SANG PUTRI 17

SANG PUTRI  17

(Tien Kumalasari)

 

Tanti mengusap lututnya yang  sakit. Danang ingin ikut mengusapnya tapi tangannya ditepiskan.

“Mas Danang !””

Danang menoleh kearah Widi lalu tertawa nyengir.

“Kamu Widi?”

“Kenapa sih jalan nggak lihat ada orang didepan?”

“Kamu sendiri, ada orang mau menabrak kok nggak minggir, sengaja ya, biar ketabrak?” goda Danang sambil tersenyum nakal.

“Iiih..norak deh...” kata Widi yang kemudian menarik tangan Tanti agak menjauh lalu melanjutkan langkah mereka. Tapi Danang mengejarnya.

“Heeiii... tunggu..”

Widi merengut ketika Danang sudah sampai disampingnya.

“Mas Danang ngapain sih?”

“Ngikutin kamu lah.. “

“Jangaaan.”

“Mau kemana sih...”

“Rahasiaaaa.”

“Ih, sombongnya... Kenalin dong sama teman kamu itu. Hallo... namaku Danang...” kata Danang sambil nekat berdiri didepan keduanya lalu mengulurkan tangannya kearah Tanti. Tapi Widi menepiskannya.

“Yaah, sombongnya .. cuma mau kenalan saja nggak boleh, namanya siapa sih?”

“Sudahlah mas, jangan ganggu kami..”

“Bilang dulu namanya siapa, baru aku mau pergi.”

“Namanya Tanti, okey?”

“Wauuw, cantik namanya.”

“Sudah, sekarang biarkan kami pergi ya..” kata Widi yang melangkah cepat sambil menggandeng tangan Tanti.

“Siapa sih dia? Penggemar kamu juga?” tanya Tanti.

“Enak aja, penggemar apa, itu tadi mas Danang..”

“Iya aku sudah dengar tadi dia mengatakan namanya.”

“Iya, dia itu adiknya mas Handoko.”

“Apa? Mas Handoko yang tadi?”

“Iya... beda ya..?”

“Iya, kalau wajahnya ada miripnya sih, tapi... iih.. nakal ya dia?”

“Dia itu nakal, usil.. sebel aku sama dia.”

“Tapi lucu...”

“Hm.. jangan sampai kamu jatuh cinta sama dia.”

“Apaan sih, cuma gitu aja jatuh cinta..”

“Habis dia kan ganteng.. tapi hati-hati, dia mata keranjang.”

“Aduuh...”

“Itu warung baksonya, kita sudah sampai, aduuh.. panas ya.. jalan-jalan nggak terasa.”

Keduanya duduk berhadapan, lalu memesan dua gelas es jeruk dan dua porsi bakso.

Tapi tiba-tiba terdengar suara.

“Eh mas, bukan dua ya pesannya, tapi tiga. Esnya tiga, baksonya juga tiga.”

Pelayan mengangguk dan berlalu, sementara Tanti dan Widi segera menoleh kearah datangnya suara.

“Ya ampuuuun...” pekik Widi.

“Eh, jangan bikin ribut disini, menurut sajalah, kalau ribut nanti bisa jadi tontonan,” kata Danang pelan sambil tersenyum nakal, lalu duduk disebelah Widi. Widi beringsut sedikit.

“Kenapa  sih.. aku tidak akan menggigit disini, jadi jangan takut..” goda Danang.

“Mas Danang jangan coba-coba mengganggu dia. Dia itu sahabat aku,” kata Widi sambil cemberut.

“Ngomongnya pelan saja, tuh.. pada melihat kearah kita, nanti dikira kita ini pacar yang lagi berantem.”

“Duuh.. pacar. Ogah punya pacar kayak kamu.”

“Kenapa ogah? Aku kurang ganteng apa?”

“Sama sekali enggak.”

“Ah, bohong itu, benar Tanti? Menurut kamu, aku bagaimana?”

Tanti hanya tersenyum sambil menatap Danang sekilas. Heran Tanti kok ya pakai menatap segala sih. Tuh, emang ganteng kan? Tapi hanya senyum itu yang disunggingkan dibibirnya.

“Nah, Tanti tersenyum, berarti dia mengakui, kamu saja yang sombong.”

Widi mencibirkan bibirnya.

Perdebatan itu berhenti ketika  pesanan mereka datang.

“Senangnya, makan bakso ditemani gadis-gadis cantik. Nggak apa-apa, satunya galak, tapi satunya kan manis, cantik, dan tampaknya sabar, lembut, manja..” Danang menghirup es jeruknya sambil melirik kearah Tanti.

Widi lagi-lagi mencibirkan bibirnya.

Ketiganya akhirnya makan bakso sambil diiringi candaan-candaan Danang. Ternyata walau terkadang menyebalkan, tapi Danang pintar mengambil hati .. sehingga terkadang Tanti juga tertawa terpingkal-pingkal.

Tiba-tiba ponsel Danang berdering, Danang mengangkatnya karena ternyata dari ibunya.

“Iya bu..”

“Kok belum sampai rumah?”

“Iya bu, ini dijalan ketemu Widi, lalu diajak makan bakso..”

“Iih, bohong tuh bude !” teriak Widi keras, lalu Danang meletakkan jari telunjuknya kebibir.

“Kamu sama Widi? Jangan bohong, jangan-jangan sama Palupi,” kata bu Ismoyo dari seberang.

“Widi bu, nih.. kalau ibu mau bicara,” lalu Danang mengangsurkan ponselnya kearah Widi.

“Hallo bude..”

“Widi, itu kamu?”

“Iya bude, tapi saya nggak mengajak mas Danang lho, dia itu yang mengikuti Widi dan teman Widi.”

“Teman kamu perempuan ?”

“Iyalah bude, kalau bukan perempuan masa mas Danang ngebelain menyusul ke warung bakso,” Danang melotot kearah Widi. Widi memeletkan lidahnya.

“Oh, apa teman kamu cantik?”

“Cantik bude.”

“Hm, jangan boleh Danang hanya mengganggunya. Kalau dia baik, biar saja Wid, dekat sama Danang.”

“Aah, bude.. baru saja ketemu..”

“Iya, berharap kan boleh, bude sebel sama kangmasmu itu. Gonta ganti pacar nggak pernah ada yang jadi.”

“Iya bude, semoga mendapat yang terbaik.”

“Ya sudah, lanjutin makannya, setelah itu Danang suruh segera pulang ya.”

“Baik, bude.” Lalu Widi mengangsurkan ponselnya kearah Danang.

“Ibu bilang apa?”

“Kata bude, kamu nggak boleh ganti-ganti pacar.”

“Isssh! Siapa ganti-ganti pacar, aduh.,. mati pasaranku  dong Wid,” kata Danang sambil menepuk dahinya.

Widi dan Tanti tertawa.

Danang mengantarkan Tanti pulang sebelum mengantar Widi.

“Kamu kok nggak pernah bilang bahwa kamu punya teman cantik sih.”

“Ngapain aku harus bilang sama Don Yuan kayak kamu.”

“Ya ampun,, kok aku dikatain Don Yuan sih.”

“Emang.”

“Jangan begitu dong Wid, aku sudah bertobat, tahu.”

Widi terkekeh lucu.

“Kok tertawa sih. Serius nih..”

“Pokoknya jangan sampai kamu mainin sahabat aku. Kalau hanya main-main lebih baik tidak usah lagi mendekat.

“Okey, aku janji. Jatuh cinta pada pandangan pertama nih.”

“Gombal !”

***

“Bagaimana temannya Widi?” tanya bu Ismoyo ketika Danang makan dirumah.

”Bagaimana apanya”

“Cantik nggak ?”

“O, cantik bu..”

“Dia temannya Widi?”

“Iya, kenapa ibu tiba-tiba bertanya tentang dia?”

“Barangkali kamu suka..”

“Ah, ibu...”

“Danang, jangan main-main kamu.”

“Ibu tuh, kok aku nih adanya jelek melulu sih.. siapa yang main-main?”

“Kamu suka sama dia?”

“Nggak tahu bu, kan baru tadi ketemu.”

“Kalau dia gadis baik-baik.. cantik apalagi.. coba saja kamu dekati..”

“Ya ampun.. kok jadi ibu yang bersemangat sih.”

“Kamu tuh ya.. kadang-kadang mendekati gadis hanya untuk bersenang-senang.  Lalu bosan, ganti yang lain, ibu nggak suka. Mulai sekarang kamu harus menghentikan itu.”

“Iya bu. Kan sekarang Danang juga sudah jarang pergi-pergi sampai malam.”

“Tapi masih kan?”

“Sedikit bu..”

“Sudah sa’atnya kamu mancari isteri. Bukan mencari pacar.”

“Iya..” Lalu tiba-tiba terbayanglah gadis cantik dengan rambut dikucir, yang pemalu, tapi menggemaskan. Semoga Widi tidak memanas-manasi gadis itu  sehingga dia enggan didekati.

***

Sejak sa’at itu Danang banyak berubah. Ajakan teman-temannya untuk begadang malam diacuhkannya. Telpon gadis-gadis yang semula dekat dengannya, ditanggapi hanya dengan janji dan tawa. Ia justru lebih sering menelpon Widi, yang kadang-kadang dijawabnya dengan nada sengit dan galak.

“Ya ampun Wid, galak amat.. apa kamu juga suka menggigit ?”

“Enak aja, memangnya aku harimau?”

Kalau sudah begitu Danang hanya bisa terbahak-bahak, puas menggoda sepupunya. Tapi sejauh itu Widi masih enggan mempertemukannya lagi dengan Tanti.

“Aku nggak mau ya, sahabatku kamu buat mainan..”

“Memangnya dia boneka?”

“Karena dia bukan boneka, maka aku melarang mas Danang memperlakukannya sebagai mainan.”

“Aku sudah tobat Widi.. sumpah.”

“Wauuw... sumpah? Hati-hati main sumpah lho mas.”

“Karena itu benar.”

“Aku terharu...” kata Widi sambil pura-pura menangis.

“Ih Widi, kamu jahat ya sama kangmasmu sendiri.”

“Hahaa... baiklah mas, apa yang bisa aku bantu?”

“Kapan aku bisa main kerumahnya dong.”

“Nanti ya, aku nanya dulu sama dia, apa dia mau menerima bekas playboy atau tidak.”

“Widi . Awas kamu ya.”

Tapi Danang senang. Kali ini ia benar-benar merasakan hal yang berbeda. Sungguh ia tak ingin bermain-main.

“Danaaaaang,” tuh kan.. perempuan yang satu itu selalu mengusik ketenangannya.

“Ya, mbakyuku yang cantik..” tapi Danang masih juga suka menggoda, dan itu membuat Palupi merasa bahwa Danang selalu bisa menjadi pelipur laranya.

“Danang, nanti sepulang kantor jalan-jalan ya.”

“Waduh, nanti ?”

“Iya nanti..”

“Aku nggak bisa mbak, sudah ada janji ..”

“Alaaaa, janji sama siapa? Kemarin sudah nggak bisa, sekarang lagi. Janji sapa siapa?”

“Ada deh..”

“Danang, apa kamu nggak kasihan sama aku ?”

“Mengapa harus kasihan sama kamu mbak?”

“Aku menderita...”

“Aduh, kasihan mbakyuku..”

“Kalau kasihan ayo.. jalan-jalan dong Nang.”

“Ma’af mbak, sungguh aku tidak bisa.”

“Danang.. kamu jahat sekarang ya.”

Lalu Palupi menutup ponselnya dengan kesal. Danang mencoba menguatkan hatinya. Dia sudah berjanji akan bertobat, mengurangi hari-hari dengan kesenangan. Meninggalkan segala gemerlap malam dan ‘pernik-pernik’ nya.

***

Menyadari bahwa suaminya tampak mengetahui perbuatannya, membuat Palupi semakin enggan bertemu. Ia juga tak pernah ramah kepada anaknya. Rasa keibuan sudah hilang entah kemana.

“Bintang !”

“Ya ibu.”

“Jangan main diruang tengah, kamu kan sudah punya tempat bermain sendiri?”” tegur Palupi dengan wajah sangar.

“Tapi bapak tidak melarang kok.”

“Biar saja bapakmu tidak melarang, tapi ibu melarang.”

Bintang membawa mobil kecilnya kebelakang. Lalu Palupi selonjor disofa, sambil mengotak atik ponselnya. Ia berbicara kesana kemari dengan teman-temannya, dan itulah sebabnya ia mengusir Bintang yang sedang bermain diruangan itu.

“Supriiiih...” tiba-tiba Palupi berteriak, tapi yang datang adalah Mirah, karena Suprih sedang ada dikamar mandi.

“Ya bu.”

“Siapa memanggil kamu?” tanyanya ketus.

“Bu Sprih sedang ada dikamar mandi, kalau ibu menginginkan sesuatu biar saya saja.”

“Hmh. Jangan sok baik kamu. Nanti kalau selesai suruh dia membawa jus jeruk kemari.”

“ Baik,” kata Mirah dengan hati seperti teriris. Kata-katanya sungguh pedas. Ketika sudah ada didapur, karena merasa Suprih terlalu lama, Mirah berbaik hati menuangkan jus jeruk dari dalam kulkas kesebuah gelas, lalu dibawanya kedepan.

“Ibu, tampaknya bu Suprih masih agak lama, ini saya bawakan, “ katanya sambil mendekatkan baki dengan gelas diatasnya itu ke meja. Tangannya siap mengambil gelas itu untuk diangkatnya dari baki, ketika Palupi mengayunkan tangannya, sehingga gelas itu jatuh kelantai dan gelasnya tentu saja pecah berderai.

“Ough..” pekik Mirah.

“Bagaimana sih kamu? Meletakkan gelas saja tidak becus!” hardiknya.

“Ma’af.. ma’af bu, biar saya bersihkan,” kata Mirah dengan gemetar. Ia merasa Palupi sengaja menjatuhkan gelas itu, tapi Mirah tak mau menyalahkannya. Ia mengambil keranjang sampah lalu memunguti pecahan gelas itu satu persatu.

“Dasar tidak becus bekerja. Sudah bertahun-tahun ada disini, tapi meletakkan gelas saja tidak bisa. Lagian siapa menyuruh kamu mengambilkan jus itu untuk aku?” omelnya sambil melotot kearah Mirah, tapi Mirah tak menggubrisnya, ia terus memunguti pecahan gelas itu, kemudian kebelakang untuk mengambil kain pel.

“Bersihkan sampai bersih jangan sampai dikerubuti semut nantinya!”

Mirah datang dan bermaksud mengepel lantai basah itu, tapi ada kaca yang tercecer dan melukai tangannya. Darah mengucur deras karena luka itu agak dalam.

“Auhh...” Mirah berhenti mengepel, lalu berlari kebelakang untuk mengambil kapas dan obatnya.

Sa’at itulah Handoko memasuki ruangan, menatap Palupi yang sedang bermain ponsel sambil menyilangkan kakinya, lalu dilihatnya lantai basah kekuningan, lalu ada warna merah darah tercecer diantaranya.

“Apa ini?”

Mirah datang tergopoh sambil memegangi tangannya.

“Ma’af bapak, saya memecahkan gelas.”

“Itu tanganmu terluka? Mengapa sangat banyak darah mengalir?”

“Tidak, saya sudah menutupinya dengan kapas, biarkan saya membersihkan lantainya dulu,” kata Mirah sambil berjongkok lagi.

“Mirah, darahmu menetes terus. Sini !!” kata Handoko keras. Ia duduk dikursi dan dengan takut-takut Mirah mendekati.

“Kamu ibu bagaimana Lupi, ada orang terluka seperti ini masih enak-enak bermain ponsel.”

“Tidak bapak, saya bisa mengobatinya sendiri.”

“Kamu jangan bandel. Mana tanganmu,” kata Handoko sambil menarik tangan Mirah.

“Ini lukanya dalam sekali, pantas darahnya begitu banyak. Suprih mana? Supriiih!!” Handoko memanggil Suprih yang kebetulan waktu itu sudah ada didapur.

“Ya bapak..”

“Ambil kotak obat di almari obat, cepat.”

Suprih melakukan apa yang disuruh tuan ganteng, sementara Mirah gemetar karena tangannya dipegangi Handoko, yang memencet luka itu dengan keras. Maksudnya agar darahnya berhenti mengucur.

Palupi melihat adegan itu. Matanya menyala karena marah.

“Hanya begundal, diperhatikan seperti Putri.” Omelnya sambil berdiri.

“Kamu bilang apa?” teriak Handoko marah.

Tapi Lupi terus masuk kedalam kamarnya.

***

Besok lagi ya.

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15