SANG PUTRI 31

SANG PUTRI  31

(Tien Kumalasari)

 

“Nyamuk?” Handoko mengelus pipinya, sementara Palupi segera membalikkan tubuhnya dan beranjak ke belakang dengan perasaan tak menentu.

“Bodoh.. bodoh.. bodoh. Apa yang aku lakukan? Benar-benar tak tahu malu,” gumam Palupi dalam hati.

“Ibu...” tiba-tiba Bintang berteriak.

Palupi bergegas ke ruang makan, lupa kalau meninggalkan Bintang di sana.

“Ya, Bintang.. sudah bisa mengambil sendiri?”

“Tidak bisa bu..”

“Oh , iya.. ma’af ibu lupa. Tapi sekarang tolong Bintang ke depan sebentar. Bapak sudah bangun, barangkali mau makan juga bersama Bintang.”

Bintang merosot turun dari kursinya, berlari ke depan. Dilihatnya bapaknya sedang duduk termangu.

“Bapaaak... ayo makan..”

Handoko menoleh ke arah Bintang, lalu merasa bahwa memang perutnya lapar. Tapi dia kesal mengapa Palupi tidak menawarkannya sendiri.

“Bapaaak...”

“Iya, sebentar.. mana ibu?”

Bintang lari lagi ke dalam..

“Ibu... dipanggil bapak.”

Mata Palupi membulat..

“Apa?”

“Ibu kesana dulu...”

Palupi melangkah keluar.

Tapi dilihatnya Handoko memejamkan matanya kembali seperti posisinya ketika tidur. Palupi mendekat.

“Nggak ada nyamuk ya?” desis Handoko pelan.

Palupi merengut, merasa bahwa Handoko kembali mengejeknya.

“Ditunggu Bintang untuk makan,” katanya singkat, lalu ingin membalikkan tubuhnya, tapi tiba-tiba Handoko memegangi sebelah tangannya, membuat Palupi berhenti melangkah. Tapi dia tak berusaha melepaskan pegangan itu. Dibiarkannya darah mengalir semakin cepat dan membuatnya gemetar.

Handoko menariknya sehingga Palupi jatuh ke pangkuannya.

“Kenapa nggak ada lagi nyamuk diwajahku?” bisik Handoko di telinga Palupi.

“Ibuuu...” teriakan itu mengejutkan mereka berdua. Nanda tiba-tiba muncul diiringi bapaknya.

Handoko membiarkan Palupi berdiri tiba-tiba, lalu dilihatnya Pri yang tampak sungkan.

“Ma’af, saya hanya mengantarkan Nanda.

“Nanda.. sini.. ada mas  Bintang di dalam,” kata Palupi yang tak tahu harus bilang apa.

“Ma’af merepotkan, bolehkan saya tinggalkan Nanda disini? Nanti saya menjemputnya.”

“Ya.. ya, nggak apa-apa.”

Palupi masih berdiri sampai Pri menghilang dibalik pagar.

“Menyesal ya, dia pergi begitu saja?” kata Handoko tiba-tiba.

Tapi Palupi menjawabnya sambil merengut.

“Iya lah, menyesal,”  katanya lalu melangkah pergi. Tapi tiba-tiba Handoko berdiri dan mengejarnya, kemudian memeluknya dari belakang.

“Eeiih..” Palupi berteriak kaget.

“Kenapa? Bukankah aku lebih ganteng?” bisiknya ditelinga Palupi.

“Ada anak kecil nih,” kata Palupi yang masih menggandeng Nanda di tangan kirinya.

“Ibuuu...” teriak Bintang lagi.

“Iya.. iya.. Adduh.. “ pekik Palupi karena Handoko tak mau melepaskannya.

“Ibuuu...”

“Ada mas Bintang?”

“Iya sayang, ayo makan sama-sama mas Bintang,” kata Palupi sambil berjalan sementara Handoko masih memegangi pundaknya.

“Nanda sudah makan..”

“Aduuh.. kok ada dia,” sungut Bintang yang sudah memegangi paha ayam goreng.

“Tidak apa-apa, nanti main bersama ya.”

“Sembunyikan mobil Bintang bu..”

“Iya.. aduh, mengapa anak ibu pelit sekali ya?”

Handoko melepaskan tangannya dari pundak isterinya, lalu duduk disamping Bintang.

“Bapak..  ayo makan,” kata Bintang tanpa mengacuhkan Nanda.

“Nanda, benar nggak mau makan?”

“Sudah makan dirumah bude.”

“Ooh, tadi dari rumah bude ya. Kalau begitu Nanda main sendiri dulu ya, mas Bintang baru makan tuh.”

“Jangan dikasih mobilnya Bintang bu,” kata Bintang yang khawatir Nanda akan mengambilnya lagi.

“Tidak, lihat.. Nanda sudah membawa mobil sendiri, ya kan Nanda?”

***

“Lho, bu Suprih kok pulang? Katanya mau nginep?” tanya Mirah ketika menjelang sore ternyata Suprih kembali.

“Tidak nak, kasihan nak Mirah .. momong sambil ngurus rumah.”

“Nggak apa-apa bu.. kan tidak setiap hari?”

“Lha mana mas Bintang? Kok nggak kelihatan?”

“Lagi kerumah ibu.”

“Sama bapak?”

“Iya, sama bapak..”

“Tumben...”

“Sengaja bu, aku pura-pura sibuk, biar bapak yang mengantar,  “ kata Mirah sambil tersenyum.

“Bagus nak.. seneng saya kalau mereka bersatu lagi. Nyatanya sampai sore belum pulang, pasti asyik nih disana.”

“Itu harapan saya bu. Semoga bapak kerasan disana, lalu mereka mau ber baikan..”

"Hidup berumah tangga terkadang rumit ya nak, kalau tidak ada saling pengertian, kalau ada masalah harus salah satu mau mengalah.”

“Iya ya bu. Tapi nggak tahulah.. kan saya belum pernah menikah.”

“Nah, menurut aku nak Mirah itu sudah waktunya menikah..”

“Ah.. bu Suprih ini...”

“Lha mau nunggu sampai kapan. Jangan sampai dikatain orang perawan tua lho.”

Mirah tertawa geli.

“Itu benar lho nak. Nanti saya akan carikan jodoh yang baik untuk nak Mirah.”

“Bener ya bu.. yang ganteng.. yang baik hati..” kata Mirah sambil tertawa.

“Yang penting baik hati, bisa mengasihi dan melindungi. Ya kan nak?”

“Jangan dicarikan perjaka tua ya bu?” kata Mirah bercanda.

“Kalau duda muda mau nggak?”

Mirah tertawa semakin keras.

“Bu Suprih ini datang-datang malah menggoda saya.”

“Lha nak Mirah kan memang sudah sa’atnya berumah tangga.. pokoknya nanti akan aku carikan.”

“Iya bu.. siaaap..”

“Tadi masak apa nak?”

“Masak gudeg bu, tapi ya belum ada yang makan, ayo makan bu, saya dari siang juga belum makan.”

“Lha.. saya sudah makan di rumah tadi. Nak Mirah kok nggak makan. Nanti perutnya sakit lho. Makan gih, biar aku temani sambil ngobrol.”

“Iya bu, ngobrol tentang cowok ganteng buat aku ya..” canda Mirah.

“Ganteng dan baik hati.”

“Bu Suprih bersemangat sekali, tampaknya tadi ketemu cowok ganteng ya bu?”

“Iya, ketemu, lalu teringat sama kamu nak.”

Mirah tertawa sambil menyiapkan makan untuk dirinya.

“Ayo bu, biar sedikit nggak apa-apa, pokoknya ada temannya makan.”

“Baiklah, sedikit saja ya.”

***

“Kapan kamu ujian?”

“Bulan depan, do’akan ya.”

“Iya lah, pasti aku do’akan. Dan setelah itu aku akan melamar kamu.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Bukankah sesungguhnya juga menyenangkan? Bahkan membahagiakan? Widi, sudah lama aku menunggumu. Aku sudah jadi bujang lapuk nih.”

Sepasang muda mudi yang duduk sambil menikmati es degan disebuah warung itu tampak berbincang dengan mesra.

“Tidak apa-apa kalau bujang lapuk, aku mau kok.”

“Iya aku tahu, yang tidak mau adalah bapak. Kenapa ya, aku merasa tak pernah menyakiti siapapun, atau berperilaku buruk, tapi bapak sangat membenci aku.”

“Mungkin tidak membenci, tapi menunggu waktu yang baik.”

“Bukankah aku pernah kerumah lalu bapak mengusir aku dengan keras? Bapak mengatakan bahwa tak ingin aku mengganggu kamu?”

“Benar, tapi kan semuanya belum jelas.”

“Kamu sendiri mengatakan bahwa bapak sama sekali tak peduli ketika kamu membicarakan aku.”

“Iya sih mas, aku sebenarnya juga bingung. Tapi aku sudah minta tolong mas Handoko agar berbicara dengan bapak. Sayangnya mas Handoko sedang kacau memikirkan isterinya, jadi aku tak berani mengingatkannya.”

“Nanti, begitu kamu lulus, harus ada jawaban yang pasti. Aku ingin menghadiri sa’at kamu wisuda nanti.”

“Iya mas. Semoga. Besok aku mau kerumah mas Handoko, melihat bagaimana keadaannya. Apakah dia jadi bercerai? Sayang sekali kalau itu terjadi. Aku juga sudah lama tidak kesana, ya.. sejak aku sibuk mempersiapkan skripsi itu.”

“Ya sudah, aku sabar kok. Kapanpun aku akan menunggu. Tapi kalau terpaksa belum ada jawaban juga, aku akan nekat menemui bapak kamu dan mempertanyakan mengapa dia seperti membenci aku.”

“Iya mas, semoga semuanya berjalan baik.”

“Tapi jangan-jangan kamu sudah dijodohkan oleh bapak?”

“Apa? Dijodohkan? Ya enggaklah, kalau dijodohkan pasti bapak bilang terus terang.”

“Semoga memang tidak. Ayo, sekarang aku antar kamu kemana?”

“Aku janji hari Minggu ini mau kerumah Tanti.”

“Baiklah, aku antar kesana sekarang, atau masih mau jalan-jalan?”

“Ya enggak mas, sudah seharian kita jalan, kasihan nanti mas Ryan capek.”

“Enggak sih kalau capek. Cuma nanti kalau kelamaan bapak kamu marah.”

“Iya mas, nanti aku ke rumah Tanti juga cuma sebentar saja. Mau mengembalikan buku-buku juga.”

***

“Ibu... aku mau bobuk.” Kata Bintang yang sehabis makan lalu merasa ngantuk.

“Oh, baiklah.. ayo cuci kaki tangan dulu baru bobuk ya.”

Palupi membersihkan kaki tangan Bintang dikamar mandi dan menyuruhnya pipis. Sekarang Palupi tidak lagi merasa kikuk ketika melayani Bintang untuk apapun.  Hari-hari yang dilaluinya adalah belajar menjalani hidup yang semestinya. Ternyata Palupi melakukannya dengan bersemangat. Alangkah senangnya kalau memasak lalu semua mengatakan enak, alangkah senangnya kalau rumah tampak bersih dan rapi oleh tangannya sendiri. Alangkah senangnya menanam bunga dan tanaman lain dikebunnya yang kecil.

“Aku terlambat melakukannya? Tidak.. barangkali semuanya harus melalui sebuah jalan yang aku tidak mengerti sebelumnya. Keadaan yang menyuruhku belajar. Ini sungguh  nikmat,” bisik hatinya berkali-kali.

Melewati ruang makan yang sudah dibersihkannya, Palupi masih melihat Handoko duduk disana. Ia langsung masuk kekamarnya, dan menemani Bintang tidur.

Meninggalkan Bintang dikamar, ia masih melihat Handoko duduk diruang makan. Palupi bingung mau ngomong apa, karena sedari tadi hanya diam dan saling tatap dengan tatapan yang membuatnya berdebar.

Tapi kemudian Palupi ingat bahwa dia ingin menanyakan sesuatu. Lalu dia mendekat dan duduk didepannya.

“Ada yang ingin aku tanyakan,” katanya lirih.

“Oh ya, aku juga ingin menanyakan tentang nyamuk itu,” seloroh Handoko.

Palupi menahan senyumnya. Tapi bibir yang tertarik kesamping sedikit itu tampak menggemaskan.  Kalau saja itu makanan, maka Handoko ingin menelannya bulat-bulat. Aduhai.

“Baiklah, mau menanyakan apa?”

“Mana surat cerai itu?” tanya Palupi singkat.

“Ooww.. surat cerai. Belum sampai ya? Heran, pak posnya nyasar kemana ya? Lain kali kamu harus share lok lalu kamu kirimkan kepada pak pos.”

“Aku serius.”

“Serius minta cerai?”

Kali ini Palupi tak bisa menjawabnya. Benarkah dia minta cerai? Dia hanya memancing kepastian dari Handoko tentang hubungan rumah tangga ini.

“Jawab ibu..” katanya lembut, sambil menatap Palupi dengan mata setengah disipitkan. Tatapan itu membuat Palupi hampir pingsan.

“Ibu,,,” ulangnya, selembut mega menari diantara langit biru.

“Bukankah kamu yang ingin ?”

“Apakah kamu juga ingin ?”

“Apa?”

“Lhaa.. kok malah nanya. Tadi tuh topiknya apa sih?”

“Dulu kamu bilang mau menceraikan aku, dan sudah menyiapkan surat cerai bukan?”

“Jadi kamu menunggu. Senang ya kalau bercerai dari aku?”

Palupi terdiam, kesal dengan jawaban suaminya yang tak jelas. Berputar-putar seperti gasing.

“Pertanyaanku sederhana, mengapa jawabmu berputar-putar?”

“Baiklah, aku akan jawab sendiri. Kamu tidak ingin bercerai karena kamu masih mencintai aku, bukankah begitu?” Handoko langsung menembaknya tanpa berputar-putar lagi. Gemes lama-lama menatap wajah berkilat karena keringat itu, tapi justru membuat kecantikannya yang asli tampak nyata.

Palupi benar-benar kelimpungan. Mau membantah, nyatanya iya, mau mengiyakan.. kok ya malu. Aduh, mengapa sama suami sendiri malu?”

“Jangan membantah. Kalau cinta bilang saja cinta. Aku juga tidak membantah, bahwa aku juga masih mencintai kamu kok.”

Itu pernyataan yang tidak diduganya. Handoko sudah mengatakannya.

“Mengapa kalau cinta kamu ingin menceraikan aku?”

“Habisnya kamu nggemesin,” kata Handoko seenaknya..  lalu berdiri dan mendekati Palupi, menariknya dan memeluknya erat.

“Bukankah aku ganteng? Apa kamu lebih suka kepada bapaknya Nanda?” bisiknya ditelinga Palupi yang tak berdaya dalam dekapan Handoko.

Tapi kata Nanda itu tiba-tiba menyadarkan Palupi pada Nanda yang tadi disuruhnya bermain sendiri. Astaga, sudah lama, bahkan ketika menidurkan Bintang Palupi juga tak mengingatnya.

Bergegas Palupi berlari kedepan, diikuti Handoko.

“Nanda...! Nanda..” teriak Palupi. Lalu ia berlari ke teras, melongok ke halaman, tapi anak itu tak ditemukannya.

“Nandaa... dia tak ada?”

“Aduh, kemana dia?” Handoko juga ikut bingung. Keduanya panik. Lalu Handoko berlari kearah mobil, barangkali Nanda bermain disekitar mobil. Tapi tak ada.

“Nandaaa... Nandaaa! Keduanya berteriak bingung.

Palupi lari ke pinggir jalan sambil berteriak tak henti-hentinya.

“Ayo naik mobil, kita cari dia,” kata Handoko.

Kemesraan yang hampir dibangunnya buyar bagai tertiup badai.

“Tapi Bintang masih tidur, kalau bangun bagaimana?”

“Kita gendong Bintang, biar melanjutkan tidurnya di mobil.”

***

Handoko mengemudikan mobilnya pelan, sambil matanya menatap ke kiri dan ke kanan jalan. Kepanikan melanda hati keduanya.

“Mengapa aku melupakannya? Sungguh aku menyesal.. lupa bahwa ada dia. Bintang juga tak ingat mengajaknya bermain.”

“Karena begitu selesai makan Bintang merasa ngantuk dan minta tidur.”

Handoko terus menjalankan mobilnya, bahkan menyusuri jalan-jalan kecil. Dipandanginya setiap anak yang ada dipinggir jalan, bahkan peminta-minta yang masih bocah.

***

Anak kecil itu melangkah tak tentu arah. Ada rasa kecewa ketika ia merasa dikesampingkan. Anak kecil itu adalah Nanda.yang merasa tak ada yang peduli ketika dia bermain sendiri,  ada sedih ketika Bintang menampakkan wajah tak suka padanya. Sekecil apapun dia punya perasaan. Dia bukan siapa-siapa dirumah itu. Dia hanya orang yang ingin menemukan sosok ibu, dan sosok itu ada pada Palupi, ibunya Bintang, yang tak rela berbagi cinta dengan dirinya.

Tapi kemana dia akan pergi? Ia tak tahu jalan. Lama-lama dia menangis.

“Bapaaak... bapaaak..”

Bocah berumur empat tahu itu terus melangkah sambil menangis. Lalu sebuah mobil berhenti. Seorang laki-laki turun, dan menggendongnya sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu ketika melihat tak seorangpun mengenali bocah itu, ia membawanya ke dalam mobil dan berlalu.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15