan mobilnya digarasi rumah.
“Tejo, kok jam segini belum bangun ?”
Tejo menggeliat.. menatap ibunya yang berdiri disampingnya.
“Jam berapa kok ibu sudah sampai disini?”
“Jam sepuluh, tahu. Nggak malu sama perawat-perawat yang sudah keluar masuk merawat isteri kamu.”
Tejo bangkit, mengucek matanya.
“Tejo mau pulang dulu, mandi dan berangkat ke kantor.”
“Lho.. kok pulang begitu saja, nggak pamit sama isteri kamu?”
Tejo yang sudah hampir sampai dipintu membalikkan tubuhnya, mendekati Miranti.
“Aku mau pulang.”
Miranti tak menjawab, Tejo kemudian berlalu.
“Mir, sudah makan ya? Ini ibu bawakan makanan, roti. Itu pisang yang dibawa ibu kamu kemarin.”
“Iya bu, tadi sudah makan jatah dari rumah sakit, nanti Miranti makan oleh-oleh dari ibu.”
“Ya, kamu harus makan banyak, supaya ASI nya lancar. Anakmu juga sehat.”
“Ya ibu.”
Tak lama kemudian perawat masuk sambil membawa bayi Miranti,
“Ibu, belajar menyusui ya bu.”
Miranti tersenyum. Bayi molek itu merengek pelan, Miranti mencoba duduk.
“Pelan-pelan ya bu..”
Lalu diterimanya si bayi dan mencoba menyusuinya.
“Hm.. bagus, tampaknya ASI nya sudah keluar .. lihat, dia minum dengan lahap,” kata perawat sambil tersenyum.
“Enaknya... duuh.. minum yang banyak ya le, biar cepat besar..” kata bu Kusumo yang melihat cucunya minum dengan lahap.
Miranti mengelus kepala anaknya dengan terharu. Bayi tak berdosa ini tetap harus mendapatkan kasih sayangnya.
“Ma’af saya datang terlambat.”
Miranti memutar tubuhnya ketika melihat Pram datang. Tentu ia tak ingin orang lain melihat ketika ia sedang menyusukan anaknya.
Pram yang tidak tahu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya bermaksud keluar. Tapu bu Kusumo memanggilnya.
“Pram, duduk disebelah sini, menghadap kesana, kan tidak akan bisa melihat Miranti sedang menyusukan bayinya.”
“Saya diluar saja dulu bu,” kata Pram yang memilih keluar.
“Baiklah, nanti saya panggil kalau sudah selesai.”
Miranti tersenyum. Begitu baiknya Pramadi, begitu menghormati perempuan.
“Kamu membutuhkan apa Mir?
“Tidak bu.. semuanya sudah cukup.”
“Adakah baju kotor yang harus dibawa pulang?”
“Tidak bu, saya sudah membayar tukang cuci disini .. supaya tidak merepotkan siapapun.”
“Ya sudah, kalau ada biar Pram membawanya pulang.”
“Tidak ada bu. Ibu jangan bolak balik kesini bu, Miranti kan sudah ada yang mengurus, yaitu pihak rumah sakit, Miranti khawatir ibu kecapekan.”
“Tidak Mir, ibu suka, apalagi kalau melihat cucu ibu iki.”
“Besok Miranti kan sudah boleh pulang.”
“Benarkah ? Syukur kalau begitu.”
“Perawat tadi bertanya, akan diberi nama siapa cucu ibu itu?”
“Lhah.. mengapa tadi tidak menanyakannya pada Tejo?”
“Lebih baik ibu atau bapak saja yang memberi nama. Mas Tejo terlalu sibuk, mana sempat memikirkan nama bayi.”
Bu Kusumo menghela nafas.
“Iya, aku heran pada suami kamu. Disini semalaman kok ya tidak berfikir tentang nama anaknya. Coba, nunggu bapakmu sebentar, katanya mau kesini.”
“Apa, ada apa.. kok nyebut-nyebut bapakmu...” tiba-tiba pak Kusumo muncul.
“Ini lho pak, cucumu belum dikasih nama. Coba.. apa bapak pernah memikirkan nama yang bagus untuk cucu kita.. so’alnya bapaknya tadi kok ya tidak berfikir tentang nama anaknya.”
“Ah, sudahlah.. jangan memikirkan Tejo. Dia itu memang laki-laki yang tidak punya tanggung jawab. Biar aku saja yang kasih nama..bagaimana kalau Abiyoga?”
“Waah.. bagaimana Mir.. bagus tuh.. bapak memberinya nama. Kamu suka nggak?”
“Bagus bapak, Miranti suka, itu kan artinya anak laki-laki yang punya kelebihan.”
“Nah, sudah selesai kan. Tidak usah menunggu-nunggu bapaknya, bapaknya mana memikirkan hal seperti itu. Sekarang mana, sudah selesai minumnya kan, sini, gendong eyang kakung,” kata pak Kusumo lalu mengambil Abi dari pangkuan ibunya.
“Wah.. enak sekali tidurnya le?”
“Iya eyang, kan sudah kenyang.”
***
Bu Winardi memenuhi janjinya, setelah Miranti pulang dari rumah sakit, mereka menginap dirumah Miranti selama tiga hari. Bahagia rasanya ketika setiap hari bisa menggendong cucu.
Yang bingung adalah Pramadi. Ketika pak Kusumo atau bu Kusumo datang, ia biasa saja, tapi ketika pak Winardi ada.. dia harus memasang kumisnya.
MIranti selalu tak bisa menahan ketawanya setiap kali melihatnya. Untunglah hanya tiga hari mereka disana, dan untungnya lagi pak Winardi membawa mobil sendiri sehingga Pram tidak harus mengantarnya pulang.
Siang hari itu Miranti ingin sekali berbelanja. Sudah sebulan umur bayinya dan ada yang ingin dibicarakan bersama Pramadi.
Setelah menyusukan bayinya, ia menitipkannya pada Ana.
“Ana, titip Abi ya, aku mau belanja sebentar saja. Kalau dia rewel dan aku belum pulang, ada stok ASI di freezer, berikan seperti biasanya.”
“Ya bu. Sekarang dia sedang tidur kan?”
“Iya, aku hanya sebentar.”
“Baiklah.”
Tapi ketika Miranti berangkat pergi, Ana masuk kekamarnya dan tidur.
Begitu pulasnya dia tertidur, sehingga tak mendengar ketika Abi menangis keras. Beberapa sa’at lamanya Abi menangis, barulah Ana terbangun. Dengan kesal dia bangkit dan berjalan kearah kamar.
“Dasar cerewet ! Kamu cerewet seperti ibu kamu ya, ayo teruslah menangis.. teruslah menangis.. bisa diam tidak.. bisa diam tidak??? Apa mau aku pukul kamu dengan ini??” dan Ana lalu mengambil sebuah guling diranjang Miranti yang nyaris dipukulkannya kearah bayi tak berdosa itu.
Tapi tiba-tiba Tejo sudah berdiri ditengah pintu, terkejut melihat Ana mau memukul bayi yang sedang menangis keras.
“Ana!! Apa kamu sudah gila ?” pekiknya.
Ana terkejut bukan alang kepalang.
***
Besok lagi ya