SANG PUTRI 23

SANG PUTRI  23

(Tien Kumalasari)

 

Bintang berjingkrak memeluk ibunya. Palupi mendekapnya erat. Sementara itu Handoko langsung membalikkan tubuhnya keluar dari rumah makan itu, setelah berpesan kepada Mirah.

“Jaga Bintang. Ini uang untuk membayar es krim atau apa yang Bintang mau,” kata Handoko sambil mengulurkan uang, lalu melanjutkan langkahnya.

Mirah mengangguk, menatap wajah tuan gantengnya yang tampak cemburu. Tuh kan, masih ada cinta, mengapa ini semua terjadi?

Mirah mengikuti Bintang, dan berdiri agak jauh dari meja Palupi.

“Bintang mau es krim ibu..”

Tapi Nanda yang duduk di kursi didekat Palupi segera merosot turun, menarik tangan Palupi dan menggoyang-goyangkannya.

“Ini ibuku...” teriaknya.

Bintang menatap anak kecil yang memegangi lengan ibunya, lalu mendekati dan menarik tangannya.

“Ini ibukuuuu..”

“Ibuukuuu...”

Lalu Palupi merengkuh keduanya.

“Dengar, jangan berantem.. Bintang.. iya benar ini ibunya Bintang, tapi ini juga ibunya Nanda.. “

Bintang menatap Nanda dengan sengit.

“Bintang, ayo salaman.. nggak boleh berantem.”

“Bukankah ibu ini ibuku?”

“Benar sayang..”

“Bukan ibunya dia kan?”

“Ibukuuu...” Nanda masih berteriak.

Priambodo yang sesa’at tak bisa bicara segera menguasai keadaan.

“Nanda..dengar kata ibu.. “ kata Pri.

“Nanda juga anak ibu.”

Mirah hanya tegak berdiri mengawasi dengan perasaan heran. Siapa gerangan laki-laki itu, dan anak kecil itu.

“Apakah ibu sudah punya calon, makanya tega meninggalkan rumah? Ah, jauh lebih ganteng bapak. Dia sih nggak jelek,  tapi biasa-biasa saja,” gumam Mirah dalam hati.

“Ibu.. aku mau es krim..” kata Bintang yang terus memegang lengan ibunya.

“Aku juga mauuu..” Nanda tak mau kalah memegang lengan Palupi yang sebelah lagi.

“Baiklah.. baiklah.. kalian duduk.. Nanda disitu, Bintang disitu, ibu pesan es krim untuk kalian.”  Kata Palupi.

Palupi memesan es krim, lalu melihat Mirah berdiri.

“Mirah, duduk disini. “

“Biar saya disini saja bu,” kata Mirah sambil duduk di bangku yang lain. Ia masih ingat ketika Palupi tak mau duduk semeja dengan dirinya.

“Sini saja, tidak apa-apa.”

Tapi Mirah tetap duduk di meja yang lain.

“Mana bapak?” tiba-tiba Bintang berteriak.

Palupi menoleh ke arah lain, tak melihat bayangan Handoko. Ia tak melihatnya ketika Handoko keluar dari rumah makan itu.

“Mana bapak?” Bintang menatap Mirah. Mirah bingung untuk menjawabnya.

Bintang merosot turun, mencari bapaknya.

“Mas Bintang mau kemana?”

“Mana bapak?”

Mirah berdiri, mengikuti Bintang, lalu mengajaknya keluar karena tadi Handoko keluar.

“Mana bapak?”

Rupanya Handoko duduk di dalam taksi yang tadi mereka tumpangi. Ia terkejut melihat Bintang keluar.

“Bintang.”

“Kok bapak duduk disitu, di sana ada ibu, ayo makan es krim,” rengek Bintang.

Tapi Handoko enggan turun. Ia melihat seorang laki-laki dan seorang anak duduk semeja dengan Palupi, dan tiba-tiba ia ingin marah.

“Bapak.. ayo.”

“Tidak Bintang, Bintang saja sama yu Mirah makan es krim, bapak tiba-tiba sakit perut.”

“Bapak sakit perut?”

“Iya, jadi biar bapak menunggu disini saja. Ya?”

Bintang tampak kecewa, tapi ia membalikkan tubuhnya. Mirah mengikutinya, setelah sebelumnya menatap wajah majikan gantengnya yang tampak muram.

“Kasihan bapak,” gumamnya perlahan lalu masuk mengikuti langkah Bintang.

“Ibu punya obat?” tanya Bintang setelah kembali.

“Obat untuk apa?”

“Bapak sakit perut, kasihan.”

“Oh.. “ Palupi menatap Mirah, tapi Mirah menatap kearah lain.

“Punya obatnya?”

“Oh ya, nanti biar yu Mirah membelikan obat sakit perut buat bapak ya.”

Palupi merasa Handoko memang menghindarinya. Menurutnya  memang Handoko tak ingin bertemu dengannya.

Ketika Nanda selesai meminum es krimnya, Pri beranjak ke kasir untuk membayar semuanya. Lalu mengajak Nanda pulang. Ia melihat laki-laki ganteng yang tadi datang bersama Bintang, tapi langsung membalikkan tubuhnya dan keluar begitu melihat kearah meja dimana mereka duduk. Pri merasa tidak enak, karena dia tahu bahwa itu adalah suaminya Palupi.

“Nanda, sebaiknya kita pulang dulu yuk.. “

“Pulang?” Nanda tampak kecewa.

“Iya sayang,  Besok atau kapan-kapan bisa bertemu ibu lagi.”

“Benar?”

“Iya benar. mBak Lupi, kami pulang dulu, karena dirumah masih banyak urusan.”

Palupi tak bisa menolak, bahkan dia lupa untuk menanyakan tentang tukang pijat yang barangkali Pri mengetahuinya.

Pri menggandeng Nanda setelah disuruhnya memberi salam kepada Palupi dan Bintang.

Ketika sampai diluar, Pri melihat laki-laki ganteng yang tadi datang bersama Bintang. Dengan niat baik dia mengangguk , dan Handoko yang memang sedang mengamatinya juga mengangguk sambil melebarkan kaca mobilnya.

Melihat Handoko menyambut, Pri mendekat, lalu Handoko membuka pintunya.

“Ma’af, saya Priyambodo,” katanya sambil mengulurkan tangannya.

Handoko menyambutnya dan tersenyum membalas uluran tangannya.

“Handoko.”

“Bapaak.. ayo...” Nanda merengek.

“Terimakasih pak Handoko, saya hanya berteman dengan bu Palupi, baru beberapa hari ini.”

“Ooh..” hanya itu yang diucapkan Handoko.

Lalu Pri pergi karena Nanda menarik-narik tangannya.

Handoko menatap punggung laki-laki itu dengan perasaan tak menentu.

“Baru berteman beberapa hari? Tampaknya sangat akrab,” gumamnya sambil menyandarkan tubuhnya.

Sementara itu Bintang masih sibuk menyendok es krimnya.

“Mirah, duduklah disini,” panggil Palupi.

“Saya disini saja bu.”

“Disini, ayolah Mirah, nanti Bintang mencari kamu. Cepat Mirah, aku pesankan makan untuk kamu. Mau minum apa, makan apa?”

“Sudah bu, saya sudah makan, jawab Mirah sambil duduk didepan Palupi, takut-takut.

“Yu Mirah belum makan, ibu.”

“Tuh, belum kan?”

“Nanti saya makan dirumah saja bu, kasihan bu Suprih sudah susah-susah memasak.”

“Suprih yang masak?”

“Karena mas Bintang rewel sejak kemarin bu.”

“Rewel?”

“Sangat rewel, dan marah-marah terus, mencari ibu.”

“Oh, benarkah Bintang?”

“Ibu jangan pergi.”

“Mengapa kalau ibu pergi? Kan ada yu Mirah?”

“Bintang mau yu Mirah sama ibu sama bapak..” kata Bintang sambil menyuapkan es krim terakhirnya.

Mirah menatap Palupi yang sedang memesankan minum untuk MIrah. Palupi juga memesan segelas coklat susu panas.

“Ibu pulang ya?”

“Tidak bisa Mirah, bapak sudah memutuskan untuk menceraikan aku.”

“Tidak bu, bapak masih mencintai ibu.”

Palupi tertawa.

“Itu benar, saya yakin bu.”

Ketika pelayan meletakkan teh panas dan susu coklat ke hadapan mereka, Palupi mengangsurkan coklat susu panas itu kepada Mirah.

“Rah, serahkan ini untuk bapak, katanya perutnya sakit,” kata Palupi.

“Bukan sakit perut bu, sakit hati.”

Palupi lagi-lagi tertawa.

“Sudah, bawa kesana, eh.. pinjam baki dari pelayan itu," kata Palupi sambil meminta baki yang tadi dibawa pelayan.

“Pinjam sebentar ya mas.”

Mirah membawa coklat panas itu keluar, meminta Handoko membuka pintu mobilnya. Dalam hati ia merasa bahwa ndara putri sebenarnya punya perhatian sama suaminya. Ia juga masih ingat kesukaan suaminya, coklat susu. Aduhai.

“Bapak.. ini buat bapak.”

“Mengapa kamu memesankan ini untuk aku?”

“Bukan saya yang pesan, bapak.. tapi ibu.”

Handoko menatap tak percaya.

“Silahkan bapak, ini sungguh dari ibu. Bapak harus yakin bahwa ibu masih sangat perhatian pada bapak.”

Handoko terpaksa menerima segelas susu soklat yang disodorkan Mirah.

“Perhatian apa..” gumam Handoko setelah Mirah kembali masuk kedalam. Tapi ia meminumnya juga karena ia memang benar-benar haus.

“Sudah ?”

“Sudah bu.”

“Mau dia?”

“Mau.. dikiranya saya yang pesan, tapi setelah saya bilang ibu yang pesan, bapak mau.”

Palupi tersenyum. Tapi manakala diingatnya kata-kata Handoko beberapa hari lalu, dadanya masih terasa sakit.

“Ibu.. nanti Bintang mau tidur sama ibu, boleh?”

“Bintang, ibu belum mau pulang, sayang.”

“Ibuuu...” Bintang merengek.

“Dengar, ibu masih ada urusan. Kalau Bintang mau ketemu ibu, Bintang boleh menelpon. Ibu kasih nomornya sama yu Mirah ya.”

Bintang diam.

“Bintang tidak boleh rewel. Ibu akan selalu ada buat Bintang. Ya?”

“Ibu, mengapa tidak pulang saja sekarang?”

“Tidak Rah, biarkan aku menenangkan hati dulu. Aku titip Bintang ya.”

Bintang memang diam, tapi ada rasa kecewa yang dipendamnya.

Palupi mengelus kepalanya lembut.

“Rah, habiskan tehnya, lalu pulanglah. Oh ya, catat no kontak aku, kalau Bintang ingin bertemu aku.

Mirah memasukkan nomor kontak Palupi kedalam ponselnya.

“Sesungguhnya ibu lebih baik pulang..”

“Hanya Tuhan yang tahu..”

Mirah tertegun, Palupi sudah mengenal Tuhan, ia kemudian bersyukur dalam hati.

Palupi kemudian memeluk Bintang erat.

“Apakah ibu tidak menangis?” tanya Bintang. Rupanya tangis itu yang selalu tertanam dalam hati Bintang.

“Tidak Bintang, ibu senang kalau Bintang tidak nakal. Ibu tak akan menangis."

“Ibu sekarang dimana?”

“Disuatu tempat. Aku akan belajar hidup, Mirah.”

***

“Bapak.. sakit perutnya sudah sembuh?” tanya Bintang dalam perjalanan pulang.

“Sudah Bintang. Enak es krimnya?”

“Enak. “

“Bapak, ini uang yang tadi bapak berikan. Sudah dibayar sama bapak yang satu itu tadi,” kata Mirah sambil mengembalikan uang yang tadi diberikan Handoko.”

Handoko menerimanya, wajahnya muram. Katanya baru ketemu beberapa hari tapi sudah begitu akrab.

“Bapak, anak kecil itu memanggil ibu sama ibuku.”

Handoko diam. Entah perasaan apa yang mengaduk aduk hatinya. Tapi Mirah menangkap sesuatu yang lain. Tuan gantengnya dilanda cemburu. Mirah hanya geleng-geleng kepala. Dua hati yang seharusnya bisa menyatu, mengapa begitu sulit?

***

Palupi belanja banyak sore itu, semua adalah keperluannya dalam mengayuh kehidupan barunya. Ia juga membeli telur, mentega, oh ya.. mie instan. Barangkali memasak sesuatu yang instan lebih mudah, Itupun Palupi belum mencobanya.

Tapi sesampai dirumah ia merasa badannya sakit semua.

“Aduuh, ternyata berat mengerjakan semua itu,”

Ia hanya meletakkan barang belanjaannya, lalu kembali terkapar diatas kasur yang belum juga sempat diberi alas.

Ada rasa sedih bergayut ketika Bintang mengharapkannya kembali.

“Huuh, kembali? Bapaknya saja enggan ketemu aku. Bapaknya tak lagi mengharapkan aku, nyatanya sudah siap menceraikan aku.”

Ia masih ingat ketika Handoko menatapnya. Palupi merasa betapa ganteng suaminya. Tapi tidak, Palupi tak ingin mempedulikan rasa yang tiba-tiba mengoyak batinnya.

“Ini perasaan  apa? Biarpun aku masih cinta sama dia, tapi kan dia tidak peduli sama aku, mana sudi aku datang berbaik-baik sama dia lalu mengemis cintanya. Ogaaah.”

Lalu kesalah pahaman itu semakin meruncing ketika keduanya merasa telah saling dikhianati.

***

Hari terus berjalan, dan Palupi tak juga menerima surat cerai yang dijanjikan Handoko. Palupi benar-benar menjalani kehidupannya yang baru. Membersihkan rumah, memasak mie instan rebus atau goreng dengan telur dan taburan bawang goreng. Lalu ia membaca-baca disebuah buku masakan. Mencoba semua masakan setelah menyiapkan bahan-bahannya.

“Hm, lumayan enak masakanku..” katanya ketika selesai memasak sup ayam. Ia memilih yang sederhana dulu.

Lalu ketika duduk sendirian, kesepian mulai merayapi diri.

Ia rindu Bintang, tapi ada lagi sebuah rindu yang dia tak ingin mengakuinya. Selalu ditepiskannya bayangan sang ganteng yang bertahun mendampingi hidupnya.

“Dia telah membuang aku. Memangnya aku sampah? Huhh. Tidak.. tidak.. tidak..” gumamnya sambil bersandar di kursi lalu memejamkan matanya. Sekuat tenaga ia berusaha mengusir bayangan suami ganteng yang telah menyia-nyiakannya.

***

Handoko tak bisa menenangkan pikiran.  Di belakang meja kerjanya ia duduk sambil berpangku tangan. Surat-surat yang bertebaran di meja belum dijamahnya. Bayangan laki-laki yang menyapanya dan memperkenalkan namanya itu selalu mengganggunya. Priyambodo, alangkah bagus namanya. Rasanya tak mungkin hanya berteman. Pasti lebih dari itu. Buktinya Palupi bisa dengan enteng meninggalkan rumah, dengan enteng dia menanggapi pernyataannya ketika sudah mempersiapkan surat cerai.

“Pasti karena laki-laki itu. Hm, nggak ganteng-ganteng amat sih, gantengan aku dong,” bisiknya sok yakin.

“Mungkin laki-laki itu pandai merayu. Palupi tertarik karena apa? Kayaknya bukan orang yang sangat kaya,  tapi anaknya lucu. Palupi sudah sangat dekat dengan anaknya. Apakah dia duda? Aduh.. harus kepada siapa aku bertanya?”

“Mas, kok belum diapa-apain sih ? Sudah mas baca belum?” tiba-tiba Danang muncul begitu saja.

“Oh ya, sebentar.”

“Mas masih memikirkan mbak Palupi? Kalau memang mas masih cinta ya susullah dia, ajak pulang, begitu saja kok repot.”

“Enak saja kamu ngomong.”

“Apa aku salah?”

“Entahlah, aku bingung.”

“Sebenarnya mas masih cinta kan?”

“Nggak tahu aku.”

“Sudah mas urus perceraian itu?”

“Belum.”

“Berarti mas masih berat memutuskan itu. Sudahlah mas, ajak mbak Palupi kembali, lalu mas bicara baik-baik. Siapa tahu setelah berpisah dalam beberapa hari ini dia sudah berubah karena rindu sama mas.”

“Rindu ?”

“Iya mas, coba saja telpon dia.”

“Ah.. kamu.”

“Kalau mas malu.. biar aku yang menemui dia dan bicara. Aku juga akan bertanya apa maunya dia, apa ingin memperbaiki rumah tangganya atau tidak. Dengan begitu akan jelas bagaimana isi hati masing-masing.”

“Apa kamu bisa, ngomongnya?”

“Ya bisa lah..ngomong saja kok nggak bisa.”

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya Widi.

“Wah, lagi kumpul nih.”

“Ngapain kamu kemari? Kangen sama aku? Kamu sendiri atau sama Tanti?”

“Iih.. pertanyaannya nggak mutu.”

“Ada apa Wid, jangan dengarkan omongan Danang.”

“Aku cuma mampir.”

“Mas Handoko lagi bicara tentang isterinya, dia kangen, tahu?”

“Wah, benarkah? Aku mau cerita nih, sebelum aku bicara tentang perlunya aku kemari.”

“Cerita apa?”

“Beberapa hari yang lalu aku melihat mbak Lupi.”

“Ya.? Ngomong apa dia?”

“Nggak ngomong apa-apa, aku cuma melihat, dia sedang bersama seorang laki-laki dan seorang anak kecil sebesar Bintang.”

Handoko terpaku. Baru saja dia memikirkannya. Lalu rasa kesal dan amarah mulai lagi membakar hatinya.

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15