SANG PUTRI 24

 

SANG PUTRI  24

(Tien Kumalasari)

 

“Widi, kamu jangan memanas-manasi hati mas Handoko, dia sudah mau baikan sama isterinya,” tegur Danang.

“Aku tidak memanas-manasi..”

“Iya itu benar,” kata Handoko lemah.

“Benar bagaimana sih mas?” tanya Danang.

“Aku juga melihatnya, seorang laki-laki dan anak kecil..bersama dia. “

“Tuh kan..” sela Widi.

“Siapa tahu cuma kebetulan.”

“Kebetulan sampai dua kali, dan mungkin beberapa kali lagi yang kita tidak tahu.”

“Tapi ada baiknya di konfirmasi dulu mas, jangan lalu kita menduga-duga.”

“Semuanya sudah jelas bagi aku. Bukan apa yang aku lihat, tapi juga apa yang aku rasakan tentang sikap dia.”

“Nanti aku akan bicara sama dia mas..”

“Jangan, tidak usah Nang.”

“Mas Bagaimana sih? Kalau tidak bertemu langsung semuanya tidak akan jelas.”

“Semua sudah jelas buat aku Nang.  Dari yang aku lihat, dan dari yang aku rasakan atas sikapnya ketika aku bicara. Tak ada nada keberatan. Dia dengan enteng menerimanya.”

“Tapi kan...”

"Tidak Nang, jangan bicara apapun sama dia. Sekarang aku mau tanya sama Widi, tadi bilang katanya ada perlu.”

“Ini mas, mau ngomong tentang Tanti..”

“Oh, itu sama aku saja.. minta dilamar?”

“Ish.. mas Danang nih.”

“Biarin aja dia, kenapa Tanti?”

“Dia butuh pekerjaan. Bisakah mas menerima bekerja disini?”

“Bisa.. bisa...” kata Danang cepat.

“Danang,,,”

“Iya mas, dibagian gudang kurang orang. Bener nih.”

“Bukankah Tanti masih kuliah ?”

“Ini sedang mengerjakan skripsi bareng-bareng sih sama aku. Tapi dia butuh biaya, sedangkan dia tak sampai hati minta kepada ibunya. Malah nanti kalau dia sudah bekerja, dia akan melarang ibunya bekerja.”

“Begitu ya. Bagaimana Nang? Jangan asal kamu suka ya.”

“Tidak mas, ini bener, aku juga sudah mau bilang sama mas.”

“Baiklah Widi, bilang sama Tanti suruh buat lamarannya.”

“Terimakasih banyak ya mas. Sekarang aku pamit dulu, sudah ditungguin bapak,” kata Widi sambil berdiri.

“Heii. Nanti ketemu sama aku ya?”

Widi menoleh sambil meleletkan lidahnya.

***

“Bapak, nanti aku mau ketemu ibu. Boleh kan?” tanya Bintang pada suatu pagi sebelum bapaknya berangkat ke kantor.

“Dimana ?”

“Nanti mau menelpon dulu.”

“Sama siapa ?”

“Sama yu Mirah.”

“Terserah kamu saja, nggak boleh nakal ya?”

“Tidak bapak. Bapak mau ikut nggak?”

“Bapak kan bekerja, Bintang.”

“Oh iya..”

“Nanti aku bilang ibu kalau bapak kerja.”

Setelah Handoko dijemput Danang, Bintang segera meminta agar Mirah menelponkan ibunya.

“Mirah ?” kata Palupi ketika panggilan tersambung.

“Ya ibu, mas Bintang ingin ketemu ibu. Ibu dimana ?”

“Baiklah, datang saja kerumah, aku tuliskan alamatnya. Tapi Rah, kalau ada carikan tukang pijit dong.”

"Tukang pijit?"

“Iya, tukang pijit, badanku sakit semua nih.”

“Oh, baiklah,  Nanti Mirah carikan sekalian.”

“Jam berapa mau kesini?”

“Sebentar lagi, mas Bintang belum mandi.”

“Ya, Rah, aku tunggu. Ini aku tulis alamatnya, jangan lupa bawa tukang pijitnya ya.”

“Baik bu, saya mandikan mas Bintang dulu.”

Bintang begitu gembira,  dengan bersemangat lari ke kamar mandi.

“Bu Suprih, nanti bu Suprih masak nggak apa-apa kan? Bumbunya sudah saya siapkan semua.”

“Iya nak, biar aku yang masak. Nak Mirah mau kemana?”

“Ini, mas Bintang mau ketemu ibunya.”

“Aduuh, bagaimana .. kok bisa seperti ini.”

“Berkali-kali saya minta kembali, sepertinya belum mau, nanti saya akan merayunya lagi bu. Tapi ya mana didengarkan, saya kan hanya pembantu.”

“Ya sudah nak, tinggalkan saja, itu mas Bintang sudah menunggu dikamar mandi.”

“Iya bu. Ma’af ya bu, kalau mas Bintang rewel jadi bu Suprih ikut repot.”

“Lho, memangnya kenapa, ini kan juga pekerjaanku nak. Kalau nggak ada pekerjaan aku juga susah, masih harus membiayai anak kuliah.”

“Iya bu, semoga kuliahnya cepet selesai, sehingga bu Suprih tidak harus memikirkannya.”

“Aamiin, ya sudah nak, tuh .. sebentar lagi pasti mas  Bintang berteriak-teriak.”

***

Dengan taksi Mirah segera menemukan alamat yang dituliskan Palupi. Mirah menggandeng Bintang sambil mengamati halaman kecil didepan rumah yang juga kecil.

“Benarkah ini rumahnya ?” gumam Mirah.

“Apakah ibu ada disitu?” tanya Bintang.

“Alamatnya ini tuh mas.”

“Ibuuuu...” tiba-tiba Bintang berteriak sambil berlari.

Mirah mengejarnya.

“Mas Bintang, jangan dulu, nanti kalau salah bagaimana?” Tapi Bintang sudah sampai didepan pintu, dan memukul-mukul daun pintu dengan tangan kecilnya.

“Ibuuu...”

“Eh, sebentar mas, takutnya keliru.”

Lalu Mirah mengetuk pelan pintu itu.

“Ibuuuu..” Bintang nekat berteriak.

Tak lama terdengar langkah mendekat, lalu pintu terbuka. Bintang berjingkrak melihat ibunya.

“Bintang..” Palupi memeluk erat anaknya.

“Syukurlah tidak keliru,” kata Mirah.

“Kamu heran aku tinggal dirumah sederhana ini?” tanya Palupi sambil menggandeng Bintang masuk kerumah. Mirah mengikutinya sambil melihat-lihat ke sekeliling ruangan.

Diluar ada teras kecil dengan dua kursi dan satu meja kecil. Ada vas bunga yang tidak terisi bunga. Didalam ruangan ada meja kursi tamu yang terbuat dari kayu. Tak ada hiasan apapun diruangan itu. Tapi ada foto Bintang dipajang diatas meja kecil yang ada disudut ruangan.

“Duduklah dulu Rah.”

Mirah masih mengawasi kesekeliling ruangan. Biarpun sederhana tapi semuanya tampak bersih. Ada televisi ukuran 21 inc yang tidak menyala.

“Ada pembantu disini bu?” tanya Mirah.

“Tidak.”

“Siapa yang bersih-bersih?”

“Aku sendiri Rah,” kata Palupi sambil mengeluarkan dua botol minuman teh dingin dari dalam kulkas. Dibalik ruang tamu itu tampaknya ruang makan. Sempit, tapi ada empat kursi dan meja makan yang tidak begitu besar, hampir berhimpitan dengan kulkas kecil disudutnya.

Mirah menerima minuman itu lalu diletakkannya dimeja tamu. Masih terpikir olehnya dengan penuh keheranan ketika mendengar sang ndara putri bersih-bersih rumah sendiri.

“Ibu sedang apa tadi?”

“Aku lagi masak Rah,” kata Palupi sambil melangkah kedapur. Mirah juga mengikutinya dengan keheranan yang lebih besar. Ndara putri masak? Mirah melongok keatas kompor yang menyala. Ada panci tertumpang diatasnya, hampir mendidih. Seperti bau sup.

“Masak apa bu?”

Palupi tertawa.

“Aku baru bisa masak sup Rah. Kemarin sup ayam.. ini sup daging. Biasanya aku cuma membuat mie goreng atau mie rebus instan, aku tambahin telur.”

Mirah tersenyum.

“Ibu hebat.”

“Ternyata ini pekerjaan berat bagi aku Rah. Oh ya, mana tukang pijit?”

“Ini tukang pijitnya bu,” kata Mirah sambil menunjuk kearah dirinya sendiri.”

“Kamu?”

“Iya bu, kan saya juga biasa mijitin ibu?”

“Ibuuu... nyalain tivi nya..” tiba-tiba Bintang berteriak.

“Oh ya, baiklah.”

“Biar saya saja bu,” kata Mirah sambil berjalan ke arah ruang tamu, kemudian menyalakan televisinya.

“Ini remote nya mas Bintang, cari sendiri acaranya.”

“Rumah ini kecil sekali.”

“Iya, tapi bagus kan?”

Lalu Mirah kembali ke dapur. Dilihatnya Palupi sedang mengaduk sayurnya, lalu mencicipinya.

“Coba Rah, cicipin..”

Mirah mendekat, mengambil sedikit sayur diteteskan ke telapak tangan lalu dicecapnya.

“Sepertinya harus ditambahin gula sedikit bu.”

“Gula? Sayur pakai gula? “

“Iya bu, supaya gurihnya mantab. “

“Ini gulanya, berapa sendok?”

“Sedikit saja bu, setengah sendok cukup,” Mirah mengaduk sayurnya lalu mencicipinya lagi.

“Enak Rah?”

“Sudah enak bu.”

“Aku sudah menggoreng tahu sama tempe, dan kerupuk udang.”

“Ibu hebat.”

Lalu Mirah mendekati tempat cucian piring, kemudian mencuci semua perabot kotor yang ditumpuk disitu.

“Biar aku saja Rah.”

“Biar saya bu, mumpung saya disini.”

Mirah meneruskan mencuci, dan kaget melihat wajan baru tapi kehitaman.

“Wajannya gosong ya bu?”

“Iya, aku menggoreng telur, sambil menyapu tadi, tahu-tahu gosong, nggak jadi makan sama telur ceplok aku,” kata Palupi sambil tertawa.

Mirah menggosok wajan kehitaman itu dengan sabut, sampai hitamnya berkurang. Lumayan bersih daripada sebelumnya.

“Lain kali menggorengnya dengan wajan teflon, yang kecil saja. Tapi jangan sambil mengerjakan lainnya bu, bisa gosong juga nanti.”

“Iya, nanti aku beli.”

“Sudah, ibu temani mas Bintang saja, biar saya membersihkan semuanya.”

Sambi bersih-bersih dapur itu Mirah terus menerus memikirkan sang ndara putri yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Meskipun belum pintar memasak tapi ada usaha untuk itu. Ini sungguh luar biasa.

“Mengapa baru sekarang dilakukan? Mengapa kemarin-kemarin memilih bertengkar dengan suami gara-gara disuruh mengurus rumah tangga dan bukan hanya bersenang-senang?” gumam Mirah sambil menaruh perabot yang sudah bersih ditempatnya.

Lalu Mirah melihat tumpukan cucian diatas keranjang. Tak ada mesin cuci disitu.  Lalu Mirah mendekati Palupi yang sedang bercanda dengan anaknya.

“Ibu, adakah sabun cuci?  Biar saya cuci semua pakaian kotor itu.”

“Tidak usah Rah, nanti saya cuci di laundry saja.”

“Biar saya cuci sekalian pupung saya ada disini bu.”

“Tapi nanti sebentar lagi akan diambil  tukang laundrynya, aku sudah menelpon tadi.”

“Oh..”

“Kalian sudah makan? Ayo makan dulu.”

“Ini masih pagi bu, nanti saja.”

“Tapi aku tidak bisa membuat sambal seenak kamu Rah, aku hanya beli sambal yang sudah jadi.”

“Kalau ada bahannya biar saya buatkan.”

“Tidak ada Rah, aku nggak beli cabe.”

“Baiklah, apakah ibu mau dipijit sekarang?”

“Kamu tidak capek setelah bersih-bersih dapur?”

“Tidak bu, saya kan sudah biasa.”

“Itulah Rah, aku yang tidak biasa bekerja,  badan rasanya sakit semua. Sudah seminggu aku menunggu tukang pijat.”

“Biar saya pijat bu.”

“Bintang main sendiri disitu ya, yu Mirah mau mijitin ibu sebentar.”

“Nanti makan es krim ya?”

“Oh, ibu lupa, di almari es ada es krim.”

“Horeee..” teriak Bintang.

Mirah mengambilkan es krim untuk Bintang, kemudian menyusul Palupi ke kamarnya.

Palupi sudah berbaring diatas ranjang, dan menyiapkan minyak gosok diatas meja kecil didekat ranjang itu.

“Kamu masih muda, tapi mijitnya enak. Kamu benar-benar wanita yang sempurnya. Itulah sebabnya mas Handoko suka sama kamu.”

Mirah terkejut.

“Mengapa ibu berkata begitu? Bapak hanya majikan saya, dan saya pembantunya. Kalau saya tidak mengerjakan semua tugas saya dengan baik, mana bisa saya dipekerjakan bu.”

“Tapi mas Handoko pernah mengatakan kalau dia suka sama kamu.”

“Tidak, bapak hanya memanas-manasi hati ibu. Sesungguhnya bapak sangat mencintai ibu.”

Palupi tertawa.

“Ibu jangan berprasangka begitu, sungguh saya berharap ibu kembali kerumah. Mas Bintang akan bahagia, demikian juga bapak.”

“Tidak Rah, aku hanya menunggu surat cerai dari mas Handoko.”

“Jangan begitu bu, bapak tidak akan menceraikan ibu.”

Palupi terdiam.

Bapak sangat cemburu ketika melihat ibu sedang bersama anak kecil bernama Nanda itu, dan bapak nya.

Palupi tertawa keras.

“Rah, ketika aku pergi dari rumah dan tak tahu harus kemana, tiba-tiba seorang anak kecil memeluk kakiku, mengira aku ibunya. Lalu aku gendong dia, dan dia terus memeluk aku tanpa mau melepaskannya. Anak kecil itu Nanda, yang belum lama ibunya meninggal.”

“Oh ya, kasihan sekali.”

“Di hari pertama dia tak mau aku tinggalkan. Aku pergi setelah dia tidur dirumahnya. Esoknya aku beritahu dia pelan-pelan bahwa ibunya sudah disorga. Perlahan dia percaya, tapi dia sering minta bertemu sama aku. Sudah, itu saja. Mereka bukan siapa-siapa aku. Tapi aku membiarkan dia memanggil aku ibu.”

“Ya ampuun.. kasihan ya bu.”

Mirah dan Bintang ada dirumah Palupi sampai sore tiba. Bintang enggan pulang kalau Handoko tidak menelponnya.

“Sudah sore Bintang harus pulang ya?” kata Handoko ketika Bintang sendiri menerima telponnya.

“Apakah bapak mau menjemput kesini? Ibu tadi masak sup enak, bapak.”

“Bintang, pulang sendiri saja sama yu Mirah .. bapak baru saja pulang, capek.”

“Baik bapak.”

Bintang menyerahkan ponselnya pada Mirah lalu memeluk ibunya.

“Ibu, bapak tidak bisa menjemput karena capek.”

“Iya Bintang, nggak apa-apa, ibu panggilkan taksi dulu ya.”

Sepeninggal Mirah dan Bintang Palupi masih berfikir, bahwa Handoko benar-benar tak mau bertemu dengannya.

***

Namun Handoko tidak percaya ketika Mirah dengan menggebu-gebu mengatakan apa yang dilakukan Palupi.

“Benar bapak, ibu melakukan semuanya sendiri. Ibu banyak cerita ketika Mirah memijitnya. Rumah yang dikontrak kecil, hanya ada dua kamar tidur, tapi biar sederhana, tampak bersih dan rapi. Ibu sendiri yang melakukannya. Ibu juga belajar masak sendiri. Saya senang melihatnya bapak. Ibu sudah banyak berubah. Ia sudah mau bekerja untuk rumahnya yang kecil. Saya sangat terharu, bapak, sungguh.”

“Dia beli rumah?”

“Mengontrak.”

“Oh...”

“Dan anak kecil bernama Nanda dan bapaknya itu hanya ketemu secara kebetulan. Anak kecil itu mengira ibu adalah ibunya yang sudah meninggal.”

Handoko tak menjawab. Bayangan laki-laki itu kembali melintas. Begitu santun. Tampaknya baik. Lalu diam-diam Handoko mengatakannya lagi, ah.. masih ganteng aku...Aduhai..

“Bapak, minta ibu agar kembali. Sebenarnya ibu itu baik. Bapak yang kurang sabar dalam mengutarakan keinginan bapak. Ibu tidak suka dicela. Ada cara yang lebih baik untuk membuatnya mengerti.

***

Hari itu Handoko melatih kakinya untuk mengendarai mobil. Agak kaku.. tapi Handoko merasa sudah bisa. Ia membawa mobil itu keluar, menyusuri jalanan sore, lalu tiba-tiba berbelok kesebuah jalan yang dikatakan Mirah, dimana rumah kontrakan Palupi berada. Ia menjalankannya pelan. Kiri jalan, kata Mirah, dan Handoko terus menatap kearah kiri. Halamannya sempit, rumahnya kecil, sederhana. Handoko berdebar ketika melewati sebuah rumah.

“Ini benar rumahnya,” desisnya pelan.

Tapi dilihatnya Palupi keluar dari rumah dengan menggandeng seorang anak kecil dari dalam, dan laki-laki yang tidak begitu ganteng itu mengikuti dibelakangnya.

Wajah Handoko muram seketika, lalu dipacunya mobil sekencang-kencangnya.

***

Besok lagi ya

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15