SANG PUTRI 25

 

SANG PUTRI  25

(Tien Kumalasari)

 

Handoko terus memacu mobilnya, dengan amarah yang meluap-luap.  Wajahnya merah padam.  Kesal Atas semua yang pernah didengarnya. Hanya karena anaknya menganggap ibu, hanya sekilas bertemu, atau beberapa hari bertemu, lalu apa..  Handoko menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Hatinya yang gatal, barangkali ada luka disana.

Sesampai dirumah Bintang berlari menemui bapaknya.

“Bapak sudah bisa menyetir mobil?”

“Sudah Bintang.”

“Ayo besok ketemu ibu.”

Handoko terkejut, berharap Bintang tidak mengulang permintaannya.

“Bapak.. maukah ?”

“Aduh, besok bapak harus bekerja.”

“Bukankah besok Minggu?”

"Besok belum Minggu Bintang"

"Kalau begitu besok Minggu saja"

“Oh.. iya.. iya sih.. tapi.. ada pekerjaan di kantor.. “

“Bapak kerja?”

“Iya sayang.”

“Aku mau kesana sama yu Mirah saja.”

“Bintang, mengapa kesana lagi?”

“Kasihan ibu sendirian..”

“Ibumu tidak akan sendirian,” kata hati Handoko sambil terus masuk kedalam rumah, lalu memasuki kamarnya. Tapi Bintang mengikutinya.

“Bapak. Kalau bapak tidak  kesana, ibu nanti sendirian terus. Kamar ibu sangat kecil. Kasihan.”

“Kamu anak kecil, tahu dari  mana kata ‘kasihan’ itu?”

“Ibu pernah menangis. Lalu Bintang juga menangis.”

“Mengapa?”

“Bintang kasihan sama ibu, besok bapak jemput ibu ya?”

Aduhai..

Bukankah panasnya matahari dirasakan semua orang, tapi panasnya hati harus ditanggung sendiri? Bintang tidak mengerti, tapi Bintang ingin agar keluarga ini lengkap, kalau saja dia bisa mengurai kata demi kata.

“Bapak.. besok Minggu Bintang mau ke rumah ibu. Tapi sama bapak..”

“Bintang, bapak mau mandi dulu ya, nih.. keringatnya bapak banyak.. bajunya bau asem..”

“Mau tidak?”

“Iya.. iya.”

Eit.. kok iya sih, lalu Handoko bingung karena sebenarnya dia tak ingin.

***

“Tantiiii..” teriak Widi begitu memasuki rumah Tanti.

“Kamu membuat aku terkejut. Kenapa sih kalau datang tanpa teriak?”

“Iih, kamu lama-lama bisa galak juga ya.”

“Kamu itu teriak begitu keras, aku jadi terkejut, tahu.”

“Iya, so’alnya aku membawa kabar gembira.”

“Apa tuh?”

“Pokoknya kabar gembira,” kata Widi begitu memasuki kamar Tanti langsung menjatuhkan tubuhnya diranjang Tanti yang sempit.

“Kabar gembira apa sih?” tanya Tanti penasaran sambil berbaring berdesakan.

“Aku sudah mendapat pekerjaan untuk kamu.”

Tanti membalikkan tubuhnya. Tengkurap sambil mengangkat kepalanya, memandang Widi tak percaya.

“Benar?” Dimana?”

“Pokoknya kamu buat lamaran. Besok aku yang bawa lamarannya.”

“Benar?”

“Iya.. iih, nggak percaya amat sih?”

“Di perusahaan apa.”

“Nanti kamu kosongin saja nama perusahaannya, aku sendiri juga belum tahu namanya,” kata Widi yang belum ingin mengatakan bahwa itu perusahaan kakak sepupunya.

“Gimana sih, jangan-jangan itu perusahaan yang menyalurkan TKW keluar negri.. ogah.”

Widi tertawa.

“Bukaaan. TKW apa sih. Itu perusahaan batik. Kamu akan ditempatkan di gudang.”

“Benar?”

“Aduuh, dari tadi ‘benar-benar’ terus.. sudah, buat lamarannya, aku tunggu sambil tidur.”

“Tidur? Ya udah tidur aja, lotis yang aku buat mau aku kasihan ke tetangga.”

“Haa.. lotis? Aku mau.. aku mau..” kata Widi sambil bangkit.

“Katanya mau tidur..”

“Nanti, setelah makan lotisnya,” kata Widi yang langsung turun dan bergegas kebelakang, mencari lotis yang sudah dibuat sahabatnya.

Tanti mencari sebuah kertas folio. Dengan bersemangat ia menuliskan sebuah lamaran. Gimana sih membuat lamaran. Ah, mengapa tidak tanya ke google saja? Tapi baru mau membuka ponsel, dilihatnya sebuah panggilan masuk.

“Selamat siang,” sapa Tanti.

“Siang Tanti, masih ingat aku kan?”

“Mas Danang ya?”

“Iya, duuh.. senengnya..”

“Seneng kenapa mas?”

“Seneng karena masih diingat.”

“Ah, mas Danang sukanya bercanda. Ada apa mas?”

“Ini, dengar-dengar kamu butuh pekerjaan?”

“Oh.. iya, memangnya kenapa?”

“Ditempatku ada lowongan nih.”

“Oh, ma’af mas, aku sudah dapat pekerjaan.”

“Sudah dapat?” Aah, sayang sekali. Sebenarnya dengan begitu kan kita bisa setiap hari bertemu. Nggak jadi deh.”

“Memangnya kenapa kalau setiap hari ketemu?”

“Ya seneng dong.. Kalau ketemunya jarang-jarang.. bisa rindu..”

Tanti tertawa.

“Seperti lagu saja mas..”

“Lagu rindu ya.. rindu lukisan.. mata suratan..”

“Wah, suaranya bagus mas, kenapa nggak jadi penyanyi saja.”

 “Enak saja.. “

“Tantiiii... kesiniii... aku habisin niih..” tiba-tiba Widi berteriak, Danang mendengarnya tentu saja.

“Itu suara siapa? Si galak ya?”

“Iya mas,  lagi makan lotis di belakang.”

“Ya sudah, besok aku tilpon lagi saja. Sayang ya kamu sudah dapat pekerjaan.”

Tanti mendekati Widi ketika selesai menelpon.

“Telponan sama siapa?”

“Coba tebak, siapa?”

“Mas Danang paling.”

“Iya, dia.”

“Ngapain dia?”

“Nawarin aku pekerjaan.”

“Haaa..? Lalu apa jawab kamu?”

“Aku bilang, aku sudah dapat.”

Widi tertawa dalam hati.

“Bagus lah. Eh gimana, sudah jadi suratnya?”

“Baru mau buat...”

“Oh, ayo bantuin ngabisin, baru lanjutin buat surat lamarannya. Nanti aku bawa sekalian.”

***

“Benarkah kamu sudah dapat pekerjaan?” kata Suprih ketika pulang ke rumah.

“Baru dijanjikan bu, tapi teman Tanti meyakinkan Tanti kalau pasti Tanti diterima.”

“Syukurlah, di perusahaan apa?”

“Batik atau apa, katanya mau ditempatkan dibagian gudang.”

“Oh, sebenarnya majikan ibu itu juga punya perusahaan batik. Tapi nggak apalah, ibu juga nggak enak kalau mau minta tolong.”

“Nggak apa-apa bu, yang penting sudah ada. Nanti kalau Tanti sudah bekerja, sudah lulus, ibu tidak usah bekerja lagi. Duduk manis di rumah saja, Tanti yang kasih uang sama ibu,” kata Tanti sambil memeluk ibunya.

“Lha nanti ibu kalau nggak bekerja terus ngapain. Nggak enak lho menganggur itu.”

“Kan banyak yang bisa ibu kerjakan. Masak buat Tanti. Sudah lama sekali Tanti tidak makan masakan ibu.”

“Iya sih nduk, mau bagaimana lagi. Keadaan mengharuskan begitu.”

“Sudah lama ibu bekerja keras untuk  Tanti, sudah hampir sa’atnya Tanti menyenangkan ibu.”

“Terimakasih ya nduk, ibu bangga sama kamu. Yang hanya anak seorang pembantu, hampir jadi sarjana. Semoga kamu berhasil dengan baik.”

“Mengapa ibu berterimakasih. Tanti yang harus berterimakasih, karena ibu telah menjadikanku seperti ini. Peluh ibu bercucuran setiap hari, hanya untuk Tanti. Ibuku luar biasa, ibuku tak ada bandingnya,” Tanti kembali memeluk ibunya erat.

Suprih berlinang air mata. Semua pengorbannya tak sia-sia.

***

“Mas.. ini suratnya..” tanya Widi ketika mampir ke kantornya Handoko. Dilihatnya Handoko sedang melamun.

“Eh kamu Wid?”

“Ya ampuun.. mas Handoko sudah menatap saya.. masih bingung saya ini siapa?”

“Iya.. lagi banyak pikiran nih.”

“Pikiran pekerjaan atau yang lainnya?”

“Ah.. anak kecil mau tahu aja.. Ada apa nih?”

“Ini, surat lamarannya?”

“Tanti?”

“Iya...”

“Kok nggak dikasih sama Danang saja?”

“O.. nanti dia kesenangan..”

“Mamangnya kenapa?”

“Mas Danang itu naksir sama Tanti..naksir berat.”

“Oh ya? Tapi kamu kan tahu Danang? Bagaimana kalau dia hanya main-main? Selama ini sudah berapa kali dia pacaran dan nggak pernah bener-bener serius?”

“Iya, tapi dia janji kali ini serius..”

“Benarkah?”

“Iya.. benar.. Awas saja kalau sahabatku dipermainkan.”

“Baiklah, kapan dia siap masuk?”

“Kapan-kapan dia siap. Skripsi sudah hampir selesai, Besok mau ketemu dosen pembimbing.”

“Oke, suruh dia masuk hari Senin depan.”

“Siap mas, tapi janji ya, jangan bilang mas Danang dulu. Biar dia terkejut. So’alnya kemarin dia mengira Tanti sudah dapat pekerjaan lain.”

“Kok bisa?”

“Tiba-tiba mas Danang menelon Tanti. Menanyakan apa benar Tanti butuh pekerjaan, lalu dijawab Tanti kalau sudah dapat. Hehe.. mas Danang kecewa deh.”

“Kalian itu juga nakal, gangguin Danang.”

Tak lama setelah Widi pergi, Danang masuk ke ruangannya.

“Mas, sayang sekali Tanti sudah dapat pekerjaan katanya.”

“Yah, sayang sekali Nang..”

“Padahal bagian gudang butuh administrasi baru. Yang lama tidak bisa sendirian, apa aku pasang iklan saja ya mas?”

“Tidak usah, aku sudah dapat.”

“Oh, sudah dapat? Perempuan?”

“Iya, hari Senin sudah bisa masuk dia.”

“Syukurlah, tapi aku kecewa Tanti nggak jadi kerja disini.”

“Kamu naksir ?”

“Aku belum pernah merasakan seperti ini mas, kayaknya aku benar-benar jatuh cinta.”

“Oh ya? Rasanya tisak percaya kamu bisa jatuh cinta.”

“Mas ini gimana, aku sudah yakin, dan suatu hari aku akan membawanya menemui ibu. Ibu pasti suka, dia cantik dan pintar. Dan tampaknya dia baik, tidak seperti....” Danang tak melanjutkan kata-katanya. Takut Handoko tersinggung.

“Tidak seperti Palupi ?”

“Ma’af mas, tapi dia gadis yang sederhana. Aku sudah kerumahnya, dan memang dia dari keluarga sederhana. Tapi itu bukan ukuran untuk aku jatuh cinta kan? Aku sudah bilang ibu tentang keadaannya, dan ibu tidak menolaknya.”

“O..o... jadi adikku sudah benar-benar serius nih, berani ngomong sama orang tua?”

“Yakinlah mas.”

“Aku do’akan semoga berhasil."

"Lalu bagaimana mbak Palupi?”

“Stop, jangan tanya, dan kembalilah ke ruangan kamu.” Kata Handoko dingin.

Danang tersenyum haru. Ia merasa kasihan pada kakaknya.

***

“Bapak.. ayo ke rumah ibu,” kata Nanda  merengek pagi itu.

“Kan kemarin sudah ke rumah ibu.”

“Sekarang Nanda masih mau..”

“Nanda, kalau kamu kesana terus, ibu nanti repot. Kamu nakal sih..”

“Nanda nggak nakal..”

“Kamu suka kan.. sama es krim yang selalu disediakan ibu?”

“Hehe... iya..” Nanda meringis ketahuan isi hatinya.

“Kalau mau es krim, ayo beli saja sama bapak.”

“Nggak enak sama bapak, enaknya sama ibu.”

“Nanda..”

“Mengapa ibu tidak tinggal saja disini ?”

“Lho.. ibu kan sudah punya rumah sendiri?”

“Kan kita punya kamar lagi .. bisa untuk ibu.. atau.. ibu tidur sama bapak saja dikamar?”

“Hushh!”

“Lha kan dulu ibu juga tidur di kamar sama bapak..?”

“Nanda.. ibu yang ini bukan ibunya Nanda beneran.. nggak boleh tidur sama bapak.”

“Nggak boleh ya? Nanti Nanda mau tanya sama ibu. Kalau ibu mau?”

Tapi ucapan Nanda itu tiba-tiba menggugah sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya. Bagaimana kalau ibu tidur di kamar sama bapak? Aduhai..

“Tapi apa mau mbak Palupi sama aku? Bekas suaminya gagah dan ganteng.. aku apa? Jauh lah.. nggak mungkin.. nggak mungkin..” pikir Pri tiba-tiba.

“Ayo bapak..”

“Ayo kemana, beli es krim yuk.”

“Kerumah ibu..”

Aduuh.. entah darimana datangnya tiba-tiba Pri menjadi berdebar-debar. Nanda sih.. pakai nyuruh dia tidur di kamar segala.

Ditinggal isteri beberapa bulan lamanya memang membuatnya kesepian, ditambah lagi Nanda sesungguhnya berharap bisa memiliki ibu.

“Beranikah aku melamarnya? Bagaimana kalau dia menolak? Tapi apakah benar dia sudah bercerai dari suaminya? Sungkan aku menanyakannya. Tapi sudah tinggal sendiri, pastinya sudah bercerai. Apakah dia juga butuh sosok seorang suami? Aku?” beribu pertanyaan menggayuti benaknya. Darimana datangnya perasaan itu?

“Bapak...” kali ini Nanda menggoyang-goyangkan tangannya.

“Nanda.. sudahlah... ayo beli sama jalan-jalan saja.”

“Nggak mau, maunya sama ibu.”

Kali ini Pri sangat bingung. Perasaan yang tiba-tiba muncul membuatnya kemudian berdebar-debar. Tapi ia mengikuti juga kemauan anak semata wayangnya.

***

“Bapak kan tidak ke kantor? Ayo jemput ibu..” rengek Bintang

“Lho.. “

“Bapak, ini kan Minggu... ?”

“Oh, iya.. tapi kan bapak masih punya pekerjaan yang belum selesai.. jadi nanti mau ke kantor. Kalau Bintang mau ketemu ibu, ajak yu Mirah.”

“Bapak...”

“Yu Miraaaah.”

“Antar Bintang kerumah ibunya, " kata Handoko setelah Mirah mendekat.

“Bapak mau ke kantor?”

“Mmm... iya.”

“Kalau begitu sekalian saja bapak, jadi mas Bintang tidak usah naik taksi.”

“Iyaaa.. iya... nanti pulangnya saja.. sekalian bapak jemput ibu pulang kemari.”

Handoko terdiam. Ini kok ada dua orang yang memaksa-maksa sih. Handoko tak bisa menolaknya.

***

Begitu sampai didepan rumah Palupi, Bintang menarik tangan bapaknya.

“Ayo bapak..”

“Bapak kan sudah bilang mau ke kantor? Sudah turun saja.”

“Mengapa bapak begitu, turunlah barang sebentar,” pinta Mirah.

“Tidak Rah, pekerjaanku banyak.”

Tiba-tiba dari arah depan turun seseorang dari taksi, diikuti seorang anak kecil.

Mata Handoko menatap tajam.

“Tuh lihat Rah.”

“Bapak, Bintang nggak suka sama dia, dia memanggil ibu juga sama ibuku.”

“Sudah turunlah, aku mau ke kantor.”

“Bapak jangan kalah sama dia. Rebut ibu bapak!” kata Mirah menggebu.

***

Besok lagi ya

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15