ADA YANG MASIH TERSISA 16
(Tien Kumalasari)
Pram setengah berlari menemui perawat yang menunggu, lalu menandatanganinya dengan tangan gemetar.
“Yang benar saja.. mengantar isteri orang yang mau melahirkan, dan sekaligus menandatangani ijin untuk operasi caesarnya,” gumam Pram sambil duduk menunggu dengan hati berdebar.
Belum lagi sebelum operasi dimulai dokter atau perawat tadi menawarkan, apakah dia akan menunggui sa’at operasi.. Astaga.. ya enggak lah. Pram beralasan nggak tega melihat darah.
“Ya Tuhan.. bagaimana kalau ada setan lewat?” pikirnya sambil tersenyum, teringat candaannya bersama Miranti beberapa bulan yang lalu.
“Baiklah ‘suami’.”
“Suami? Awas ya kalau ada setan lewat jadi beneran.”
Setengah jam kemudian barulah pak Kusumo dan bu Kusumo muncul.
“Bagaimana Pram?”
“Sudah dimulai operasinya ?” tanya pak Kusumo.
“Sudah setengah jam yang lalu pak.”
“Terimakasih ya Pram, kamu yang harus repot, kemana Tejo ini ya?”
“Sudah bapak hubungi lagi?”
“Sudah Pram, ponselnya mati. Tadi saya telpon kantor katanya dia sudah keluar.”
“Kalau keluar itu berarti pulang pak, pastinya Ana sudah memberi tahu kalau pulang,” kata bu Kusumo.
“Ibu tahu nomor kontaknya Ana?”
“Tidak tahu pak.”
“Pram tahu?”
“Tidak pak.”
“Waduh.. apa bapak kerumah dulu ya, tapi bapak ingin menunggu dia sampai lahir,” kata pak Kusumo.
“Ya sudah pak, disini dulu, biarkan saja Tejo pulang, nanti kalau Ana memberi tahu pasti dia langsung kemari.”
Bu Kusumo menelpon bu Winardi, mengabarkan bahwa Miranti mau melahirkan dan baru dioperasi.
Mereka menunggu dengan tegang.
***
“Wah, sayurnya keasinan...” teriak Tejo begitu menyuap makanannya.
“Masak sih..”
“Katanya kalau masak keasinan tandanya pengin kawin..”
Ana terkekeh genit, sambil mencubit lengan Tejo. Siang itu mereka makan semeja, bak suami isteri beneran, siapa yang mau nglarang? Tak ada orang kecuali mereka berdua.
“Seandainya kita sudah suami isteri ya Nis?”
“Iya, kelamaan.”
“Enak dan nyaman begini, nggak ada yang mengganggu dan menghalangi, semua sibuk menunggui orang mau melahirkan,” gumam Tejo.
“Bagaimana nanti kalau tiba-tiba bapak kamu datang kemari dan melihat kita sedang berduaan?”
“Iya ya, kamu kan tahu bahwa Miranti kerumah sakit, kalau aku pulang, harusnya kamu memberi tahu dan aku juga harus berangkat kerumah sakit.”
“Iya mas, kalau tidak, aku yang disalahkan, dikira tidak memberi tahu.”
“Iya sih, ya sudah, kita pikirkan nanti, yang penting aku senang bisa makan bareng dirumah seperti ini. Yang melahirkan biarlah melahirkan. Ya kan?”
Ucapan yang tidak pantas, sementara yang mau melahirkan adalah isterinya. Keduanya asyik bercanda dan bermesraan, tak peduli ketegangan sedang meliputi hati kedua orang tuanya.
***
Belum satu jam setelah operasi dimulai, sebuah lengkingan tangis bayi terdengar, bagai membelah suasana mencekam diantara yang menungguinya.
“Sudah lahir pak, cucu kita.” Bu Kusumo hampir bersorak.
“Iya benar, alhamdulillah.”
Pramadi menarik nafas lega, hampir satu jam ia juga merasa tegang.
Ketika perawat membuka pintu kamar bersalin, yang ditatapnya adalah Pramadi.
“Bapak, ini anak bapak, laki-laki pak, apakah bapak mau mengadzaninya?”
Pram kebingungan. Ada rasa sungkan terhadap pak Kusumo dan isterinya karena dia dikira bapak dari bayi itu. Ia memandangi pak Kusumo dan bu Kusumo berganti-ganti, lalu mereka bangkit dari duduk mereka. Mendekati perawat yang menggendong bayi merah yang sudah dibungkus selimut cantik berwarna biru, pilihan Miranti dan Pram ketika itu.
“Mau di adzani pak?” ulang perawat itu.
Pram kebingungan, tapi pak Kusumo mengangguk.
“Kamu bisa kan Pram? Lakukanlah saja. Tidak apa-apa,” kata pak Kusumo.
Pramadi mendekat, sedikit gemetar ketika mengumandangkan adzan ditelinga si bayi.
“Ya Tuhan.. ya Tuhan.. mengapa harus saya.. firasat apa ini ?” batin Pram dengan hati bergelora.
“Biar saya menggendongnya sebentar,” kata bu Kusumo.
Tapi bukannya menyerahkan bayi itu kepada bu Kusumo, perawat itu justru menyerahkannya kepada Pramadi.
Pramadi masih gemetar ketika menerimanya, lalu diserahkannya bayi merah itu ketangan bu Kusumo.
“Cucuku... lihat pak, gantengnya, mirip siapa ini ya pak..” kata bu Kusumo dengan bersemangat.
“Iya, Ya belum kelihatan mirip siapa bu, masih bayi begitu, mudah-mudahan mirip aku..” kata pak Kusumo sambil mengelus kepala cucunya.
“Sudah ya bu, sekarang adik bayi mau dimasukkan kekamar bayi,” kata perawat sambil meminta bayi itu lalu dibawanya kekamar bayi yang terletak tak jauh dari ruang bersalin.
“Bu, aku mau pulang dulu mencari Tejo, bagaimana anak itu, isteri melahirkan sampai tidak tahu. Kalau pulang mestinya Ana sudah memberi tahu,” gerutu pak Kusumo.
“Iya pak, bapak coba susul kerumah, ibu nungguin disini saja sampai diperbolehkan ketemu Miranti.
“Saya antar saja bapak?” Pram menawarkan.
“Tidak Pram, kamu disini saja, siapa tahu nanti Miranti memerlukan sesuatu,” kata pak Kusumo sambil berlalu.
“Nanti ibu pilihkan kamar terbaik untuk Miranti, “ pesan pak Kusumo sambil menoleh kearah isterinya.
Bu Kusumo mengangguk, lalu mengusap air mata bahagia yang meleleh dipipi tuanya.
Pramadi terharu melihat kebaikan pak Kusumo dan bu Kusumo. Begitu besar kasih sayangnya kepada Miranti, sementara suaminya sama sekali tak pernah peduli.
***
“Aaduuh.. bapak kok lama banget pulangnya...aku ingin cepat-cepat menunggui cucuku lahir lho pak,” keluh bu Winardi dengan gelisah, ketika menunggu suaminya tak kunjung datang.
“Atau jangan-jangan malah sudah lahir ini.”
Dering ponsel terdengar, bu Win segera mengangkatnya.
“Bu Win... “ sapa bu Kusumo dari seberang.
“Ya bu...”
“Cucu kita sudah lahir dengan selamat bu..”
“Oh, alhamdulillah bu... saya bahagia sekali. Ini saya sudah siap, menunggu bapak masih di kantor.. Laki-laki atau perempuan bu?”
“Laki-laki, ganteng bu.”
“Ah, syukurlah..”
“Baiklah bu, tidak usah tergesa-gesa, yang penting ibu dan bayinya selamat dan sehat.”
“Iya bu.. saya segera berangkat begitu bapaknya Miranti datang.”
“Ya bu, ini sudah mau pindah keruang rawat. Sabar ya bu, tidak usah tergesa-gesa.”
“Baiklah bu..”
Bu Win tetap saja gelisah, ngedumel sambil berjalan kedepan dan kebelakang, menunggu pak Winardi yang belum juga tampak.
Kemudian ia kebelakang, lupa bahwa harus membungkus pisang rebus yang sudah siap dimeja, lalu membawa pisang ambon yang diunduhnya dari kebun sendiri. Semuanya disiapkan diteras.
Ketika melihat mobil suaminya memasuki halaman, bu Win sudah berdiri diteras, menunggu.
“Lama banget sih pak..”
“Rapat baru selesai. Bagaimana, sudah dioperasi? Kita berangkat sekarang?”
“Iya lah pak, cucu kita sudah lahir, laki-laki pak.”
“Syukurlah, kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.. tapi aku mau ganti baju dulu ya bu.”
***
Ketika keluar dari kamar bersalin dan dipindahkan ke ruang inap, yang pertama terlihat oleh Miranti adalah Pram, yang mendampingi bu Kusumo mengiringi brankar yang didorong oleh perawat.
Ada senyum tulus diwajah laki-laki tampan itu, lalu Miranti membalasnya dengan senyuman pula, yang tersungging dari bibir tipisnya yang masih tampak pucat.
“Bapak mana bu?” tanya Miranti ketika sudah dibaringkan dikamarnya yang nyaman.
“Bapakmu sedang mencari suami kamu. Entah kemana anak itu, sampai sekarang belum tampak batang hidungnya.
“Mungkin sibuk bu, biarkan saja.”
“Bagaimana keadaanmu, baik-baik saja?”
“Ya ibu, atas do’a ibu dan bapak.”
“Ibumu juga sudah ibu kabari, katanya menunggu bapak kamu pulang. Pasti secepatnya akan datang kemari.”
“Iya bu, terimakasih banyak.”
“Kamu ingin apa? Ibu belikan..”
“Tidak bu, tadi sudah diberi minum.”
“Baiklah, istirahat saja. Ibu menunggui kamu disitu,” kata bu Kusumo sambil menunjuk kearah sofa.
“Ibu, Miranti tidak usah ditunggui, nanti ibu kecapekan..”
“Tidak, ibu kan juga sambil menunggu bapak kamu. Pram.. duduklah disini..” kata bu Kusumo kepada Pram.
“Saya diluar saja bu..”
“Jangan Pram, nanti susah kalau mau minta tolong sama kamu. Duduklah disini, jangan sungkan.”
“Baiklah,” Pram kemudian duduk didekat bu Kusumo, melirik sekilas kearah Miranti lalu menundukkan wajahnya.
“Ibu, bukankah bapak sama ibu nanti akan datang kemari?” tanya Miranti tiba-tiba.
“Oh, iya, pasti, tadi ibu kamu sudah bersiap-siap mau berangkat.”
Pertanyaan Miranti itu seperti sebuah isyarat bagi Pram, bahwa ketika bapak ibunya datang, maka Pram tidak boleh terlihat oleh mereka.
Diam-diam Pram meraba bawah hidungnya. Hm.. harus ada kumis disini. Lalu Pram tersenyum sendiri. Ia tak membawa kumis pasangan itu, jadi lebih baik dia keluar, atau kembali membeli kumis palsu agar kalau terpaksa bertemu tetap tak bisa dikenali.
“Mau kemana Pram?” tanya bu Kusumo ketika melihat Pram berdiri.
“Mau kebelakang sebentar bu,” katanya sambil berlalu.
Miranti tersenyum lega, Pram bisa menangkap kata-katanya.
***
Diluar, Pram bingung sendiri. Kalau ia pergi membeli kumis itu, bagaimana kalau tiba-tiba bu Kusumo memanggilnya untuk melakukan sesuatu?
Pram berjalan kearah kamar bayi, melongok melalui tirai kaca, mencari dimana bayi Miranti diletakkan.
“Ini anak bapak, “ seorang perawat yang sejak tadi mengira bahwa Pram adalah bapaknya si bayi, menunjukkan kearah bayi yang tergolek agak diujung.
Pram tersenyum menatapnya. Hampir tak percaya dia telah membisikkan adzan ketelinga si ganteng mungil yang tampak terlelap.
“Kasihan nak, bapakmu tak peduli,” bisik Pram terharu.
Dan seperti mendengar kata-kata Pram, bayi itu mengerjapkan matanya, membuka mulutnya dan merengek perlahan.
“Ssst... diam sayang, tidak apa-apa, anggap saja aku bapak kamu ya..” bisik Pram lirih sambil meletakkan telapak tangannya dikaca, berharap bayi itu bisa merasakan getar suaranya. Lalu dengan heran Pram melihat bayi itu terdiam, menutup mulutnya kembali dan seakan tersenyum. Bagai teriris hati Pram melihat semua itu.
Lalu ia teringat bahwa ia harus segera pergi sebelum pak Winardi bersama isterinya datang.
Sekali lagi Pram menempelkan telapak tangannya ditirai kaca itu.
“Bapak pergi dulu ya,” lalu Pram tersenyum. Eh.. bapak..?
Pram bergegas keluar kearah parkiran.
“Dimana ya ada penjual kumis palsu? Ditempat aku beli dulu itu tempatnya agak jauh dari sini,” gumamnya.
Lalu Pram menelpon satpam kantornya.
“Ya bapak,” sapa sang satpam.
“Tolong belikan aku kumis palsu.”
Satpam itu terkejut setengah mati. Ia mengira pendengarannya keliru.
“Apa pak?”
“Ya ampun.. kamu masih muda, masa nggak dengar aku ngomong apa?”
“Ya.. saya mendengarnya seperti.. kumis palsu..”
“Ya, benar, kumis palsu.”
“Untuk bapak?”
“Ya untuk aku San, masa untuk kucing? Kucing kan sudah punya kumis sendiri?”
“Iya pak, benar. Yang bagaimana ya pak, takutnya nanti salah, kan bentuknya bermacam-macam.”
“Yang biasa saja, jangan yang seperti pak Raden, geli aku ..”
“Tapi...” sang satpam masih ragu-ragu.
“Tidak usah kebanyakan bertanya, mintalah uang kepada kasir, belikan dan antar ke rumah sakit.”
“Kerumah sakit mana pak?”
“Aduh, belikan dulu, tapi sebelum beli potoin kumisnya, kirimkan ke aku, sudah benar atau belum, kalau sudah benar nanti aku kasih tahu alamatnya.”
“Baiklah pak.” Jawab sang satpam sambil masih bertanya-tanya dalam hati. Ia mengira majikannya akan bermain drama, entah dalam acara apa.
“Cepat, nggak pakai lama ya.”
“Baik.”
Lalu Pram masuk kedalam mobil Miranti, duduk termenung disana. Merenungi hidupnya yang sangat rumit. Pura-pura jadi pengamen demi ingin ketemu Miranti, lalu menjadi sopir yang kebetulan juga sopir Miranti. Lalu harus memakai kumis palsu ketika akan bertemu dengan orang tua Miranti.
Pram geleng-geleng kepala sambil tersenyum lucu. Tapi itu tak seberapa, belum lama ini dia harus mengantar Miranti ke rumah sakit sa’at mau melahirkan, lalu menandatangani surat persetujuan operasi seakan dia adalah suami Miranti, lalu memekikkan adzan ditelinga anak Miranti, bak seorang bapak beneran.
Pram kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Apa yang akan terjadi didepan sana?” gumam Pram.
“Hanya Tuhan yang tahu..” gumamnya lagi.
Lalu ia menerima kiriman gambar kumis palsu dikaca ponselnya, yang membuatnya terbahak-bahak.
“San, itu kumisnya Charlie Caplin... moh aku!!” tulisnya membalas pesan dari satpamnya.
Lalu yang kedua itupun membuat Pram tertawa ngakak.
“Jangan ini.. seperti pak Raden.. hidungku geli.”
Tiga kali sang satpam mengirimkan gambar kumis palsu baru Pram menyetujuinya.
“Cepat kirimkan kealamat yang aku kirim, aku menunggu di parkiran, masuk saja.”
Pram mengirimkan nama rumah sakit dan alamatnya, lalu menunggu sambil tersenyum-senyum sendiri.
Hatinya berdebar ketika melihat mobil memasuki area parkir. Itu mobil orang tuanya Miranti.
“Aduh, kumisku belum datang,” gumamnya, lalu ia memerosotkan badannya kebawah sehingga kepalanya tidak terlihat.
***
Pak Kusumo sedang dalam perjalanan kerumah Tejo, tapi ia menelpon kantornya lagi, barangkali Tejo sudah berada dikantornya.
Tapi sekretaris mengatakan bahwa Tejo sudah keluar sejak lama. Pak Kusumo melanjutkan perjalanannya dengan terus membawa rasa kesal kepada Tejo. Tak seharusnya sampai anaknya lahir dia tak mengetahuinya.
“Apa sebenarnya yang dilakukan anak itu? Heran aku,” gerundelnya tak habis-habis.
“Tumben-tumbenan juga ponselnya mati,” lanjutnya dengan semakin kesal.
“Tanda tangan isterinya mau dioperasi, harus Pram, mengadzani anaknya setelah lahir, Pram lagi. Bagaimana kamu itu Jo.. jadi suami kok tidak bertanggung jawab. Memang dari semula kamu tidak suka dijodohkan, tapi kenyataan bahwa Miranti isteri yang baik, yang tidak neka-neka, cantik, apa tidak bisa meluruhkan hati kamu. Kemana lagi kamu mau mencari isteri sebaik Miranti Jo, seperti apa.. Anisa..? Gadis pengerat itu? Amit-amit Jo.. jangan sampai.. jangan sampai..” pak Kusumo terus-terusan ngedumel.
Begitu mobilnya memasuki halaman rumah Tejo, dilihatnya mobil Tejo ada disana.
“Ternyata pulang, apa Ana tidak memberitahu kalau isterinya mau melahirkan? Kok masih enak-enak dirumah,” omel pak Kusumo sambil masuk kedalam rumah.
Kebetulan rumah tidak dikunci. Tak ada suara apapun. Apa Tejo tertidur ? Dibukanya kamar Tejo, dan dilihatnya Tejo terbaring dengan bertelanjang dada, sedangkan Ana ada disampingnya.
Kemarahan pak Kusumo memuncak.
***
Besok lagi ya