SANG PUTRI 26

SANG PUTRI  26

(Tien Kumalasari)

 

Handoko terkejut mendengar ucapan Mirah.

“Bapak, jangan biarkan orang lain mengambilnya,” ulang MIrah.

Sementara itu, Pri yang melihat Handoko segera melangkah mendekat. Handoko jadi tak enak untuk tetap duduk dibelakang kemudi. Ia turun lalu menerima salam Pri dengan senyum yang sama sekali tidak tulus. Aduhai..

“Apa kabar mas?”

“Baik...”

Dan sementara itu kedua bocah sudah seperti berlomba untuk lari kedalam rumah sambil keduanya berteriak sama.

“Ibuuuu...”

“Aduh, anak saya selalu ingin ketemu mbak Palupi,” celetuk Pri yang membuat Handoko menoleh kearah Bintang yang sudah sampai didepan pintu.

“Mari, mas Handoko..” kata Pri mengajak Handoko masuk.

“Saya.. sedang ada pekerjaan..” sahut Handoko.

“Oh..  hari Minggu begini?”

“Ya.. silahkan kalau mau masuk,”

“Bapak, nanti jam berapa akan menjemput ibu?” tiba-tiba Mirah berteriak dari arah samping, membuat wajah Pri sedikit berubah. Tapi Handoko memelototi Mirah dengan kesal.

Mirah lalu melangkah mengikuti Bintang dengan senyum ditahan.

“Rasain pak Pri...” gumamnya dalam hati. Ia puas dengan kelancangannya.

“Mari mas Pri, saya hanya mengantarkan anak,” kata Handoko sambil bersiap masuk kembali  kedalam mobil.

Pri mengangguk, dan menunggu Handoko menjalankan mobilnya, baru dia melangkah memasuki halaman.  Ada perasaan tak senang ketika ternyata Handoko mau menjemput Palupi.

“Jadi mereka belum bercerai?” kata Pri yang tiba-tiba merasa patah hati.

Sementara itu begitu Palupi keluar, Bintang dan Nanda sudah berebut memeluk Palupi.

“Ibukuu...”

“Ibukuuuu..”

“Baiklah.. baiklah.. kalian adalah anak-anakku..” kata Palupi sambil memeluk keduanya.

“Tapi aku kan anaknya ibu..”

“Aku juga...”

“Hai.. anak-anak ibu yang pintar dan ganteng.. kalian tidak boleh bertengkar, ayo duduk manis.. Kalau kalian bertengkar, ibu tidak akan mengeluarkan es krim yang enaaak..”

“Mauuu.. mau...” keduanya berteriak bersamaan.

“Nah, salaman dulu.. lalu duduk manis disini.. nah.. bagus.. satunya disini, ibu akan ambilkan es krimnya.”

Palupi mengambilkan es krim dari dalam kulkas, sementara Mirah membuatkan minuman untuk Pri yang duduk diam sambil menatap kedua bocah yang dengan nikmat menjilati es krimnya.

“Nanda selalu merepotkan.”

“Tidak, biarkan saja, saya senang anak-anak ini berteman.”

Lalu Mirah keluar sambil membawa segelas minuman hangat.

“Silahkan pak..”  tapi tiba-tiba gelas yang akan diambil dari atas baki itu terlepas dari tangan Mirah dam membasahi baju Pri sehinggak Pri berteriak kepanasan dan bajunya basah kuyup.

“Aaugh..” teriak Pri.

“Aduh.. aduuh... ma’af pak.. ma’af sekali.. aduuh.. bagaimana ini? “

Pri berdiri dan mencoba mengibaskan bajunya yang basah, sambil meringis karena minuman itu adalah teh panas.

“Sebentar, rupanya bapak harus ganti baju. Saya lihat dulu.. apakah baju bapak ada yang cukup untuk pak Pri ya?”

Rupanya Mirah mengigau, bagaimana mungkin baju tuan gantengnya ada dirumah ini? Atau jangan-jangan Mirah sengaja menumpahkan teh panas ke tubuh Priyambodo.

“Ada apa Rah?”

“Ma’af bu, saya menumpahkan tehnya dibaju pak Pri. Apakah ada baju bapak yang mungkin bisa untuk ganti ya bu?”

“Apa?” Palupi heran mendengar pertanyaan Mirah.

“Tidak.. tidak, sebaiknya saya pulang saja dulu.”

“Lhoo.. gimana ini?”

“Biar Nanda disini ya mbak, saya titip sebentar, saya harus pulang dulu.”

“Aduh.. bapak..saya minta ma’af ya..ma’af ya bapak..” berkali-kali Mirah meminta ma’af sambil membungkuk-bungkukkan badannya.

“Tidak apa-apa.. tidak apa-apa...Nanda.. bapak pergi dulu, nanti bapak jemput ya,” katanya kepada Nanda yang tak perduli tentang apa yang menimpa bapaknya, dan dengan nikmat menjilati es krimnya.

Mirah bergegas ke belakang, mengambil kain pel dan mengepel lantai yang basah. Ada senyum tersungging dibibirnya ketika melihat Pri pergi, yang mungkin membawa hati yang kesal terhadap dirinya.

“Mirah, apa maksudmu tadi?”

“Apa bu?”

“Kamu tadi bilang baju bapak.. memangnya ada baju bapak disini?”

“Aduh bu, nggak sengaja bu.. kebiasaan kalau dirumah sana. Ma’af bu..”

“Ada-ada saja kamu ini,” kata Palupi sambil beranjak kebelakang. Mirah nyengir kuda sambil menggosok lantai dengan kain sampai kering.

Ada dua akibat yang ditimbulkan oleh ulah Mirah ketika itu. Pertama, menimbulkan kesan bahwa tuan gantengnya sering datang ke rumah itu. Kedua, ia bisa mengusir Pri biarpun dengan cara yang sungguh ‘licik’.

“Ampuun Tuhan, ampunilah dosa hamba.. ini demi utuhnya kembali sebuah keluarga, ampunilah hamba. " desis Mirah sambil mencuci kain pelnya.

“Rah.. kamu ngomong apa?” teriak Palupi yang mendengar suara Mirah dari dalam kamar mandi.

“Oh.. ini bu.. saya minta ampun sama  Allah karena telah melakukan kesalahan.”

“Sembrono kamu tuh,” omel Palupi. Sementara Mirah tersenyum dalam hati.

***

Mereka makan siang bersama, dan lagi-lagi Palupi memasak sup ayam, menggoreng tahu dan tempe. Oh ya, kerupuk udang yang sejak kemarin masih ada, agak keras sehingga tak ada yang suka.

“Mengapa ya Rah, kerupuk udangnya kok keras banget, apa aku salah beli ?”

“Tidak bu, cara menggorengnya yang salah, Kalau kerupuk udang itu kan minyaknya tidak boleh terlalu panas. Kalau terlalu panas, kerupuknya tidak bisa mengembang besar, dan keras.”

“Oh, gitu ya..?”

“Kalau kerupuknya masih ada nanti saya goreng bu.”

“Masih ada, aku baru nggoreng sedikit.”

“Nanti saya goreng bu, kalau mas Bintang sudah selesai makan.”

“Nanti aku ajarin juga masak sayur asem ya Rah?”

“Iya bu, itu gampang.. air direbus sama bumbunya.. lalu sayurnya masukin, tambahin garam gula.. atau kaldu ayam sedikit juga boleh..nanti saya buatkan bumbunya bu. Buat besok ya.”

“Ya Rah, sama goreng ayam bagaimana, tadi Bintang menanyakan ayam goreng.”

“Kalau ayamnya sudah ada, sekarang saya buatkan bumbu ungkepnya bu, besok ibu tinggal menggorengnya saja.”

“Rupanya aku belum sempurna menjadi wanita. Masak saja tidak becus.”

“Belajar itu tidak ada kata terlambatnya bu, nanti lama-lama ibu bisa semuanya.”

“Terimakasih ya Rah.”

“Kapan ibu pulang? Nanti kalau bapak menjemput sekalian kan?”

“Apa maksudmu? Rumahku disini, pulang ya kesini.”

“Ya ampun bu.. jangan begitu. Kasihan mas Bintang, kasihan bapak..”

“Bintang bisa setiap sa’at datang kemari.”

“Bapak..?”

“Dia tidak butuh aku..”

“Ibu jangan begitu...”

“Itu benar Rah, aku merasakannya. Jadi lebih baik aku melupakan saja.”

“Mengapa bapak lama sekali ?” tiba-tiba Nanda mencari-cari ayahnya.

“Oh.. iya, sebentar, bapak dipanggil ya?”

Nanda mengangguk.

“Aku saja tidak rewel mencari bapak, ya yu?” ejek Bintang kepada pesaingnya.

Nanda diam, karena memang dia tak pernah berpisah dengan ayahnya.

“Nanda tungguin ya, sebentar lagi bapak datang,” kata Palupi ketika sudah menelpon Pri.

Nanda mengangguk. Keinginan segera ketemu bapaknya mengurangi kegembiraannya ketika bercanda dengan Bintang dan Palupi.

Wajahnya berseri ketika bapaknya benar-benar datang.

“Bapaak.. lama sekali..”

“Iya, biar kamu puas main disini. Sekarang pulang?”

“Iya bapak.”

“Bapak, saya benar-benar minta ma’af ya?” kata Mirah mendekat, ketika melihat Pri sudah berganti pakaian. Ada rasa iba dan sesal karena telah mempermainkannya tadi. Pasti dia juga harus mandi karena tehnya juga manis, yang kalau tidak diguyur air pasti terasa lengket.

“Tidak apa-apa mbak Mirah,  kan tidak sengaja.”

“Aduh, padahal aku sengaja,” kata Mirah dalam hati.

“Ayo.. bapak..”

“Ya sudah, beri salam semuanya.. baru pulang.”

“Nanda, jangan rewel,  jangan nakal ya,” pesan Palupi ketika Nanda menyalami dan mencium tangannya.

Mirah terus menatap punggung Pri, dan rasa sesal masih mengganjal.

“Mirah, kamu memandangi pak Pri terus, jangan-jangan kamu suka?”

“Ah, ibu ada-ada saja.. “ kata Mirah sambil masuk kedalam.

“Tidak apa-apa kalau suka, kamu juga sudah dewasa, sa’atnya mencari suami.”

“Tidak bu, saya momong mas Bintang saja.”

Palupi tertawa.

“Nanti akan tiba sa’atnya jodoh kamu akan datang Rah.”

“Ibu, mana kerupuknya, biar saya menggorengnya, sambil menunggu bapak menjemput.”

“Nanti dijemput bapaknya Bintang?”

“Iya, kalau mau ibu sekalian ..”

“Aaah, sudah.. ayo cepetan, aku mau melihat kamu menggoreng kerupuk, juga membumbui ungkep ayam, dan sayur asem. Besok kalian kesini lagi, semua sudah siap.”

“Memangnya besok kesini lagi? Duuh, daripada capek mengapa ibu tidak pulang saja sekalian?”

“Mirah, nggoreng kerupuknya buruan, aku mau lihat.”

***

“Nanda tadi disana nakal tidak?” tanya Pri ketika sampai dirumah.

“Tidak bapak, yang nakal Bintang.”

“Lho.. masak sih Bintang nakal? Bukannya kamu yang nakal ?”

“Nanda didorong-dorong kalau manggil-manggil ibu.”

“Iya Nanda, kamu nggak boleh marah, karena ibu itu memang ibunya mas Bintang.”

“Mengapa tidak jadi ibunya Nanda?” protes Nanda.

Lalu Pri teringat laki-laki ganteng yang tadi ditemuinya, lalu terngiang kembali kata Mirah.. ‘bapak nanti jemput ibu jam berapa..’

“Aduuuh...” keluh Pri pelan.

“Bapak sakit?”

“Oh, tidak nak..”

“Kok bapak bilang aduh...”

“Yang sakit disini nak, didalam dada ini..” batin Pri pedih.

Ia heran mengapa tiba-tiba ada perasaan ini, padahal tadinya hanya senang ketemu karena Nanda suka sama Palupi.

“Bapak sakit ?” ulang Nanda”

“Tidak ..  hanya pura-pura. Ayo sekarang waktunya tidur kan, nanti bangun , lalu mandi.”

“Jalan-jalan lagi?”

“Ah, tiap hari jalan-jalan. Main saja dirumah, lalu makan diluar. Hanya makan, tidak jalan kemana-mana, ya. Makan kan tidak jauh.”

“Tadi Nanda makan dirumah ibu.”

“Oh ya?”

“Iya, enak..  Nanda mau besok makan disana lagi.”

“Eh, nggak boleh Nanda, masa tiap hari kesana. Sudah ayo cuci kaki kamu lalu bobuk.”

“Enak makan dirumah ibu.”

“Eeh... “

“Apa bapak bisa masak seperti ibu?”

“Ya nggak bisa, karenanya setiap makan pasti jajan diluar.”

“Coba bapak belajar masak sama ibu..”

“Aduuh... ibu.. ibu.. ibu.. dan ibu lagi, “ keluh Pri.

“Bapak...”

“Cepatlah cuci kaki .. ayo..”

Ketika menunggui Nanda tidur itu Pri juga memejamkan matanya, lalu menerbangkan mimpinya tentang ‘ibu’ yang dirindukan bukan hanya oleh Nanda tapi juga dirinya.

***

“Mirah, aku sudah diluar,” kata Handoko ketika menelpon Mirah.

“Lho, mengapa bapak tidak masuk saja?”

“Tidak Mirah, cepatlah, aku sedang terburu-buru.”

“Ya ampun bapak, mas Bintang sedang bobuk.”

“Apa? Mengapa bobuk?”

“Memang ini kan waktunya bobuk. Makanya bapak masuk dulu, menunggui mas Bintang bangun, atau saya paksa bangun? Kasihan bapak, nanti rewel.”

“Sebetulnya yang rewel itu kamu Mirah,” kata Handoko sedikit kesal.

“Mengapa saya, bapak.”

“Aku sedang berpakaian seadanya, nggak enak, kan disitu ada tamu?”

“Tamu siapa? Nggak ada tamu disini bapak. Jadi masuklah saja.”

“Sudah pulang ya?”

“Sudah dari tadi Mirah mengusirnya.. eh..” lalu Mirah terkejut dengan ucapannya sendiri.

“Apa?" Handoko juga terkejut.

“Ma’af, bukan.. hehe.. Mirah hanya bercanda.”

“Mirah, ngomong sama siapa?” tanya Palupi tiba-tiba.

“Ini bu, sama bapak. Mau turun kesini tapi malu,” kata Mirah seenaknya.

“Apa?

Tapi kemudian pembicaraan itu terputus, dan Mirah mendengar mobil menderu, dan menjauh. Mirah melongok keluar dan tak ada mobil berhenti disana. Mirah tiba-tiba takut senddiri, bagaimana kalau nanti tuan gantengnya marah karena dia terlalu lancang?”

“Ada apa Rah, kok bengong?”

“Bapak, disuruh masuk malah pergi lagi.”

“Ya sudah, mengapa kamu memaksanya Rah? Kalau nanti Bintang bangun dan meminta pulang, kan ada taksi. Naik taksi saja, kok repot sih.”

“Bapak itu cemburu sama pak Pri.”

“Apa? “

“Benar bu.”

“Kamu itu kalau bicara ngawur. “

“Saya heran sama ibu dan bapak, sama-sama masih cinta tapi kok ya susah sekali ..”

“Susah apanya Rah?”

“Pokoknya susah.”

“Sudah ayo kita lihat bumbu ayamnya, jangan-jangan airnya sudah habis terus gosong deh.”

Palupi bergegas kebelakang. Mencium bau ayam ungkep yang sedap. Lalu ia mengaduknya. Sebentar lagi siap digoreng.

“Hm, enaknya, jadi pengin buru-buru nggoreng Rah.”

“Tidak apa-apa bu, digoreng sekarang beberapa potong, sisanya digoreng besok. Itu ibu belinya ayam banyak.”

“Iya, maksudnya biar bisa untuk beberapa hari. Tapi kalau Bintang suka, lalu mau dihabiskan, ya nggak apa-apa, nanti beli ayam lagi.”

“Kalau mas Bintang tahu ada ayam goreng pasti minta makan lagi.”

“Kalau begitu biar aku goreng sekarang saja Rah.”

“Baiklah, biar saya bu.”

“Jangan Rah, kalau semua-semua kamu, kapan aku belajarnya?”

“Baiklah, biar saya bersih-bersih rumah saja, ini kan sudah sore.”

“Terimakasih ya Rah.”

Lalu Palupi mengambil wajan dan memanaskan minyak. Tapi Mirah mematikannya terlebih dulu.

“Kalau ibu ingin ayamnya nggak keras setelah digoreng, sebelum menggoreng celupkan dulu dengan adonan tepung yang sudah dibumbui. Sebentar saya buatkan bu, setelah itu ibu sebelum menggoreng ayamnya dicelupkan kedalam adonan, baru masuk ke wajan,” kata Mirah sambil mengambil tepung, mengaduknya didalam mangkok, lalu diberinya bubu.

Palupi senang sekali. Kemudian ia berfikir, jadi ibu rumah tangga itu tidak susah-susah banget. Malah ada rasa senang ketika masakannya dinikmati orang.

Palupi asyik menggoreng ayam, ketika tiba-tiba seseorang muncul di depan pintu dapur. Hampir terlepas piring yang dipegangnya untuk wadah ayam yang sudah matang.

***

Besok lagi ya.



 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15