ADA YANG MASIH TERSISA 37
(Tien Kumalasari)
Tejo sudah selesai mandi dan berpakaian rapi, tapi ketukan dipintu masih terdengar.
“Hm, perempuan itu sungguh tak tahu malu. Sudah dilarang datang masih saja datang. Aku harus mendampratnya lebih keras. Apalagi dia baru saja menipu Supri dengan meminta uang yang katanya aku yang menyuruhnya.
“Selamat sore...” suara itu lagi, agak sayup bercampur suara televisi yang baru saja disetelnya. Tejo bergegas kedepan, membuka pintu rumah lalu membuka pintu bengkel. Umpatan itu sudah ada diujung mulutnya ketika sebuah bayangan nampak tersenyum lembut kearahnya. Tejo terpaku, dan untuk beberapa sa’at tak mampu membuka mulutnya.
“Tejo ?”
Wanita itu ... pernah sangat dekat dengan dirinya.
“Kk.. kamu? Dari.. dari.. mana kamu tahu kalau.. aku ada disini?”
“Masa aku tidak kamu persilahkan masuk dulu Jo?”
“Oh..eh.. iya.. iya.. masuklah..” kata Tejo sambil beranjak masuk kerumah diikuti oleh tamunya.
“Silahkan duduk. Apa kabar Dina?” tanya Tejo setelah mempersilahkan tamunya duduk.
Dina menatap kesekeliling.
“Benar apa yang dikatakan Supri, Tejo sekarang hidup sangat sederhana,” kata batin Dina.
“Kamu masih tetap cantik seperti dulu,” kata Tejo sambil menatap Dina lekat-lekat.
“Benarkah? Bukankah aku sudah semakin tua?”
“Berapa anak kamu?”
“Anak? Aku belum menikah,” kata Dina sambil tertawa.
“Belum ?”
“Belum ada yang mau sama aku.”
“Masa ?”
“Buktinya aku masih sendiri.”
“Hm...”
“Apa kabarnya Anisa?”
Wajah Tejo langsung muram.
“Jangan sebut nama itu lagi.”
“Kenapa? Dulu kalian sangat dekat, bahkan tak seorangpun berani mengganggu kamu,” kata Dina pura-pura tidak tahu.
“Nasibku buruk. Tapi tunggu, aku ambilkan kamu minum,” kata Tejo sambil berdiri dan membuka kulkas, mengambil dua botol minuman dingin, diletakkannya diatas meja dimana Dina duduk menunggu.
“Terimakasih Tejo, aku memang haus karena kelamaan berdiri didepan pintu. Ada lho setengah jam aku menunggu kamu membukakan pintu.”
“Aduh, ma’af.. ma’af.. aku kira Anisa yang datang, dan ketika aku kemudian membuka pintu, aku sudah siap mendampratnya.”
“Astaga, untung kamu segera melihat bahwa bukan Anisa yang datang. Kalau tiba-tiba kamu mendamprat aku, bisa pingsan aku Jo.”
“Tapi aku heran, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku tinggal disini?”
“Kasih tahu nggak ya.”
“Tak mungkin kamu tiba-tiba tahu.. pasti ada yang memberi tahu.”
“Apa itu penting?”
“Nggak sih, cuma aku heran saja.”
“Kamu kurusan Jo.”
“Iya, kan aku lagi prihatin..”
“Aku juga ikut prihatin atas semua yang terjadi sama kamu.”
“Tapi nada-nadanya kamu sudah banyak tahu tentang aku. Hm.. pasti Supri kan? Kamu tadi ketemu Supri bukan? Siang tadi dia membeli makanan lama sekali, setelah datang dia bilang sudah kenyang karena ditraktir teman. Hayo.. kamu kan?”
“Iya Jo...”
“Kamu mau mengejek kehidupan aku ini?”
“Tidak Jo, mengapa berkata begitu, aku cuma kangen sama kamu,” kata Dina sambil meneguk minuman yang disuguhkan.
“Benarkah ?”
“Benar. Berapa tahun aku tidak ketemu kamu, ya kangenlah.”
“Kamu kerja dimana ?”
“Disebuah toko pakaian, seadanya Jo, kan sekolahku tidak selesai, karena orang tua tidak mampu, jadi ya bekerja seadanya, itupun sudah aku syukuri.”
Tejo mengangguk-angguk, tapi kata ‘kangen’ itu tiba-tiba mengusik batinnya, membuatnya berdebar.
“Kamu tadi naik apa?”
“Naik ojol..”
“Nanti aku antar pulangnya, tapi karena aku nggak punya kendaraan juga, nganternya jalan kaki.”
“Boleh..”
“Sambil jalan-jalan, dan bercerita tentang perjalanan hidup aku.”
“Iya, aku akan mendengarnya. Kalau begitu cepatlah, jangan sampai aku kemalaman.”
***
“Pak.. aku ini sebenarnya kan lagi mikir Tejo..” kata bu Kusumo pada suatu sore.
“Lha kenapa lagi memikirkan Tejo? Menurut bapak dia sudah bisa berdiri tegak, dan itu hebat. Anakku bisa bangkit dari keterpurukannya, biarpun semua adalah karena kesalahannya.”
“Bukan itu pak. Menurut ibu, sebenarnya dia ingin rujuk dengan Miranti.”
“Ibu ada-ada saja..”
“Bapak itu kok tidak percaya. Seorang ibu itu bisa meraba bagaimana perasaan anaknya lho.”
“Biarpun begitu kan ada alasannya. Kalau hanya perasaan saja kan namanya hanya terbawa perasaan, belum tentu benar.”
“Ibu itu mendengar dari Tejo pak. Ya tidak secara langsung begitu. Itu lho pak, kemarin aku kan menelpon dia, bulan depan Miranti mau menikah, terus ibu bilang, supaya Tejo ikut. Katanya nggak mau, takut pingsan disana.”
Pak Kusumo hanya tertawa menanggapi kata-kata isterinya.
“Bapak kok malah tertawa.”
“Lha cuma bilang begitu saja kok dibilang ingin rujuk. Tapi kalaupun benar, ya mungkin saja. Dia menyesali perbuatannya sama Miranti ketika itu, lalu ingin memperbaikinya. Tapi kan semuanya sudah terlambat.”
“Iya sih. Kasihan aku sama Tejo.”
“Mengapa harus dikasihani bu, dia itu laki-laki, bisa saja cari ganti. Tejo itu ganteng seperti bapak. Nggak susah cari gadis cantik.”
“Iih, pasti kalau ganteng bilang seperti bapak deh.”
“Lha masa sih ganteng kok seperti ibu?”
“Hm... bapak nih, bisa saja.”
“Memang iya. Sudahlah bu, Tejo sudah kehilangan kesempatan mendapatkan isteri yang baik, dan itu kesalahannya sendiri. Tapi dia tak akan jatuh hanya karena itu. Percayalah, dia akan mendapatkan wanita lain sebaik Miranti. Paling tidak jangan yang seperti perempuan pengerat itu.”
“Iya, mudah-mudahan ya pak.”
“Sebetulnya bapak juga ingin merayakan pernikahan Miranti dan Pram, tapi karena Pram sudah mau merayakannya ya sudah, nanti pengantinnya kecapekan.”
“Nggak apa-apa pak, yang penting kita menghadirinya sebagai ungkapan rasa syukur kita kan?”
“Iya bu.”
***
“Kok senyum-senyum sendiri sih Pri?” tegur Tejo ketika melihat Supri datang pagi itu.
“Senyum lah, aku kan senang kamu ketemu pacar lama.”
“O.. jadi kamu. Benar dugaanku. Kamu cari makan lama sekali, lalu bilang sudah makan karena ditraktir teman, dan teman itu Dina kan?”
Supri tertawa ngakak.
“Dia bilang ketemu aku?”
“Tidak, aku bisa nebak kok. Darimana dia tahu bahwa aku tinggal disini coba, dari kamu kan?”
“Iya, tapi kamu senang kan?”
“Entahlah, apa dia masih suka sama aku ya?”
“Kok kemarin ketika ketemu nggak ditanya langsung, malah tanya sama aku, mana bisa aku menjawabnya?”
“Masih sungkan. Nanti sore aku mau kerumahnya.”
“Ya sudah, lanjutken..”
“Itu kan gaya pak Harto.. “
“Bagus kan.. lanjutken.. Jangan menangisi yang telah lalu, hadapi dan raih bahagiamu. Hanya kamu sendiri yang bisa melakukannya.”
“Aku kok jadi deg-degan..”
“Seperti ABG saja ta Jo.. pake deg-degan segala. Ayo.,. sa’atnya cari duit. Itu anak-anak sudah datang.”
Tejo tersenyum. Baiklah, raih bahagiamu Jo, jangan menangisi masa lalu yang memang pahit dan menggigit.
***
Sejak sa’at itu Tejo sering menjemput Dina ditempat kerja, dan mengajaknya makan di wedangan yang nyaman, lalu membuatnya semakin dekat. Bahwa cinta tidak datang tiba-tiba, itu benar, tapi ketika benar-benar datang semuanya akan menjadi indah.
“Kamu kan tahu siapa aku sekarang ini Din?”
“Ya tahulah, kamu kan Tejo, teman kuliahku dulu.”
“Bukan itu, hidupku sekarang ini, jauh dari kemewahan dan berlimpahnya harta. Aku miskin Din, apakah kamu mau berdekatan dengan orang miskin?”
“Miskin itu apa Jo? Diriku sendiri tidak dilahirkan sebagai orang berada. Miskin harta itu boleh, asalkan jangan miskin jiwa. Kalau miskin jiwa maka nurani tak akan ada. Bisakah hidup tenang tanpa hati nurani yang bersih dan bermartabat? Tapi miskin harta orang bisa bahagia, tergantung bagaimana kita mensyukurinya.”
Tejo menatap Dina tanpa berkedip. Semakin hari sikap Dina semakin menarik hatinya. Dia tahu bahwa dirinya bukan lagi anak orang berada yang bergelimang harta. Dia hanya seorang tukang bengkel yang terkadang kotor dan penuh coreng moreng. Tapi toh Dina tak pernah menjauhinya. Tejo tahu sejak dulu Dina suka pada dirinya, tapi bukan karena dirinya kaya. Ketika mengetahui keadaannya sekarang, rasa suka itu tak pernah surut. Ia rela membiarkan dirinya tetap sendiri karena setia pada perasaan cintanya.
Dina jauh bedanya dengan Anisa, bagaikan bumi dan langit. Lalu Tejo merasa bahwa dia juga mencintainya. Dina gadis yang luar biasa, penuh semangat dan menggenggam erat apa yang diyakininya.
“Kok menatap aku seperti melihat barang aneh sih Jo?”
“Bukan barang aneh, tapi barang yang luar biasa.”
“Oh ya?”
“Apa kamu juga tahu bahwa aku ini seorang duda?”
“Kan kamu sudah cerita semuanya. Ya tahulah, aku menyimak dengan baik kok.”
“Maukah kamu dilamar seorang duda miskin ?” kata Tejo yang tiba-tiba memiliki sebuah keberanian untuk mengungkapkan isi hati.
“Ini lamaran ?” tanya Dina menahan senyum.
“Ya...”
Dan diantara remang lampu di arena wedangan itu, sebuah wajah membiaskan rona merah. Mata beningnya berkedip-kedip, bak bintang dilangit sana, diantara desir angin malam mengusik dedaunan disamping mereka. Berpacu dengan desir jantung mereka masing-masing.
Tejo meraih tangan Dina yang terletak diatas meja dan menciumnya lembut.
“Jadilah isteriku, seorang duda miskin tapi memiliki sejagad cinta.”
“Sekarang kamu pintar merayu ya Jo,” kata Dina sambil menarik tangannya, sungkan karena berpasang mata memandang kearahnya.
“Demi kamu, aku belajar merayu semalaman.”
Lalu Dina tertawa lirih, tapi rona bahagia tampak pada wajahnya.
Adakah yang lebih indah dari ketika dua hati saling bertaut?
***
Bu Kusumo yang sudah tahu tempat tinggal Tejo, siang hari itu membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya.
“Ini, tidak usah beli, sudah ibu bawakan makan siang untuk kalian semuanya,” kata bu Kusumo sambil meletakkan satu tas besar berisi makanan.
“Pri.. ini Pri... “ Tejo berteriak memanggil Supri.
“Ya, waduh ibu membawa banyak makanan, enak-enak lagi.” Kata Pri sambil mendekat.
“Iya Pri, sekali-sekali tidak usah beli, ini ibu yang masak. Ayo, dimakan sama teman-teman kamu.” Kata bu Kusumo.
“Iya bu, terimakasih banyak. Kami selesaikan pekerjaan dulu bu, kurang sedikit, setelah itu kami makan.”
“Baiklah, ibu tata dimeja sini ya.”
Tejo duduk dikursi, membantu ibunya menaruh lauk pauk dipiring.
“Jo, minggu depan ini Miranti menikah lho. Kamu ikut ya?”
“Bolehkah Tejo membawa teman?”
“Supri?”
“Bukan bu.. ini..” kata Tejo sambil membuka ponselnya dan menunjukkan kepada ibunya sebuah foto.
“Ini.. ibu seperti mengenal wajah ini.. siapa ya Jo?
“Teman kuliah Tejo dulu, tapi kuliahnya nggak selesai karena biaya.”
“O, iya.. mungkin ibu melihat ketika rame-rame main kerumah bersama teman kamu yang lain ya Jo.”
“Iya bu.”
“Lalu.. maksudmu.. kamu mau mengajak gadis ini?”
“Namanya Dina bu. Andina.”
“O.. iya.. iya.. ibu ingat, Dina.. cantik lho Jo. Kamu mau mengajak dia ke pernikahan Miranti?”
“Kalau ibu sama bapak mengijinkan.”
“Nanti dulu, dia gadis baik-baik? Jangan seperti Anisa, ibu nggak mau.”
“Dia jauh bedanya dengan Anisa bu. Dia bisa menerima Tejo dengan keadaan Tejo yang seperti ini. Dia sangat baik dan bijaksana.”
“Benarkah?”
“Nanti kalau ketemu ibu bisa menilainya.”
“Hm.. tampaknya baik, sinar matanya lembut, senyumnya manis, matanya teduh.. Coba le, kirimkan fotonya ke ponsel ibu, biar nanti bapak juga melihatnya.”
“Baik bu. Tapi dia juga bukan anak orang kaya. Sa’at ini dia bekerja disebuah toko pakaian,” kata Tejo sambil mengirimkan foto Dina ke ponsel ibunya.
“Baiklah Jo, tapi sesekali bawalah kerumah, biar ibu dan bapak mengenalnya lebih jauh.”
“Besok Minggu Tejo akan mengajaknya kerumah, biar ketemu bapak sama ibu.”
“Iya le. Syukurlah, ibu senang kalau kamu sudah mendapatkan seorang wanita yang baik. Semoga dia setia mendampingi kamu, apapun dan bagaimanapun keadaan kamu.”
“Aamiin.”
“Itu.. Supri dan teman-temannya sudah selesai belum, ayo makan dulu rame-rame nak,” teriak bu Kusumo riang.
***
“Pak.. bapak.. coba pak.. lihat ini,” kata bu Kusumo bersemangat sambil menunjukkan foto Dina yang ada di ponselnya.
“Ini siapa sih bu?”
“Cantik nggak ?”
“Cantik dan manis. Siapa nih bu, apakah dia seorang gadis yang mau ibu jodohkan sama anakmu Tejo?”
“Bukan pak, dia itu gadisnya Tejo.”
“Gadisnya Tejo? Maksud ibu, Tejo sudah mendapatkan gadis yang cocok? Gadis ini?”
“Bagaimana menurut bapak?”
“Cantik, matanya bagus, senyumnya menawan.. darimana Tejo mendapatkan gadis secantik ini? Asal jangan sseperti perempuan pengerat itu ya.”
“Ini kan Dina, teman kuliah Tejo, cuma dia tidak sampai selesai karena tak punya biaya.”
“Oh.. iya, tapi bapak lupa sih, kan teman Tejo lumayan banyak.”
“Dia bilang, akan mengajak Dina ke pernikahan Miranti, apa bapak mengijinkan?”
“Apakah gadis itu baik?”
“Kata Tejo sih baik, dia mau menerima Tejo apa adanya.”
“Coba saja ajak kemari bu, biar bapak lebih mengenalnya.”
“Ibu sudah memintanya, katanya besok Minggu mau diajak kemari.”
***
Hari itu Tejo nyamperin kerumah Dina, mau diajaknya kerumah bapak ibunya. Sebenarnya Dina ragu-ragu, menyadari siapa dirinya.
“Mengapa takut Din? Bapak ibuku itu baik.” Kata Tejo ketika sedang berjalan sebelum mencari taksi.
“Tapi aku ini hanya anak orang biasa.”
“Yang menginginkan kamu itu aku, laki-laki yang juga tak punya apa-apa. Bapak sama ibuku hanya menginginkan calon menantu yang baik.”
“Apakah aku calon menantu yang baik?”
“Kamu sangat baik, sudahlah Din, jangan merasa rendah begitu, aku sendiri juga bukan laki-laki yang sempurna. Ayo kita panggil taksi,” kata Tejo sambil mengambil ponselnya, sementara Dina bergayut dilengan Tejo. Namun tanpa mereka sadari sepasang mata menatapnya dengan penuh kebencian.
***
Besok lagi ya