ADA YANG MASIH TERSISA 31

 

ADA YANG MASIH TERSISA  31

(Tien Kumalasari)

Miranti menatap nomor yang ada di ponsel, dia tak mengenalnya. Tapi ponsel itu berdering terus.  Lalu diangkatnya, dan sebelum dia mengucapkan 'hallo', suara penelpon sudah terdengar nyaring.

“Miranti ya,” ternyata suara Tejo.

“Ya, ada apa?”

“Oh, syukurlah. Kamu lagi dimana ?”

“Aku lagi... diluar..”

“Sama Abi?”

“Tidak, sendiri.”

“Oh, sebenarnya aku mau kerumah, ingin ketemu Abi lagi, tapi lalu aku ingat bahwa ini hari Minggu, jadi bapak pasti ada dirumah.”

“Memangnya kenapa kalau ada dirumah ?”

“Aku belum berani. Bapak itu susah mema’afkan, tapi kalau sudah suka dan percaya sama orang ia akan terus bersikap baik.”

“Harus dicoba menemui, tidak bisa selamanya takut.”

“Iya, baiklah, akan aku coba, tapi aku akan menelpon ibu dulu.”

“Ya baiklah, sudah dulu ya, aku lagi tidak ada dirumah.”

Lalu  Miranti menutup ponselnya, dan melihat Pramadi berdiri menatapnya dari pintu.

“Dari siapa?”

“Dari Tejo.”

“O, kangen ya?”

“Ada-ada saja, sudahkah? Berangkat sekarang?”

“Kerumah pak Kusumo dulu kan?”

“Iyalah Pram, kan Abi belum aku bawa.”

“Tejo ada dirumah?”

“Tidak, mana berani dia pulang kalau tahu ada bapak.”

“O.. gitu ya.. kalau sama kamu berani kan?”

“Praaaam...!”

Pramadi tertawa lalu menarik tangan Miranti diajaknya pergi.

“Eh.. mobilku bagaimana ? Masa naik sendiri-sendiri?”

“Naik mobil kamu saja,  aku kangen mengendarai mobil kamu.”

“Baiklah.. nih kuncinya.”

“Sebenarnya aku lapar, mau ngajakin makan dulu, tapi ingat bahwa kamu ninggalin Abi, kasihan kalau kelamaan.

“Nanti saja makan dirumah, aku buatin nasi goreng.”

“Benar ?”

“Iya benar..”

***

Miranti agak kurang suka, mengapa Tejo menelponnya segala. Ia ingat bagaimana Tejo menatapnya, dan itu membuat Miranti sangat risih.

“Ngelamun ?” kata Pram tiba-tiba.

“Enggak.. bingung harus ngomong apa..”

“Kaya baru saja kenal.. pakai bingung segala.”

“Iya tuh, so’alnya aku sedang berdebar-debar..”

“Kenapa?”

“Kan aku mau dilamar.. jadi berdebar rasanya.”

Pramadi tertawa. Tapi sesungguhnya dia juga sedang berdebar-debar. Habis selama hidup belum pernah melamar.

“Harusnya aku bersama keluarga aku, tapi aku sudah tidak punya orang tua lagi. Ada sih kerabat, tapi nanti saja kalau sudah mau resmi melamar. Ini kan cara gampangnya baru mau silaturahmi, memohon ijin kalau mau melamar. Besok ada lagi acara melamar yang sesungguhnya, begitu kata salah seorang kerabatku.”

“Iya aku tahu.”

“Iya aku lupa, kamu kan pernah dilamar. Ngelamarnya datang rame-rame kan?”

“Iya benar.”

“Tak pernah terbayang oleh aku, akhirnya bisa melamar kamu. Tadinya aku sudah putus asa, tak ada lagi harapan.”

“Katanya kalau jodoh tak akan kemana..”

“I can’t stop loving you..I’ve made my mind..To live in memories .. of the lonesome times... I can’t stop wanting you......

Dan Pramadi menyanyi disepanjang perjalanannya kerumah pak Kusumo. Miranti menyandarkan kepalanya agak miring kearah Pram, menatapnya dengan sorot mata bahagia. Aduhai.. wajah tampan itu berdendang dengan riang, dan sesekali mata mereka bertatapan mesra.

“Love.. is.. a beautiful song... lala..lalala..lala...

Lalu mereka berdendang bersama-sama..

***

“Buuu... buuu.. Abi mulai merengek mencari ibunya..

Pak Kusumo yang memangkunya mulai bingung.. bu Kusumo sudah menyiapkan  botol susunya, tapi Abi bukannya lapar, ia  ingin melihat ibunya.

“Mengapa Miranti lama sekali ya pak?” bu Kusumo ikut bingung.

“Apa nak Pram benar-benar sakit ya?”

“Sini pak, biar gantian ibu yang menggendongnya.”

Tapi tak lama kemudian sebuah mobil memasuki halaman. Tapi itu bukan mobil Miranti.

“Itu seperti mobilnya pak Winardi ya bu..” kata pak Kusumo.

“Iya benar.. Miranti dan Pram mau kesana, malah keduluan pak Winardi yang datang.”

Bu Kusumo dan pak Kusumo berdiri menyambut bekas besannya.

Bu Winardi langsung menyalami pak Kusumo lalu bu Kusumo, kemudian meminta Abi yang digendong bu Kusumo.

“Aduh.. ganteng.. ayo ikut mbah putri..”

“Tuh.. ada tamu untuk Abi..”

Abi diam saja ketika digendong bu Winardi karena sudah mengenalnya. Tapi ia tetap memanggil-manggil ibunya.

“Buu.. buu..”

“Lho, mana ibunya? Lagi pergi ?”

“Iya, ayo silahkan masuk .. silahkan masuk. Tadi Miranti mau pulang kesana sebenarnya, untunglah belum jadi berangkat.”

“Oh, lha kemana dia sekarang?”

“Baru keluar. Tumben ini, tidak mengabari dulu tiba-tiba datang,” kata pak Kusumo kepada tamunya.

“Iya pak.. so’alnya ada perlu sama MIranti..” jawab pak Winardi.

Setelah beramah tamah sejenak, dan hidangan disuguhkan, pak  Winardi mengutarakan maksudnya.

“Baiklah, karena Miranti belum datang juga, saya ingin mengatakan dulu pada pak Kusumo beserta ibu, tentang garis besarnya.” Kata pak Winardi.

“Ada apa ini, kok tampaknya serius sekali?”

“Begini .. sepertinya dulu ibunya Miranti pernah sedikit mengutarakan kepada bu Kusumo, bahwa lurah desa kami ingin mengambil Miranti sebagai menantu.”

“Oh, iya, bu Win pernah ngomong tentang hal itu.”

“Lha tapi .. sebentar pak.. sebenarnya hari ini Miranti mau kesana bersama seseorang, yang juga ingin melamar Miranti.

“Lho, kok Miranti tidak pernah bilang sama saya atau ibunya.”

“Barangkali belum pak, baru hari ini mau kesana sebenarnya. Nah, itu dia...datang.”

“Buu.. buu..” Abi berteriak senang ketika melihat mobil ibunya masuk kehalaman. Ia meronta-ronta dan terpaksa bu Kusumo menggendongnya, mengajaknya turun mendekat kearah mobil

“Abi... sayangku, rewel ya bu?” kata Miranti yang langsung menggendong Abi. Yang digendong langsung melonjak-lonjak sehingga Miranti terhuyung-huyung.

“Nggak rewel, baru saja ini tadi memanggil-manggil kamu.”

Pram turun dan mendekat serta mencium tangan bu Kusumo.

“Pram, katanya sakit?”

“Hanya masuk angin bu, sudah baik.”

“Sudah baik, setelah obatnya datang ya?” goda bu Kusumo.

Pramadi tertawa.

“Banyak tamu rupanya,” kata Pram sambil melongok kedalam.

“Ya itu, bapak ibunya Miranti malah sudah sampai sini sebelum kalian berangkat. Ayo langsung saja,” ajak bu Kusumo.

Pak Winardi dan bu Winardi terkejut melihat siapa yang datang. Mereka sudah lama mengenalnya sejak Miranti masih kuliah.

“Lho, ini kan nak Pramadi?” kata pak Winardi dan isterinya hampir bersamaan.

“Malah sudah kenal?” kata pak Kusumo.

Pramadi mendekati semuanya dan mencium tangan mereka satu persatu.

Miranti juga mencium tangan ibu bapaknya.

“Kami sudah kenal karena dia ini kan teman kuliah Miranti dulu itu. Lalu tiba-tiba menghilang.”

“Ma’af pak, saya sakit dan dirawat di Singapura selama tiga bulan.”

“Oh.. begitu.”

“Wah.. ini namanya pucuk dicinta ulam tiba.. atau apa ya. Tadinya Pram ini mau menghadap pak Winardi di kampung, tapi malah ketamu disini.”

“Ya benar, pucuk dicinta ulam tiba. Ada apa nak, ada perlu sama bapak?” tanya pak Winardi kepada Pramadi.

“Begini, ehem..” Pramadi berdehem, menata batinnya, dan mencoba menyusun kalimat yang tepat.

 “Karena saya sudah lama mengenal Miranti, dan kami saling mencintai, maka saya memohon kepada bapak dan ibu, agar diijinkan nanti mendampingi Miranti.”

Pak Winardi saling pandang dengan isterinya.

"Maksudnya mau menjadikannya isteri?" tanya pak Winardi.

"Benar bapak, kalau bapak dan ibu mengijinkan."

“Bagaimana ini bu?”

“Nak Pram apa sudah tahu, kalau Miranti itu sudah menjanda?”

“Sudah ibu, saya sudah tahu.”

“Padahal bapak sama ibu ini datang kesini mau bilang sama Miranti, bahwa anaknya lurah disebelah rumah juga mau melamar Miranti. Bagaimana ini?”

“Kalau boleh saya usul, ditanyakan saja kepada Miranti, dia mau pilih yang mana. Pramadi atau anaknya pak lurah desa?” kata pak Kusumo.

“Bagaimana Mir, keputusan ada ditangan kamu.” Kata pak Winardi sambil menatap Miranti.

Miranti tersipu, melirik kearah Pram, lalu menundukkan kepalanya.

“Jawablah nduk, agar nanti kalau pak lurah bertanya, bapakmu bisa menjawab dengan jelas.”

“Bapak, ibu.. Miranti .. cinta sama ini..” kata Miranti sambl menunjuk kearah Pramadi.

Semua yang hadir tertawa.

“Apa nak Pramadi sungguh-sungguh mencintai Miranti?” tanya pak Winardi sambil menatap Pramadi.

“Dengan segenap jiwa saya pak. Kalau bapak mengijinkan, kami akan datang bersama beberapa kerabat, karena saya sudah tidak punya orang tua lagi.”

“Baiklah, kalau anak-anak sudah setuju, kami orang tua hanya bisa mendo’akan yang terbaik. Bukankah begitu pak Kusumo?”

“Benar pak Win. Miranti sudah seperti anak saya sendiri, apapun keinginan Miranti, saya dan ibunya akan mendukungnya,” kata pak Kusumo sambil merangkul bahu Miranti yang kebetulan duduk disampingnya.

Apakah kisah cinta indah itu telah sampai disebuah muara?

***

“Hei.. ngelamunin apa?” tanya Supri ketika bengkelnya agak sepi dan keduanya sedang duduk sambil makan nasi bungkus kegemarannya.

“Hidup aku ini lho Pri. Setelah aku bertobat, apakah aku akan menemukan hal baik dalam hidupku?”

“Tentu saja Jo. Tapi kamu harus bersabar.”

“Aku ingin kembali kepada Miranti.”

“Ya, tentu saja, aku mendukungmu. Tapi karena kamu telah menceraikan dia, maka tidak bisa kamu langsung menikahinya. Dia harus menikah dulu dengan orang lain.”

“Wah, susah bukan?”

“Kalau itu kemauan kamu, semua bisa diatur. Cari orang yang mau menikahi Miranti untuk kemudian menceraikannya, barulah kamu bisa rujuk.”

“Seperti mudah, tapi pasti sulit melakukannya.”

“Tidak ada hal gampang didunia ini Jo. Kalau itu kemauan kamu, lebih dulu kamu harus mendekati Miranti, dan berusaha merebut kembali hatinya. Kalau kamu bersikap manis, dan menunjukkan perilaku yang baik terhadapnya, maka pasti dia mau menerima kamu kembali.”

“Tadi aku menelpon dia, tapi tampaknya dia buru-buru memutus percakapan. Apa dia nggak suka ya, aku menelponnya?”

“Mungkin dia lagi sibuk.”

“Dia sedang diluar, mungkin belanja, entahlah.”

“Ya, waktunya yang tidak tepat, cobalah kalau dia lagi santai, tidak sedang mengerjakan sesuatu.”

“Kamu benar Pri, mungkin kalau waktunya tepat, kami bisa mengobrol lebih lama. Paling tidak aku bisa meraba-raba.. apakah ada kemungkinan aku kembali lagi sama dia.”

“Tapi kamu harus selalu menunjukkan sifat baikmu. Menunjukkan bahwa kamu sudah bertobat dan benar-benar menyayangi dia dengan tulus.”

“Iya Pri, aku akan melakukannya.”

“Kamu belum ingin bertemu bapak kamu?”

“Miranti menyarankan, aku harus mencobanya menemui bapak, tidak terus-terusan sembunyi-sembunyi kalau datang kerumah.”

“Itu bagus, dan berarti Miranti juga punya perhatian sama kamu.”

“Sesungguhnya dia adalah mutiara terbaik yang pernah aku kenal. Akunya saja yang tersesat, buta oleh cinta yang membuat aku lupa segala-galanya, bahkan tidak peduli kepada kedua orang tuaku.”

“Maka dari itu, apapun nanti dan bagaimanapun sikap bapak kamu yang akan kamu terima, kamu juga harus menerimanya. Aku percaya kok, tak mungkin orang tua benar-benar membuang anaknya. Barangkali benar, bapakmu masih terluka oleh kelakuan kamu, tapi pada suatu hari pasti dia akan bisa menerima kamu, asalkan kamu benar-benar bertobat.”

“Bagaimana kalau setelah makan ini aku kesana? Aku jadi penasaran dan ingin kesana sekarang juga. Aku siap menerima apapun nanti sikap bapak ketika aku datang.”

“Ya sudah terserah kamu saja.”

“Bagaimana kalau nanti bengkelnya ramai?”

“Tidak apa-apa, kan aku punya teman. Silahkan kamu mencoba memperbaiki hubungan kamu dengan kedua orang tua kamu, aku akan mendukungmu.”

“Baiklah Pri, terimakasih banyak karena selalu menguatkan aku.”

“Kita teman bukan?”

“Lebih dari teman.”

Tejo menatap sahabatnya dengan terharu. Sudah banyak yang dilakukan Supri untuk dirinya. Dan karena Supri pula maka dia bisa menemukan jalannya kembali.

***

Bu Kusumo berbisik kepada Miranti, mengajaknya masuk kedalam rumah.

“Mir, bisakah tolong beli makanan untuk makan siang? Ibu tidak tahu bahwa bapak ibu kamu akan datang, jadi tidak masak apapun.”

“Baiklah bu, Miranti akan beli sekarang juga.”

“Biar Abi sama ibu lagi.”

“Biar Abi saya bawa saja bu, takutnya nanti rewel, soalnya sudah Miranti tinggal lama tadi.”

“Lha kamu apa bisa menyetir sambil memangku Abi? Anakmu itu sekarang sudah banyak maunya lho. Apa tidak mengganggu?”

“Miranti akan mengajak Pram bu.”

“Oh, baguslah kalau begitu. Kamu sudah tahu apa sebaiknya yang kamu beli? Kalau nasi sudah ada.”

“Iya bu, gampang, nanti Miranti pilihkan.”

Lalu Miranti menggamit lengan Pramadi, yang kemudian berdiri dan berjalan kedalam mengikuti Miranti.

“Ada apa?”

“Anterin aku yuk.”

“Kemana ?”

“Tadi kamu bilang lapar, ayo beli untuk makan bersama bapak ibu aku juga.”

“Oh, siap.. “

“Mau kemana itu?” tanya pak Winardi ketika melihat Miranti dan Pram mau keluar.

“Keluar sebentar bapak.”

Pramadi kembali duduk dibelakang kemudi, sedangkan Miranti duduk disampingnya sambil memangku Abi.

“Kemana kita?”

“Keluar saja dulu, nanti kita pikirkan,” jawab Miranti.

“Buu...”

“Ya sayang.. lihat, kita jalan-jalan sama bapak ya?”

Abi menatap Pramadi, yang tersenyum sambil menowel pipinya. Abi tertawa lalu bersembunyi didada ibunya.

Mobil Miranti sudah sampai dipagar dan belok sedikit kekanan, ketika tiba-tiba seseorang menepuk kaca jendela depan.

Pramadi menghentikan mobilnya dan membuka jendela kaca. Dilihatnya Tejo terkejut menatapnya, mengira yang duduk dibelakang kemudi adalah Miranti.

***

Besok lagi ya

 

 

Previous Post Next Post