SANG PUTRI 16

SANG PUTRI  16

(Tien Kumalasari)

 

Ketika keluar dari kamar Palupi, wajah Suprih gelap seperti mendung. Pikirannya terus menerus kearah uang yang bisa merangkak dari dalam dompetnya kebawah tumpukan baju.

Sementara sejak pagi harinya Palupi terus bertanya tanya dalam hati, siapa yang memindahkan uang empatratus ribu itu dari almari Mirah ke almari Suprih kembali.

“Tak mungkin Mirah melakukannya. Lalu siapa? Mas Handoko? Mana mungkin dia. Lhah kalau semuanya tak mungkin, berarti uang itu bisa terbang sendiri dari almari Mirah ke almari Suprih,” gumam Palupi sambil berusaha memejamkan matanya, tapi tak hendak terpejam. Ada gelisah yang menghantuinya tentang siapa yang memindahkan uang itu, dan berarti ada orang yang melihat ketika dia melakukannya. Siapa..????

“Adduh.. benarkah demikian? Tapi siapa?” Palupi terus memikirkannya sampai kantuk menyambarnya.

Suprih langsung masuk kekamarnya. Dilihatnya Mirah sudah tak tampak, pasti sudah tidur dikamar Bintang. Ia membaringkan tubuhnya sambil terus bertanya-tanya, benarkah apa yang dikatakan bu Palupi?

“Gadis cantik, begitu santun, penuh pengertian, benarkah punya tabiat yang tak terpuji?” gumam Suprih pelan.

“Tapi kata bu Palupi, orang jahat bisa saja kelihatan baik pada awalnya.”

Suprihpun terus memikirkannya.

***

Pagi harinya ketika Mirah sudah sibuk didapur dan menyiapkan minuman bagi para majikan, serta memasak buat sarapan, Suprih belum beranjak dari kamarnya.

Setelah meletakkan minuman diruang tengah, Mirah membuka kamar Suprih, dan melihatnya masih tertidur. Mirah khawatir Suprih sakit, dirabanya keningnya, dan itu membuat Suprih bangun.

“Ada apa?” tanya Suprih kaget.

“Bu Suprih sakit?”

“Tidak, aduh, ini jam berapa?”

“Sudah jam setengah tujuh bu.”

“Aduh, mengapa tidak dibangunkan? Apa supaya aku kelihatan malas, begitu?” kata Suprih sambil bangkit dan duduk ditepi pembaringan.

Mirah terkejut mendengar jawaban Suprih.

“Apa maksud bu Suprih? Saya biarkan bu Suprih tidur karena saya mengira bu Suprih sakit.”

“Oh, ma’af.. tapi aku tidak sakit,” katanya sambil beranjak kekamar mandi.

Mirah masih termangu dikamar itu. Ucapan Suprih terasa sangat menyengat.

“Dia mengira aku sengaja membiarkannya supaya dia kelihatan malas? Mengapa dia mengatakan itu?” gumamnya sambil beranjak kedapur dan melanjutkan pekerjaannya.

Mirah memasak soto dan menggoreng bakwan jagung. Kuahnya sudah matang, Mirah mematikan kompor lalu mengaduk adonan bakwan yang sudah jadi. Tinggal menggorengnya.

Ketika Suprih muncul, Mirah mempersilahkannya minum.

“Bu, minum dulu tehnya, masih anget lho.”

“Oh, ya, terimakasih,” jawab Suprih sambil duduk.

“Bu Suprih benar nggak sakit? Kalau butuh obat bilang saja, yang dirasakan apa?”

Suprih meneguk tehnya, lalu menatap Mirah dengan tajam. Mata bening itu, senyum tulus itu, apakah aku harus bersikap angkuh? Apalagi aku orang baru. Dan semuanya belum jelas. Berdosa aku kalau tiba-tiba menuduhnya.

“Tidak nak, tidak sakit, semalam tidur sampai larut.”

“Ya ampun, sampai jam berapa memijit ibu? Pantesan saya tidak mendengar ibu masuk kekamar, padahal kan sebelahan.”

“Nggak tahu nak, jam berapa. Lain kali tolong aku dibangunin kalau sudah sa’atnya bangun ya.”

“Iya bu, cuma Mirah itu khawatir, jangan-jangan bu Suprih sakit, makanya tidak berani membangunkan. Tadi juga saya sebenarnya tidak bermaksud membangunkan, hanya memegang kening bu Suprih, barangkali panas atau apa.”

Lagi-lagi Suprih merasa berdosa. Karena menganggap Mirah punya perangai buruk, maka ia bersikap sedikit kasar.

“Tampaknya tidak..” gumamnya lirih.

“Apa yang tidak bu?” tanya Mirah yang mendengar gumam lirih itu.

“Eh, itu.. maksudku.. tidak sakit.  Itu,, sedang menggoreng bakwan ya? Sini aku bantu,” katanya sedikit gugup.

“Ibu tolong meniriskan so'un itu saja, sama memasukkan kripik kentangnya kedalam toples, takut melempem sebelum dimakan.

“Oh, baiklah..”

“Yu Miraaaah...” tiba-tiba Bintang berteriak.

“Aduh... kalau begitu tolong bakwannya ya bu, itu mas Bintang keburu bangun.”

“Iya nak, tinggalkan saja, biar aku selesaikan.”

Menatap punggung Mirah yang bergegas kekamar Bintang, Suprih kembali berfikir. Orang sebaik Mirah, benarkah punya tabiat buruk, suka mencuri?

“ Tapi apakah bu Palupi bohong?”

Suprih terkejut ketika melihat gorengannya agak gosong, lalu ia berusaha cepat-cepat mengangkatnya.

***

Handoko sedang duduk diruang tengah, menikmati acara berita di televisi sambil meneguk kopi susunya yang masih hangat, ketika Palupi keluar dari kamar. Mirah menyiapkan dua gelas kopi susu disitu,  setiap hari, untuk Handoko dan isterinya, walau Palupi jarang meminumnya. Tapi kali itu Palupi mendekat, lalu duduk didepan suaminya, kemudian meneguk kopi susunya.

“Kamu harus hati-hati,” kata Handoko tanpa mengalihkan pandangannya pada televisi.

“Apa ?”

“Hati-hati. Siapa menanam dia akan menuai.”

“Apa maksudmu ?”

“Kamu orang pintar, terpelajar, tapi bodoh kalau menanyakan hal itu.”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Kamu mengerti, tapi pura-pura tidak mengerti.”

“Kamu selalu bicara berbelit-belit.”

“Kalau aku jelaskan .. apa ada gunanya, toh kamu sudah tahu apa yang kamu lakukan. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa siapa menanam pasti dia akan menuai.”

Palupi menghabiskan kopi susunya, lalu berdiri dan bermaksud kembali masuk kekamarnya. Lalu ia berfikir, apakah suaminya mengetahui apa yang telah diperbuatnya?

“Aku masih ingin bicara sama kamu,” kata Handoko ketika melihat isterinya berdiri. Tapi Palupi nekat berjalan menjauh. Ia merasa sudah ketahuan, dan pasti suaminya akan mengomelinya lebih banyak.

Handoko menghela nafas. Tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menuntun isterinya kejalan yang benar.

“Bapak.. ayo kita makan,” tiba-tiba Bintang berteriak.

“Oh iya sayang. Coba Bintang kekamar ibu, tanyakan mau sarapan bareng tidak?” kata Handoko yang masih berusaha mendekatkan Palupi dengan anaknya.

“Bapak saja yang bilang,” kata Bintang menolak.

“Bintang, anak baik anak pintar, tidak boleh membantah kalau disuruh bapak ya?”

Bintang berlari kecil kearah kamar ibunya.

“Ibu.. mau sarapan tidak?” lalu Bintang berlari menjauh.

“Lho, apa jawab ibu?”

“Nggak jawab.”

“Bintang, ditunggu sampai ibu menjawab dong..”

Bintang kembali kedepan kamar ibunya.

“Ibu... “

“Tidak !!” jawab Palupi ketus dari dalam kamar.

Lalu Bintang mendekati ayahnya lagi.

“Katanya tidak.. ayo kita makan...” kata Bintang sambil menarik tangan ayahnya.

“Heii.. sebentar, bapak ambil tongkatnya dulu.. pelan-pelan dong.. nanti bapak jatuh, bagaimana?”

Bintang meleletkan lidahnya. Lalu menunggu ayahnya bangkit, untuk berjalan bersama ke ruang makan.

Handoko duduk diruang makan. Keinginan untuk berdamai dengan isterinya, kemudian akan mengajarinya agar melangkah dijalan yang lurus, mental sudah.  Sesungguhnya Handoko sedang menunggu vonis yang akan dijatuhkannya. Kebusukan yang dilakukannya atas Mirah membuatnya marah. Ia sudah mencoba mengawali pembicaraan tadi tapi Palupi pura-pura tak mengerti. Ia belum sampai ke pokok permasalahan tapi Palupi tampaknya menghindarinya.

Mirah membalikkan piring Handoko dan Bintang, lalu mengambilkan nasinya.

“Masak soto nih rupanya.”

“Iya bapak, ini bakwan jagung sama tempe goreng.”

“Hm, sarapan yang sangat nikmat. Bintang suka?”

“Bolehkan aku disuapin yu Mirah?”

“Lho, katanya sudah besar, harus bisa makan sendiri? Kan Bintang sudah mau sekolah.”

Bintang tertawa.

“Iya, Bintang lupa.”

“Supriiiiih...” tiba-tiba terdengar teriakan Palupi.

Suprih yang sedang duduk didapur tergopoh menghampiri.

“Bawakan sarapanku ke kamar,” perintahnya tandas.

“Baik bu.”

Mirah yang sudah tahu segera membantu Suprih menyiapkan sarapan untuk ndara putrinya.

“Bukankah kalau makan dikamar itu orang sakit?” celetuk Bintang.

“Iya.. “

“Apa ibu sakit?”

“Iya. Sudah, kalau lagi makan nggak boleh banyak ngomong,” tegur bapaknya.

***

Setelah sarapan, Handoko segera mandi. Ketika melihat tuan gantengnya berdandan, Mirah mendekat.

“Bapak mau pergi?”

“Aku harus kontrol.”

“Sendiri? Apa saya harus mengantar ?”

“Tidak Mirah, nanti Bintang ikut, padahal kerumah sakit. Aku sendiri saja nggak apa-apa.”

“Apa bapak tidak telpon  mbak Widi saja?”

“Takutnya dia kuliah.”

“Coba bapak telpon, saya tidak tega kalau bapak sendirian.”

Handoko tersenyum. Perhatian seorang pembantu lebih besar dari perhatian seorang isteri. Bahkan Palupi tidak pernah menanyakannya sama sekali, apakah obatnya habis, kapankah harus kontrol, tidak ada sama sekali.

“Baiklah. Aku menelpon Widi saja. Kalau dia libur, biar aku nyamperin kesana.”

“Aku masuk siang mas, nggak apa-apa kalau sekarang mengantar mas Handoko ke rumah sakit,” jawab Widi ketika Handoko menelponnya.

“Oke, kamu siap ya, aku sendiri nih sudah memanggil taksi.”

“Siap mas..”

“Bapak mau kemana ?” tanya Bintang ketika melihat bapaknya sudah rapi berdandan.

“Bapak mau kerumah sakit, Bintang dirumah saja ya, main sama yu Mirah.”

“Nggak boleh ikut ya?”

“Tidak, sayang, anak kecil tidak boleh ikut kerumah sakit.

Handoko naik taksi sendiri, nyamperin Widi sebelum kerumah sakit.

***

“Mas, bagaimana keadaan kaki mas?”

“Ini baru mau nanya ke dokter, aku mau mencoba menapakkan kaki, sudah kuat belum.”

“Tapi sudah nggak sakit ya mas?”

“Kalau begini ya nggak sakit, entah nanti kalau harus menapakkan kaki.”

“Semoga cepet pulih ya mas.”

“Apa kabarnya Ryan?”

“Baik mas, tapi aku sedih, mengapa ya bapak nggak suka sama mas Ryan. Bukankah dia orangnya baik?”

“Mungkin karena kamu belum selesai kuliah.”

“Tapi bapak bilang bahwa bapak nggak suka sama mas Ryan.”

“Alasannya?”

“Belum tahu mas, makanya kan aku pernah bilang mau minta tolong mas Handoko agar bicara sama bapak. Bapak tuh  kalau sama mas Handoko kan dekat banget.”

“Iya lah, kan aku keponakannya?”

“Bukan hanya itu, buktinya sama mas Danang bapak tidak begitu akrab.”

“Ah, Danang tuh... memang kurang bisa mendekatkan diri sama orang tua.”

“Nggak pernah serius. Sebel aku sama dia.”

“Semoga dia cepat menjadi dewasa.”

“Iya, carikan isteri dong mas, biar segera bisa mengatur hidupnya dengan baik.”

“Orang seperti dia apa mau dicarikan? Pacar saja ganti-ganti terus. Ibu juga sempat marah-marah.”

“Nanti dengan berjalannya waktu kan bisa berubah mas.”

“Iya Wid. “

“Bagaimana dengan mbak Palupi ?”

“Masih seperti biasa. Susah dikendalikan.”

Handoko ingin mengatakan kelakuan Palupi yang ingin memfitnah Mirah, tapi diurungkannya.

“Aku sudah berusaha mengajaknya bicara, menyuruh Bintang mendekati, tapi sikapnya sungguh membuat aku kesal.”

“Jangan bosan menasehati mas, siapa tahu lama-lama akan berubah.”

“Entahlah, aku sedang menunggu waktu. “

“Eh pak, tolong berhenti sebentar,” tiba-tiba Widi meminta tukang taksi untuk berhenti.

“Ada apa Wid?”

“Ada temanku mas, aku lupa kalau janjian sama dia.”

Tukang taksi menghentikan taksinya, Widi melompat turun.

“Tan... Tanti.” Teriaknya.

Seorang gadis dengan rambut dikucir seperti ekor kuda menoleh dan berhenti melangkah.

“Widi? Aku mau ketempatmu, kan kita sudah janjian.”

“Ya ampun Tan, aku lupa, ini sedang dalam perjalanan mengantar kakakku kerumah sakit. Ayo ikut saja, setelah pulang nanti kita pergi cari buku.”

“Enggak ah, aku sungkan..”

“Nggak apa-apa, kakakku baik kok, daripada nanti kamu pergi sendirian.”

Widi menarik temannya, diajaknya naik ke mobil.

“Mas, aku ajak temanku ya, nanti kami mau pergi cari buku bersama.”

“Nggak apa-apa, ikut kerumah sakit?”

“Nggak apa-apa. Ayo masuklah.”

“Ayo mbak, silahkan,” sapa Handoko.

“Namanya Tanti mas. Hartanti. Teman kuliah aku. Dia pintar lho.”

Tanti mencubit paha sahabatnya keras sekali.

“Aauuw, sakit tahu !”

Taksipun meluncur mengantarkan Handoko kerumah sakit.

***

“Katamu kamu anak tunggal, kok bisa punya kakak? Jangan-jangan selingkuhan kamu. Awas ya, aku bilang sama mas Ryan kalau kamu berselingkuh,” kata Tanti diruang tunggu ketika Handoko masuk keruang dokter.

“Eh, ngawur. Dia bukan kakak kandungku, tapi kakak sepupu. Dia juga kenal mas Ryan kok.”

“Oh, kirain selingkuhan kamu.”

“Ngaco ah.”

“Kakinya kenapa? Habis jatuh, atau kecelakaan ?”

“Kecelakaan dua bulan yang lalu. Kaki kirinya patah, lalu dioperasi.”

“Kakakmu ganteng ya?”

“Ganteng dong, tapi jangan coba-coba naksir, dia sudah punya anak satu.”

Kedua sahabat tertawa renyah.

“Tan, nanti biar aku saja yang beli buku, kita bisa menggunakannya bersama-sama,” kata Widi yang tahu bagaimana keadaan Tanti.

“Jangan Wid, masa aku ngerepotin kamu terus? Kali ini aku yang mau beli, barusan ibuku memberi aku uang agak banyak.”

“Oh ya, syukurlah. Ibu kamu sekarang bekerja dimana?”

“Disebuah keluarga kaya. Nggak tahu aku namanya siapa. Tapi sangat royal. Baru sehari bekerja dikasih uang limaratus ribu. Itu sebabnya aku bisa beli buku.”

“Syukurlah. Bolehlah, nanti gantian. Kan kita selalu bisa belajar bersama.”

“Semoga kita cepat selesai ya Wid, agar aku bisa segera bekerja, sehingga ibuku tidak usah lagi ikut orang.”

“Aamiin. Sebentar lagi kita buat tugas akhir, semoga lancar.”

Handoko keluar tertatih dari ruang dokter.

“Sudah mas ?”

“Sudah, aku nanti bisa belajar berjalan tanpa kruk.”

“Syukurlah. Kita pulang sekarang?”

“Iya. Lha kalian ini mau kemana?”

“Mau beli buku mas.. Tapi ngantar mas dulu saja,” kata Widi sambil menuntun kakak sepupunya.

“Tidak, aku antar kemana beli bukunya, nanti pulangnya kalian boleh naik taksi. Nih, mas beri uangnya.”

“Waah, banyak banget mas, bisa buat makan bakso nanti pulangnya Tan.”

“Iya, beli saja apa yang kamu suka.”

***

Tanti dan Widi sudah selesai membeli buku yang mereka inginkan. Lalu mereka berjalan menyusuri trotoar disepanjang jalan Slamet Riyadi sambil mencari warung bakso yang enak.

“Kakak kamu baik hati ya Wid.”

“Iya, tahu aja kalau kita kelaparan.”

“Kok kamu yang mengantar ketika dia kontrol? Isterinya kemana?”

“Isterinya? Jangan tanya deh.”

“Gimana sih ?”

“Mana peduli dia sama suaminya.”

“Masa ?”

“Nanti kapan-kapan aku cerita sama kamu.”

Lalu keduanya juga asyik bercerita kesana kemari.

“Warung bakso yang enak tuh, didepan, pertigaan belok kiri.” Kata Widi sambil menunjuk kearah kiri.

Ketika berjalan itu tiba-tiba seorang laki-laki dari arah depan melangkah sambil menelpon.

“Nggak bisa mbak, tolong, aku sudah bilang sama ibu kalau akan pulang makan siang dirumah. Kasihan ibu sudah menunggu. Lhoh, jangan begitu dong mbak.. kalau mau ayuk kerumah makan siang bersama ibu. Aduuh.. mbak gimana sih...jangan marah dong, nanti cantiknya hilang.”

Lalu karena asyik bertelpon,  tiba-tiba laki-laki itu tak sadar menubruk Tanti dan Widi yang sedang berjalan. Kedua gadis itupun karena asyik berbincang dan bercanda, jadi kurang perhatian pada apa yang ada didepannya.

Widi hanya terhuyung kesamping,  tapi Tanti jatuh, dan bukunya berhamburan.

“Hiihh.. kalau jalan pakai mata dong,” umpat Widi yang belum sadar siapa laki-laki itu.

“Ma’af dik.. ma’af.. sakit ya..” katanya sambil membantu Tanti berdiri, kemudian memungut buku-buku yang jatuh.

“Waaah, calon ekonom nih...”

“Mas Danang !!”

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15