SANG PUTRI 22

 

SANG PUTRI  22

(Tien Kumalasari)

 

Mirah ingin menangis melihat Bintang mondar mandir memasuki setiap ruangan sambil memanggil-manggil ibunya.

“Kasihan mas Bintang.” Ujar Suprih.

“Mengapa tadi cepat-cepat pergi bu? Tidak ingin melihat anaknya dulu..”

“Justru tadi bilang, kebetulan Bintang nggak ada.. aku tak sampai hati melihatnya.. begitu nak.”

“Ya Tuhanku...” Mirah menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Yu Miraaah... ibu nggak ada..” kata Bintang dengan wajah muram sambil mendekati Mirah yang masih terduduk dikursi.

Mirah meraihnya dan mendudukkannya di atas pangkuannya, menciumi kepalanya sambil berlinang air mata.

“Mana ibuu !!”  rengek Bintang sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan keras.

“Mas Bintang, rupanya ibu belum datang.. kita tunggu saja ya..jangan rewel ah, yu Mirah mau masak sama bu Suprih.. mas Bintang main saja di kamar ya?”

“Mana ibu....” teriaknya lagi semakin keras.

Mirah menggendongnya.

“Anak pintar nggak boleh nangis, nggak boleh rewel.. ya kan?”

Tapi Bintang tetap menangis. Memang selama ini ia tak begitu dekat dengan ibunya, tapi ketika memeluknya dengan air mata bercucuran, Bintang tak bisa melupakannya. Tetesan air mata itu membekas dalam sanubarinya. Menyiratkan bahwa sang ibu sangat berduka. Itu membuatnya tersentuh dan kemudian merasa bahwa ibunya sangat mengasihinya. Sekarang  Bintang sangat merindukannya, dan ingin selalu menyapu air mata itu dengan jemarinya yang mungil.

“Mas Bintang main sama bu Suprih yuk.. bu Suprih bisa ndongeng bagus.. dongengnya si kancil dan harimau yang sangat galak. Hauuuuwwww... gitu suaranya,” rayu bu Suprih sambil menirukan auman harimau.

Bintang hanya sejenak mendengarkan ucapan Suprih, kemudian ia merengek lagi.

“Mau ibuuuu...”

Mirah hampir terjatuh karena Bintang meronta dengan marah.

“Lhooh.. iya yu Mirah lupa.. tadi ada coklat ya.. tolong bu Suprih, ambilkan coklat di bungkusan belanjaan itu.. mas Bintang pasti suka deh,” kata Mirah.

“Mau ibu.. mau ibu.. mau ibuuu..”

Mirah kembali duduk, lalu meraih ponselnya yang ada didalam tas kecilnya. Ia ingin menelpon Palupi, tapi tidak punya nomor kontaknya, lalu dia menelpo tuan gantengnya.

“Ada apa Rah? Sudah dirumah ?”

“Sudah bapak.. “

“Mau ibu... mau ibuuu..” Bintang berteriak dan tentu saja Handoko mendengarnya.

“Ada apa Bintang ?”

“Rewel bapak, tiba-tiba terus mencari ibu. Tolong bapak menelpon ibu ya, saya sama bu Suprih kewalahan menghiburnya.”

“Dia belum datang kerumah?”

“Sudah bapak, pagi-pagi, lalu pergi sebelum saya dan mas Bintang datang.”

“Bintang.. mana Bintang, biar aku bicara.”

Mirah memberikan ponselnya kepada Bintang, tapi Bintang menepiskan tangannya, sehingga ponsel itu jatuh. Bu Suprih mengambilnya.

“Untung tidak pecah, tapi lepas nih, tutupnya,” kata Suprih yang lalu membetulkan ponsel itu.

“Hallo...”

“Bagaimana Rah?”

“Aduh, untunglah masih bisa dipakai. Ponsel Mirah ditepiskan mas Bintang sampai jatuh. Rewel sekali ini bapak, tidak seperti biasanya.”

“Hm.. mengapa tiba-tiba bisa seperti ini? Biasanya tidak peduli sama ibunya.”

“Mirah juga tidak tahu bapak.”

“Ya sudah, suruh diam, aku akan mencoba menghubungi dia.”

Mirah memeluk Bintang yang sedang menangis keras.

“Sabar ya, bapak baru mau mencari ibu,” kata Mirah.

***

Tapi Handoko tak berhasil menghubungi Palupi. Ponsel dimatikan atau barangkali dia sudah berganti nomor. Handoko termenung di ruangan kerjanya. Tak menyangka kalau Bintang rewel mencari ibunya.

“Ada apa ini? Apakah dalam hati kecilnya Bintang merasa bahwa akan berpisah dengan ibunya? Apakah aku telah salah dalam melangkah?” gumamnya sambil  kepalanya bertumpu pada kedua tangannya di atas meja.

“Apakah aku yang membuat Bintang jadi begitu?”

“Mas.. ini laporan yang mas minta,” Handoko terkejut karena Danang tiba-tiba sudah ada di depannya.

“Oh.. ya.. ya..”

“Ada apa nih? “

“Bintang tiba-tiba rewel mencari ibunya.”

“Oh ya? Biasanya maunya sama Mirah.”

“Itulah aku jadi bingung.”

“Dari tadi bingung melulu.”

“Aku sudah membiarkan Palupi pergi. Tapi aku juga memberinya uang lewat ATM nya seperti biasa.”

“Mas benar-benar mau bercerai?”

“Aku bilang sudah menyiapkan surat cerai. Sebenarnya baru mau mengurusnya. Aku baru ngomong sedikit, dia langsung pergi. Susah berkomunikasi sama dia.”

“Dia langsung marah, atau sakit hati karena mas mengatakan sudah menyiapkan surat cerai. Dia itu punya sifat tinggi hati, nggak mungkin setelah mas bilang begitu lalu dia mau mengomentari atau menjawabnya. Mungkin hatinya sakit, tapi dia tak mungkin memohon belas kasihan.”

“Haa.. kamu lebih tahu dia daripada aku?”

“Bukan begitu mas, aku bisa mengerti karena dia sering berkeluh dan merasa selalu di salahkan. Aku bilang .. kalau nggak mau di salahkan ya jangan buat kesalahan, minta ma’af dan perbaiki sikap... ee.. dia malah marah-marah.”

“Sekarang aku jadi memikirkan Bintang.”

“Hubungi dia dan suruh dia kembali.”

“Ponselnya dimatikan.”

“Wah.. lalu pergi kemana dia?”

“Bintang itu kalau ada maunya... aduuh.. Untunglah Mirah selalu bisa melayaninya dengan baik.”

“Mas suka sama Mirah?”

“Ah.. kamu..”

“Mas pernah bilang ketika memarahi aku, bahwa Mirah itu milik mas.”

Handoko tersenyum.

“Hanya untuk menghentikan kenakalan kamu." Tapi dalam hati Handoko mengakui, bahwa pernah terbersit keinginan seperti itu.

“Dan sama mbak Palupi juga kan?”

“Hanya memanas-manasi dia.”

“Tapi mbak Palupi marah beneran.”

“Aku berfikir dengan begitu dia lalu akan merubah sikapnya.”

“Ya sudah mas, nanti mas coba menelpon lagi. Sekarang mas konsentrasi pada pekerjaan dulu.”

Handoko mengangguk. Tapi kegelisahan masih menyelimuti hatinya.

***

Palupi memang mematikan ponselnya. Ia merasa bahwa rumah tangganya telah sampai di sebuah titik dimana ia harus mengakhirinya. Ada perasaan bersalah, yang sebetulnya ia ingin memperbaikinya. Ketika pulang kemarin dia ingin bicara sama suaminya, tapi tanpa ba bi bu.. Handoko sudah mengucapkan kata-kata yang menusuk perasaannya.

“Palupi, aku sudah memikirkannya masak-masak, rupanya kamu memang bukan seorang isteri dan ibu yang baik. Barangkali kamu akan lebih bahagia kalau terlepas dari aku. Aku sudah menyiapkan sebuah surat cerai untuk kamu, jadi bergembiralah.”

Palupi menitikkan air mata. Sekarang ia harus berfikir untuk menata hidupnya, dan memikirkan juga apa yang harus dilakukannya. Tak ada celah untuk berbincang dengan suaminya, dan ia memang tak ingin.

Ia membuka ponselnya setelah sejak pagi dimatikan. Ada beberapa panggilan masuk, salah satunya dari Handoko. Palupi tak mempedulikannya, tapi ada pesan singkat dari Dewi yang menanyakan pembayaran arisan.

“Aduh, aku sampai lupa.”

Palupi membuka m banking di ponselnya dan memeriksa saldonya. Dengat terkejut ia melihat bahwa saldonya telah terisi seperti biasanya.

“Rupanya mas Handoko belum ingin aku mati kelaparan,” gumamnya perlahan. Lalu ia mentransfer sejumlah uang untuk pembayaran arisan.

“Aku akan mengontrak sebuah rumah kecil. Masih ada uang pembayaran kontrakan rumah bapak yang belum aku pergunakan. Tapi aku harus meminta tolong siapa ya supaya bisa mencarikan rumah kecil-kecilan? Mas Pri? Ah, sungkan aku merepotkan dia. Belum lama kenal juga sudah bikin repot.”

Lalu Palupi membuka-buka lembaran koran yang dibelinya untuk bacaan tadi pagi.

Sebuah panggilan masuk tak digubrisnya karena dia sedang menemukan iklan sebuah rumah kecil yang barangkali terjangkau olehnya. Ia mencatat alamatnya lalu menghubungi nomor yang ada disana.

“Ok, siang ini juga saya mau kesana,” kata Palupi ketika mengakhiri pembicaraannya.

Palupi sangat bersemangat karena menginap dihotel jauh lebih mahal.

***

Palupi mengamati rumah itu. Dikontrak sudah dengan perabotnya yang lumayan, walau tidak mewah seperti yang ada di rumah Handoko. Almari, tempat tidur .. kulkas di dapur.. ada kompor..

Rumahnya kecil, hanya ada dua kamar, dapur..  tapi Palupi puas, rumah itu dirawat dengan baik sehingga bersih. Pembicaraan tentang rumah cepat selesai. Besok  Palupi boleh pindah ke rumah itu.,

Palupi hanya butuh beli kasur dan alat-alat dapur. Aduhai.. bagaimana ya cara memasak.. Ah, entahlah, yang jelas Palupi baru akan belajar mengarungi hidup dan kehidupan.

Pagi hari Palupi keluar dari hotel langsung ke rumah itu. Hanya satu kopor yang dibawakan Suprih. Beberapa pakaian dan perhiasan yang ada di kamarnya sendiri ada semua. Yang tertinggal di kamar Handoko tidak ada. Tapi Palupi tak ingin mempermasalahkannya.

Sekarang ia baru menaruh kopor itu dikamar. Biarpun bersih tapi tidak setiap hari dibersihkan sehingga tampak agak berdebu. Palupi ke belakang. Ada sapu, kain pel. Palupi memegangnya dengan kikuk.  Tapi ia harus bisa. Dulu, karena dia anak tunggal,  kedua orang tuanya tak pernah mengajarinya mengurus rumah. Ada pembantu yang melakukan semuanya, sampai dia menikah dengan Handoko. Tak lama setelah itu, ibunya meninggal, disusul kemudian ayahnya.

Palupi bahagia karena ketika menikah Handoko sudah mempersiapkan Mirah sebagai pembantu. Dia benar-benar sang putri yang menjadi ratu dirumahnya.  Handoko juga memanjakannya, membiarkannya mengikuti segala macam organisasi yang menyita hampir seluruh waktunya. Semuanya tak terasa, sampai ketika Handoko mengalami kecelakaan, Palupi terlanjur tenggelam dalam kesibukannya, tak pernah mengurusi  suami yang sedang sakit. Sa’at itulah Handoko merasa bahwa Palupi ternyata tidak pernah memperhatikan keluarga. Mengasuh Bintang sejak bayi, Mirah yang melakukannya. Lalu perlahan keadaan menjadi meruncing karena Palupi tak menyadari kesalahannya.

Palupi mengusap peluhnya begitu selesai menyapu seluruh ruangan, sambil mengelap meja kursi dan peralatan yang berdebu.

Lalu ia duduk kecapekan disebuah kursi.

Ia ingin minum, ternyata tak ada air setetespun di rumah itu. Lagipula ia harus membeli cairan pembersih lantai agar wangi setelah dipel.

Palupi membersihkan mukanya, lalu keluar rumah, dan menemukan sebuah toko kecil yang menjual apa yang diperlukannya.

Sekaligus ia membeli peralatan dapur yang kebetulan ada ditoko itu. Cerek kecil, panci, wajan. Ha.. ini cukup..

Palupi meletakkan semuanya didapur yang sudah dibersihkannya. Lalu kembali kedepan untuk minum air botol yang dibelinya.

“Biar saja sekarang minum air putih. Nanti sore bisa membuat teh atau kopi... aduuh.. mengapa tadi tidak membeli sekalian?”

Hari itu Palupi benar-benar sibuk. Kasur busa yang dipesannya datang, berikut bantal gulingnya. Lalu dia minta tolong pengirimnya untuk memasangnya sekalian. Lalu ternyata Suprih tidak membawakan seprei didalam kopor itu.

“Baiklah, nanti sekalian belanja semuanya. Sekarang mengepel lantai.  Bagimana ya caranya? Menuang cairan pembersih itu langsung, atau bagaimana?”

Palupi beranjak ke belakang, melihat ada ember disana, untunglah. Kain pel dengan gagang agak tinggi itu dibasahinya dulu. Atau menuangkan sedikit cairan kedalam air itu?

“Kental sekali, oh.. ada petunjuk pemakaiannya.”

Tapi belum selesai melakukannya Palupi merasa kelaparan. Aduh, mengapa tidak sekalian membeli cemilan? Tapi Palupi menahannya. Ia  melanjutkan mengepel seluruh rumah dengan nafas terengah. Lalu ia benar-benar menjatuhkan tubuhnya dikasur yang tidak beralas.

Ia tertidur kecapekan.

***

Ketika Handoko pulang ke rumah dengan diantar Danang, dilihatnya Mirah duduk di teras sambil memangku Bintang. Wajah anak itu pucat dan kuyu.

Begitu melihat bapaknya datang, Bintang menatapnya.

“Mana ibu ?”

Handoko trenyuh melihat wajah anaknya.

“Bapak belum menelponnya?”

“Tidak aktif. Yang terakhir tidak diangkat,” jawab Handoko sambil mencium kepala anaknya.

“Mana ibuu?” tanya Bintang lagi.

“Bintang, sabar ya.. ibu belum bisa pulang. Coba ditunggu sampai besok ya?”

Bintang menjatuhkan kepalanya didada Mirah. Tampaknya dia letih menangis.

“Bintang sudah makan?”

“Dari tadi tidak mau makan bapak. Hanya minum susu.”

“Lho, mengapa tidak makan? Bapak juga lapar nih, ayuk.. temani bapak makan.”

Bintang bergeming.

“Makan ya mas Bintang, sama bapak? Kan bu Suprih sudah menggoreng ayam untuk mas Bintang?”

Tak ada reaksi Bintang. Mirah menggendongnya ke belakang, bermaksud mendudukkannya di kursi makan, tapi kakinya menyekap erat tubuh Mirah.

“Gimana mas Bintang. O, makan sambil dipangku yu Mirah kan?”

Lalu Mirah duduk, tapi Bintang tetap menyandarkan kepalanya di dada Mirah.

Handoko yang sudah berganti pakaian  duduk di kursi di depan Mirah. Menatap Bintang dengan sedih.

“Tetep nggak mau ya?”

Mirah sedih sekali. Belum pernah Bintang serewel ini.

“Haa, bapak tahu.. ayo kita beli es krim? Siapa tahu nanti di jalan ketemu ibu..” kata Handoko sekenanya, asalkan Bintang mau makan.

Bintang mengangkat kepalanya.

“Makan dulu, habis itu kita pergi beli es krim, ya kan yu Mirah?”

“Benar ?”

“Iya, asalkan Bintang mau makan dulu.”

Akhirnya Bintang mau makan. Janji beli es krim dengan harapan bisa ketemu sang bunda membuatnya semangat.

Handoko berganti pakaian lagi sementara Mirah mendandani Bintang. Setelah itu Handoko mencoba menelpon Palupi.

Tapi lagi-lagi Palupi tak mengangkatnya.

***

Palupi masih terkapar di tempat tidurnya yang tak beralas, karena kelelahan. Ia merasa badannya sakit semua. Biasanya, capek sedikit saja dia lalu meneriaki Mirah, dan akhir-akhir ini Suprih. Siapa sekarang yang akan memijit kakinya?

Ketika membuka matanya Palupi merasa seperti mimpi. Ia bangkit dan memandang sekeliling. Kopor teronggok didepan almari, kasur dan bantal tanpa sarung. Lalu Palupi teringat bahwa pekerjaannya belum selesai. Ia harus membeli perabot yang dia belum punya. Lalu Palupi memegangi perutnya yang melilit.

“Aduuh, lapaar..”

Palupi mengganti pakaiannya, merapikan dandanan sekenanya,  lalu bergegas keluar sambil memanggil taksi.

Tujuan pertamanya adalah makan. Ia bisa pingsan tanpa makan setelah mengerjakan pekerjaan yang amat berat.

Ia memasuki rumah makan ketika ponselnya berdering.

“Aduuh, mengapa mas Handoko terus-terusan menelpon? Bukankah dia sudah memutuskan semuanya ?” lalu Palupi mengabaikan lagi panggilan Handoko untuk yang kesekian kalinya.

Kemudian ia duduk di sebuah kursi dan memesan makan serta minum.

Sambil menunggu ia memijit-mijit lengannya, lalu kakinya.

“Tak berubah, tetap saja pegel.”

Tiba-tiba ponselnya berdering lagi, tapi kali ini Palupi mengangkatnya. Dari Pri. Dan ketika Palupi membukanya, yang bicara adalah Nanda.

“Ibu..”

“Hallo Nanda..”

“Ibu dimana?”

“Ibu lagi makan. Nanda sudah makan?”

“Nanda juga mau makan.”

“Oh bagus, ibu ada di rumah makan   ketika kita makan dulu. Nanda mau menyusul?”

“Bapak, kita ketemu ibu ya?”

Lalu Nanda memberikan ponsel kepada ayahnya.

“mBak Palupi ada di mana?”

“Di rumah makan tempat kita makan dulu bersama Nanda. Kalau Nanda mau boleh menyusul.”

“Baiklah, kami akan kesana, biar Nanda senang.”

Palupi menutup ponselnya. Ia senang ketemu Nanda, tapi sebenarnya ia ingin bertanya kepada Priyambodo, di mana dia bisa menemukan tukang pijat.

Palupi sudah menghabiskan makanan yang dipesannya ketika Nanda muncul, kemudian berlari memeluknya.

“Ma’af, saya sudah makan, habis lapar sekali, dari pagi belum makan,” kata Palupi tersipu karena makan tanpa menunggu.

“Dari pagi?”

“Nanti sambil makan saya akan bercerita.”

"Apa Nanda masih rewel?"

"Tidak... "

"Syukurlah"

“Baiklah, saya pesan dulu makan untuk Nanda.”

Mereka asyik berbincang ketika seorang anak kecil menggandeng bapaknya masuk ke rumah makan itu.

Dan teriakan segera terdengar ketika sebuah panggilan kegembiraan melucur dari mulut anak kecil itu.

“Ibuuuu...! Benar bapak.. kita ketemu ibu..” teriaknya sambil berlari mendekati Palupi.

Tapi Handoko tertegun melihat Palupi tidak sendiri.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15