SANG PUTRI 30

SANG PUTRI  30

(Tien Kumalasari)

 

“Wah.. kamu kok agak kurusan Pri..” kata Suprih menyambut kedatangan adiknya.

“Iya yu.. ya begini inilah, apa kabar yu?” kata Pri sambil mencium tangan mbakyunya.

“Nanda, beri salam sama bude.”

“Cah bagus, sebulan tidak ketemu kok sudah semakin besar keponakanku ini,” kata Suprih ketika Nanda mencium tangannya.

“mBak Tanti mana?” tanya Nanda.

“Tuh didalam, mana Tanti tadi... oo.. itu.. baru keluar..”

Tanti mencium tangan pakliknya dan mengangkat tubuh Nanda.

“Waah.. naik berapa kilo bobot kamu Nda..”

“Ayo masuklah.. sudah agak lama aku menunggu kamu. “

“Tanti yang memberi tahu kalau aku mau kesini ya yu?”

“Iya, kebetulan aku memang  mau pulang juga.”

“Iya, aku kangen sama yu Suprih.”

“Kan baru sebulan nggak ketemu? Lagian kamu kurusan sih Pri, barangkali kamu butuh seorang isteri.”

“Ah.. “

“Itu benar kan Pri, anakmu butuh seorang ibu. Lagian kasihan kalau kamu mengurus anak terus. Pekarjaan kamu bagaimana?”

“Sudah ada yang ngurusi yu. Mereka bisa dipercaya kok.”

“Tapi Nanda butuh ibu, Pri.”

“Iya, Pri tahu. Tapi mencari seseorang yang bisa menyayangi Nanda sepenuhnya itu kan tidak gampang yu.”

“Benar. Harus yang baik, dan terutama bisa menyayangi anakmu seperti anaknya sendiri.”

Pri menghela nafas panjang.

“Kamu seperti sedang memikirkan sesuatu. Ada apa?”

“Aku patah hati yu.”

Suprih tertawa.

“Patah hati? Kamu mencintai seseorang, tapi ditolak?”

“Dia amat sayang sama Nanda.”

“Lalu kenapa patah hati?”

“Dia.. punya suami..”

Suprih tertawa keras.

“Kamu itu aneh Pri. Jatuh cinta sama isteri orang. Bisa dipukulin orang kamu.”

“Aku pikir dia janda..”

Tawa Suprih bertambah keras.

“Ada-ada saja. Begini Pri, aku punya teman, cantik, baik hati, penyayang, pokoknya tidak ada celanya. Aku yakin dia bisa menjadi ibunya Nanda, yang tidak mengecewakan.”

“Mana yu? Kenalin dong yu.”

“Iya, nanti aku kenalin. Tapi begini Pri, karena mbakyumu ini pembantu, temannya mbakyumu itu juga pembantu.”

“O dia pembantu juga?”

“Pri. Apa jeleknya jadi pembantu. Dia perempuan yang baik. Dia juga cantik. mBakyumu ini juga selamanya menjadi pembantu, tapi bisa menyekolahkan keponakanmu itu sampai hampir jadi sarjana. Iya nggak?”

“Iya yu, mbakyuku memang hebat.”

“Jadi jangan melihat karena dia pembantu, lihat kebaikannya, keluhuran budinya. Benar Pri, menurut mbakyumu ini, dia hampir tidak ada cacat celanya.”

Tiba-tiba Pri teringat Mirah. Pembantunya Palupi itu juga cantik dan baik.

“Bagaimana Pri? Kalau kamu tertarik, kapan kamu akan kesini lagi, lalu aku juga akan mengajak dia, supaya kalian bisa ketemu. Aku yakin dia cocok untuk kamu.”

“Iya yu, bagi Pri, yang penting dia sayang sama Nanda.”

“Dia pasti bisa menyayangi anakmu. Anak majikannya juga anak kecil, dan dia momong dengan sangat telaten dan penuh kasih sayang.”

“Bagaimana kalau minggu depan yu?”

“Ya, nanti aku suruh Tanti mengabari kamu, kalau dia sudah ada waktu. Sayangnya ponsel mbakyumu ini tidak bisa untuk menyimpan foto atau mengirim foto. Cuma ponsel jadul, yang penting bisa untuk kabar-kabaran sama Tanti. Jadi nggak bisa menunjukkan foto-foto seperti ponselnya orang-orang yang punya duit. Kalau bisa pasti sudah aku foto dia lalu aku tunjukkan ke kamu.”

“Nggak apa-apa yu, nanti kan juga bisa ketemu. Semoga cocog. Maksudnya aku suka sama dia, dia juga suka sama aku. Belum tentu mau seorang gadis menikah sama duda.”

“Biar duda kan adikku ini ganteng.”

“Iya lah yu, siapa lagi yang memuji kalau bukan mbakyu.”

***

“Yu...  ayo kerumah ibu, tapi tanya dulu, Nanda disana apa tidak?”

“Lho, mas Bintang kan sudah dikasih tahu ibu, nggak boleh benci sama mas Nanda.”

“Iya, tapi tanyakan dulu.. cepat tilpon ibu.”

“Yu Mirah telpon, tapi mas Bintang yang ngomong ya.”

“Iya aku mau... aku mau..”

“Hallo Rah, Bintang mau kesini nggak?” tanya Palupi ketika Mirah sudah menelpon.

“Ibuuu...”

“Bintang?”

“Ibu, Bintang mau ke rumah ibu, ada Nanda nggak?”

“Nggak ada, memangnya kenapa?”

“Kalau Nanda nggak ada Bintang mau kesitu.”

“Bintang nggak boleh begitu ya. Nanda kan tidak salah apa-apa.”

“Mobil Bintang dibawa, dia nakal ibu.”

“Ini, ibu sudah beli yang baru untuk Bintang.”

“Benar?”

“Benar.”

“Yuuu.. ayo ke rumah ibu,” kata Bintang sambil mengembalikan ponsel Mirah.

“Yu Mirah nggak bisa, karena bu Suprih nggak ada. Tuh, siapa yang mau memasak dan bersih-bersih?”

“Aaaa.. yu Mirah..”

“Bilang sama bapak, biar bapak mengantar.”

“Bapaaak...” Bintang berlari mendekati bapaknya yang sedang membaca koran di teras.

 “Ya, Bintang.”

“Ayo kerumah ibu..”

“Apa?”

“Aku mau kesana, tapi yu Mirah nggak mau nganterin, katanya lagi masak sama bersih-bersih.”

“Nanti berantem lagi sama siapa itu.. teman kamu yang suka ke rumah ibu itu.”

“Aku sudah tilpon ibu, dia tidak ada. Ayo bapak.. anterin kesana.”

"Nungguin yu Mirah kalau sudah selesai.”

“Nggak mau.. ibu sudah beli mobil baru untuk Bintang. Ayooo bapak.”

“Benar, dia nggak ada?”

“Nggak ada, ibu sudah bilang nggak ada.”

Mirah senang bukan alang kepalang, karena akhirnya tuan gantengnya mau mengantarkan anaknya menemui Palupi. Sambil tersenyum-senyum ia meneruskan pekerjaannya yang sebenarnya tidak apa-apa juga kalau ditinggal mengantar Bintang. Ia hanya ingin tahu, maukah tuan gantengnya pergi kerumah isterinya.

***

Turun dari mobil Bintang menarik-narik tangan bapaknya agar berjalan cepat menuju rumah.

“Ayo bapak, jalannya kok pelan-pelan sih. Ibuuuuu...” teriak Bintang sebelum sampai ke depan rumah.

Pintu terbuka, Palupi berdiri disana. Ada serbet tersampir dipundaknya. Berari Palupi sedang ada didapur, atau sedang bersih-bersih rumah. Ada rasa senang dihati Handoko.

“Sama siapa?”

“Sama bapak..”

“Mana Mirah?”

“Yu Mirah lagi masak sama bersih-bersih rumah.”

Palupi membuka pintunya lebar. Ada debar keras di jantungnya ketika mata mereka bertatapan, tapi ia menampakkan wajah biasa-biasa saja. Handoko juga tak mengucapkan apa-apa, langsung duduk di kursi teras, sambil mengipas-ngipas wajah nya dengan tangannya. Udara memang panas, tapi keringat yang keluar bukan karena udara panas itu.

Palupi langsung mengajak Bintang kedalam rumah.

“Mana mobilnya?”

“Ada, sebentar ibu ambil, tapi bermain sendiri ya, ibu masih didapur,” kata Palupi yang didengar oleh Handoko.

“Dia sudah berubah,” kata batin Handoko.

Lalu ia mereka-reka kata-kata apa yang akan diucapkannya nanti setelah bertatap muka. Aduhai, memangnya baru mau menyatakan cinta?

“Mengapa ini tidak dilakukannya sejak awal? Sungguh hanya ini yang aku inginkan. Berdampingan dengan isteri yang pintar mengurus rumah tangga,” desisnya lirih. Tak ada yang mendengar karena tak ada orang lain disitu.

Handoko menatap kesekeliling. Meja kursi tampak bersih. Diatas meja sekarang ada vas bunga dengan mawar-mawar cantik tertata rapi. Ada harum yang samar tercium dari bunga-bunga itu. Handoko merasa nyaman. Didepan, dihalaman yang hanya secuil itu juga tampak pot-pot ditata rapi, dengan tanaman hias yang menawan.

“Dia memang perempuan,” desisnya lagi.

Gerah yang tadi dirasakan berubah menjadi nyaman yang menenangkan.

Tiba-tiba Palupi muncul dengan membawa segelas coklat susu.  Kali ini dengan es batu didalamnya. Handoko menelan ludahnya. Begitu dekat Palupi ketika meletakkan gelas itu dengan dirinya. Ada keinginan memeluknya, tapi diurungkannya. Biar sedang bekerja, tapi wangi perempuan menyeruak dan menggelitik hidungnya.

“Silahkan diminum..” hanya itu yang diucapkan Palupi, lalu melenggang pergi ke belakang.

“Terimakasih..” hanya itu juga yang diucapkan Handoko, sambil menatap punggung cantik berbalut daster batik yang ia ingat dulu dia yang membelikannya.

Handoko mengambil gelas berisi minuman kesukaannya, dan menghirupnya sambil mengatupkan matanya, membayangkan jemari lentik yang dulu sering mengacak-acak rambutnya sa’at sedang gemesss,  yang tadi mengaduk-aduk coklat susunya, seperti sekarang juga sedang mengaduk-aduk batinnya.

Sungguh terasa aneh, ketika sepasang suami isteri saling menyimpan rasa dan mengendapkannya tanpa segera mengungkapkannya. Masing-masing merasa ragu dan bimbang. Saling mempertanyakan apakah dia masih mencintai aku?

Harum masakan dari dapur menyeruak melalui pintu, menebar diseluruh penjuru teras itu, mengusik hidungnya dan meremas perutnya yang memang sedang lapar. Ini benar-benar perempuan yang melakukannya. Handoko memejamkan matanya. Membayangkan kehidupan berumah tangga seperti yang selalu diimpikannya.

Palupi juga tak segera keluar menemui suaminya. Sepertinya juga menahan diri entah karena apa. Mungkin malu, mungkin masih kesal. Entahlah.

***

“Bapaak..” tiba-tiba Nanda yang tadinya asyik bermain dengan Tanti, mendekati bapaknya.

“Ada apa? Seneng ya, main sama mbak Tanti?”

“Kita nanti kerumah ibu kan?”

“Lho, kan sudah main sama mbak Tanti.”

“Nggak asyik.. maunya sama ibu.”

“Aduuh..”

“Siapa itu Pri?” tanya Suprih.

“Ya itulah yu, yang aku bilang dekat sekali sama Nanda. Aku bingung.”

“Kamu bingung karena rengekan Nanda atau bingung karena cinta nggak kesampaian?” goda Suprih.

“Dua-duanya yu,” kata Pri lalu memeletkan lidahnya.

“Kamu tuh. Tahan perasaan yang salah. Nanti kamu terjerumus dan kesakitan sendiri.”

“Iya yu, aku tahu. Sebenarnya aku sudah enggan mengajak Nanda kesana, tapi Nanda sering rewel.”

“Makanya, segera cari isteri, supaya anak kamu tidak lagi mencari ibu yang lain. Bisa repot kalau keterusan.”

“Semoga segera mendapat yang cocog yu.”

“Itu nanti, yang aku bilang tadi, kamu pasti suka. mBakyumu tidak akan membuat kamu terus menderita. Lihat badanmu, semakin kurus seperti itu. Harus segera ada yang merawat kamu Pri, jangan terus-terusan sendiri.”

“Iya yu. Do’akan ya.”

“Bapaaak...” ternyata Nanda masih menunggu kesanggupan bapaknya untuk mengantarnya kerumah Palupi.

“Eh.. apa tadi nak?”

“Kerumah ibu.”

“O.. iya.. iya.. sebentar ya..”

“Kamu mau mengantarnya kesana Pri?”

“Biar tidak rewel, akan Pri tinggalkan saja Nanda disana. Nanti Pri jemput.”

“Hati-hati Pri, kamu harus bisa menghilangkan perasaan yang tidak semestinya.”

“Iya yu, pasti.”

***

Bu Ismoyo senang karena Danang benar-benar sudah berubah. Tak pernah lagi keluyuran malam, sepulang kerja juga langsung istirahat dirumah.

“Nang, hari Minggu kok dirumah saja?”

“Ibu nih, nanti kalau Danang ngelayap ibu ribut memarahi Danang.”

"Memangnya kamu benar-benar sudah bertobat?”

“Ibu, kan Danang sudah hampir punya calon isteri?”

“O.. ya, kamu serius nih?”

“Yang Danang pernah bilang itu.”

“Temannya Widi?”

“Iya bu, oh Danang belum bilang ya sama ibu? Dia sekarang bekerja dikantor kita.”

“Bekerja? Bukannya dia masih kuliah?”

“Sudah hampir selesai bu, skripsi juga rampung, bulan depan mau ujian katanya. Setelah itu Danang mau ngelamar dia.”

“Syukurlah. Tapi ibu berharap pilihanmu tidak salah.”

“Nanti kalau dia sudah mau, akan Danang ajak untuk ketemu ibu.”

“Bagus Nang, ibu kan juga ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi mengapa kamu bilang ‘kalau mau’?

“Karena dia belum mengatakan bagaimana perasaan dia sama Danang bu.”

“Lho, jadi cinta kamu itu belum berbalas?”

“Belum bu..”

“Ya ampuun.. “

“Bu, ibu perlu tahu, ibunya seorang pembantu rumah tangga.”

“Pembantu? Jadi gadis itu anak seorang pembantu?”

“Pembantu yang luar biasa bukan bu? Buktinya bisa menyekolahkan anaknya sampai tamat kuliah.”

“Iya sih..”

“Apa ibu keberatan? Dia juga belum menjawab, menyuruh Danang agar memikirkannya. Dia takut Danang kecewa nantinya, karena dia merasa rendah sebagai anak seorang pembantu.”

“Apakah gadis itu baik?”

“Nanti ibu akan mengenalnya. Sayangnya dia belum mau menjawab. Mungkin masih meragukan perasaan Danang.”

“Kamu benar-benar jatuh cinta sama dia?”

“Iya bu, dia gadis sederhana tapi cantik. Dikantor dia sangat cerdas, bisa mengerjakan semua tugas dengan baik biarpun tidak pernah bekerja sebelumnya.”

“Dia bukan gadis yang gila harta. Buktinya dia tidak begitu saja menerima pernyataan cinta Danang karena merasa menjadi orang tak punya.”

“Baiklah, kita lihat saja nanti.”

“Maksudnya ibu mau menerima kan?”

“Kita lihat nanti. Apakah dia benar-benar baik atau hanya pura-pura baik.”

***

“Ibu.. aku lapar..” kata Bintang tiba-tiba.

“Oh ya, baiklah, ibu sudah siapkan semuanya. Mau makan sekarang?”

“Iya bu, apakah ada ayam goreng?”

“Ada. Selalu ada. Tapi ibu mau tanya dulu, ayam gorengnya ibu sama ayam gorengnya yu Mirah, mana yang lebih enak?”

“Enak semua kok.”

“Enak semua?”

“Sama enaknya, Bintang suka.”

“Baiklah, terimakasih sayang.”

“Bapak makan juga kan?”

“Oh ya, Bintang bilang saja sama bapak. Mau makan tidak?”

Bintang berlari kedepan, tapi dilihatnya bapaknya tertidur dengan bersandar pada kursi. Ia tak menjawab ketika Bintang mengajaknya bicara.

“Bapak tidur..” gumamnya, lalu berlari kebelakang.

“Ibu.. bapak tidur, Bintang nggak berani . Biasanya kalau bapak tidur Bintang dilarang mengganggu, nanti yu Mirah memarahi Bintang."

“Oh, baiklah. Bintang saja makan dulu ya, ayo cuci tangannya dan duduk disana.”

“Ibu jangan bangunkan bapak. Kasihan, bapak pasti lelah.”

“Ya..ya, ibu tahu..” kata Palupi yang kemudian berindap-indap kearah teras. Dilihatnya suaminya tertidur dengan kepala bersandar di sandaran kursi.  Kedua kakinya diselonjorkan. Tampak nyenyak sekali. Palupi mendekat,  ditatapnya wajah tampan yang sedang terlelap.  Palupi teringat, dulu kalau suaminya tidur lebih dulu, dia pasti mengusiknya dengan mengutik-utik kupingnya, atau hidungnya. Sekarang, tiba-tiba keinginan itu  muncul.  Sudah diangkatnya tangannya dengan tersenyum, tapi mengapa ya tangannya gemetar.  Dan ketika itu tiba-tiba Handoko membuka matanya, melihat tangan Palupi dekat sekali dengan wajahnya.

“Ada apa?”

Palupi sangat terkejut.

“Ada.. ada.. ada.. nyamuk..”

***

Besok lagi ya




 

Comments

Popular posts from this blog

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15