ADA YANG MASIH TERSISA 30

ADA YANG MASIH TERSISA  30

(Tien Kumalasari)

Pramadi mengurungkan niatnya memilih mainan, menoleh kesekitar, lalu mendekati Tejo yang sedang membujuk Abi untuk memilih sebuah mainan.

Walau hanya melihat Abi dari foto-foto yang dikirim Miranti, tapi Pram yakin benar bahwa yang digendong Tejo adalah Abi.

“Abi..” panggil Pram.. yang kemudian membuat Abi menoleh. Ia menatap Pramadi, seperti pernah melihatnya. Mungkin Miranti pernah menunjukkan foto Pramadi kepadanya.

Tejo menatap Pramadi dan terkejut. Ia sudah tahu bahwa Pram adalah seorang pengusaha kaya yang entah bagaimana bisa menjadi sopir Miranti. Karenanya ia tak berani bicara atau memanggil sembarangan.

“Ada apa pak?”

Pramadi tertegun mendengar Tejo memanggilnya dengan sebutan ‘pak’.

“Mengapa Abi ada bersama anda?”

“Ini... anak saya...”

“Benar, saya tahu, tapi anda membawanya, apakah sudah sepengetahuan ibunya?”

“Ibunya ada, dia lagi belanja.”

Sekarang Pram benar-benar kaget. Api cemburu merayapi hatinya. Miranti pergi bersama Tejo dan anaknya?

Wajah Pram muram, lalu diambilnya ponselnya dan menelpon Miranti, tapi tak ada jawaban.

“Anda mau apa?” Tanya Tejo kesal, karena dia sama sekali tidak tahu adanya hubungan antara Pramadi dan Miranti.

“Saya akan menunggu disini, sampai Miranti datang kemari,” jawab Pramadi nekat.

Tejo heran mendengar Pramadi memanggil Miranti begitu saja. Tapi dia tak perduli. Ia melanjutkan mengajak Abi berkeliling dan melihat banyak mainan disana.

“Abi mau yang mana?”

Tapi Abi tidak mengerti mana yang dia mau. Ia menuding seluruh mainan yang berwarna warni dan semua sangat menarik hatinya.

“Mau yang mana Abi?”

Abi hanya menuding nuding, dan akhirnya Tejo mengambil sebuah kapal terbang mainan, yang celakanya tadi hampir dipilih oleh Pramadi .

“Baiklah, tadi sudah punya mobil, sekarang kapal terbang ya?”

Pramadi bertambah kesal. Sesungguhnya dia laki-laki yang baik hati, tapi ketika api cemburu membakarnya, maka ia hampir kehilangan akal sehatnya.

Maka kemudian dia pergi meninggalkan toko mainan itu, memasuki mobilnya dan kembali ke kantor dengan hati penuh gulana.

“Mengapa Miranti tak mau mengatakan apapun kalau Tejo telah kembali? Apakah sesungguhnya Miranti juga mencintai Tejo? O.. pantaslah ketika aku mengatakan bahwa aku melihat Tejo membuka bengkel maka Miranti begitu antusias untuk mengetahui dimana letak bengkelnya,” gumam Pramadi pilu..

“Padahal besok pagi janjian mau ketemu orang tua Miranti, jadi bagaimana? Atau aku batalkan saja?” Pramadi terus memikirkannya, dan tak bisa melakukan apa-apa sampai tiba dikantornya dan duduk didepan meja kerjanya.

***

Miranti menidurkan Abi sepulang dari membeli mainan, dan membiarkan Tejo berpamit setelahnya.

“Aku melakukannya supaya Abi lebih mengenal aku. Sedih rasanya kalau seorang anak tak mengenal bapaknya,” kata Tejo sebelum pulang.

“Ya, aku mengerti,” kata Miranti mengiringi kepergiannya.

Tapi Miranti tiba-tiba merasa kurang senang melihat cara Tejo menatap dirinya.  Tatapan yang menurutnya aneh, karena selama menjadi isterinya dulu tak pernah Tejo menatapnya seperti itu. Dan sekarangpun tatapan itu tak akan pernah diterimanya dengan senang hati.

“Mir, ada bungkusan belanjaan ibu terbawa oleh kamu?” tiba-tiba bu Kusumo mengejutkannya.

“Oh, apa itu bu?”

“Tadi kan aku membelikan kaos untuk bapakmu?”

“Oh, Miranti malah belum membongkar belanjaan bu, sebentar saya lihat dulu ya bu,” kata Miranti yang kemudian berdiri, menghampiri tas berisi belanjaan yang memang belum dibongkarnya.

“Tejo sudah pulang?”

“Sudah bu, langsung pulang setelah saya menidurkan Abi.”

“Oh, ya sudah, dia itu selalu buru-buru pulang karena takut ketemu sama bapaknya.”

“Memangnya kenapa bu?”

“Ibu belum tahu apakah bapakmu mau menerima Tejo atau belum. Takutnya nanti bapakmu masih marah dan menyemprot habis-habisan.”

“Masa selamanya ibu tak akan memberi tahu tentang pulangnya mas Tejo?”

“Iya, nanti pelan-pelan akan ibu beri tahu. Kalau ternyata bapakmu bisa menerima anaknya, nanti aku bilang sama Tejo.”

“Ini bu, kaos untuk bapak?” Miranti memberikan bungkusan kaos yang tadi dibeli bu Kusumo.

“Iya, ini.. semoga nanti bapakmu senang.”

“Pasti senang bu, warnanya bagus.”

“Ibu juga senang, Abi sudah mau dekat dengan bapaknya, bagaimanapun kan Abi itu anaknya, ya kan Mir?”

“Iya bu..”

“Sayang Tejo terlambat sadarnya, kalau tidak maka kalian pasti sudah menjadi keluarga yang utuh dan bahagia, meskipun agak berliku karena tidak bisa langsung meminang kamu sebelum kamu menikah lagi.”

Miranti tak menjawab. Seandainya Pram belum mengatakan bahwa dia akan melamar, pasti bu Kusumo sudah memintanya untuk rujuk. Tapi mana mungkin Miranti mau menerimanya? Hatinya sudah tertambat disana,  dihati pria ganteng yang memiliki mata teduh, dan senyuman hangat dan membuatnya nyaman. Dan yang penting masih sangat mencintainya walau dirinya sudah menjadi janda.

Tahukah Miranti, sipemilik mata teduh itu sa’at ini sedang terluka?

***

Malam mulai bergulir, Miranti menunggu dengan gelisah, bahkan sampai lewat tengah malam. Yang ditunggu hanyalah sebuah pesan singkat yang menyemarakkan hatinya dengan banyak cinta.

“Apa kabar bidadari.”

Dan kata itu tak juga tiba setelah berpuluh kali Miranti membuka ponselnya.

“Ada apa dengan Pram? Bukankan besok pagi akan bersama sama menemui bapak ibunya di kampung? Apakah dia tertidur karena lelah bekerja? Tak biasanya Pram membiarkan malamnya terlewat tanpa sapa manis yang selalu diucapkannya. Dan Miranti terlelap dengan ponsel masih digenggamnya, sampai pagi menjelang,

Miranti terbangun ketika sebuah suara nyaring memanggilnya..

“Buu.. buuu...”

“Oh, kamu sudah bangun nak? Ma’af ya, ibu tidur sampai larut.. “ kata Miranti sambil bangkit dan mendekati box anaknya.

“Mandi sekalian ya?”

“Buu.. buuu...” Abi masih merengek. Rupanya dia haus dan tak mau menahannya.

“Oh, mau minum dulu? Baiklah...”

Miranti menggantikan baju dan celana Abi yang basah kemudian terlebih dulu menyusuinya sebelum memandikannya. Dan sambil menyusui itu dibukanya ponselnya.. lalu dengan kecewa ia tak menemukan pesan apapun dari Pramadi. Miranti gelisah sepanjang pagi.

Ketika selesai sarapan, Miranti duduk diteras pavilyun sambil menunggui Abi yang berjalan-jalan dengan baby walkernya.

“Nanti kamu jadi disamperin Pram kan Mir?” tanya pak Kusumo sambil mendekati cucunya yang sedang bermain-main.

“Iya bapak, tapi kok sampai sekarang belum datang ya. Bahkan sejak kemarin dia tak mengabarkan apapun.”

“Mengapa kamu tidak menelponnya? Jangan-jangan dia sakit?”

“Belum bapak, nanti kalau sebentar lagi dia tidak datang Miranti akan menelponnya.”

“Iya, semoga saja tidak apa-apa. Abi... sudah jalan-jalannya, ayuk gendong yangkung.. kata pak Kusumo sambil mengangkat tubuh cucunya. Abi berteriak-teriak senang ketika pak Kusumo mengangkat-angkat tubuhnya keatas.

Miranti melihat jam tangannya, sudah jam sepuluh lewat. Ada apa dengan Pramadi ? Tak sabar menunggu Miranti menelponnya, tapi telponnya tidak aktif.

Miranti gelisah bukan main. Ia mendekati pak Kusumo yang masih menggendong Abi sambil jalan-jalan disekitar kebun.

“Bapak, bolehkah saya titip Abi sebentar saja?”

“Kamu mau kemana?”

“Kok Pram saya telpon nggak aktif, Saya khawatir ada apa-apa bapak, tak biasanya dia begini.”

“Oh ya, baiklah, biar Abi sama bapak. Sudah mam-mam kan?”

“Sudah bapak,” kata Miranti sambil masuk kedalam rumah, mengambil tas dan kunci mobil lalu bergegas pergi kerumah Pram.

Ketika mobil Miranti keluar, bu Kusumo menghampiri pak Kusumo.

“Kemana Miranti?”

“Sebetulnya dia menunggu Pram, katanya mau kerumah orang tuanya Miranti, tapi kok nggak datang-datang, ditilpun juga nggak bisa. Kata Miranti dari kemarin Pram tidak mengabari apa-apa. Jangan-jangan dia sakit.”

“Ooh.. jadi Miranti kerumahnya, sekarang?”

“Iya.”

“Pak, sebenarnya ibu mau ngomong.”

“Mau ngomong apa? Mau ikut kerumah bekas besanmu nanti?”

“Enggak pak, nggak enaklah kalau ikut. Itu lho pak, Tejo..”

“Kenapa lagi dia? Mengapa ibu masih memikirkannya?”

“Tejo sudah berubah.”

“Ah, dari dulu dia itu tukang bohong,” kata pak Kusumo tak acuh.

“Beberapa hari yang lalu dia datang kemari.”

“Oh ya?”

“Dia menangis dipangkuan ibu, meminta ma’af..”

“Pasti ada maunya kan?”

“Tidak pak, dia bilang sudah berpisah dari Anisa.”

“Bukankah itu sudah sering dia ucapkan? Dan nyatanya bagaimana ?”

“Kali ini benar pak.. dia menangis dan menceritakan semuanya. Dia menyesali semua perbuatannya.”

“Dan ibu percaya?”

“Pak, wong dia ngomongnya sambil nangis-nangis kok.”

“Lha ibu kok gampang sekali percaya sama air mata buaya.”

“Dia sudah dua kali datang kemari. Kemarin itu mengajak Abi jalan-jalan lalu membelikannya mainan.”

“Ibu kok sembrono ya, melepas Abi sama dia, nanti kalau dibawa lari bagaimana?”

“Tidak pak, wong perginya sama Miranti dan sama ibu..”

“Miranti juga mau diajak pergi?”

“Lha daripada Abi dibawa sendiri, lalu Miranti sama ibu ikut.”

Pak Kusumo diam, dia menunjukkan burung yang terbang dilangit.

“Lihat.. lihat.. itu burung banyak.. bagus kan?”

Dan Abi bertepuk tangan dengan celoteh yang menggemaskan.

Bu Kusumo menghela nafas sedih, rupanya suaminya tidak bisa dengan mudah mempercayai apa yang dikatakan Tejo. Berarti Tejo harus sabar menunggu.

***

Miranti sudah sampai dirumah Pramadi.  Pintunya tertutup, tapi seorang pembantu sedang membersihkan kebun.

“Pak.. “ sapa Miranti.

“Oh.. iya bu..”

“Pak Pramadi ada?”

“Oh, pak Pramadi lagi sakit..”

MIranti terkejut.

“Sakit? Dirumah kan?”

“Iya, tidur dikamarnya.”

“Bolehkah aku masuk?”

“Tapi.. pak Pramadi bilang, bahwa tidak boleh siapapun masuk.”

“Aku bukan orang lain. Masuk dan bilang bahwa bu Miranti datang.”

“Akan saya katakan dulu ya bu, mohon menunggu.”

Miranti mengangguk, lalu tanpa dipersilahkan, dia duduk dikursi teras. Prihatin mendengar Pramadi sakit.

“Sakit apakah, mengapa tidak mau mengabari kalau dia sakit?” batin Miranti.

Pembantu itu keluar dari pintu depan.

“Ibu, mohon ma’af, bapak tidak mau diganggu..”

“Apa?” kata Miranti dengan nada tinggi.

“Ma’af bu..”

“Kamu sudah bilang kalau yang datang namanya Miranti?”

“Sudah bu.”

“Bilang pada pak Pramadi, kalau aku tidak boleh masuk atau dia yang keluar menemui aku, maka aku akan tetap duduk disini dan tak akan pulang.”

“Oh.. baiklah, saya bilang dulu,” kata sang pembantu sambil masuk kedalam.

“Aneh ya .. biarpun itu aku, maka dia tidak mau keluar atau tidak mempersilahkan aku masuk? Pasti ada sesuatu, aku akan tetap nekat masuk kedalam. Bukankah tidak apa-apa masuk kedalam rumah bujangan apabila alasannya dia lagi sakit?”

Tapi pembantu itu lama sekali tak juga keluar. Miranti penasaran. Dia juga tak beranjak dari tempat duduknya.

“Ada apa ini.. tak biasanya Pram bersikap seperti ini. Baiklah, seperempat jam... setengah jam.. kalau dia tak mau keluar maka aku akan nekat masuk.” Gumamnya dengan perasaan kesal.

“Heran deh.. sakit tapi ngeselin..” omel Miranti lagi. Lalu dia melongok kedalam. Sepi, rupanya Pramadi ada didalam kamarnya. Dan kemana perginya pembantu itu, mengapa tiba-tiba dia juga menghilang?

Tapi tak lama kemudian pembantu itu keluar sambil membawa segelas jus jeruk.

“Silahkan diminum bu,” katanya sambil meletakkan jus itu dimeja.

Miranti melotot marah.

“Dengar ya pak, bawa kembali minuman ini, dan bilang sama pak Pram bahwa aku tak mau minum jus jeruk, maunya aku ketemu dia!”

Pembantu yang sudah setengah tua itu masuk kedalam dengan membawa jus jeruk yang tadi dibawanya, sambil mengomel panjang pendek.

“Hari ini bapak kok ya aneh-aneh, ada tamu cantik kok dipermainkan.”

“Ssst.. apa?” tiba-tiba terdengar bisik dari dalam kamar. Pembantu itu menoleh, dan melihat majikannya dari pintu yang sedikit terbuka.

“Ini tamunya nggak mau, maunya bapak yang keluar,” kata pembantunya dengan wajah cemberut.

“Eh.. bawa balik jusnya, mau tidak mau pokoknya taruh, Ya..”

“Waduh...” pembantu itu balik lagi kedepan, meletakkan jusnya kembali diatas meja.

“Pak, aku kan sudah bilang bahwa aku tidak mau?”

“Bapak menyuruhnya begitu, mau tidak mau disuruh menaruh saja dimeja,” kata pembantu itu dan pergi.

Pramadi keluar dari kamar, sambil menahan senyuman dibibirnya. Sebenarnya ia sedang mempermainkan Miranti, walau hatinya lega Miranti datang ketika dia tak mengabarinya apapun,

Ketika sampai diteras, Miranti sedang menyedot jusnya karena memang udara terasa panas, tapi tiba-tiba ia tersedak melihat siapa yang berdiri didepan pintu. Seorang laki-laki ganteng dengan kumis dibibirnya.

Miranti terus terbatuk-batuk, dan lelaki itu mendekat dan menepuk-nepuk tengkuknya.

“Pelan-pelan dong minumnya,” katanya lembut.

“Jahat..jahat..jahat!!” Pekik Miranti ketika batuknya sudah mereda.

Pramadi tertawa keras. Dan Miranti cemberut.

“Nggak lucu !!”

“Biasanya kamu baru ada orang ngomong tentang kumis saja sudah terpingkal-pingkal. Kok sekarang melihat aku pakai kumis malah marah sih.”

Aku marahnya bukan karena kumis itu.

“Oh, baiklah, aku pakai terus saja kumisnya.”

“Pram, jangan bercanda. Katakan kenapa kamu melakukan semua ini?”

“Masih nanya lagi, harusnya aku bertanya sama kamu, mengapa kemarin kamu pergi berduaan sama Tejo.”

“Aku? Berduaan sama Tejo? Ya enggaklah...”

“Eeh.. mau mungkir.. Aku kemarin melihat Abi digendong Tejo, aku hampir mengira dia menculik Abi, tapi Tejo mengatakan bahwa dia bersama kamu juga, lagi belanja.”

“Ya ampuuun... cemburu nih rupanya..”

“Cemburu lah.. aku baru mau beli pesawat terbang buat Abi, ee.. pesawat terbang itu dibeli oleh dia, diberikan Abi. Aku hampir mengamuk ditoko itu.”

“Pengin lihat tuh, gimana ya kalau kamu mengamuk..”

“Beneran nih, aku cemburu. Pagi ini baru mau kerumah bapak ibu kamu, berat rasanya, karena  kemarin melihat kamu berduaan sama mantan, lalu aku memilih tidur dirumah.”

“Hm, gitu ya polahnya orang kalau lagi cemburu.. semalam ditunggu nggak ada WA, pagi tadi ditelpon tidak diangkat.. lalu pura-pura sakit, lalu bilang tidak menerima tamu.. lalu nekat menyuguhkan jus jeruk yang sebelumnya aku tidak mau,” Miranti mengomel sambil cemberut.

“Tapi kan kamu kemudian meminumnya, lalu tersedak-sedak melihat aku keluar.”

Tanpa diduga Miranti kemudian tertawa.

“Lepasin kumisnya, jelek ah..”

Pramadi melepaskan kumisnya.

“Lalu mengapa sekarang kamu mau keluar menemui aku?”

“Lhah, ancaman kamu kan tidak akan pulang kalau aku tidak mau menemui kamu. Ya habislah aku dikira menyembunyikan anak orang.”

“Lalu bagaimana rencana kamu untuk menemui orang tua aku? Batal karena cemburu itu?”

“Siapa sih yang tidak cemburu, orang yang dicintainya pergi berduaan sama mantan..”

“Aku tuh tidak berduaan tahu. Ada ibu bersama aku.”

Pramadi menatap tak percaya.

“Sungguh, coba saja tanya sama ibu,”

“Tumben Tejo berani pulang, bu Kusumo tidak marah?”

“Dua hari yang lalu dia datang menemui ibu, nangis-nangis dan minta ma’af. Katanya dia sudah pisah sama Anisa. Dan dia tak memiliki apa-apa. Tapi ketika ibu menyuruhnya pulang dia tidak mau. Dia memilih hidup dari bengkel yang dibukanya bersama temannya.”

“Tempatnya pindah kemana?”

“Aku nggak nanya, entahlah. Lalu kemarin itu dia datang lagi, minta untuk mengajak Abi jalan-jalan, ya aku nggak ijinkan lah, lalu ibu ikut, aku jadi sungkan menolak. Gitu ceritanya. Ayo, sekarang nggak boleh cemburu lagi, jadi kerumah bapak tidak?”

“Jadilah, aku tanpa kumis nih?” Pram masih menggoda, padahal hatinya berbunga-bunga.

“Jeleeeekkkk!!”

Pram masuk kerumah sambil melepas kumisnya.

Tiba-tiba ponsel Miranti berdering.

***

Besok lagi ya

 

Previous Post Next Post