ADA YANG MASIH TERSISA 34
(Tien Kumalasari)
Sebuah pekik kesakitan terdengar dan Pramadi segera menginjak rem dengan cepat. Ia meloncat turun setelah mengingatkan Miranti.
“Bawa masuk Abi, jangan melihat apapun.”
Miranti mendekap Abi dan berlari masuk kepavilyun, sementara Pramadi mengangkat tubuh Tejo yang terjatuh didepan mobil.
“Ada apa? Kamu ingin membunuh anakku??” teriak bu Kusumo sambil berlari mendekat.
Pramadi memasukkan Tejo kedalam mobil, untunglah masih bisa mendudukkkannya dijok depan disamping kemudi.
“Bagaimana, bagaimana?” teriak bu Kusumo panik sambil mendekat.
“Ibu tenang, saya akan membawanya kerumah sakit segera,” kata Pramadi sambil melompat kedalam dan melarikan mobilnya kerumah sakit,
Bu Kusumo merasa lemas, terhuyung ketika berjalan menuju rumah. Miranti yang sudah meletakkan Abi di box dan memberinya minum segera berlari mendekati bu Kusumo, menuntunnya duduk di teras.
“Ibu, tenang ya..”
“Bagaimana tadi, mengapa kamu menabraknya?”
“Kami tidak tahu ada mas Tejo yang mau keluar, tapi tidak apa-apa bu, Pram sudah membawanya kerumah sakit. Mas Tejo masih sadar dan tidak sampai terluka parah.”
“Benarkah ?”
“Yakinlah bu.”
“Aku mau menyusulnya kerumah sakit.”
“Tunggu sebentar sampai Abi tidur ya bu, biar saya menitipkan Abi pada simbok, lalu saya antar ibu kerumah sakit.”
“Baiklah.. baiklah..” bu Kusumo masih merasa lemas, lalu Miranti mengambilkan segelas minum.
“Ibu tenanglah, percayalah mas Tejo tidak apa-apa.”
***
“Ma’af ya pak Tejo, saya tidak mengira ada yang keluar dari halaman,” kata Pramadi sambil menatap Tejo yang duduk diam. Ada luka dikepalanya, mungkin terantuk batu, dan untungnya mobil Pram tidak terlalu kencang karena lagi belok kehalaman. Tapi dahinya luka berdarah, dan kakinya juga.
“Mana yang sakit? Pusingkah?” Pram terus bertanya dan Tejo hanya menggeleng.
“Ma’af ya, sungguh saya tidak sengaja.”
“Siapakah anda?”
“Saya Pramadi pak.”
“Ya, maksud saya, anda sopirnya Miranti, atau seorang pengusaha kaya?”
Pramadi agak susah menjawabnya. Mau bilang sopir, salah, mau bilang pengusaha, nanti dikira sombong.
“Nanti kita akan bicara banyak, yang penting luka bapak harus disembuhkan. Pusingkah?”
“Agak pusing.”
“Nanti dokter akan menanganinya, bapak tidak usah merasa khawatir.
***
“Rita, tolonglah aku..” kata Anisa ketika siang itu datang kerumah Rita. Tanpa mobil mewah yang dulu pernah dipamerkannya.
“Kamu Nis? Sama siapa?”
“Apa maksudmu sama siapa? Ya sendiri lah..”
“Mana mobil kamu?”
“Haah.. kamu nih.. aku kesini mau pinjam uang sama kamu.”
“Pinjam uang? Nggak salah Nis. Uang aku saja masih ada di kamu, aku kira kamu datang untuk mengembalikan uang aku.”
“Aku bangkrut Rit..”
“Bangkrut ?”
“Aku tak punya apa-apa lagi?”
“Salon masih buka?”
“Enggak, habis semuanya. Rumah juga hilang, aku banyak ditipu orang.”
“Yah, kamu itu sebenarnya bukan pengusaha. Kamu hanya mau banyak uang dan bersenang-senang. Dan bodohnya kamu, justru kamu mengumbar duit kamu untuk menyenangkan orang. Ya sudah, terima saja kalau sekarang kamu nggak punya apa-apa.”
“Boleh aku pinjam uang kamu? Duaratus saja.”
“Duaratus receh itu, ada.. banyak.”
“Duaratus ribu lah Rit, “
“Nggak ada Nis, kamu tahu sendiri kan, keluargaku seperti apa. Aku tuh justru ingin minta uang aku yang ada di kamu, ketika aku nyerahin limapuluh juta untuk modal. Aku juga butuh uang Nis. Lihat, aku buka salon yang sangat sederhana. Uang itu mau aku belikan alat-alat salon yang lebih bagus.”
“Ya ampun Rit.. gimana lagi, aku nggak punya apa-apa. Kemarin aku menemui mas Tejo, maksudku mau ikut lagi bersama dia, tapi ditolak mentah-mentah. Sampai aku menangis malam-malam dipinggir jalan, dia nggak peduli.”
“Bukan salah mas Tejo. Dia sudah kecewa sama kelakuan kamu.”
“Jadi aku harus bagaimana Rit.”
“Pulang saja kepada ibu kamu.”
“Aduh, aku malu dong Rit. Menurut ibuku aku sudah hidup enak.”
“Kalau memang kamu nggak mampu mengapa harus malu? Dan daripada kamu minta tolong sama orang lain, lebih baik kamu bernaung dirumah ibu kamu, membantu jualan apa, gitu.”
“Ibuku jualan sayuran dipasar, itupun modalnya dari aku. Tapi aku ogah jualan dipasar, bau dan keuntungannya sedikit.”
“Ya sudah Nis, aku nggak tahu lagi harus ngomong apa. Dan ma’af ya, aku nggak bisa membantu kamu.”
“Rit, seratus ribu saja deh..”
“Nggak bisa Nis, ma’af. Lagi pula kamu bilang pinjam, bagaimana kamu mau mengembalikan kalau kamu tidak bekerja?”
“Aku akan menagih dari orang-orang yang menipu aku.”
“Mereka sudah menipu, berarti nggak akan memberikan apapun lagi untuk kamu. Ma’af, sekali lagi ma’af. Sekarang aku sibuk, salon kecilku sedang ada pelanggan,” kata Rita yang kemudian meninggalkan Anisa terbengong di teras.
“Apa yang harus aku lakukan?” keluh Nisa lirih.
Kemudian tanpa pamit dia pergi dari rumah Rita, dimana dia membuka salon kecil-kecilan untuk menambal kebutuhan rumah tangganya. Berbeda dengan dirinya yang membuka salon lumayan bagus, tapi akhirnya habis semuanya.
***
Pramadi masih menunggu dikursi ruang tunggu UGD ketika bu Kusumo datang dengan diantar Miranti.
“Bagaimana keadaan anakku?”
“Sedang dirawat bu, hanya luka dikepala, Ibu tidak usah khawatir.”
“Aku sudah mengabari bapak, tapi bapak lagi ada tamu. Sedih dan bingung rasanya.”
“Ibu, pak Tejo tidak apa-apa, nanti juga sudah boleh pulang.”
“Benarkah?”
“Iya bu, dokter sudah mengatakannya. Tapi luka didahi perlu dijahit.”
“Lain kali kamu harus hati-hati kalau mengemudi Pram.”
“Iya bu, baiklah. Tapi tadi benar-benar saya tidak mengira ada pak Tejo keluar dari halaman. Dan untungnya saya mengemudikannya tidak kencang kok bu.”
“Ibu tenang saja, kan mas Tejo tidak apa-apa,” kata Miranti sambil menepuk-nepuk tangan bu Kusumo.
“Kasihan anak itu. Bapaknya tak peduli,” kata bu Kusumo sedih.
“Tidak bu, mana mungkin orang tua akan tega terhadap darah dagingnya. Suatu hari nanti pasti bapak bisa menerimanya.”
“Sedianya, sore nanti Tejo mau menemui bapaknya. Diberanikan dirinya, tanpa peduli apa nanti kata bapaknya. Ee.. malah kecelakaan. Ini lho Mir, ternyata mimpiku itu ada artinya kan?”
“Bukan bu, mimpi adalah mimpi, hanya kebetulan saja kalau sekarang mas Tejo mendapat musibah.”
Ketika pintu UGD dibuka Pram segera mendekat. Dilihatnya Tejo sudah bisa berjalan walau kepalanya dibalut dan sedikit terpincang.
“Hati-hati pak,” kata Pramadi sambil menuntun Tejo mendekati ibunya. Bu Kusumo memeluk Tejo sambil berlinang air mata.
“Tejo tidak apa-apa bu, tadi itu salah Tejo sendiri, tidak melihat ada mobil masuk halaman.”
“Mir, bagaimana kalau kamu mengantar mas Tejo dan ibu pulang, aku akan menunggu obatnya di instalasi farmasi.”
Miranti menatap Pramadi, agak keberatan pergi mengantar Tejo, tapi Pramadi menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, ayo ibu.” Kata Miranti sambil menggandeng bu Kusumo, bukan Tejo yang masih sedikit terpincang karena kakinya juga luka.
Melihat hal itu Pramadi mendekati Tejo dan menuntunnya sampai ke mobil Miranti, biarpun Tejo mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa.
***
“Tejo, kamu tidak usah pulang dulu, tiduran saja dikamar,” kata bu Kusumo setelah sampai dirumah dan Tejo memilih duduk di teras.
“Tejo menunggu obatnya dulu, lalu Tejo mau pulang bu.”
“Katanya kamu mau ketemu bapak. Mengapa tidak sekalian menunggu nanti sore.”
“Nanti saja Tejo kembali bu, nggak enak sama teman.”
“Apa dalam keadaan seperti itu kamu juga bisa membantu, bilang saja sama Pri bahwa kamu sakit dan tidak bisa bekerja.”
“Biar nggak membantu tapi bagusnya Tejo ada bu. Nanti kalau Tejo sudah sembuh Tejo akan kembali kemari untuk bertemu bapak.”
“Ya sudah, kamu tiduran saja dulu.”
“Saya boleh ketemu Abi ya bu?”
“Ya sudah, temui saja disana, kamu itu.. disuruh tiduran dulu kok ya ngeyel,” gerutu bu Kusumo.
Tejo melangkah perlahan memasuki pavilyun, sepi, apakah Abi tertidur?
Tejo melihat pintu kamar Abi tertutup, perlahan Tejo membukanya, dan terkejut melihat Miranti ada didalam dan sedang tiduran.
“Mengapa tidak mengetuk pintu ?” tegur Miranti tak senang.
Tejo surut kebelakang lalu menutupkan lagi pintunya.
“Ma’af, aku hanya mau ketemu Abi.”
“Abi sedang tidur,” jawab Miranti kemudian keluar kamar. Miranti merasa tak enak, kalau-kalau bu Kusumo ikut bersama Tejo.
“Ma’af.. ya sudah kalau tidur... Oh ya, aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Tejo sambil mengikuti langkah MIranti keteras.
“Mau mengatakan apa?”
“Aku...”
Tapi tiba-tiba mobil Pramadi masuk kehalaman. Miranti turun, menunggu didepan teras, dimana bu Kusumo juga sedang ada disana.
“Abi mana ?”
“Tidur lagi bu, tadi habis mam-mam lalu tidur,” jawab Miranti.
“Itu Pram sudah datang, pasti membawa obatmu Jo.”
Pramadi mendekat dan menyerahkan plastik berisi obat kearah Tejo.
“Pak Tejo, ini ada obat yang untuk diminum, lalu kompres luka, semua ada aturan minumnya.”
“Baiklah, terimakasih banyak. Berapa saya harus bayar?”
“Oh, tidak.. semua sudah saya bayar dan tidak usah diganti, yang penting pak Tejo segera pulih kembali.”
“Terimakasih banyak. Ibu, saya langsung pulang ya.”
“Lho, sekarang ? Bener-bener mau pulang?”
“Iya bu, nanti kalau sudah sembuh saya ketemu bapak.”
“Tunggu pak, mari saya antar.”
“Tidak, merepotkan saja.”
“Saya sekalian mau .. keluar..” kata Pramadi yang tak menyebutkan bahwa dia akan kekantor.
“Ya sudah Jo, daripada kamu naik angkot, sama Pram juga nggak apa-apa kan?”
“Ayo pak Tejo, “ kata Pramadi yang kemudian menoleh kearah Miranti dan mengerdipkan sebelah matanya.
Miranti membalasnya dengan senyuman. Miranti tidak tahu, sesungguhnya Pram ingin bertanya, apa yang dilakukan Tejo dengan masuk ke pavilyunnya.
***
“Pri.. Pri.. mas Tejo ada?” Supri terkejut ketika tiba-tiba Anisa sudah berdiri disampingnya, ketika dia sedang membongkar mesin mobil.
“Eh, mbak Anisa, nggak ada mbak. Ada apa?”
“Oh, pantesan aku tadi disuruh menemui kamu Pri.”
“Mas Tejo, menyuruh mbak Anisa menemui saya? Ada apa?’
“Aku disuruh minta uang duaratus ribu ke kamu.”
“Mas Tejo bilang begitu?”
“Iya, nggak percaya amat sih sama aku. Ini penting sekali, aku tadi ketemu dijalan, tapi aku disuruh ketemu kamu.”
“Begitu ya?”
“Cepatlah Pri, ini penting sekali.”
Supri yang sedang sibuk tak bisa berfikir panjang dan merasa tak ada waktu untuk berdebat, maka segera ia menyuruh anak buahnya agar mengambil uang duaratus ribu dikotak uang.
Dan Anisa segera berlalu begitu uang itu didapatkannya.
***
Tak tahan menunggu, bu Kusumo kembali menelpon suaminya, yang akhirnya dibalas oleh pak Kusumo.
“Ada apa bu? Aku masih ada tamu, kan aku sudah bilang kalau bisanya pulang sorean?”
“Ibu hanya ingin memberi tahu pak, bahwa Tejo mengalami kecelakaan.”
“Kecelakaan ?” tak urung pak Kusumo terkejut.
“Iya pak.. “
“Kecelakaan apa?”
“Ketabrak mobilnya Pram.”
“Apa? Kok bisa?”
“Setelah Pram mengantarkan Miranti dan Abi pulang, ketika itu Tejo mau keluar halaman, pas mobilnya Pram masuk.”
“Bagaimana lukanya?”
“Langsung dibawa kerumah sakit. Tidak parah, luka kaki dan pelipisnya.”
“Sekarang masih dirumah sakit?”
“Sudah pulang pak.”
“Ya sudah, aku masih ada tamu, secepatnya aku pulang.”
Bu Kusumo lega, karena tampak ada perhatian suaminya terhadap Tejo. Mudah-mudahan nanti bisa menerima kalau Tejo meminta ma’af.
***
“Sebenarnya siapakah anda?” tanya Tejo dalam perjalanan.
“Saya.. kan Pramadi..?”
“Tadi sudah anda katakan. Maksud saya, antara sopirnya Miranti dan seorang pengusaha, dimana sebenarnya anda berada?”
“Sesungguhnya saya hanya seorang pekerja, yang pada suatu sa’at saya bertemu pak Kusumo dan diangkatnya saya jadi sopir pribadi.”
“Seorang pekerja? Maksudnya pengusaha? Mobilnya bagus sekali..”
“Yah, namanya bekerja kan juga berusaha pak, ini mobil kantor.” Pramadi masih ingin mengelak. Rupanya Tejo belum sepernuhnya tahu siapa dirinya sebenarnya, karena Tejo sudah tidak lagi bertemu kedua orang tuanya, dan bu Kusumo rupanya juga belum banyak bercerita tentang dirinya.
“Tapi saya pernah melihat anda membagikan sembako disebuah lapangan didekat bengkel saya. Dan orang-orang mengatakan bahwa pengusaha yang baik hati itu bernama Pramadi. Itu anda bukan?”
“Karena sayalah yang selalu bertugas untuk bakti sosial itu, jadi nama sayalah yang terkenal.”
“Itu sebabnya masih tetap menjadi sopir Miranti?”
“Begitulah, kadang-kadang..”
“Saya ini.. sedang menyesali hidup saya..” kata Tejo seperti bergumam. Pram menoleh kearahnya.
“Anda kan tahu, kelakuan saya terhadap Miranti sangat buruk.”
Pram masih terdiam, membiarkan Tejo bicara lebih banyak.
“Saya juga ingin minta ma’af, saya pernah berlaku kasar terhadap anda. Anda masih mengingatnya kan?”
“Tidak, saya sudah melupakan, sungguh.”
“Yang penting anda mau mema’afkan saya.”
“Ya, tapi lupakan saja, itu bukan masalah bagi saya.”
“Terimakasih banyak, ternyata anda seorang yang baik.”
“Ah, pak Tejo terlalu berlebihan.”
“Sekarang aku ingin menebus semua kesalahan saya kepada Miranti, dan tak ingin lagi melukai hati Miranti.”
Pramadi menoleh, menatap Tejo yang berbicara dengan terus menatap kearah jalanan.
“Bagaimana menurut anda, kalau saya ingin kembali kepada Miranti?”
Pramadi terkejut setengah mati, ia menginjak rem tiba-tiba sehingga Tejo yang lupa mengenakan safety belt tersungkur dan dadanya terantuk pada dashboard didepannya.
***
Besok lagi ya