ADA YANG MASIH TERSISA 33
(Tien Kumalasari)
Tejo terkejut, suara itu seperti dikenalnya.
“Mas, tolong mas, bukain pintunya,” suara dari luar terdengar seperti merintih. Tejo tak sampai hati, dibukanya pintu, lalu pintu bengkel, tapi setelah dia keluar, pintu ditutupnya lagi.
“Mas, tidak kamu ijinkan aku masuk?”
“Anisa, mau apa kamu kesini?”
“Mas, tolonglah mas...” kata Anisa yang kemudian menubruk tubuh Tejo sehingga sempoyongan. Tejo mendorongnya pelan. Sekarang Tejo tak akan terpengaruh rayuan Anisa.
“Mas Tejo...”
“Mau apa kamu kesini malam-malam?”
“Tolonglah mas, ijinkan aku tinggal disini bersama kamu.”
Tejo terkejut, ia berdiri menjauh dari Anisa.
”Apa maksudmu ?”
“Ijinkan aku masuk mas.”
“Tidak.. aku tak akan mengijinkan, tidak pantas kamu malam-malam begini masuk kerumah seorang laki-laki.”
“Kok gitu mas, apa mas lupa.. bahwa..”
“Aku sudah lupa semuanya. Aku sudah menempuh kehibupanku yang baru. Tolong pergilah dan jangan mengganggu aku lagi.”
“Mas Tejo, kasihanilah aku.. aku sudah tak punya apa-apa lagi. Setelah Rita pergi, aku tak bisa mengendalikan salon itu. Duit habis, hutangku banyak. Rumah juga sudah hilang ditipu orang.”
“Terserahlah apa yang terjadi sama kamu. Kamu mengambilnya dari orang lain dengan jalan licik, sekarang impaslah kalau diambil orang.”
“Mas Tejo, kasihanilah aku, aku bersedia menikah dengan kamu mas.”
“Apa? Menikah? Dengan kamu? Apa aku sudah gila menikahi perempuan yang sudah merusak hidupku?”
“Mas Tejo kok begitu..” Anisa mulai menangis.
“Hentikan tangismu, aku tak akan terpengaruh, dan pergilah dari hadapan aku.”
“Mas Tejo, kamu tega ya?”
“Aku sudah mau rujuk dengan Miranti. Dia wanita baik yang berbudi, bukan seperti dirimu yang penuh kebusukan.
“Apa mas? Kamu mau rujuk dengan Miranti? Apa kamu tidak tahu bahwa Miranti pacaran sama sopirnya?”
“Diam Nisa !”
“Itu benar, aku melihat mereka dua kali, berangkulan mesra, yang terakhir sambil menggendong anak kecil yang pastinya anak kamu.”
“Kamu sudah gila!”
“Mas, sadarlah, biarpun sopir tapi dia lebih ganteng dari kamu. Mana mungkin Miranti mau menerima kamu.”
“Anisa! Pergi nggak?”
“Benarkah mas tega mengusir aku?”
“Sangat tega dan jangan pernah mendekati aku lagi.”
Anisa yang tak tahu malu kemudian duduk bersimpuh dan menangis tersedu-sedu. Tapi Tejo tak bergeming. Ia masuk kedalam lalu mengunci pintunya. Membiarkan Anisa terguguk dilantai depan bengkel, lalu masuk kekamarnya dan membaringkan tubuhnya.
Tejo terpekur dikamarnya. Teringat kata-kata Anisa yang mengatakan bahwa Miranti pacaran sama sopirnya. Tidak, dia tahu siapa Anisa. Pasti dia bohong.
“Besok pagi aku akan menemui ibu terlebih dahulu.”
Lalu Tejo mencoba memejamkan matanya, membiarkannya terlelap dalam mimpi-mimpinya.
***
“Bu aku nanti pulang agak sore ya, ada tamu yang harus aku layani siang ini.” Kata pak Kusumo ketika sedang makan pagi sebelum berangkat kekantor.
“Ya pak, nanti pengin dimasakkan apa, tapi ibu sejak kemarin lagi malas masak.”
“Iya benar, bapak juga mau bertanya, kamu sejak kemarin kok tampak seperti gelisah sekali, sebetulnya sedang memikirkan apa?”
“Memikirkan mimpi ibu beberapa hari yang lalu.”
“Mimpi? Mimpi kok dipikir sampai berhari-hari.”
“Iya pak, ibu merasa bahwa mimpi itu suatu firasat.”
“Firasat apa? Ada-ada saja bu, mimpi itu bunganya orang tidur. Memangnya ibu mimpi apa?”
“Mimpi melihat Tejo hanyut disungai.”
“Oalah bu, itu kan cuma mimpi. Apa benar kalau mimpi Tejo hanyut lalu Tejo benar-benar hanyut? Sudah jangan dipikirkan.”
“Pak, apakah bapak benar-benar tidak mau mema’afkan Tejo?”
“Siapa bilang bapak tidak mau mema’afkan? Bapak sudah lama mema’afkannya, tapi bapak tidak bisa menghilangkan kekecewaan hati bapak terhadap apa yang sudah dilakukannya.”
“Manusia itu kan bisa saja bertobat.”
“Lha kalau benar-benar bertobat, ya baguslah, kalau tobatnya cuma bohong-bohongan?”
“Maukah bapak menerima seandainya dia datang menemui bapak?”
“Ah, ibu ada-ada saja. Ini sudah siang, bapak mau kekantor segera. Sekarang ini kan semua-semua harus bapak yang menangani, setelah dulu pernah bapak serahkan kepada Tejo tapi malah kelakuannya nggak bener.”
“Pak..”
“Mana Abi, biasanya mendekati yangkung kalau sa’atnya berangkat kekantor.”
“Itu, sudah menunggu didekat mobil bapak.”
“Oh, iya.. iya... Abi.. eyang berangkat kerja dulu ya..”
Tapi Abi justru merengek ingin ikut, tangannya menggapai-gapai sambil bicara lucu.
“Tuut.. tuut..”
Pak Kusumo terpaksa mengulurkan tangannya untuk menggendong Abi.
“Eyang mau kerja le, mau bantuin kerja di kantor eyang?”
Abi mendekap leher pak Kusumo, membuat pak Kusumo tak sampai hati meninggalkannya.
“Abi.. eyang mau kerja sayang, ayo sama ibu..”
Tapi Abi tak mau melepaskan rangkulannya.
“Mir, ayo ikut saja sampai dikantor, nanti kamu pulangnya bisa diantar sopir.”
Miranti geleng-geleng kepala.
“Anak manja....”
Tak urung Miranti kemudian ikut naik keatas mobil mertuanya demi Abi yang tetap memaksa ingin ikut eyangnya.
***
Bu Kusumo geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Abi sudah punya banyak keinginan, pagi ini ingin ikut eyangnya kekantor, ada-ada saja.
Bu Kusumo hampir masuk kedalam rumah ketika tiba-tiba didengarnya suara memanggilnya.
“Ibu...”
Bu Kusumo menoleh, wajahnya berseri seketika.
“Tejo ?”
Begitu dekat bu Kusumo langsung memeluk Tejo erat-erat. Ia teringat akan mimpinya, dan ternyata Tejo baik-baik saja. Lalu dia percaya bahwa mimpi memang kembangnya orang tidur.
“Jo, kamu baik-baik saja ?”
“Iya bu, Tejo baik-baik saja.”
“Wajahmu kelihatan agak pucat. Ayo masuklah..”
Bu Kusumo naik ke teras dan duduk disana. Tejo mengikutinya sambil menoleh kearah pavilyun yang tertutup.
“Kok sepi bu ?”
“Sepi, bapakmu baru saja berangkat ke kantor, Abi kelayu, lalu bersama ibunya ikut ke kantor deh.”
“Abi kelayu ?”
“Anakmu sudah banyak maunya, kalau tidak dituruti lalu rewel. Tadi bapakmu tak sampai hati meninggalkannya, habisnya Abi sudah memeluknya erat dan tak mau melepaskannya.
“Iya bu, memang dia sudah semakin besar.”
“Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya bu, kok ibu menanyakannya lagi?”
“Ibu selalu memikirkan kamu, dan ibu melihat wajahmu agak pucat.”
“Kemarin Tejo masuk angin, tapi sekarang sudah baik.”
“Hati-hati menjaga kesehatan kamu Jo, jangan kecapekan, kamu kan tidak biasa bekerja berat?”
“Tidak bu, sekarang Tejo sudah biasa melakukan pekerjaan berat. Jauh bedanya dengan pekerja kantoran, tapi Tejo senang melakukannya. Tidak apa-apa, ibu jangan khawatir.”
“Namanya orang tua Jo, pasti selalu memikirkan anaknya.”
“Tejo sudah hidup dengan baik dan menjalani semuanya dengan baik juga bu, jadi ibu tidak usah memikirkan Tejo.”
“Syukurlah Jo.”
“Sebenarnya bengkel kamu itu dimana, kamu belum pernah mengatakan dimana kamu tinggal," lanjut bu Kusumo.
“Didaerah Gentan bu, sekarang sudah mulai ramai.”
“Senang ibu mendengarnya.”
“Nanti sore Tejo mau kesini lagi. Mau ketemu bapak.”
Bu Kusumo tampak menghela nafas sedih.
“Bapakmu masih susah diajak bicara tentang kamu. Dia bilang sudah mema’afkan kamu, tapi tidak bisa melupakan kesalahan yang sudah kamu lakukan.”
“Apapun nanti sikap bapak, Tejo akan menerimanya bu, Tejo sudah bertekat menghadapinya, karena memang semuanya adalah kesalahan Tejo.”
“Baiklah kalau begitu. Jadi mengapa harus kembali nanti sore? Tidak menunggu saja dari sekarang?”
“Tejo nggak enak meninggalkan bengkel terlalu sering, biarpun Supri tak keberatan. Jadi ini nanti Tejo akan pulang dulu, nanti sore kembali lagi kemari.”
“Ya sudah, terserah kamu saja. Kamu sudah sarapan?”
“Belum bu, tadi buru-buru berangkat, supaya bisa cepat kembali.”
“Kalau begitu ayo sarapan, tadi ibu masak soto ayam,” kata bu Kusumo yang langsung masuk kedalam, dan Tejo mengikutinya.
Tejo sebenarnya ingin mengatakan tentang keinginannya untuk rujuk sama Miranti, tapi diurungkannya. Ia merasa agak sungkan. Jadi lebih baik mendekatinya saja dulu, kalau sekiranya Miranti mau membuka hatinya maka barulah dia bilang kepada ibunya.
***
Ternyata setelah sampai di kantor, Abi belum juga mau diajak pulang. Ia mulai bisa berjalan setapak dua tapak, dan merambat diantara sofa dikantor pak Kusumo. Lalu merangkak dan berdiri melangkah lagi.
“Abi.. ayo kita pulang,” kata Miranti sambil mengacungkan kedua tangannya. Tapi Abi berlari merangkak mendekati pak Kusumo yang sudah duduk dikursinya, tertawa-tawa melihat ulah cucunya. Ketika Abi mendekat, pak Kusumo mengangkatnya dan memangkunya. Tangan Abi meraih-raih kertas dan apa saja yang ada dimeja.
“Abi, besok kalau kamu sudah besar, kamu yang menggantikan eyang duduk disini. Heiii...apa kamu sudah bisa tanda tangan?” pak Kusumo terkekeh ketika Abi meraih ballpoint yang tergeletak dimeja.
“Abi.. jangan mengganggu eyang, ayo kita pulang..” kata Miranti yang menunggunya dengan gemas.
Tapi Abi tak perduli, masih saja meraih ballpoint.. dan mempermainkannya dengan memukul-mukulkannya dimeja. Pak Kusumo tampak senang melihat ulah cucunya yang semakin pintar.
“Biarkan saja Mir, nanti kalau sudah capek pasti dia berhenti sendiri,” kata pak Kusumo sambil tertawa.
Ketika seorang karyawan masuk dan melihat Abi, dia menowel pipinya dengan gemas.
“Cucunya ya pak, aduh.. sudah pintar membantu eyang ya.”
“Taruh saja disitu, nanti saya periksa,” katanya kepada karyawan tersebut. Kemudian dia keluar sambil mengangguk kepada Miranti yang dibalasnya dengan senyum ramah.
“Buu... buu.. niii...” Abi mengacungkan ballpont yang digenggamnya kepada ibunya.
“Abi senang ya mengganggu eyang.. ayo pulang, kasihan eyang uti sendirian dirumah,” bujuk Miranti sambil mendekati Abi. Tapi Abi tetap tak peduli..ia terus bermain dengan alat tulis eyangnya.
“Sebentar Mir, sopir baru bapak suruh keluar sebentar.”
“Bagaimana kalau Miranti meminta Pramadi untuk menjemput?”
“Apa dia tidak repot ?”
“Akan Miranti tanyakan dulu, kalau bisa biar datangnya sambil membawa mainan supaya Abi mau diajak pulang.”
“Baiklah, coba kamu tanyakan saja dulu, jangan mengganggu kalau dia sedang bekerja.”
Miranti menelpon Pramadi dan mengatakan agar kalau ada waktu dimintanya untuk menjemput Abi.
“Oh, aku belum berangkat ke kantor. Memangnya Abi ikut ke kantor pak Kusumo?”
“Tumben-tumbenan ini Pram, memaksa ikut, lalu bermain-main dikantor dan tak mau diajak pulang.”
“Baiklah, aku jemput saja dulu kekantor pak Kusumo.”
“Pram, kalau bisa bawakan mainan.”
“Mainan apa?”
“Sembarang saja, yang ada dipinggir jalan juga boleh, supaya dia mau berhenti mengganggu eyangnya.”
“Baiklah, ini aku sudah mau berangkat.”
***
Abi masih asyik bermain dipangkuan pak Kusumo ketika Pramadi datang.
“Selamat pagi bapak.”
“Eh, Pram.. pagi. Miranti mengganggu kamu?”
“Tidak, saya kebetulan belum mau kekantor. Abi nakal ya? Nih lihat...”
Pramadi menunjukkan sebuah bola berwarna merah kearah Abi, dan serta merta Abi merosot turun, merangkak mendekati Pramadi.
“Heiii, berjalan dong, jangan merangkak..” teriak pak Kusumo.
Miranti mendekati Abi dan mengangkat tubuhnya, lalu membiarkan Abi berjalan kearah Pramadi.
“Anak pintar.. hupp.. “ Pramadi menggendong Abi, sambil memberikan bolanya kearah Abi.
“Bapak, kami pulang dulu ya, kasihan ibu sendirian dirumah.”
“Iya baiklah, Abi.. kesini dulu, cium eyang kakungmu..” kata pak Kusumo.
Pramadi mendekati pak Kusumo sambil menggendong Abi, yang kemudian mencium kedua pipi eyangnya.
“Bapak, kami pulang dulu.”
“Ya baiklah, kalian hati-hati ya.”
Memandangi punggung Pramadi dan Miranti, pak Kusumo menampakkan wajah bahagia, ia berharap cucunya mendapatkan kasih sayang dari orang baik seperti Pramadi. Sekilas terbayang wajah Tejo, lalu wajah itu menjadi muram.
“Tejo.. anakku yang hilang...” bisiknya pilu. Oo, ternyata masih ada cinta dihati pak Kusumo kepada anak semata wayangnya.
***
Abi duduk dipangkuan ibunya sambil mendekap bola pemberian Pram. Bibirnya berceloteh riang.
“Abi suka ya..?” tanya Pramadi kepada Abi yang kemudian disambutnya dengan tertawa-tawa lucu.
“Abi benar-benar menggemaskan.. “
“Iya bapak.”
“Bagaimana kalau mampir sarapan dulu?”
“Belum sarapan ya?”
“Belum, aku kan baru mau keluar rumah.”
“Baiklah, kita temani bapak makan pagi ya Abi?”
“Terimakasih Abi...” kata Pram ketika melihat Abi mengangguk-angguk.
“Abi memang anak bapak yang pintar,” lanjut Pram sambil mengacak rambut Abi.
“Tapi bolanya ditinggal dimobil ya, nanti kamu main bola di rumah makan jadi kacau semuanya.”
***
“Abi kok lama ya bu?”
“Mungkin mampir belanja atau apa. Tapi nggak mungkin juga, karena kan diantar sopir kantor. Biasanya kalau belanja Miranti pasti pakai mobilnya sendiri.”
“Tejo sudah lama menunggu. Kalau begitu Tejo pulang dulu saja ya bu, nggak enak kalau kelamaan ninggalin pekerjaan.”
“Jadi kamu mau pulang sekarang?”
“Ya ibu, nanti sore saja Tejo kembali kemari. Semoga bapak bisa mema’afkan Tejo dan menerima Tejo kembali.”
“Iya le, teruslah berusaha, daripada menunggu tanpa tahu kapan berakhirnya.”
“Iya bu, apapun nanti yang akan bapak katakan, umpatan atau cacian, Tejo akan menerimanya. Entah bagaimana kelanjutan hidup Tejo nanti, apakah bapak masih mau menjadi bapak Tejo, atau tidak.”
“Jangan berkata begitu Jo, Tak mungkin seorang bapak akan benar-benar membuang anaknya. Seperti ibu, yang juga masih mau menerima kamu. Yang penting adalah kamu benar-benar berubah menjadi baik. Yakinkanlah bapak tentang niat baik kamu.
“Baiklah ibu. Sekarang Tejo mohon pamit,” kata Tejo sambil mencium tangan ibunya, lalu berjalan keluar. Tapi dimulut pagar, sebuah mobil masuk tiba-tiba, dan Tejo tak sempat menghindar.
***
Besok lagi ya