ADA YANG MASIH TERSISA 15

ADA YANG MASIH TERSISA  15

(Tien Kumalasari)

 

Pram menoleh kearah pintu, tapi Ana sudah tak kelihatan batang hidungnya.

“Terimakasih ya Pram, dan karena kamu sudah ada disini, bisakah kamu menolong menurunkan kopor itu?”

“Ya baiklah, coba dari tadi kamu minta tolong Mir,” kata Pram yang segera menaiki kursi itu, lalu menurunkan kopornya.

Miranti sudah bangkit dari tempat tidur,

“Ya sudah, taruh saja diatas tempat tidurku ini, biar aku menatanya. Ini kan yang harus aku bawa ketika aku merasa mau melahirkan Pram. Supaya semuanya sudah siap ketika aku berangkat kerumah sakit.”

“Baik, tapi lain kali kamu jangan sembrono begitu Mir, untung aku yang mendengar teriakan kamu langsung berlari masuk kedalam, kalau tidak .. aduuh.. aku tak berani membayangkannya, terutama anak kamu itu.”

“Iya Pram, untunglah kamu selalu jadi penyelamat aku.”

“Sudah Pram, tolong bawa kursi itu keluar, dan tinggalkan aku sekarang.”

“Baiklah, tapi aku lihat tadi Ana sudah bangun.”

“Oh ya? Kok kamu tahu?”

“Tadi mau masuk kekamar ini, lalu melihat ada aku, lalu dia pergi dan bilang ma’af.”

“Aku tidak mendengarnya. Mengapa bilang ma’af?”

“Entahlah, mudah-mudahan dia tidak berfikir bahwa aku telah melakukan hal buruk terhadapmu.”

“Biarkan saja Pram, yang penting kita tidak melakukan apa-apa.”

“Ya sudah, aku keluar sambil mengembalikan kursi ini ya,” kata Pram sambil membawa kursi itu keluar.

“Ana..” teriak Miranti.

Ana mendekati kamar Miranti, dan melihat Pram mengembalikan kursi dan keluar dari dalam rumah.

Diam-diam Ana mengagumi wajah sopir Miranti yang tampan. Apa gerangan yang dilakukannya disamping tempat tidur Miranti? Ana berfikir jauh, dan siap-siap mengadukannya nanti pada Tejo.

“Ana..”

“Ya bu..”

“Tolong bantu aku memasukkan ini kedalam kopor.”

“Baiklah.”

“Kamu tadi tidur pulas sekali, aku memanggil kamu keras sekali dan kamu tidak juga bangun.”

“Iya, saya mendengar dan saya sudah kesini tadi, tapi ada mas sopir didalam.”

“Aku tadi ingin meminta tolong kamu agar kamu mengambil kopor ini dari atas almari. Tapi aku memanggil kamu lama sekali, bahkan aku masuk kekamar kamu dan kamu tidak mendengarnya.”

“Oh, ma’af bu, saya kalau tidur memang susah bangunnya.”

“Lalu aku naik sendiri keatas kursi, berusaha mengambilnya, tapi setelah berada diatas kursi aku ketakutan, lalu aku berteriak lagi lebih keras. Aku hampir jatuh, dan Pram yang mendengar teriakanku segera datang dan menolong aku.”

“O, jadi Pram masuk kesini karena dia berteriak? Kirain...” kata batin Ana.

“Ana..” tolong ya, aku masih berdebar-debar gara-gara mau jatuh tadi, biarkan aku berbaring sebentar ya.”

“Ya bu, nggak apa-apa.”

Miranti kembali berbaring,  mengelus perutnya yang terasa kencang-kencang, pasti karena pengaruh rasa ketakutan tadi.

Ana menata pakaian yang sudah disiapkan Miranti kedalam kopor sambil menggerutu didalam hati.

“Hm, enak ya, kamu berbaring sambil mengelus perutmu, sedangkan aku bersimpuh di karpet sambil menata baju-baju anakmu. Sial benar aku ini.”

Tapi malam harinya ketika sedang berduaan dengan Tejo, kicau Ana melagukan dendang yang lain.

“Tahu nggak mas, ternyata ada sesuatu diantara Miranti dan sopirnya,” katanya sambil memonyongkan bibir tipisnya.”

“Sesuatu bagaimana ?”

“Ya sesuatu, pokoknya pasti itu hubungan istimewa. Salah kamu sendiri, memilih sopir ganteng amat.”

“Eeit, kamu berani memuji-muji laki-laki lain dihadapan aku?”

“Lho, aku hanya ingin mengatakan, bahwa memilih sopir seperti itu berbahaya.”

“Mengapa kamu berkata begitu ?”

“Aku melihat sang sopirmu itu mas, sedang berada dikamar Miranti.”

“Masa?”

“Iya, wah.. pasti asyik deh, nggak diperhatikan oleh kamu, ada sopir ganteng yang menjadi penggantinya.”

“Kurangajar benar si Pram itu.”

“Lho mas, kok kamu cemburu? Miranti saja tidak cemburu ketika melihat mas menyentuh pipiku,” kata Ana cemberut dan berkata agak keras karena marah.

“Sssh, jangan keras-keras ngomongnya, nanti kalau kebetulan Miranti lewat bagaimana?”

“Habis aku kesal sama mas.”

“Aku tuh bukan cemburu. Aku hanya ingin melampiaskan kekesalan aku sama Pram, dia itu seorang tukang ngamen tadinya, yang kemudian bapakku begitu suka sama dia lalu dijadikan sopirnya. Sejak awal aku nggak suka sama dia. Sekarang aku menemukan jalan agar dia dipecat.”

“Tapi mana bapak kamu percaya kalau cuma ngomong saja. Harus ada bukti yang nyata mas.”

“Lain kali kemana-mana kamu harus membawa ponsel kamu, sehingga kalau ada adegan mencurigakan diantara keduanya, kamu bisa mengabadikan dengan ponsel kamu.”

“Ooh, bagus juga mas, kecuali itu kamu juga bisa membuktikan bahwa isteri pilihan orang tua kamu itu bukan perempuan baik seperti yang mereka kira. Dan siapa tahu kemudian mereka mau mengambil aku sebagai menantu.”

“Betul.. kamu pintar Nisa..  aku akan memberikan hadiah untuk kamu.”

“Hadiah apa?”

“Hadiah yang indah, agar malam ini kamu benar-benar suka.”

“Aah.. itu.. sudah sering mas, hadiah yang lainnya.”

“Apa tuh ?”

“Katanya mau membelikan aku mobil..”

“Mobil? Oh ya, tunggu, aku sedang berfikir bagaimana caranya memberikannya ke kamu. Kan kamu ada disini?”

“Ya aku kirim kerumah bapakku lah.. yang penting kan aku dapat mobil. Masa isteri kamu dapat mobil, sedang aku yang katanya kamu cintai nggak dapat apa-apa. Aku sudah susah-susah merendahkan diri jadi pembantu dirumah ini lho mas.”

“Iya, gampang. Nanti aku pikirkan.”

“DOSA ITU NIKMAT” bisikan iblis bisa termakan ketika hati lemah, karena bukankah nikmat itu menghanyutkan?

***

Hari itu pak Winardi berdua pergi kerumah pak Kusumo. Pak Kusumo kaget ketika pak Winardi menyodorkan sejumlah uang.

“Lho, ini apa pak Win?”

“Saya minta ma’af pak Kusumo, barangkali saya hanya bica mencicil seperempatnya dulu dari uang yang bapak berikan waktu itu. Maklum, baru jalan dan saya menyisihkannya agar lebih meringankan beban saya. Mungkin bulan depan saya sudah bisa mencicilnya lagi.”

“Nanti dulu.. nanti dulu.. Apa maksudnya mencicil? Dulu saya tidak meminjamkan lho pak Win, itu karena saya merasa sayang kalau usaha pak Win bangkrut, jadi pakai sajalah untuk modal. Dan tidak usah dikembalikan.”

“Jangan begitu pak, itu uang yang tidak sedikit, saya merasa terbebani dengan kebaikan pak Kusumo.”

“Tidak pak Win, kita itu bukan orang lain. Anak-anak itu adalah anak saya dan juga anak pak Win, jadi jangan dianggap bahwa kita ini orang lain.”

“Tapi pak Kusumo...”

“Sudah, bawa saja uang ini kembali, pakai untuk mengembangkan usaha, sungguh saya tidak mau menerimanya,” kata pak Kusumo mendekat sambil meletakkan bungkusan uang itu dirangkapkan dikedua tangan pak Winardi.

“Aduh, bagaimana ini..?” kata pak Win sungkan.

“Pak Win, kita kan sudah menjadi keluarga, jadi tidak ada istilah pinjam meminjam. Kami hanya membantu, dan kalau usaha pak Win bangkit lagi, kami sudah cukup senang, ya kan pak”: sambung bu Kusumo.

“Benar bu,” kata pak Kusumo sambil mengangguk-angguk.

“Miranti juga selalu mengingatkan tentang uang ini, katanya bapak harus mencicilnya kalau tidak bisa mengembalikannya sekaligus, begitu.”

“Aah, Miranti itu selalu begitu, kami juga susah kalau ingin memberi sesuatu, harus dipaksa. Sudah, lupakan semua itu pak Win. Ingat bahwa kita adalah satu keluarga.”

“Gimana ini bu,” kata pak Win sambil memandang isterinya.

“Iya pak, kok jadi pak Kusumo justru tidak mau menerima.”

“Tidak bu, sudah, lupakan saja. Ayo bu, kita ajak pak Win dan bu Win makan siang dirumah.”

“Iya pak, sudah disiapkan. Jangan sungkan pak Win, bu Win.”

***

“Miranti, bapak sudah berusaha mau mengembalikan uang ini, tapi pak Kusumo menolaknya nduk,” kata pak Win ketika singgah dirumah Miranti.

“Yah, sudah Miranti duga pak. Pasti pak Kusumo  tidak mau menerima. Tapi ya sudahlah, yang penting bapak sudah berusaha akan mengembalikan, dan kalau ditolak itu bukan salah bapak.”

“Jadi nggak enak rasanya.”

“Pak Kusumo itu orang baik. Kalau dia memberi itu sudah pasti dengan sangat ikhlas.”

“Yang penting kita sudah berusaha mengembalikan, sehingga kita tidak terlalu direndahkan,” sambung bu Winardi.

“Ya sudah, mau bagaimana lagi.”

“Ini jam berapa, kok suami kamu belum pulang nduk, padahal sore ini bapak ada acara.”

“Agak sore pak, kalau bapak masih banyak urusan, tidak usah menunggu mas Tejo.”

“Iya sih, nanti sore mau ketemuan dengan pak lurah, ada pembicaraan tentang perluasan lahan untuk usaha bapak yang diantaranya akan mengambil sedikit tanah milik pak lurah.”

“Ya sudah pak, tidak apa-apa, mas Tejo belum tentu pulangnya jam berapa. Kasihan bapak kalau terlalu lama menunggu.”

“Ya sudah nduk, sampaikan saja nanti salam bapak sama ibu untuk suami kamu.”

“Ya bapak, tapi kalau ibu mau menginap disini Miranti senang. Besok Miranti antarkan pulang. Bagaimana bu?”

“Ah, kasihan bapakmu nduk kalau harus pulang sendirian. Lain kali saja kalau anak kamu lahir, bapak sama ibu akan menginap disini.”

“Benar ya bu.”

***

Siang itu ketika sedang memasak, tiba-tiba Miranti merasa perutnya sakit sekali. Kemudian ia duduk dikursi dapur dan minum beberapa teguk air, sambil mengelus perutnya yang mengeras.

“Ana, tolong lanjutkan memasak ya, bisa kan?”

“Bisa bu, bisa. Ibu mau pergi?”

“Tidak, perutku kok tiba-tiba rasanya sakit sekali.”

“Jangan-jangan ibu mau melahirkan.”

“Entahlah, aku kan belum pernah melahirkan sebelum ini.”

“Ya sudah, ibu istirahat dulu saja, biar saya yang melanjutkan memasak, tinggal menambah bumbu kan?”

“Ya, barangkali perlu ditambahin gula atau garam sedikit saja.”

“Baiklah.”

“Nanti kalau rasa sakit ini berlanjut, saya akan berangkat ke rumah sakit.”

“Perlu mengabari pak Tejo bu?”

“Tidak usah. Nanti saja gampang,” kata Miranti sambil melangkah perlahan kedepan.”

Didepan pintu kamar, Miranti berpegangan pada daun pintu. Lalu ia berteriak memanggil Pramadi.

“Praaam..”

Miranti duduk disebuah kursi yang ada didekat kamarnya.

“Praaam..”

Pramadi masuk kedalam dan melihat wajah Miranti pucat.

“Ada apa ?”

“Tolong antar aku kerumah sakit ya Pram.”

“Berasa mau melahirkan ?”

“Nggak tahu nih, perutku kenceng-kenceng dan sakit sekali.”

“Ya sudah, ayo, mana yang harus dibawa?”

“Tolong kopor yang kemarin dulu itu Pram, didekat pintu, sama tas aku, barangkali butuh apa-apa.”

“Aku bawa ke mobil dulu saja,” kata Pram yang sudah mengambil barang yang diminta Miranti, lalu berlari kearah mobil.

“Anaa..”

“Ya bu..”

“Aku kerumah sakit sekarang saja. Rasanya semakin sakit. Lanjutkan memasak dan siapkan seperti biasanya.”

“Baiklah.”

Miranti berjalan kedepan dengan tertatih, Ana membantu memapahnya sampai ke mobil.

“Kunci pintunya selama kamu masih memasak.”

Pram memacu mobilnya ke rumah akit.

Ana bukannya melanjutkan memasak, malah menelpon Tejo.

“Mas.. mas.. isteri kamu mau melahirkan.”

“Masa?”

“Iya, barusan berangkat kerumah sakit, tapi dia tadi melarang aku mengabari kamu mas. Kamu mau menyusulnya kerumah sakit?”

“Tidak, ponselku aku matikan saja, lalu aku pulang dan makan siang bersama kamu dirumah.”

"Nggak pengin menunggui kelahiran anak kamu?”

“Nggak ah, lebih baik pura-pura tidak tahu saja, paling bapak sama ibu sudah mengurusnya.”

“Iya mas, cepatlah, hampir matang masaknya, aku siapkan ya.”

***

“Sakit sekali ?”

“Iya Pram..”

“Tahan ya.. sabar.. Aku harus mengabari suami kamu?”

“Jangaan.. tak mungkin dia memperhatikan. Telpon bu Kusumo saja, tapi nanti kalau sudah sampai rumah sakit.”

“Baiklah, tahan ya.. aduuh.. jalanan kok ya ramai amat nih..”

***

Tapi sesampai dirumah sakit dokter memutuskan untuk meng operasi segera.

“Bapak harus menandatangani surat pernyataan, karena ibu harus dioperasi segera.”

Pramadi bingung. Dia dikira suami Miranti. Ia segera menelpon Tejo, tapi ponselnya mati. Lalu Pram menelpon  bu Kusumo.

“Apa Pram, ini sudah ada dirumah sakit?”

“Sudah, suaminya harus menandatangi surat pernyataan bu, saya tidak bisa menghubungi pak Tejo. Kelihatannya ponselnya mati,” kata Tejo

 “Aduh, bapaaak.. bapaaak...” terdengar bu Kusumo berteriak.

“Ada apa?”

"Miranti mau melahirkan, katanya harus dioperasi. Rumah sakit butuh tanda tangan suaminya. Tapi Tejo tidak bisa dihubungi.”

Pak Kusumo berusaha menghubungi Tejo, benar, tidak tersambung, karena Tejo memang mematikan ponselnya.

“Hallo bu, dokternya menunggu, operasi harus segera dilakukan,” kata Pramadi lagi.

“Pak.. bagaimana ini pak, kalau kita kesana apa keburu?”

“Ya sudah, suruh Pram saja menandatanganinya. Kita berangkat sekarang bu, kebangetan Tejo itu. Isteri mau melahirkan kok susah dihubungi.,” gerutu pak Kusumo sambil bersiap-siap.

“Praam, “

“Ya bu.. bagaimana?”

“Kata bapak kamu saja yang menandatangani surat pernyataan itu, supaya Miranti segera tertangani.”

Aduhai....

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35