SANG PUTRI 27

SANG PUTRI  27

(Tien Kumalasari)

 

Palupi menatap tak percaya. Priya ganteng itu berdiri dengan kedua tangan bersedakap, menatapnya tak berkedip. Gemetar tangan Palupi, lalu ayam yang sudah dientasnya jatuh ke lantai.

“Aduh...”

“Ambil lagi, belum lima menit,” tukas sang ganteng sambil tersenyum.                                   

Palupi berjongkok, dengan sebuah sapit diambilnya dua potong ayam yang jatuh, lalu dimasukkannya kembali ke wajan. Hanya sebentar lalu dientasnya.

Palupi masih meneruskan menggoreng, dengan degup jantung tak menentu. Aduhai, seperti ABG sedang jatuh cinta.

“Ehem..” Handoko berdehem. Ada rasa senang melihat Palupi menghadapi wajan. Rupanya dia benar-benar perempuan.

“Mengapa kemari?” Palupi justru  bertanya sambil merengut.

“Aku menjemput Bintang.”

“Ada di kamar, bukan di dapur.”

“Pengin melihat sang putri memasak. Luar biasa ..”

Palupi bertambah merengut. Pujian itu membuatnya senang, tapi ia lebih merasa sedang diejek oleh suaminya.

Handoko tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya lalu memasuki sebuah kamar yang sedikit terbuka, dilihatnya Bintang masih terlelap.

Matanya merayapi seluruh ruangan. Begitu sederhana. Kamar yang tidak begitu besar, hanya ada satu tempat tidur dan almari lawas, dan meja kecil disamping ranjang. Handoko merasa tersentuh. Ia tak mengira isterinya bisa menjalani kehidupan yang sederhana dan merawat rumah yang juga sederhana ini dengan apik. Namun ia tak ingin segera memujinya. Ia menyimpannya didalam hati.

Handoko mengelus kepala Bintang, Ada sedih ketika menyadari bahwa anak semata wayangnya sangat merindukan ibunya. Kapan datangnya rindu itu? Biasanya Bintang tak peduli.

“Bapak kok duduk disitu?” tiba-tiba Mirah menjenguk ke dalam kamar, lalu melihat Handoko duduk di tepi ranjang.

Handoko tak menjawab. Tapi ia menyimpan beberapa rasa kesal atas sikap Mirah hari itu.

“Minum untuk bapak sudah saya taruh di meja.”

Tiba-tiba Bintang menggeliat, lalu membuka matanya. Terkejut melihat bapaknya duduk di sisinya.

“Bapaaak?” katanya lalu bangun dan memeluk bapaknya.

“Kok sudah bangun?”

Bukannya menjawab Bintang melepaskan pelukannya lalu berlari keluar.

“Ibuu... ibuu...” teriaknya.

“Ibu ada didapur mas Bintang,” kata Mirah sambil meletakkan sapu yang baru saja dipergunakan untuk membersihkan rumah.

“Ibuuu...” teriaknya menuju dapur.

“Sudah bangun nak?”

“Ibu.. ada bapak dikamar.. ayo ibu kesana..” katanya sambil menarik tangan ibunya, yang sedang menata ayam goreng dimeja makan.

“Lihat Bintang, ibu sedang menggoreng ayam. Lalu menata meja untuk makan kamu."

“Wauuw... ayam.. ayo kita makan sama bapak juga,” lalu Bintang berlari kearah depan. Dilihatnya ayahnya sedang menikmati coklat susu buatan Mirah.

“Bapak.. ayo kita makan, ibu menggoreng ayam.”

“Bapak sudah makan, ayo pulang.”

“Jangan bapak, ayo makan dulu..” rengek Bintang. Ia sangat bersemangat melihat bapaknya datang, dan bersemangat melihat ayam goreng kesukaannya.

“Tapi bapak masih kenyang.”

Lalu Bintang berlari lagi kebelakang.

“Ibuu.. ajak bapak makan..”

“Bapak tidak lapar. Kalau Bintang mau makan, makan saja,” kata Palupi.

“Tapi Bintang ingin makan sama bapak, sama ibu.”

Mirah tiba-tiba mendekati Handoko.

“Bapak, ibu minta agar bapak ikut makan.”

“Apa?”

“Ibu yang  minta.. jangan membuatnya kecewa. Ibu ingin agar bapak mencicipi masakan ibu.”

“Awas ya kamu Mirah, nanti sampai dirumah aku pasti memarahi kamu.”

“Lho.. bapak.. memangnya saya kenapa?”

“Nanti dirumah.”

“Baiklah, mari bapak, jangan mengecewakan ibu.”

“Apa dia yang minta?”

“Iya bapak.. masa saya..”

Handoko berdiri ragu, tapi perlahan melangkah kebelakang. Diruang makan dilihatnya Bintang sudah duduk di depan meja makan.

“Bapaaak.. duduk disini.. ibu disini...”

Handoko duduk ditempat yang ditunjuk Bintang, sudah siap piring disitu. Palupi ingin berdiri, tapi Mirah menahannya duduk.

“Ibu, bapak ingin makan bersama ibu.”

Handoko melotot. Mirah tersenyum senang karena Palupi mengurungkan niatnya. Mirah melayani mereka sambil tersenyum-senyum.

***

“Bapak, makanan disini nggak enak,” kata Nanda ketika mereka sedang makan disebuah warung.

“Ah, enak kok.. nih, bapak hampir habis.”

“Masih enak makanan dirumah ibu.”

“Nanda .. sudah .., habiskan makanannya.”

“Besok kerumah ibu lagi ya?”

Tiba-tiba Pri teringat kata-kata Mirah pagi tadi, bahwa Handoko akan menjemput isterinya. Ada sedih merayapi hatinya mengingat ia bakalan tak lagi pernah bertemu Palupi.

“Ya kan bapak?”

Pri yang semula berharap Palupi adalah janda, tiba-tiba kehilangan semua harapan itu. Keluarga yang sedang perang mendadak segera menjadi damai.

“Bapak...”

Pri harus menghilangkan semua perasaannya, tapi Nanda terus mengusiknya.

“Nanda kenyang,” tiba-tiba Nanda menyodorkan piringnya yang tersisa separo.

“Lho, itu kan cuma sedikit, mengapa tidak dihabiskan?”

“Nanda kan sudah bilang, nggak enak,” kata Nanda sambil merengut.

“Biasanya juga makan disini, tapi Nanda bilang enak.”

“Sekarang nggak enak. Sudah kenyang.”

“Nanda.. ayo sedikit lagi.”

“Tapi bapak janji ya, besok ke rumah ibu.”

“Ibu besok pergi.”

“Nggak, kata siapa?”

“Coba Nanda sekarang tilpon ibu, tapi makanannya dihabiskan dulu.”

Pri sesungguhnya ingin tahu apakah besok Palupi sudah tidak ada di rumah itu, atau sudah pergi bersama Handoko.

Janji yang diberikan Pri membuat Nanda bersemangat. Ia menarik kembali piringnya, dan melanjutkan makannya.

***

Handoko selesai makan. Bintang tampak senang bisa makan bersama bapak dan ibunya.

Mirah melayani dengan wajah sumringah. Tapi Palupi seperti merasa bahwa kemesraan itu seperti dibuat-buat.  Mungkin karena rengekan Bintang. Mungkin juga karena ulah Mirah.

“Bukankah masakan ibu enak pak?” Mirah mulai lagi memancing-mancing.

“Enak kok.. ya kan bapak?” justru Bintang menyela.

“Mm.. apa?” Handoko masih malu-malu mengakuinya.

“Kalau mas Bintang selalu bilang enak, coba bapak bilang apa?” kata Mirah sambil mengambil piring kotor dari atas meja, sementara Palupi diam-diam menunggu jawaban suaminya.

Handoko terbatuk-batuk.

“Tolong air putihnya...”

Mirah mengambilkan kan berisi air putih untuk menambah air di minuman Handoko.

“Pelan-pelan bapak.”

Handoko berdiri, berjalan kearah depan. Ia merasa sehari ini Mirah mengganggunya.

“Awas kamu Rah,” gumamnya pelan.

Palupi membantu membersihkan meja, tapi Mirah melarangnya.

“Jangan bu, biar saya, ibu kedepan saja menemani bapak.”

Palupi merengut, bukan ke depan untuk menemani Handoko tapi mau masuk ke kamarnya. Tapi tiba-tiba ponsel Palupi yang terletak di meja dimana Handoko duduk berdering. Palupi terpaksa mendekat untuk mengambilnya.

“Hallo, Nanda ?

“Ibu, apakah besok Nanda boleh kerumah ibu?” tanya Nanda dari seberang.

“Tentu saja boleh Nanda.”

“Ibu besok tidak pergi kan?”

“Tidak, besok ibu dirumah saja.  Kamu boleh datang setiap kamu ingin datang, sayang.”

“Horeee.. bapak, ibu tidak pergi kok,” suara Nanda kepada bapaknya, lalu pembicaraan terhenti.

Handoko mendengarkan pembicaraan itu lalu wajahnya  muram seketika. Padahal sebenarnya ia ingin bicara dengan isterinya.

“Miraaah..” teriaknya.

“Ya bapak, sebentar, baru mencuci piring bapak,” Mirah berteriak dari belakang.

“Miraaah...” Handoko mengulang teriakannya.

Palupi membalikkan tubuhnya, masuk kedalam kamar, ketika melihat wajah suaminya mendadak muram.

“Ya bapak..”

“Ayo kita pulang sekarang,” katanya tandas.

“Tapi..”

“Mirah, tinggalkan saja dapur, biar aku menyelesaikannya.

“Baiklah, tapi ini kurang sedikit. “

Mirah melanjutkan pekerjaannya, sementara Handoko mendekati Bintang yang sedang asyik menonton acara di televisi.

“Ayo pulang nak, sudah malam.”

“Ibuuu..apakah besok boleh kesini lagi?”

“Tidak Bintang, besok tidak boleh kesini.” kata Handoko sengit.

“Memangnya kenapa ?” Palupi protes.

“ Ada tamu istimewa dirumah ini, bukan?”

“Ooh.. iya... iya.. tamu istimewa, memangnya kenapa?” tantang Palupi.

Dan damai yang sudah hampir hinggap kemudian merayap jauh.

***

“Mirah, sini.” Panggil Handoko ketika Bintang sudah tidur dirumah.

“Ya bapak.”

“Kamu itu usil ya.. “

“Usil bagaimana bapak?”

“Tadi pagi, ketika ketemu Priyambodo,  kamu bilang kalau aku akan menjemput Palupi, lalu kamu meminta aku makan, katanya disuruh Palupi, lalu ketika makan, kamu bilang bahwa aku yang meminta agar Palupi ikut makan. “

Mirah nyengir, lalu menundukkan kepalanya.

“Apa maksudmu?”

“Ketika saya bilang bapak mau menjemput ibu, saya bermaksud menghalangi pak Pri yang tampaknya ingin mendekati ibu.”

“Berarti kamu bohong.”

“Ketika makan, saya memang bermaksud agar bapak sama ibu kembali bersatu. Bukankah membahagiakan bisa makan bersama ibu dan mas Bintang?”

Handoko menghela nafas.

“Kamu tahu bahwa dia tidak bahagia. Sikapnya sama aku ketus, lalu dengan manis dia menjawab telpon dari anak itu. Mempersilahkan dia datang setiap hari. Dan kalau datang itu kan pasti sama bapaknya?”

“‘kamu boleh datang kapan saja kamu ingin, sayang’.” Suara Palupi ketika Nanda menelpon itu terdengar sangat manis, dan itu membuat hati Handoko yang hampir melunak kembali mengeras.

“Kamu tidak tahu dia bersikap begitu manis ketika anak kecil itu menelponnya?”

“Bapak, anak kecil itu hanya merindukan ibunya yang sudah meninggal.”

“Dan bapaknya juga merindukan seorang isteri karena isterinya sudah meninggal kan?”

“Ma’af bapak, bapak boleh memarahi saya, tapi semua itu saya lakukan demi kembali  utuhnya keluarga ini.”

“Tapi aku tidak melihat gambaran itu.”

“Bapak jangan putus asa.  Perjuangkan cinta bapak, jangan biarkan orang lain merebutnya.” Kata Mirah tanpa takut.

“Kamu anak kecil tahu apa.”

Mirah menengadahkan wajahnya dengan kesal karena tuan gantengnya mengatakan dia anak kecil.

“Saya sudah tua, bapak.”

“Oo.. ahaa.. baiklah nenek..”

Mirah cemberut, lalu ia berdiri dan beranjak kebelakang.

Handoko menyandarkan tubuhnya, memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Perjuangkan cinta bapak, jangan biarkan orang lain merebutnya.”

Ucapan pembantu setia itu terngiang terus ditelinganya. Tapi bagaimana kalau Palupi begitu angkuh? Dia  baru saja mengakui kalau Pri itu istimewa.

***

Hari itu Tanti sudah datang di perusahaan yang alamatnya dikatakan  Widi. Ia masuk perlahan, mencari ruang yang ada tulisannya  DIREKTUR.  

Seorang sekretaris yang duduk  di sebuah bangku menatap Tanti.

“mBak, mau mencari siapa?”

“Saya Tanti, bisa menghadap bapak direktur?”

“Oh, mbak Hartanti ? Kemarin bapak sudah berpesan”

“Oo..”

“Mari saya antar ke dalam, bapak sudah ada didalam.”

Tanti mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Ia belum pernah melamar pekerjaan, dan belum pernah bekerja tentunya. Pertanyaan apa ya nanti yang akan diajukan, ia sedang mereka-reka  jawaban..seperti  yang sejak semalam difikirkannya, dan belum menemukan kata-kata yang menurutnya pas.

Begitu masuk ruangan, Tanti melihat seseorang sedang membelakangi mejanya karena sedang menelpon. Seketaris yang mengantarnya sudah meninggalkannya. Ia menunggu sambil masih berdiri. Begitu selesai menelpon, sang direktur memutar kursi kerjanya, lalu menatap Tanti. Tanti terkejut karena sudah mengenalnya.

“Tanti ?” sapa Handoko.

“Ya mas.. eh.. bapak.. saya tidak mengira bahwa..”

“Iya.. tidak apa-apa. Widi teman kamu yang nakal itu memang suka mengganggu. Apa kamu menyesal ternyata harus bekerja disini?”

Menyesal? Tanti sangat butuh uang, dan mendapat kesempatan bekerja, tentu saja dia suka.

“Menyesal?” Handoko mengulang pertanyaannya.

“Tidak, tentu tidak pak, karena saya membutuhkan uang untuk biaya kuliah saya yang hampir berakhir.”

“Widi bilang kamu hanya punya ibu karena bapak sudah meninggal?”

“Iya pak, ibu saya bekerja keras untuk membiayai kuliah saya.”

“Ibu kamu hebat. Bekerja dimana beliau?”

“Dia... bekerja.. sebagai.. pembantu rumah tangga,”  kata Tanti  lirih.

Handoko tertegun. Seorang pembantu rumah tangga, menyekolahkan anaknya sampai kuliahnya hampir selesai? Ia menatap Tanti lekat-lekat. Gadis sederhana yang cantik, dan pastinya pintar,  anak seorang pembantu rumah tangga.

“Ma’af pak, memang itulah kenyataannya,” kata Tanti takut-takut, khawatir Handoko menolaknya.

“Tidak, mengapa kamu minta ma’af? Aku kagum pada ibu kamu. Dia luar biasa.”

Tanti menundukkan mukanya, terharu ibunya mendapat pujian. Memang ibunya luar biasa. Tanti menyimpan kebanggaan didalam hatinya.

“Baiklah, saya akan memanggil kepala gudang dan mengatakan bahwa dia sudah punya anak buah yang akan membantunya.

Tapi tiba-tiba Danang muncul.

“Mas.. mana yang katanya mas sudah mendapat karyawan? Oh ini?”

“Ya, tolong antarkan dia ke bagian gudang,” kata Handoko sambil menahan senyumnya.

Danang mendekat, lalu memandang seorang gadis yang duduk didepan kakaknya sambil menundukkan mukanya. Tanti sudah sangat mengenal Danang, berdebar ketika nanti harus bertatap muka.

“Ayo ikut aku,” kata Danang. Tapi kemudian dia terkejut.

“Tanti? Astaga.. mas.. apa-apaan ini?” lalu Danang tertawa keras.

“Hei.. ini kantor, tahan ketawamu.”

“Ya.. ya.. aku tahu, mas mempermainkan aku, dan Tanti juga. Dia bilang sudah mendapat pekerjaan, dan mas bilang sudah dapat karyawan. Okey, tapi aku suka, ini hari terbaik untuk aku.”

“Awas Nang, jaga sikap kamu.”

“Iya.. iya.. aku tahu.”

Dan dengan wajah berseri Danang mengantarkan Tanti ke bagian gudang.

***

Pri mengantarkan Nanda yang pagi itu merengek ingin ketemu Palupi. Pri menurutinya karena ia punya keinginan yang sama. Ia harus tahu, bagaimana sebenarnya hubungan Palupi dengan suaminya.

Pri berjanji dalam hati, bahwa hari itu ia akan mengutarakan isi hatinya.

“Ayo silahkan masuk mas Pri, Nanda, disana ada teman kamu,” kata Paupi yang langsung menggandeng Nanda masuk kedalam.

Lalu Pri terkejut karena melihat Mirah menatapnya dari pintu masuk.

“Oh, pak Pri.. saya kira bapak.. so’alnya bapak bilang mau makan pagi disini,” kata Mirah asal.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15