ADA YANG MASIH TERSISA 38
(Tien Kumalasari)
Sepasang mata itu menyala, bagai memancarkan api. Dulu dia sangat cemburu pada Dina. Dia pernah mendampratnya dan Dina yang penyabar memilih mundur. Sekarang Anisa melihat tangan Dina bergayut dilengan Tejo. Darah ditubuhnya mendidih seketika, dan dia lupa segala-galanya. Ketika itu dia sedang berjalan dan telah sampai dibelakang Tejo dan Dina berdiri. Diambilnya sebongkah batu dan nyaris dipukulkannya ke belakang kepala Dina, namun sebuah tangan kuat memegangnya dan mencengkeramnya erat.
“Augh..” pekik Nisa, dan batu sebesar kira-kira lima genggaman tangan itu terlepas begitu saja. Ditatapnya seorang laki-laki tampan yang mencengkeram tangannya dan menatapnya penuh kemarahan.
Tejo dan Dina yang menoleh seketika terkejut. Ia melihat Pram sedang mencengkeram tangan Anisa.
“Ada apa?”
“Pak Tejo, perempuan jahat ini hampir memukul kepala teman anda dengan batu besar itu,” kata Pram tanpa melepaskan cengkeramannya pada lengan Anisa, membuatnya meringis kesakitan.
“Apa?” Tejo menatap batu besar yang tergeletak dan ditunjukkan oleh Pramadi..
“Apa kamu sudah gila?”
“Aku benci kamu. Aku benci perempuan itu. Biarkan aku membunuhnya!!” teriak Anisa tak terkendali.
“Perempuan busuk dan jahat! Dia adalah calon isteriku, dan enyahlah kamu dari hadapanku atau aku laporkan kamu ke polisi !!”
“Aku ingin membunuh dia !!”
Beberapa orang datang dan ikut memegangi Anisa yang meronta sambil sebelah tangannya menuding kearah Dina.
“Kamu mengancam seseorang, kena pasal kamu, pergi atau polisi menangkap kamu!”
“Aku tidak perduli, aku ingin dia mati !!”
Tapi polisi benar-benar datang dan Anisa digelandang kekantor yang ternyata tak jauh dari tempat itu,
***
“Pak Tejo sebenarnya mau kemana?” tanya Pram ketika urusan di kantor polisi selesai, dan meminta agar Anisa dilepaskan karena ucapannya dikarenakan terbawa emosi.
“Saya mau kerumah bapak mas.”
“Saya antar saja mas.”
“Jangan, nanti merepotkan, saya naik taksi saja.”
“Tidak, jangan sungkan, saya sedang tidak ada pekerjaan, tadi kebetulan beli sesuatu dan melihat Anisa mau memukul teman bapak. Untung saya bisa mencegahnya.”
“Dia perempuan tak tahu malu. Tapi terimakasih telah menyelamatkan Dina. Oh ya, kamu belum berkenalan ya? Ini mas Pramadi, calon suaminya Miranti.”
“Oh, ya, belum kenalan ya, saya Pramadi mbak.”
“Andina.”
“Mari saya antarkan saja, sebetulnya saya juga perlu ketemu pak Kusumo.”
“Baiklah kalau begitu, ayo Dina, nggak jadi memanggil taksi nih.”
***
Rita terkejut ketika tiba-tiba Anisa muncul dan menangis menggerung-gerung di salonnya. Untunglah tak ada pelanggan ketika itu.
“Kenapa Nis?”
Anisa merosot dari kursi dan menyelonjorkan kakinya di lantai sambil menghentak-hentakkan kaki itu.
“Nis, kamu ketempelan dimana sih?”
“Rit.. aku mau bunuh diri saja..”
“Wauw.. hebat benar kamu berani mati? Coba bilang sama aku, mau bunuh diri dengan apa? Pisau? Aku ambilkan pisau didapur ya? Minum racun? Aku punya racun tikus.. Atau apa, kamu boleh pilih.. ayo pilih..”
“Ritaaa... kamu benar-benar ingin aku mati ya?”
“Bukan aku.. kamu sendiri kan? Tapi aku nggak percaya orang seperti kamu berani membunuh diri.”
“Aku tadi ditangkap polisi..”
“Haa.. kamu menipu? Mencuri..?”
“Aku mau membunuh dia.”
“Lhah. Membunuh itu benar-benar kriminal yang berat hukumannya? Siapa yang mau kamu bunuh?”
“Dia.. Andina.. sedang berjalan mesra sama Tejo.”
“Itu.. pacar mas Tejo dulu ya?”
“Gadis keparat itu, aku ingin membunuhnya!” katanya geram. Tangisnya sudah berhenti.
“Kamu sudah gila ya? Memangnya kenapa? Kamu sudah tidak ada hubungan apapun sama mas Tejo, lalu kenapa kalau dia menggandeng wanita lain?”
“Aku datang dibiarkan seperti sampah. Sakit aku melihat dia bermesraan dengan Dina.”
“Kamu memang gila bukan? Dengar Nis. Betapapun beratnya beban kamu sa’at ini, itu karena kesalahan kamu sendiri. Dan apa yang kamu terima adalah peringatan buat kamu agar melangkah dijalan yang lebih baik. Kalau hatimu msih dipenuhi rasa dendam, rasa tidak puas, rasa ingin memiliki yang lebih, maka hidup kamu tidak akan tenang. Kamu hanya akan menyiksa diri kamu sendiri Nis, percayalah.”
“Ibuku menginginkan agar aku hidup enak, aku menjanjikannya Rit.”
“Hidup enak, itu adalah hidup yang tenteram. Hidup enak itu adalah hidup yang selalu mensyukuri apa yang kita terima. Bagaimana caranya bisa tenteram, ya mensyukuri semuanya.”
“Apa maksudmu, miskin juga kita harus terima?”
“Betul. Miskin atau kaya adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Mengapa kamu merasa miskin? Kamu itu tidak miskin. Kamu hanya kurang bisa mensyukuri semuanya.”
“Bagaimana bersyukur itu?”
“Bersyukur itu ya menerima apa yang kita dapat, mengucapkan syukur kehadapan Allah, sesembahanmu, Tuhanmu. Apa kamu mengenal Tuhan? Apa kamu pernah bersujud untuk memuja Tuhan kamu? Memohon ampun, memohon petunjuk?”
“Bolehkah meminta uang yang banyak?”
“Tak ada yang melarang, mintalah apa yang kamu inginkan, tapi jangan lakukan hal buruk untuk mencapai keinginan kamu. Tidak semua yang kita inginkan selalu kita dapatkan. Itu yang harus kamu mengerti.”
“Aku bingung.”
“Renungkan hidupmu. Apa yang kamu dapat dari apa yang kamu lakukan selama ini? Kebahagiaan? Kepuasan? Dulu kamu bergelimang harta, dari hasil kamu merayu kekasihmu. Dari hasil kelicikan kamu. Benar kan? Lalu sekarang apa? Masih adakah yang tersisa dari rasa bahagia kamu? Harta kamu? Kepuasan kamu? Adakah? Yang ada hanyalah rasa marah, kesal karena tidak berhasil memiliki.. menguasai.. apakah itu ketenangan?”
Anisa terdiam agak lama, mencoba memaknai apa yang diucapkan sahabatnya. Merenungi apa yang pernah dilakukannya. Dan apa yang dikatakan Rita itu benar. Tak ada sisa dalam hidupnya dari yang semula berhasil dimilikinya. Tak ada, yang ada hanya kecewa, dan sakit hati.
“Rita... aku nangis lagi ya?”
“Menangislah, tapi kalau mau bunuh diri jangan didepanku,” kata Rita mengejek.
“Aku seperti meraba-raba dalam gelap Rit.. “
“Bersujudlah dihadapanNya, maka kamu akan mendapatkan jalan terang itu. Dan kamu akan mendapatkan petunjuk yang akan membawamu kepada kebahagiaan. Bukan kekayaan.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan Rit.”
“Pulang kepada ibumu, bantu dia dan tanamkan pengertian bahwa hidup kamu akan bahagia didekat ibu kamu. Dan jangan lupa, bersujudlah mohon petunjukNya.”
Anisa terisak merengkuh sahabatnya. Ia belum pernah mendengar kata-kata sebagus itu, yang bisa membuka hatinya kepada jalan yang harus dilaluinya. Terbayang lagi perilaku sebelumnya, merayu Tejo, harta yang berlimpah, menguasai banyak laki-laki yang bisa memuaskannya, dan semua tak ada yang abadi. Semua sudah sirna, bagai asap diterbangkan angin.
“Rita, baiklah, aku akan pulang kepada ibuku..”
“Bagus Nisa, dan lakukan apa yang menjadi saranku.”
“Baiklah, tapi..”
“Tapi apa lagi, untuk bertobat tak ada kata tetapi Nis, mengertilah.”
“Tapi berilah aku ongkos untuk pulang...”
“Astaga naga... “ Rita geleng-geleng kepala, tapi diulurkannya uang seratusan ribu. Tak ada rasa sayang mengeluarkan uang kalau itu menjadikannya bekal untuk bertobat.
***
“Pram.. kok kamu bisa ketemu Tejo?” Kata pak Kusumo sambil merangkul Pram ketika Pram mencium tangannya.
“Kebetulan ketemu dijalan bapak,” kata Pramadi. Mereka sepakat tidak menceritakan pertemuannya dengan Anisa yang sedikit mengerikan.
“Oh, ya.. ya.. ayo silahkan duduk..Ini siapa Jo?”
“Bapak, ini teman Tejo,” kata Tejo sambil mencium tangan bapaknya, diikuti oleh Dina.
“Oh, cantik sekali, silahkan duduk. Buu... ada tamu nih bu,” teriak pak Kusumo memanggil isterinya. Bu Kusumo tergopoh keluar, dan mereka mencium tangan bu Kusumo.
“Ini.. yang namanya Dina ya?”
“Iya ibu.”
“Dulu sekali pernah main kemari bersama teman-temannya Tejo kan?”
“Iya bu.”
“Kok ada Pram juga?”
“Tadi kebetulan ketemu dijalan ibu.”
“Oo.. syukurlah., Hari ini Miranti mau pulang dalam persiapannya mau menikah. Ya kan Pram?”
“Iya bu, kalau tidak keberatan saya mau mengantarnya, karena Miranti bilang tidak akan membawa mobilnya.”
Tiba-tiba seorang anak kecil tertatih masuk ke ruang tamu.
“Yaaang... apaak..apaak..” kata Abi yang kemudian berlari bendekati Pramadi.
Pramadi berdiri dan menggendong Abi.
“Ini juga bapak Abi...” katanya sambil menunjuk kearah Tejo.
“Apaaak...?”
“Iya, ayo, turun dan beri salam sama bapak..”
“Apaaak..”
Tejo mengangkat tubuh Abi dan memangkunya.
“Yaaang...”
Abi melambaikan tangan kearah pak Kusumo.
“Hei.. disitu saja le, kan sama bapak,” kata pak Kusumo.
“Apaaaak...” ketika memanggil bapak ditunjuknya Pram.
“Itu juga bapak, Abi..” kata Pram.
Abi menengadahkan kepalanya menatap Tejo.
“Buuu....” kata Abi ketika melihat ibunya keluar sambil membawa gelas-gelas minum.
“Sebentar ya Abi..” kata Miranti.
Abi merosot turun, menghampiri ibunya.
“Silahkan diminum semuanya,” kata Miranti.
Dina tersenyum menatap Miranti, dan mengagumi bekas isteri Tejo itu. Isteri cantik yang disia-siakan Tejo. Tapi dia juga mengagumi calon suami Miranti. Gagah dan tampan.
“Mir, benarkah kamu mau pulang bersama Pram?”
“Iya bapak, biarlah mobil itu disini saja. Atau...”
Tiba-tiba Miranti berfikir untuk memberikan saja mobil itu kepada Tejo.
“Bagaimana kalau mas Tejo saja yang membawanya.”
“Apa? Tidak.. aku tidak mau, aku .. tidak ingin.. dan..”
“Mungkin benar kata Miranti. Setelah Miranti menikah ia pasti akan ikut suaminya. Bawa saja mobil itu Jo,” kata pak Kusumo.
“Tapi bapak...”
“Bawalah Jo, kamu selalu menolak pemberian bapak, kali ini Miranti yang memberikannya, jadi jangan kamu menolaknya.”
Tejo menatap bapak dan ibunya, seperti masih memohon pengertiannya.
“Bawalah Jo.”
Kali ini Tejo tak bisa menolaknya.
Miranti masuk kedalam, dan ketika keluar dia memberikan surat-surat mobil itu untuk Tejo.
“Terimakasih Mir,” kata Tejo.
“Minggu depan pak Tejo datang ke pernikahan kami bukan?” tanya Pram.
“Kalau boleh saya mau mengajak Dina.”
“Tentu saja boleh, kan calon pengantin juga,” kata Pram menggoda.
Pak Kusumo dan bu Kusumo tersenyum senang. Belum berbicara banyak, tapi tampaknya Dina tidak mengecewakan.
***
Apa yang kurang dalam hidup ini ketika pasangan sudah ditemukan, hidup mulai mapan, banyak cinta disekelilingnya. Aduhai. Alangkah meriah acara pernikahan dikampung Miranti. Binar bahagia menyelimuti hati-hati yang sedang dimabuk cinta.
“Ini adalah muara yang kita temukan Mir,” bisik Pramadi ketelinga Miranti, yang disambut senyuman mesra oleh Miranti.
“Wahai bintang, wahai bulan, jadilah saksi kebahagiaan kami,”bisik Pramadi lagi
Menunggu datangmu
dalam kerinduan yang menyesak kalbu
dalam sendu sedih pilu
jangan sampai bungaku layu
jangan sampai hatiku beku
cintaku tak berbatas”
“Jo, Miranti cantik sekali bukan?” kata Dina diperhelatan itu.
“Iya benar, tapi kamu lebih cantik.”
“Tidak, lihatlah, mereka seperti pangeran dan puteri raja, tampak agung dan menawan.”
“Kita juga akan mengalaminya, tak lama lagi.”
“Orang tuaku tak mungkin bisa menyelenggarakan perhelatan semeriah ini.”
“Yang penting cinta kita meriah. Dan aku bahagia bapak dan ibu merestui hubungan ini.”
“Syukurlah, aku sudah takut waktu datang kesana dulu itu.”
“Minggu depan kita juga akan datang di acara syukuran yang diadakan Pramadi.”
“Pasti juga sangat meriah, mereka orang kaya.”
“Apa kamu ingin begitu?”
“Tidak.. tidak.. aku justru ingin yang sederhana saja. Katamu yang penting cinta kita yang meriah bukan?”
***
Tapi syukuran yang diadakan Pramadi bukan syukuran yang mewah dan gemerlap. Tamu-tamu yang datang hanyalah kerabat dan sahabat dekat, sedangkan karyawan kantornya bertugas membagikan sembako yang disiapkan sebanyak ribuan kantong untuk para du’afa. Mereka juga boleh makan dan minum sepuas nya.
Diatas panggung, pengantin berdua duduk bersanding, dengan dandanan yang sederhana. Tidak seperti pengantin pada umumnya. Namun tetap saja mereka tampak anggun, tampan dan cantik.
Alunan musik yang bertalulah yang membuat suasana tampak gempita. Apalagi ketika sepasang pengantin berdiri dan kemudian menyanyikan sebuah lagu.
“Love is a beautiful song...la la..lalala..la la.. Love is a beautiful song.. lala..lalala..lala..
love is a new way of living, a new way of starting each day......
Dan tepukan meriah terdengar, lalu seruan.. lagi.. lagi.. lagi... membahana diseluruh area perhelatan luar biasa itu.
“ Dengarlah seruan hatiku, aku cinta padamu... Mengapa kau tetap membisu.. hatiku menanggung rindu...
Itu lagunya Rahmat Kartolo jaman dulu, dinyanyikan Pram dengan sangat apik.
Dan tepukan kembali bertalu.
“Apaaaak.. apaak..”
Hadirnya si kecil ganteng membuat tepukan kembali membahana.
Pram melanjutkan menyanyi sambil menggendong Abi, sedangkan Miranti tersenyum-senyum disampingnya.
“Ini luar biasa ya Jo. Perhelatan meriah untuk berderma, aku kagum pada suami Miranti.”
“Benar, dia memang luar biasa. Aku ikut bahagia untuk Miranti. Sudah lama dia menderita,” kata Tejo lirih, lalu pelan ia mengikuti mendendangkan lagu, dibisikkannya ketelinga Dina..
“Dengarlah seruan hatiku.. aku cinta padamu..
Lalu dipetiknya sekuntum mawar diantara hiasan yang ada, disuntingkannya ditelinga Andina.
“Banyak cinta terselip diantara kelopak bunga..” bisiknya lembut.
Pak Kusumo dan bu Kusumo yang duduk tak jauh dari mereka, tampak tersenyum penuh arti.
Biarkan cinta mengalir seperti sungai, sampai kemudian tiba dimuaranya.
********* T A M A T ************
Seorang laki-laki berteriak marah diatas kursi rodanya.
“ Setan kamu, perempuan itu milikku !”
Namun teriakan marah itu tidak membuatnya takut.
“Bagiku dia adalah permainan.”
Sepotong dialog dalam kisah yang lain, semoga tidak mengecewakan.
SANG PUTERI.
Yuk ditunggu...
***
Besok lagi ya