ADA YANG MASIH TERSISA 32

ADA YANG MASIH TERSISA  32

(Tien Kumalasari)

Tejo terkejut ketika melihat siapa yang mengemudikan mobil Miranti. Sekilas bayangannya adalah bahwa  Pramadi si pengusaha kaya masih menjadi sopir Miranti, atau ada Pramadi lain yang nama dan wajahnya mirip Pramadi.

“Ada apa pak?” tanya Pram.

“Ss..saya kira Miranti..” jawab Tejo gugup.

“Perlu sama aku mas?” tanya Miranti yang merasa tidak enak apabila membiarkannya saja.

“Tidak.. tidak.. aku mau.. ketemu bapak..”

“Oh, silahkan, kebetulan sedang ada bapak sama ibu dari kampung, masuk saja, kami mau membeli makanan.”

“Baiklah..” kata Tejo lalu masuk kehalaman rumah dan membiarkan Pram membawa Miranti pergi.

Tapi baru selangkah masuk, Tejo membalikkan tubuhnya, urung bertemu orang tuanya. Ada perasaan tak enak karena kata Miranti ada bapak dan ibunya didalam. Jangan-jangan bapaknya akan mendampratnya dan membuatnya malu.

“Kenapa ya tadi dia tampak aneh?” tanya Pram dalam perjalanan.

“Katanya mau ketemu bapaknya. Mungkin tadi dia mengira saya yang menyetir,”

“Berarti dia pasti kecewa karena melihat aku.”

“Entahlah.”

“Mungkin dia akan mengatakan sesuatu..”

“Nyatanya cuma bilang kalau mau ketemu bapak..”

“Sungkan karena ada aku barangkali..”

“Barangkali.. kan belum berarti benar.”

“Dan belum tentu salah juga.”

“Ya sudahlah, mengapa memikirkan itu,  tuh warungnya ada didepan.”

“Ayam goreng?”

“Ada banyak menu disitu..”

“Baiklah, tuan puteri..”

“Kok ganti sih, biasanya tidak tuan puteri.”

“Baiklah, bidadari..”

***

Hari Minggu itu pastilah bengkel tutup. Tejo yang semula mau menemui bapaknya kembali kerumah dengan rasa melayang seperti diterbangkan angin. Gelisah tanpa pegangan. Ia membuka pintu rumahnya dengan tangan gemetar, lalu merebahkan tubuhnya di kursi. Bukan hanya karena gagal menguatkan hati dan keberaniannya untuk bertemu ayahnya, tapi juga karena ditindih rasa kecewa ketika melihat Miranti pergi bersama sopirnya.

Aduh, Tejo sangat bingung. Mungkinkah ada orang dengan nama dan wajah yang sama? Mengapa Miranti tampak begitu dekat dan akrap sama sopirnya?

Tejo memijit-mijit kepalanya yang terasa pusing. Ia ingin menelpon Miranti, pasti masih berada diluar dan ia sudah tahu bahwa pasti Miranti akan enggan bicara banyak dengannya. Lalu ingin menelpon ibunya, pasti ibunya sedang bersama tamu-tamunya dan yang jelas bapaknya pasti ada. Ngeri dia membayangkan kata-kata bapaknya yang ketika marah, bisa mengeluarkan ucapan yang sangat menggigit dan membuatnya sakit.

“Memang sih, aku bersalah, tapi kan aku sudah meminta ampun sama ibu.”

Tejo yang bertekat ingin memperbaiki hidupnya, merasa seakan patah semangat. Ada yang ingin dicapainya, hidup bersama kembali dengan Miranti, menebus semua kesalahan yang telah diperbuatnya, tapi dia tidak tahu apakah Miranti masih mau membuka pintu hatinya untuk dirinya.

Dosanya cukup besar. Selalu menyakiti, dan tak pernah peduli. Baru sekarang dia sadar, betapa dia melepaskan bunga nirwana yang mempesona, demi meraih bunga busuk dari comberan. Sekarang baru dia tahu, betapa terlukanya Miranti atas perlakuannya, dan walau begitu ketika bertemu dia masih bersikap manis padanya.

“Aku harus bisa mendapatkannya kembali. Akan aku tebus semua kesalahan yang telah aku perbuat, dengan memberinya cinta yang hangat, akan mengayominya dengan teduh, jangan sampai air matanya kembali menetes. Jangan sampai ada luka menganga,” bisiknya pelan.

Miranti, aku cinta kamu,” dan dibisikkannya itu berkali-kali, sambil mendekap bantal yang ada dikursi tamunya.

***

Miranti melayani bapak ibunya dan kedua bekas mertuanya dengan hati penuh bunga. Sebuah restu dari mereka, cukup membuatnya melangkah bersama Pramadi dengan ringan. Ia juga melayani Pramadi dengan sesungguh-sungguhnya, tanpa sembunyi-sembunyi seperti ketika Pram masih menjadi sopir pribadinya.

“Mau tambah lagi?”

“Sudah, cukup, kekenyangan nih aku.”

“Tadi katanya lapar, sekarang kekenyangan,” kata Miranti sambil menuangkan minuman untuk Pramadi.

“Orang itu kalau sudah dekat dengan orang yang dicintai, rasa lapar itu nggak ada lagi. Nggak makan seharian juga nggak akan merasa lapar,” kata pak Kusumo menggoda Pramadi.

“Benarkah begitu bapak?” kata Pramadi menyambut olok-olok pak Kusumo.

“Iya Pram,  itu benar.”

“Kalau begitu bisa irit ya pak, habisnya nggak usak masak, nggak usah beli beras..”seloroh Pram yang disambut tertawa semua orang.

“Bapak ada-ada saja.. masa nggak makan seharian kok bisa nggak lapar?”

“Lho, apa ibu lupa, dulu waktu kita pengantin baru kan ibu nggak tak suruh masak..?”

“Iya sih, kan bapak ngajakin makan diluar?” sambut bu Kusumo sambil mencibir, cibiran yang kala itu membuat pak Kusumo sampai jatuh bangun.  Dan suasana siang hari dirumah pak Kusumo benar-benar terasa meriah.

Pak Winardi baru pulang pada sore harinya, setelah mereka puas bermain dengan cucunya yang lucu dan menggemaskan.

***

Pagi hari itu badan Tejo panas sekali. Ketika Supri datang ia masih terbaring dikamarnya.

“Kamu kenapa Jo? Badanmu panas sekali.”

“Entahlah Pri.. tiba-tiba badanku nggak enak, rasanya aku kedinginan,” keluh Tejo sambil menekuk kakinya dan tidur miring.

Supri menarik selimut dan munutupkannya ketubuh Tejo.

“Sudah minum obat?”

Tejo menggeleng.

“Makan pasti juga belum. Sebentar, aku beli bubur ya, sama obat turun panas,” kata Supri tanpa menunggu jawaban Tejo. Tejopun diam, tak ada yang bisa dilakukannya kecuali memejamkan mata dan merintih pelan.

Dua orang pembantunya sudah datang, Supri meminjam sepeda motor dan berangkat untuk membeli bubur serta obat untuk Tejo.

Alangkah pilu rasa hati, ketika sakit dan tak seorangpun dari keluarganya yang datang menjenguk, apalagi merawat. Untunglah ada Supri yang selalu menaruh perhatian atas dirinya. Ketika Supri datang, lalu menyuapkan bubur sesendok demi sesendok lalu memasukkan obat panas kemulutnya Tejo hanya bisa menurut.

“Ya sudah, kamu tiduran saja dulu. Kalau panasnya tidak kunjung reda, nanti aku antarkan ke dokter,” kata Supri. Tejo hanya mengangguk sambil menarik selimut sampai ke lehernya.

“Apa aku perlu memberi tahu ibumu?” sambung Supri ketika sampai didepan pintu.

“Jangan, tidak usah Pri, terimakasih banyak.”

Tejo mencoba memejamkan matanya. Ia berkhayal ada Miranti disampingnya, mengelus kepalanya, lalu memijit kakinya, memberinya selimut yang lebih tebal agar dia merasa lebih hangat dan bertanya.. ingin makan apa.. dan memeluknya karena tubuhnya menggigil...

“Ya Tuhan... aku hanya berkhayal. Tetap saja tak ada yang mengelus kepalaku, memijit kakiku, menggantikan selimut tipisku ini dengan yang lebih tebal.. atau memelukku... tidaaak..” rintihnya dalam hati.

Lalu ada air mata menggenang dimatanya yang kemerahan.

Lalu ada nyanyian membersit dikepalanya... merindukan pungguk terbang diawang, burung dara ditangan kulepaskan.. mengharapkan kasih sayang darinya.. cinta murni darimu kubiarkan...

“Miranti... seandainya kamu ada untuk aku..”

Lalu Tejo mengigau, memanggil-manggil nama Miranti, dan Supri yang masuk kedalam kemudian memegang keningnya yang mulai berkeringat.

Panasnya mulai turun. Kasihan, hanya Miranti yang ada dalam benaknya. "Semoga kamu bisa memilikinya ya Jo,” bisik Supri sambil mengelap keringat didahi Tejo dengan tissue.

Lalu Supri meninggalkannya, melanjutkan pekerjaannya karena mulai ada beberapa mobil ngantri untuk ditanganinya.

***

“Abi belum bangun Mir?” kata bu Kusumo sambil mendekati Miranti yang sedang mengumpulkan baju kotor Abi.

“Tadi sudah bangun, sudah mandi, habis minum ASI kok tidur lagi.”

“O ya sudah, tadi aku lihat kedepan kok belum keluar.”

“Ada apa bu, kok ibu kelihatan gelisah?”

“Ah, iya ini Mir, ibu ingin mengabaikannya, tapi kok kepikiran terus.”

“Ada apa sih bu?”

“Tentang mimpi ..”

“Mimpi? Memangnya ibu mimpi apa?”

“Ibu itu seperti mendengar Tejo berteriak-teriak.. ibu mencari dimana arah suara itu, ternyata Tejo sedang hanyut disebuah sungai, tangannya seperti meraih-raih gitu, seakan minta pertolongan.. tapi ibu tak berani masuk ke air.. alirnya deras sekali.. lalu aku terbangun dengan peluh bercucuran..”

“Ibu, itu kan hanya mimpi?”

“Ibu khawatir terjadi sesuatu atas Tejo..Jangan-jangan dia lagi sakit.”

“Mimpi itu bunga tidur bu, jadi ibu tidak usah memikirkannya.”

“Iya sih.. tapi aku kok kepikiran terus ya..”

“Karena ibu memikirkan mas tejo, jadi mimpinya tentang mas Tejo..”

Bu Kusumo menghela nafas panjang, tapi gurat kegelisahan masih tampak pada wajahnya. Ia duduk diluar kamar Abi, tak mengatakan apa-apa, tapi Miranti yakin bekas ibu mertuanya ini sedang memikirkan mimpinya.

“Ibu... sudahlah, Miranti buatkan coklat susu ya bu.. diminum hangat pasti ibu merasa lebih tenang,” kata Miranti sambil beranjak kebelakang.

Bu Kusumo memasuki kamar cucunya, menatap wajah si ganteng kecil yang terlelap dalam tidurnya.

“Apa yang terjadi dengan bapakmu le?”

Abi kecil menggeliat kemudian memiringkan tubuhnya, bu Kusumo menepuk pantatnya lembut.

“Kasihan kamu le, hidupmu nanti tidak akan bersama bapak kandungmu,” bisik bu Kusumo lirih.

“Ibu, coklat susu sudah siap...” teriak Miranti dari luar kamar.

Bu Kusumo keluar lalu duduk di sofa dimana Miranti meletakkan coklat susunya dimeja.

“Anakmu tidur nyenyak sekali.” Kata bu Kusumo sambil menghirup minumannya.

“Iya, semalam tidurnya agak malam.”

“Rewel ?”

“Tidak bu, asyik bermain dengan mobilnya.”

“Oh, ya sudah, biarkan saja tidur.”

“Ibu mau belanja apa hari ini?”

“Kamu pengin masak apa?”

“Miranti tuh segala masakan suka, jadi terserah ibu saja.”

“Biar simbok saja yang belanja, ibu agak malas hari ini.

(simbok adalah pembantu yang hanya datang pagi lalu pulang disore harinya}

“Kalau ibu mau, biar Miranti yang belanja, mumpung Abi masih tidur.”

“Nggak usah Mir, belanja di tukang sayur lewat saja, biar simbok yang belanja dan masak.”

“Ibu jangan memikirkan mimpi itu, mimpi adalah bunga tidur, ya bu.”

“Iya, akan ibu coba melupakannya. Mudah-mudahan Tejo baik-baik saja.”

“Aamiin.”

***

Sejak sa’at itu Pramadi semakin sering kerumah pak Kusumo, bermain bersama Abi, dan terkadang mengajak Abi jalan-jalan.

Pramadi sedang bersiap-siap mengajak kerabatnya agar mau menemui orang tua Miranti di kampung. Hari bahagia itu akan segera tiba, dan Pramadi tak mau kelamaan menunggu, karena sesungguhnya memang sudah lama dia menunggu.

“Kamu mau kerumah Bapak ibu besok Minggu Pram?”

“Iya, aku sudah minta beberapa saudara untuk mewakili keluarga aku, mereka yang akan mengatur semuanya. Dan setelah itu aku tak mau menunggu lama, pernikahan harus segera dilaksanakan.”

“Syukurlah..”

“Apakah kamu senang?”

“Kasih tahu nggak ya...” kata Miranti menggoda.

“Nggak usah, aku sudah tahu jawabannya.”

“Oh ya? Apa sih jawabannya?”

“Tanya saja sama Abi, hayo Abi.. bisa jawab nggak?” tanya Pram yang sedang menggendong Abi setelah mengajaknya bermain ayunan disebuah taman.

Abi tertawa-tawa, lalu bertepuk tangan.”

Miranti dan Pramadi tertawa senang.

“Tuh, Abi sudah bertepuk tangan berarti setuju.. dan senang.. ya kan, sayang?” tanya Pram sambil mencium pipi Abi, dan Abi kemudian mengacak-acak rambut Pramadi sambil berceloteh.

Dan dari jauh sepasang mata memperhatikan sepasang sejoli yang tampak mesra, sementara Pramadi menggendong Abi, Miranti bergayut dilengan Pram.

***

Ketika bengkel akan tutup, Supri kembali masuk kekamar Tejo. Ia merasa lega, setelah siangnya kembali minum obatnya, panas ditubuh Tejo sudah turun. Dilihatnya Tejo sudah duduk ditepi pembaringan.

“Sudah lebih baik Jo?”

“Sudah baik Pri, aku ingin mandi sekarang.”

“Jangan mandi dulu Jo, kamu baru saja merasa sembuh. Nanti panas lagi.”

“Tapi badanku rasanya lengket semua. Dan bau, keringat banyak sekali keluarnya.”

“Kalau kamu memaksa, biar aku rebuskan air dulu, nanti mandinya pakai air hangat. Sekalian aku buatkan teh panas dulu ya. Kalau cuma teh masih ada air panas di termos.”

“Kamu kan harusnya pulang Pri, pasti lelah bekerja seharian.”

“Tidak, jangan pikirkan,” kata Supri lalu beranjak kebelakang.”

Tejo sungguh merasa terharu, ia memiliki Supri, sahabat yang selalu bersamanya dalam suka maupun duka.

“Jo, airnya sudah panas, aku tuangkan di baskom besar, dan sudah aku campur dengan air dingin. Kalau mau mandi mandilah, tapi itu tehnya diminum dulu.”

“Terimakasih ya Pri.”

“Sementara kamu mandi, aku akan beli nasi untuk makan malam. Atau kamu masih mau bubur lagi? Ada bubur tumpang enak didekat pengkolan situ.”

“Boleh Pri, terserah kamu saja.”

“Nanti setelah makan, minum obatnya lagi. Barangkali kamu hanya masuk angin,” kata Supri sambil berlalu.

“Baiklah , terimakasih banyak ya Pri.”

***

Pagi harinya Supri merasa senang karena Tejo sudah duduk santai dan sudah rapi, serta dimeja sudah siap dua gelas teh panas.

“Syukurlah, kamu sudah baikan Jo.”

“Ya Pri, ini minum kamu, dan sarapan nasi bungkus buat kita berdua.”

“Aku baru mau keluar lagi untuk beii, ternyata kamu sudah menyiapkan semuanya,” kata Supri sambil duduk didepan Tejo.”

“Kamu sudah jalan-jalan rupanya.”

“Tadi aku jalan kedekat pasar, beli nasi liwet sama ketan juruh.”

“Wah, enak tampaknya. Kalau begitu ayo kita sarapan.”

“Lalu keduanya makan pagi bersama dengan nikmat.”

“Obatnya diminum terus dulu, sampai kamu benar-benar merasa sehat Jo.”

“Iya, nanti aku minum lagi, tapi aku sudah baik kok.”

“Syukurlah, kemarin aku sudah akan membawa kamu ke dokter kalau panas badan kamu tidak turun.”

“Nggak tahu aku, siangnya baik-baik saja.”

“Kamu jadi ketemu bapak kamu?”

“Tidak, ketika aku datang, disana baru ada tamu, bekas mertua aku. Rupanya mereka masih berhubungan baik.”

“Kalau begitu mudah bagi kamu untuk kembali kepada Miranti.”

“Entahlah, aku belum menjajagi perasaannya, siapa tahu sesungguhnya dia membenci aku, walau diluar tampak sikapnya sangat baik.

“Ya, pelan-pelan saja. Yang penting kamu mendekati bapak kamu dulu, dengan begitu kedua orang tua kamu bisa membujuk Miranti agar mau kembali sama kamu.”

“Semoga saja begitu. Besok kalau aku benar-benar sehat mau kerumah lagi, agak sore, supaya bapak sudah ada dirumah.”

Pembicaraan itu berhenti ketika terdengar suara mobil berhenti, dan ada kesibukan anak buah Tejo kelutak kelutik membuka bengkel.

Hari itu Supri masih melarang Tejo membantu dibengkel, khawatir Tejo sakit lagi. Dan sampai sore harinya Tejo hanya duduk lalu ketika lelah masuk kekamar untuk beristirahat.

Malam itu Supri sudah pulang, dan Tejo sudah berada dikamar untuk tidur, ketika terdengar pintu diketuk dari luar.

“Apa ada yang ketinggalan sehingga Supri kembali ya?”

Perlahan Tejo bangkit, dan berjalan kearah pintu.

“Itu kamu Pri?”

“Mas Tejo, ini aku..”

***

Besok lagi ya.

 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

Previous Post Next Post