ADA YANG MASIH TERSISA 35

 

ADA YANG MASIH TERSISA  35

(Tien Kumalasari)

 

“Augh.. “ Tejo berteriak kesakitan sambil memegangi dadanya..

“Oh.. ma’af.. saya pikir ada orang yang mau menyeberang.” Kata Pram buru-buru, ketika melihat Tejo kesakitan.

“Ya.. ya, tidak apa-apa.. kata Tejo sambil masih memegangi dadanya.

“Ma’af ya... coba safety belt nya pak..”

“Iya, salah saya..Baiklah,” kata Tejo yang kemudian memasang safety belt nya.

Pramadi terdiam. Kata-kata Tejo yang ingin kembali mendekati Miranti membuatnya resah. Lalu terbayang ketika dia masuk kehalaman rumah pak Kusumo, dan melihat Tejo keluar dari pavilyun diikuti Miranti. Aduhai, ternyata Pramadi pencemburu juga. Iya sih, kan cemburu tandanya cinta?

“Apakah Tejo mengutarakan maksudnya pada Miranti ketika masuk ke pavilyun itu?” kata batin Pramadi.

Untunglah Tejo tak lagi melanjutkan kata-katanya tentang keinginannya terhadap Miranti. Kalau berlanjut, Pramadi tak tahu harus menjawab atau mengomentari apa.

Tejo menyandarkan kepalanya, barangkali terasa lagi pusingnya setelah terantuk dadanya di dashboard itu.

Pramadi menoleh dan merasa iba melihat keadaannya. Rasa cemburunya dikalahkan oleh rasa kasihan ketika melihat nasib Tejo.

Penyesalan dan ingin memperbaiki kelakuannya yang tidak baik, adalah perbuatan yang mulia. Tapi ketika ia masih ingin juga merebut bidadari yang dicintainya, mana bisa hatinya rela? Pramadi terus merasa resah sampai kemudian Tejo memintanya berhenti didepan bengkelnya.

“Terimakasih banyak mas,” kata Tejo sambil membuka pintu mobilnya.

“Disinikah bapak tinggal?”

“Ya, rumah kecil, didepannya saya buat membuka bengkel, itupun saya mengontrak.”

“Semoga suatu hari bisa memiliki tempat milik sendiri,” kata Pram.

“Aamiin.”

“Kalau mau kontrol kabari saya ya pak, bisa lewat bu Kusumo, nanti saya antarkan.”

“Baiklah, terimakasih banyak.”

Lalu Tejo menutupkan pintunya, membiarkan Pramadi berlalu, tanpa sadar bahwa kata-katanya membuat batin Pramadi begitu resah.

“Jo.. kenapa kepala kamu?”

“Musibah Pri.. “ jawab Tejo kemudian langsung masuk kedalam, Supri mengikutinya.

“Apa yang terjadi?”

“Ketika aku keluar dari halaman rumah bapak, ada mobil masuk tiba-tiba, untung aku hanya luka luar. Inipun karena terkena batu runcing, dan kakiku juga.

“Ya ampun, pantesan lama, dan pantesan kamu menyuruh Anisa datang kemari. Tapi kok dia nggak bilang kalau kamu kecelakaan ya?”

Tejo tertegun.

“Apa kamu bilang? Anisa kenapa?”

“Bukankah kamu menyuruh Anisa datang kemari ?”

“Aku? Menyuruh Anisa? Aku bahkan tidak ketemu dia.”

Sekarang Supri terkejut, lalu berubah menjadi kesal karena merasa dibohongi.

“Perempuan itu memang gila. Dan memang benar-benar pintar menipu.”

“Coba jelaskan, aku bingung mendengar kata-katamu.”

“Tadi itu Anisa datang, katanya kamu menyuruhnya menemui aku, dan minta agar aku memberikan uang duaratus ribu sama dia.”

“Kurangajar benar!”

“Aduh, salahnya aku kenapa tidak menelpon kamu lebih dulu. Tapi waktu itu aku sedang membuka mesin mobil pelanggan, jadi tak begitu memperhatikan, langsung aku minta anak-anak mengambilkan uang.”

“Perempuan setan itu jangan pernah boleh masuk kemari. Dan apapun yang dikatakannya jangan sampai kamu mempercayainya.”

“Sebetulnya aku juga heran, dia kan banyak uang, kok ya minta uang segala.”

“Dia sudah tak punya apa-apa sekarang. Rumah sudah hilang ditipu orang katanya. Biarkan saja, dia mendapatkannya juga dengan cara licik.

“Ya sudahlah, kita relakan saja uang ruaratus ribu itu, sekarang kamu istirahat saja, sepertinya parah begitu.”

“Tidak, ini hanya luka luar. Kalau luka dalamnya masih sangat parah..”

“Luka dalam juga ?”

“Luka karena belum mendapat ma’af dari bapak, luka karena belum mendapatkan lampu hijau dari Miranti.”

Supri tersenyum.

“Kirain.., Ya sudah, kamu istirahat saja dulu. Ada obat yang perlu diminum nggak?”

“Ada, mau aku minum sekarang.”

“Makan dulu, tadi anak-anak beli nasi rames, ayo aku temani.”

***

Pramadi ingin kembali ke kantornya, tapi hatinya resah karena ucapan Tejo. Ia harus ketemu Miranti dan menanyakan apa Tejo sudah mengutarakan keinginannya.

Ketika sampai disana, dilihatnya Abi sedang main mobil-mobilan diteras. Tapi begitu melihat Pramadi, jari kecilnya menunjuk-nunjuk kearah Pramadi.

“Apaaaak...apaaak...”

Mirnti tersenyum, ia senang Abi memanggilnya bapak, seperti selalu dikatakannya.

“Anak bapak lagi main obil-obilan ya..?”

Lalu Pramadi mengangkatnya tinggi, membuat Abi terkekeh senang.

“Kok kemari lagi Pram?”

“Nggak boleh ya?”

“Eeeh, kok gitu, bukankah tadi mau kekantor?”

“Nggak, hatiku sedang resah.”

“Wauuw... resah.. gundah.. lalu apalagi...”

“Serius...” katanya sambil masih menggendong Abi dan melempar-lemparkannya keatas dan teriakan serta tawa si ganteng kecilpun memenuhi ruang pavilyun itu.

“Apakah tadi Tejo mengatakan sesuatu ?” tanya Pram ketika Abi sudah diturunkannya dan dibiarkannya bermain mobil-mobilan kembali.

“Mengatakan apa?”

“Aku bertanya..”

“Tidak mengatakan apa-apa..”

“Tadi ketika aku datang dia kan keluar dari sini..”

“Oh, dia mau  ketemu Abi, tapi Abi sedang tidur.”

“Tidak mengatakan apapun?”

“Oh, tunggu.. dia tadi bilang ingin mengatakan sesuatu, tapi lalu kamu datang , akhirnya nggak jadi ngomong apa-apa. Aku juga nggak menanyakan apapun setelahnya.”

“Aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya.”

“Haaa.. ahli nujum rupanya?”

“Bukan. Dalam perjalanan mengantar dia, dia mengatakan sesuatu tentang kamu.”

“Tentang aku?”

“Dia bilang.. ‘bagaimana pendapat aku kalau dia rujuk sama kamu’...”

“Ahaaa... apa dia bermimpi?”

“Apa maksudmu?”

“Sebetulnya kamu serius nggak sih mau ngelamar aku?”

“Ya serius dong, tapi kalau kamu ragu-ragu karena Tejo ingin kembali sama kamu, aku mundur dong.”

“Aku benci kata-kata itu.”

“Kata-kata yang mana?

“Kata-kata ‘mundur’ itu..”

Miranti merengut, dan Pramadi tertawa..

“Kamu tahu nggak, kamu itu kalau merengut tambah cantik lho.”

“Sudah, nggak usah ngegombal Pram, sebetulnya kamu jadi melamar besok minggu ini atau enggak?”

“Aku harus bertemu kamu dan menanyakannya ke kamu, so’alnya aku baru saja mendengar suara itu. “

“Aku ini bukan barang yang bisa dilempar kemudian dipungut lagi. Bagiku Tejo sekarang hanyalah teman yang sesungguhnya aku tidak suka. Dia pernah melukai batinku, lebih dari apapun sakitnya. Bukan karena hubungannya dengan Anisa, tapi hal lain yang lebih menyakiti.”

“Baiklah, lupakan semuanya, bukankah dia sudah menyesali semua perbuatannya? Dan bahkan sudah meminta ma’af sama kamu? Kamu pernah mengatakan itu bukan?”

“Aku mema’afkannya, tapi luka itu masih ada.”

“Baiklah, aku bisa mengerti. Dan sekarang aku lega karena sudah menemukan jawabannya. Besok Minggu aku akan melamar, semuanya sudah aku persiapkan.”

“Benarkah ?”

“Sangat benar. Sekarang aku mau kekantor ya,” kata Pram sambil berdiri, lalu mengangkat tubuh Abi lagi, dan membuatnya terkekeh senang.

“Jadilah anakku...” lalu diciumnya pipi Abi berulang ulang.

***

“Ini Miranti ya?” kata bu Winardi ketika Miranti menelponnya.

“Iya ibu, ini Miranti.

“Kamu dan Abi baik-baik saja nak ?”

“Iya ibu, kami baik-baik saja. Ini Miranti mau memberitahu ibu, bahwa besok Minggu Pramadi dan keluarganya mau menemui bapak dan ibu.”

“Oh, jadi besok Minggu?”

“Iya bu.”

“Kalau begitu sebaiknya kamu pulang dulu Mir, masa dilamar kok yang dilamar nggak ada orangnya.”

“Iya bu, rencananya besok Miranti sama Abi mau pulang.”

“Syukurlah kalau begitu, nanti aku bilang sama bapak, dan ibu kan juga harus mempersiapkan semuanya.”

“Baiklah bu, tapi ibu tidak usah terlalu repot, nanti sebagian makanan untuk hidangan biar Miranti yang bawa.”

“Ya nduk, tapi ibu nggak repot, kan banyak yang akan membantu. Dikampung sama dikota itu berbeda. Rasa gotong royong kalau ada yang punya kerja pasti lebih kental. Kalau dikota, banyak orang sibuk, jadi kebanyakan kalau mau punya kerja tinggal pesen, nggak usah repot, dan juga nggak merepotkan.”

“Benar bu, kan ada sebutan ‘desa mawa cara’.”

“Di desa itu  suasananya lebih adem, tapi hangat rasa kekeluargaannya.”

“Iya bu. Saya mau bilang pada ibu dulu kalau besok mau pulang.”

“Baiklah nduk.

***

“Besok kamu mau kekampung Mir?” tanya bu Kusumo ketika Miranti pamitan.

“Iya bu, hari Minggu Pram dan keluarganya mau datang kesana.

“Iya, memang seharusnya kamu ada.”

“Ibu mau,  besok kesana bareng saya?”

“Ya enggak lah Mir, apalagi kamu nginep. Nanti saja kalau mau nikah aku sama bapakmu pasti datang kesana.”

“Itu bapak sudah datang bu,” kata Miranti ketika mobil pak Kusumo memasuki halaman.

“Oh iya, katanya akan pulang agak sore. Rupanya tamunya sudah pulang.”

“Iya bu.”

“Nanti bapak mau ibu ajak kerumah Tejo, tampaknya tadi ada perhatian ketika ibu bilang bahwa Tejo kecelakaan.”

“Nanti saya tanyakan ke Pram dimana persisnya rumah mas Tejo. Kan tadi Pram yang mengantar pulang.”

“Iya benar..Kok sudah pulang pak,” kata bu Kusumo menyambut suaminya.

“Sudah selesai semuanya, ya pulang saja.”

“Syukurlah.”

“Mana cucuku ?”

“Bobuk eyang, tapi sudah lama, sebentar lagi pasti bangun, sudah sa’atnya mandi juga.”

Miranti kebelakang untuk menyiapkan minum bagi pak Kusumo.

Pak Kusumo duduk dikursi ruang tengah, melepas sepatunya lalu bersandar disana.

“Pak, nanti maukah bapak menjenguk Tejo?”

“Parahkah lukanya?”

“Tidak, hanya luka dikepala, sama kakinya, terkena batu katanya.”

“Tidak parah, ya sudah kan nggak apa-apa..”

“Apa maksud bapak? Mengapa mendengar darah dagingnya sendiri sakit kok seperti tidak perhatian sih pak?” kata bu Kusumo kesal.

“Kan sakitnya tidak parah to bu, hanya luka luar. Mengapa diributkan? Hari ini bapak rasanya capek sekali. Ingin istirahat .”

“Bapak, ini minum buat bapak,” kata Miranti yang mendekat lalu meletakkan cawan berisi teh hangat.

“Oh, iya Mir, bapak capek sekali ini, mau tiduran dulu setelah mandi. Nanti kalau anakmu bangun antarkan kekamar bapak ya.”

“Baik bapak, mau saya lihat dulu apakah sudah bangun.”

“Ya, terimakasih tehnya ya nduk.”

“Oh ya bapak, tadi Miranti sudah bilang sama ibu, besok Miranti sama Abi mau pulang dulu kerumah bapak dikampung.”

“Lho, besok?”

“Hari Minggunya keluarga Pram mau kerumah.”

“Oh, ya.. ya, baguslah, sebaiknya memang kamu ada dirumah ketika Pram melamar.”

***

Pagi itu bu Kusumo ikut sibuk menyiapkan oleh-oleh untuk bekas besannya. Berbagai makanan dititipkannya kepada Miranti.

“Ibu, ibu sudah banyak membawakan oleh-oleh buat ibu di kampung. Terimakasih banyak ya bu.”

“Ibu disini dan ibumu disana itu kan sudah seperti saudara. Ibu tidak bisa membantu, hanya ini yang bisa ibu titipkan.”

“Iya bu, tapi ibu kok kelihatan sedih begitu? Apakah ibu keberatan Miranti pergi?”

“Tidak nak, raih kebahagiaanmu, ibu senang kamu mendapatkan jodoh yang baik seperti Pram.”

“Tapi wajah ibu kok muram begitu.”

“Ibu sedih memikirkan bapakmu.”

“Memangnya bapak kenapa bu?”

“Kemarin ibu mengajak menjenguk Tejo, tapi bapak tidak mau.”

“Iya, Miranti sudah menanyakan alamatnya ke Pram. Dekat lapangan gitu, didaerah Gentan.”

“Bapakmu tidak mau, katanya cuma luka ringan. Apa bapakmu baru akan menemui anaknya kalau Tejo sudah luka parah?”

“Tidak bu, bukan begitu. Kemarin itu bapak kelihatan sangat letih. Mungkin lain kali.”

“Aku kesal sama bapakmu, dari kemarin aku nggak mau bicara sama dia.”

Miranti tertawa.

“Ibu seperti anak kecil yang manja. Benar bu, bapak sedang sangat capek. Maklumlah, semuanya bapak sendiri yang mengerjakannya.”

“Iya sih.”

“Sudah, ibu nggak boleh marah ya sama bapak. Sekarang Miranti berangkat dulu ya bu, semuanya sudah Miranti masukkan kemobil.

“Iya .. iya, mana Abi..biar eyang uti menciumnya dulu sampai puas.”

***

Hari itu pak Kusumo duduk diteras sendirian. Sudah tiga hari bu Kusumo ngambek dan enggan bicara kalau tidak sangat penting.

“Buu.. buuu..” panggil pak Kusumo karena sa’at santai dihari libur isterinya tetap tak mau menemaninya.

“Buuu...!”

Akhirnya bu Kusumo datang mendekat dengan wajah masam.

“Ada apa to kamu itu, masih marah sama bapak ya?”

“Ibu kesal sama bapak. Sama anaknya sendiri tidak punya perhatian.”

“Aku harus bagaimana lagi? Orang bocah tidak apa-apa.. mengapa aku harus kesana?”

“Biarpun lukanya ringan, namanya kecelakaan kan harusnya membuat bapak khawatir?”

“Kalau sudah tahu bahwa lukanya tidak menghawatirkan ya aku tidak usah khawatir lah bu, sudahlah, duduk saja disini. Nah, itu anaknya datang,” kata pak Kusumo ketika melihat seseorang melenggang dihalaman. Kepalanya tidak lagi terbalut melingkar, hanya ada plester menempel didahinya.

“Tejo..” seru bu Kusumo.

Tejo segera mendekat dan mencium tangan ibunya, lalu melihat bapaknya duduk diteras, Tejo menghambur kepangkuannya dan menangis tersedu disana.

“Bapak, ma’afkanlah Tejo pak..ma’af ya pak, ampuni Tejo..” isaknya.

Tak urung teriris hati pak Kusumo ketika mendengar isak Tejo sambil membenamkan kepalanya dipangkuannya.

“Bapak sudah lama mema’afkan kamu. Bapak masih kecewa dengan semua perlakuanmu.”

“Tejo bersalah pak, Tejo sudah mendapat hukumannya. Tejo sedang memperbaiki hidup Tejo pak, terimalah kembali Tejo.”

“Bagaimana dengan perempuan itu?”

“Tejo sudah lama tidak bersama dia.”

“Dimana uang penjualan rumah kamu?”

Tejo menunduk, tak mengucapkan apapun, seperti ketika ibunya menanyakannya. Tapi pak Kusumo maupun bu Kusumo sudah tahu jawabannya.

“Dihabiskan perempuan itu kan?”

“Iya bapak. Ma’afkan Tejo.”

“Baguslah, setelah kamu habis-habisan, baru kamu menyadari siapa perempuan pengerat itu.”

“Tejo akan memperbaiki hidup Tejo.”

“Dimana kamu tinggal?”

“Tejo menyewa rumah dari penjualan mobil, untuk mendirikan bengkel.”

“Jalan bengkelnya?”

“Lumayan bagus bapak, Tejo sudah bisa menabung.”

“Apa kamu datang untuk bilang kepada bapak bahwa kamu ingin kembali bekerja dikantor bapak?”

“Tidak bapak, biarlah Tejo mengayuh kehidupan Tejo dengan cara Tejo sendiri. Tejo tak ingin menjadi beban bapak lagi.”

Pak Kusumo mengangguk. Kemarahannya sudah mereda, apalagi Tejo mengatakan bahwa dia ingin mengayuh hidupnya sendiri. Ini membuatnya senang. Ternyata anak laki-lakinya tidak cengeng. Ketika terjatuh kemudian mampu bangkit dan melanjutkan langkahnya.

“Bagus, kapan-kapan bapak mau melihat bengkel kamu.”

“Terimakasih bapak.”

Bu Kusumo masuk kedalam sambil mengusap air matanya. Terharu mendengar suaminya mau berbincang dengan Tejo, dan dengan suara yang amat lembut.

Ketika keluar, bu Kusumo membawa dua cangkir teh untuk suaminya dan juga untuk Tejo. Bu Kusumo senang melihat Tejo sudah duduk disamping bapaknya sambil berbicara tentang pekerjaannya.

“Tehnya diminum, kamu sudah sarapan?”

“Sudah bu. Sekarang Tejo mau melihat Abi ya pak.”

“Abi sedang ikut ibunya. Pulang kekampung dua hari yang lalu.”

“Oh, pulang kekampung?”

Bu Kusumo menangkap nada kecewa dari suara anaknya. Seorang ibu memang lebih tajam mata batinnya.

“Iya, bukankah hari ini Miranti dilamar?”

Tejo memegang pegangan kursi dengan erat.

“Pramadi pemuda yang baik. Dia juga sangat menyayangi anakmu,” kata pak Kusumo.

Tejo merasa bumi yang dipijaknya bergoyang.

***

Besok lagi ya

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 15