ADA YANG MASIH TERSISA 36
(Tien Kumalasari)
Tak ada kata terucap dari bibir Tejo. Kepalanya menunduk dan tubuhnya gemetar. Keringat dingin membasahi dahi dan tubuhnya.
“Bapak senang, semua penderitaan Miranti sudah terobati. Kamu juga harus bersyukur Jo, anakmu bakal ada yang melindungi dengan baik dan penuh kasih sayang. Pramadi itu laki-laki yang baik. Dia mau melakukan apa saja untuk orang lain dengan ikhlas dan tulus. Dulu waktu bapakmu ini dirawat dirumah sakit, apa kamu tahu? Pramadi yang menunggui bapak siang dan malam. Dia laki-laki luar biasa,” kata pak Kusumo tanpa tahu bagaimana perasaan Tejo.
Tapi bu Kusumo melihat keanehan diwajah Tejo, yang tiba-tiba tampak pucat. Itu karena bu Kusumo duduk dihadapan Tejo sedangkan pak Kusumo ada disampingnya.
“Dan syukurlah Miranti mendapatkannya. Kamu sudah tahu belum bahwa sesungguhnya Pramadi itu seorang pengusaha yang kaya raya? Tapi dia suka sekali berderma. Setiap bulan ia membagikan sembako kepada kaum du’afa, disekitar kota ini. Luar biasa. Dan bapak belajar dari dia. Mulai bulan ini bapak akan melakukan hal yang sama. Coba pikir, ketika kita tidur nyenyak dikasur yang empuk, dikamar yang nyaman, lalu makan enak dan bisa berpakaian bagus, disana .. masih banyak orang-orang tak mampu yang tak bisa menikmati apa yang kita nikmati. Ya kan? Tidur di emperan toko, dibawah jembatan, makan sisa-sisa makanan, bahkan ada yang beberapa hari tidak makan. Bapak sangat tersentuh dengan apa yang dilakukan Pramadi. Kamu juga harus melakukan hal yang sama Jo, semampu kamu, tidak usah harus meniru mereka yang mampu. Misalnya hanya dengan berbagi sebungkus atau dua bungkus nasi. Kamu mengerti Jo? Kita akan bahagia ketika bisa melakukannya.”
Tejo yang mulai bisa menata batinnya hanya mengangguk-angguk. Sebuah pelajaran luar biasa mampu mengalahkan rasa perih didadanya karena sebuah harapan pupus dari angannya. Mengalahkan rasa terkejutnya ketika mengetahui bahwa Pram adalah benar-benar seorang pengusaha yang sangat dermawan. Ketika ditanya, dia sangat merendah, tak ada kata-kata menyombongkan diri. Begitu santun dan penuh perhatian kepada orang lain. Ya Tuhan, pria itulah yang akan memiliki bekas isterinya, yang semula diharapkannya akan diajaknya rujuk. Haruskah Tejo marah? Tidak, Tejo sekarang adalah seseorang yang mulai bisa menyadari bahwa beginilah hidup ini. Ada ketulusan, ada kebatilan, ada baik ada buruk, dan dia telah mengarungi semuanya. Sekarang dia baru memulai membuka lembaran baru yang semoga bersih dari noda. Sebenarnya dia butuh teman, yang bisa seiring sejalan.
Teman cantik yang dirindukannya akhir-akhir ini, tapi tiba-tiba terbang melayang.
“Mengapa kamu diam Jo? Tidak setuju dengan apa yang bapak katakan?” tanya pak Kusumo sambil menatap Tejo yang masih saja menundukkan kepalanya.
“Tidak bapak, Tejo kagum akan perbuatan baik seperti yang bapak katakan,” katanya sambil mengangkat kepalanya.
“Kamu mau melakukannya?”
“Tentu saja bapak.”
“Kalau kamu mau berbuat baik, maka kamu benar-benar anak bapak, karena bapak tidak pernah mengajarkanmu melakukan hal buruk dalam hidup kamu.”
“Tapi wajah kamu kok pucat begitu Jo, kamu benar-benar sudah sehat?” tanya bu Kusumo.
“Ibu, Tejo baik-baik saja.”
“Ibumu ini terlalu mengkhawatirkan kamu. Udara begini panas, kalau peluh bercucuran itu kan sudah semestinya. Dan kalau peluh keluar banyak pasti wajah kelihatan agak pucat,” kata pak Kusumo.
Tejo mengambil tissue yang ada dimeja, lalu ia mengelap wajahnya yang berkeringat.
“Bu, bagaimana kalau kita melihat bengkelnya Tejo sekarang?”
“Oh, iya pak.. ibu mau.. ibu ganti baju dulu ya,” kata bu Kusumo bersemangat sambil berdiri dan langsung masuk kedalam rumah.
Tejo pun terlihat begitu gembira ketika bapaknya tampak menaruh perhatian atas usahanya. Sejenak dia melupakan kekecewaan hatinya.
***
“Apakah kamu membutuhkan sesuatu untuk bengkel kamu Jo?” tanya pak Kusumo ketika mengajak mampir makan disebuah warung.
“Tidak bapak, semuanya sudah cukup.”
“Barangkali kamu ingin peralatan yang lebih modern, supaya pekerjaan kamu dan teman-teman kamu bisa bekerja lebih mudah. Nanti bapak bantu.”
“Tidak, biarkan saja dulu, nanti kalau suatu hari Tejo membutuhkan barulah Tejo minta sama bapak.”
Pak Kusumo mengangguk mengerti. Ia semakin ingin melihat, seberapa jauh Tejo sudah melangkah, sehingga tidak mau menerima bantuan dari orang tuanya. Tapi yang jelas Tejo benar-benar sudah berubah.
Tejo menikmati makan siangnya, mencoba melupakan Miranti yang sudah jelas akan menjadi milik orang lain. Seorang pengusaha kaya yang dermawan, merangkap menjadi sopir Miranti. Ini yang Tejo belum mengerti. Bagaimana bisa terjadi.
“Bapak, bolehkah Tejo tahu, bagaimana Pramadi seorang pengusaha kaya bisa menjadi sopir pribadi Miranti?”
“Hm.. bahkan sebelumnya dia menjadi pengamen...” gumam pak Kusumo sambil menghirup es beras kencur yang dipesannya.
“Dia itu memang pacarnya Miranti.”
“Apa?”
“Dia sakit selama tiga bulan dan setelah kembali Miranti sudah menikah sama kamu. Dia mengamen ketika ingin bertemu Miranti, Lalu aku yang tidak mengira siapa dia sebenarnya memintanya menjadi sopir pribadi Miranti.”
“Jadi... mereka sudah kenal sebelumnya?”
“Tapi aku percaya mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma. Pramadi orang baik dan sangat menghormati cintanya.”
Tejo terdiam. Apa lagi yang ingin dikatakannya? Tak ada celah untuk menerobos masuk. Tak ada ruang untuk mendendangkan deru nyaring didadanya.
“Kamu masih membenci Miranti?” tanya pak Kusumo tiba-tiba dan Tejo benar-benar terkejut. Dia justru sedang jatuh cinta nih.
“Tidak bapak. Tejo merasa bersalah.”
“Ya sudah, do’akan saja agar dia bahagia ya Jo.”
“Ya bapak,” kata Tejo lirih sambil menikmati suapan terakhirnya.
“Nanti carilah gadis yang baik yang bisa menjadi pendampingmu. Tapi jangan asal cantik, asal suka. Yang penting bisa menjadi isteri dan ibu yang baik. Mengerti Jo.”
“Ya bapak,” jawab Tejo sambil membayangkan wajah Miranti, tapi kemudian wajah itu hilang, berganti sebuah bayangan yang entah siapa, dan belum ditemukannya.
***
Suasana dirumah pak Winardi sangat meriah. Ada kerabat Pramadi tiga mobil datang sebagai wakil keluarga. Dan hari itu juga diputuskan hari apa dan kapan Pram dan Miranti akan dinikahkan.
Tentu kedua calon pasangan itu sangat bahagia. Abi tak pernah lepas dari gendongan Pramadi. Sedikit saja dilepaskan, lalu berteriak-teriak memanggil.. apaaak.. apaaak. Membuat yang hadir ikut tertawa melihat kelucuan Abi.
“Kapan kamu balik Mir?” tanya Pram ketika sedang berduaan.
“Entahlah, mungkin satu dua hari lagi, barangkali ibu sama bapak ingin membicarakan sesuatu.”
“Baiklah, aku juga akan mempersiapkan semuanya. Pernikahan disini, dan sebuah acara syukuran disana, mungkin orang-orang kantor ingin melihat kita sebagai pasangan yang benar-benar pasangan, bukan hanya menduga-duga.”
“Terserah kamu saja Pram.”
“Bagaimana menjawab keinginan Tejo?”
“Menjawab apa? Tejo tidak pernah mengatakan apa-apa. Mudah-mudahan dia sudah mendengarnya dari bapak atau ibu.”
“Sebenarnya aku kasihan sama dia.”
“Kita do’akan saja agar dia mendapatkan jodoh terbaik, yang bisa menambal kekecewaannya.”
“Aamiin. Tapi kamu tidak boleh membencinya ya, dan seandainya dia ingin bermain bersama Abi, ijinkanlah, bagaimanapun dia kan ayahnya.”
“Iya, aku mengerti.”
***
Pak Kusumo melihat-lihat bengkel Tejo, dan mengangguk-angguk.
“Itu air compressornya sudah usang, mengapa tidak beli yang baru?” kata pak Kusumo.
“Iya pak, nanti, baru mengumpulkan uang.”
“Berapa kamu butuhnya?”
“Tidak pak, sungguh, biarlah Tejo berusaha sendiri, agar terasa nanti pahit dan manisnya dari keringat kami.”
“Ya.. ya.. bapak bisa mengerti.”
Lalu pak Kusumo dan bu Kusumo masuk kedalam. Bu Kusumo terharu melihat perabotan anaknya yang sangat sederhana.
“Ini kamar kamu le?” tanya bu Kusumo ketika memasuki sebuah kamar.
“Iya bu.”
“Berantakan begitu. Sehabis tidur itu selimut harus dilipat dan dirapikan. Begini...” kata bu Kusumo sambil melipat selimut Tejo yang terserak diatas ranjang.
“Iya bu, mulai besok akan Tejo rapikan.
“Segera cari isteri yang bisa mengurus kamu, bukan yang suka menghamburkan uang kamu.”
“Ya bapak.”
“Kamu tidak ingin rumah yang lebih bagus?”
“Ingin, tapi nanti bapak, do’akan saja agar Tejo bisa membelinya.”
Terharu pak Kusumo mendengar Tejo selalu menolak pemberiannya. Tampaknya Tejo benar-benar ingin menebus kesalahannya dengan melakukan sesuatu yang hanya ditanganinya sendiri, tanpa campur tangan orang tua.
“Bagus le, bapak senang melihat bengkel dan rumahmu ini. Masih berapa lama lagi kamu mengontrak rumah ini?”
“Masih dua tahun bapak.”
“Lumayan lama. Semoga dalam waktu dua tahun kamu sudah bisa berhasil membenahi hidup kamu.”
“Aamiin, terimakasih bapak.”
***
“Ternyata pak Kusumo orang yang sangat perhatian dan begitu bijak, tak mau mengusik keinginan kamu untuk mandiri,” kata Supri ketika pak Kusumo sudah pergi.
“Aku merasa berdosa kepada kedua orang tuaku.”
“Aku senang kamu bisa menjalani hidup kamu dengan penuh penyesalan dan berusaha memperbaikinya. Aku selalu mendukung kamu Jo.”
“Terimakasih Pri.”
“Kamu juga ketemu Miranti dan berhasil merayunya?”
Tejo menghela nafas berat. Menghempaskan tubuhnya dikursi.
“Lhaah.. kenapa?”
“Miranti sudah dilamar.”
“Oh ya?”
“Kamu ingat orang gagah yang memberi aku uang duapuluh ribu hanya untuk mengisi angin di ban mobilnya? Yang memberi kamu seratus ribu hanya untuk melihat mesinnya? Yang kamu lihat sedang membagikan sembako dilapangan itu?”
“Kenapa dia dan apa hubungannya?”
“Dialah yang akan menjadi suami Miranti.”
“Ya Tuhan... Benarkah?”
“Perjalanan hidup yang tampak rumit dan sangat membuatku terpana.”
“Kamu sakit hati dong?”
“Bukan, aku hanya kecewa karena maksudku tak tersampai, tapi aku tidak sakit hati. Pramadi laki-laki yang baik. Aku ingin menebus kesalahanku, membahagiakan Miranti, tapi sudah ada yang melakukannya. Aku bahagia untuk dia,” katanya lirih.
“Jo, kamu hebat sekali. Kamu bisa menerima sesuatu yang seharusnya menyakiti hati kamu dengan lapang dada. Bahkan kamu bahagia untuk dia. Itu luar biasa Jo. Kamu benar-benar sahabatku yang telah memiliki hati yang besar. Memiliki kebijakan yang tak ternilai,” puji Supri sambil menepuk bahu Tejo dengan hangat.
“Itu kan karena kamu Pri, aku menemukan jalanku karena kamu.”
“Jadi kamu tidak sedih kehilangan Miranti?”
“Ya sedih lah Pri, aku kan masih manusia. Tapi aku tidak menyesalinya. Aku kan sudah bilang bahwa aku akan bahagia untuk dia. Sudah terlalu banyak aku menyakiti dia Pri.”
“Baiklah, aku juga bahagia untuk kamu.”
Lalu Supri merangkul sahabatnya erat-erat.
***
“Tejo...” itu suara ibunya ketika menelpon.
“Ya bu..”
“Miranti sudah mengabari bahwa akan menikah bulan depan.”
“Syukurlah,” kata Tejo datar.
“Bapakmu bilang, besok kalau kesana akan mengajak kamu juga. Kamu mau kan?”
“Mengajak Tejo menghadiri pernikahan Miranti? Enggak bu, Tejo nggak mau ikut.”
“Mengapa? Sama bapak sama ibu dan simbok katanya juga pengin ikut.”
“Takut Tejo pingsan disana,” canda Tejo.
“Mengapa pingsan Jo?”
Lalu Tejo terkejut. Ungkapan katanya membuat bu Kusumo bertanya-tanya.
“Tidak bu, Tejo hanya bercanda.”
“Apa kamu sesungguhnya suka sama Miranti dan ingin rujuk?”
“Ah ibu, tidak bu, Tejo hanya bercanda.”
“Jadi apakah kamu mau ikut?”
“Entahlah bu, kan masih bulan depan, gampanglah bu.”
Namun ketika menutup pembicaraan itu bu Kusumo merasa bahwa sebenarnya Tejo masih menginginkan Miranti.
“Ah, kamu terlambat menyadarinya Jo,” gumam bu Kusumo.
***
Supri sedang membeli makanan untuk makan siangnya bersama Tejo dan kawan-kawannya, ketika seseorang memanggilnya.
“Pri !!”
Supri menoleh, dan melihat seorang gadis cantik sedang menatapnya.
“Dina ?”
“Senangnya kamu masih ingat aku Pri. Apa kabar?”
“Baik, kamu sendiri?”
“Aku juga baik. Lagi beli makan ya? Aku bekerja ditoko baju itu.”
“Oh, syukurlah, sudah berapa anak kamu Din?”
“Anak?” kata Dina tertawa.
“Iya, kenapa tertawa?”
“Aku nih perawan tua Pri, belum ada yang mau.”
“Masa, gadis secantik kamu belum ada yang mau. Kamu terlalu milih, barangkali?”
“Tidak Pri, masih belum bisa melupakan dia.”
“Tejo ? Kamu masih memikirkan dia?”
“Susah menghilangkannya. Tapi aku maklum, aku kan hanya orang biasa, sedangkan dia anak seorang pengusaha kaya, dan sudah digandeng Anisa. Aduuh, kalau ingat itu Pri, kamu kan juga tahu, Anisa pernah melabrak aku gara-gara aku makan bareng Tejo?”
“Ya, aku ingat lah.”
“Sudah menikah ya mereka? Sudah punya anak berapa?”
“Tidak, mereka tidak menikah. Panjang ceritanya. Nanti kalau ada waktu aku akan ngomong banyak. Tapi kalau kamu ingin ketemu Tejo, dia bekerja bersama aku.”
“Oh, kamu bekerja dikantornya Tejo? Hebat ya.”
“Bukaaan.. Tejo tidak bekerja dikantor bapaknya. Dia mendirikan bengkel bersama aku, dan hidup sederhana. Kasihan dia.”
“Memangnya kenapa Pri kok kasihan?”
“Kan ceritanya panjang.”
“Cerita saja sekarang, ayuk sambil makan didalam, Aku yang traktir Pri.”
“Aduh, aku lagi beli makan untuk Tejo juga nih.”
“Nggak akan lama, sambil menunggu pesanan kamu dibungkus, ayo kita makan didalam,” kata Dina sambil menarik tangan Supri. Rupanya cerita tentang Tejo sangat menarik perhatiannya.
***
Dina teman kuliah Tejo, dulu jatuh hati sama Tejo, tapi karena Anisa takut Tejo direbut oleh Dina maka dilabraknya Dina ketika sedang makan dikantin kampus. Dinapun mundur karena malu dikira rebutan cowok. Sekarang ketika mendengar tentang Tejo, Dina merasa kasihan. Anak orang kaya yang merintis usahanya demi menebus semua kesalahannya, alangkah mengharukan.
“Pri, jangan dulu bilang sama Tejo kalau kamu ketemu aku ya, aku akan memberi dia kejutan.”
“Kamu mau ke bengkel?”
“Iya, tapi nanti sepulang kerja.”
“Jam berapa kamu pulang kerja?”
“Jam lima an lah. Jam segitu bengkel sudah tutup?”
“Iya sudah. Tapi tak apa-apa, kalau berdua malah bisa leluasa mengeluarkan isi hati,” goda Supri.
“Ah, harapanku kan sudah pupus Pri, mana mau dia sama aku. Aku hanya kangen dan ingin melihat keadaannya.”
“Bagaimana kalau Tejo masih suka sama kamu?”
“Memangnya Tejo pernah suka sama aku? Setelah ada Anisa maka Tejo tidak pernah lagi berpaling kemanapun.”
“Tapi Anisa kan sudah tidak ada. Kasihan dia. Kalau kamu mau mendekati dia lagi, siapa tahu dia akan bahagia.”
“Aku tidak terlalu berharap Pri, aku kan sudah bilang bahwa aku hanya kangen. Apakah dia masih ganteng seperti dulu?”
“Ya masihlah, masa ganteng bisa luntur? Cuma dia agak kurusan, dan jangan kaget kalau kamu ketemu dan melihat tubuhnya belepotan olie. “
Dina tertawa.
“Mudah-mudahan kalian berjodoh.”
“Jodoh itu ada ditangan Yang Maha Kuasa Pri, kan aku sudah bilang bahwa aku tak akan terlalu berharap. Bisa melihatnya saja aku sudah senang.”
***
Tejo baru mau masuk kekamar mandi ketika diluar terdengar ketukan. Apa Supri kembali karena ada yang ketinggalan?
Tejo berjalan kearah depan, tapi urung membuka pintu ketika didengarnya suara perempuan menyapa.
“Selamat sore..”
Bayangan bahwa yang datang adalah Anisa, membuat Tejo membalikkan badannya dan langsung masuk kekamar mandi.
***
Besok lagi ya