SANG PUTRI 18

   SANG PUTRI  18

(Tien Kumalasari)

 

“Berhenti disitu, aku mau bicara !” kata Handoko tandas, tapi Palupi masuk kedalam kamarnya sambil membanting pintu.

Handoko menghela nafas.

“Ma’af bapak, bukan maksud saya untuk....”

“Tidak, mengapa kamu meminta ma’af? Lihat tanganmu.”

Suprih melihat darah mengucur dari jari Mirah, dan merasa ngeri.

“Aduh nak, kok sampai begitu.”

“Menggenggam kain pel terlalu keras, nggak tahu ada pesahan gelas bu.”

“Yu Suprih, tolong itu dibersihkan dulu ya..”

“Baik pak.”

“Tapi hati-hati, siapa tahu masih ada kaca yang tersisa, jangan sampai ikut terluka seperti ini.”

“Baik bapak.”

Mirah meringis ketika Handoko membersihkan lukanya. Ia duduk bersimpuh dihadapan tuan gantengnya.

“Sakit?”

“Tidak bapak, sudah, saya bisa sendiri,” kata Mirah yang merasa nggak enak tuan gantengnya mengobati lukanya.

“Mana mungkin sebelah tangan kamu bisa membalut luka dijari kamu sendiri? Sudah, diam.”

“Yu Mirah ada apa?”  tiba-tiba Bintang lari mendekat.

“Eit, Bintang, awas ada pecahan gelas disitu. Ayo disini saja, naik keatas kursi, biar bu Suprih membersihkannya.

Bintang naik keatas kursi disamping bapaknya.

“Yu Mirah tangannya kenapa? Ada darahnya bapak?”

“Yu Mirah tangannya terluka, terkena pecahan gelas.”

Handoko selesai membalut luka Mirah, lalu menatap wajah cantik yang tampak pucat.

“Jangan mengerjakan apapun dulu. Istirahat saja,” katanya lembut.  Mirah tergetar mendengarnya. Perhatian itu sangat menyentuh perasaannya.

“Bagaimana bisa pecah?”

“Saya.. saya.. kurang hati-hati.. bapak,” jawabnya kemudian berdiri. Mana mungkin Mirah mau mengatakan bahwa itu ulah ndara putrinya?

“Biar saya yang mengerjakan semuanya nak Mirah, istirahat saja dulu,” kata Suprih yang sudah selesai membersihkan lantai.

“Ah, bu Suprih.. cuma luka seperti ini saja..”

“Kamu bandel ya Rah,” omel Handoko. Mirah meninggalkan senyuman, lalu pergi kearah dapur.

“Yu Miraaah...” Bintang mengejarnya.

“Ya mas Bintang.”

“Lihat.. mana yang sakit?”

“Ini, sudah nggak sakit kok. Mas Bintang mau apa? Minum susu sekarang?”

“Tidak.. Sudah tidak sakit? Masih merah..”

“Hanya bekasnya, sudah.. yu Mirah tidak apa-apa.  Main sana lagi, yu Mirah mau ke dapur dulu.”

Bintang masih memegangi tangan Mirah. Barangkali ia merasa kasihan, tapi tak bisa mengungkapkannya.

“Sudah, main lagi sana, “ kata Mirah sambil mencium kepala Bintang. Bintangpun berlari kekamarnya.

“Sudah nak, biar saya yang menata makan siangnya. Istirahat sajalah,” kata Suprih.

“Cuma luka begini saja bu, baiklah tapi saya bantu.”

“Tadi darahnya keluar sangat banyak, pasti sakit.”

“Tidak bu, salah saya sendiri, saya kurang hati-hati. Oh iya, saya lupa, tadi ibu minta segelas jus jeruk, tolong antarkan saja ke kamarnya bu.”

“Oh, baiklah.”

Mirah memiliki hati begitu bersih, sudah disakiti jiwa bahkan raganya, tapi masih tetap memperhatikannya. 

***

“Lupi, aku ingin bicara,” kata Handoko keras dari luar kamar Palupi.

Tapi tak ada jawaban.

“Lupi !”

Handoko berteriak semakin keras. Ia sudah hampir mendobrak pintunya ketika Palupi menjawab ketus.

“Aku tidak ingin bicara.”

“Benar? Itu pilihan kamu?”

Tak ada jawaban.

“Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tak ingin membukanya.”

Palupi membuka pintunya, Handoko menerobos masuk.

“Ada apa?”

“Kamu berfikir tentang apa?”

“Kamu mau bicara so’al apa?”

“Rumah tangga ini, sudah bukan seperti sebuah rumah tangga. Kacau. Sekarang aku ingin bertanya sama kamu. Apa kamu ingin memperbaikinya?”

“Aku yang bertanya sama kamu, apa kamu mau memperbaikinya?”

“Kamu tidak menyadari bahwa kelakuan kamu sama sekali tidak benar. Kamu tidak melakukan apa yang menjadi kewajiban kamu sebagai seorang ibu rumah tangga.”

“Apa mau kamu?”

“Kalau kamu ingin agar keluarga ini utuh, lakukan kewajiban kamu. Patuhi permintaan aku lakukan apa yang menjadi kewajiban kamu.”

“Aku tidak mau dikalahkan sama begundal itu.”

“Berhenti menyebutnya begundal!!” hardik Handoko.

“Itu... itu yang membuat dia besar kepala, lalu berusaha mengalahkan aku.”

“Aduuh.. ternyata kamu tidak mengerti juga ya.”

“Aku sangat mengerti bahwa aku selalu dianggap salah dan buruk dirumah ini.”

“Jadi kamu merasa sudah melakukan semuanya dengan benar? Memperhatikan keluarga ini?”

“Jangan samakan aku sama begund... sama dia.”

“Kamu tidak ingin disamakan, lalu kamu memfitnah dia dengan keji.”

“Apa?”

" Memfitnah.”

“Bohong !”

“Itu salah satu sifat burukmu yang aku tidak suka. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika kamu mengambil uang itu lalu kamu memasukkannya kedalam almari Mirah. Jawab ‘tidak’... sekarang.. katakan ‘tidak’ !” kata Handoko keras.

Palupi diam, dia semakin terjepit. Kesal disalahkan dan sekarang menjadi tersangka. Dan dengan wataknya yang tak mau disalahkan, dia memilih pergi, diambilnya tas, lalu memakai sepatu dan melangkah keluar dengan cepat.

“Baiklah, dengan begitu kamu telah memilih jalan yang harus kamu tempuh.” Teriak Handoko keras.

“Ini sudah kesekian kalinya aku mengajak kamu bicara dan semuanya kandas,” teriaknya lagi dengan rasa putus asa.

Palupi terus melangkah keluar. Mengangkat ponsel untuk memanggil taksi.

Handoko menarik nafas pilu.

“Jadi aku tak bisa mempertahankan rumah tangga ini?” bisiknya sedih.

Ketika keluar dari kamar Palupi, Handoko tak lagi melihat bayangannya. Seperti sebuah angan-angan yang hilang begitu saja.

“Aku sudah berusaha untuk bicara, tapi dia hanya merasa selalu disalahkan, aku tak mengerti jalan pikirannya, sungguh aku tak mengerti..” gumamnya sambil melangkah kearah kamar.

“Bapak belum makan,” sebuah sapa lembut terdengar, Handoko menghentikan langkahnya. Dilihatnya Mirah berdiri termangu didekatnya. Mata beningnya menatap penuh iba.

“Bintang belum makan?”

“Sudah menunggu dimeja makan, bapak,” kata Mirah pelan. Tampaknya dia mendengar teriakan tuan gantengnya, dan Mirah merasa sangat prihatin.

Handoko memutar langkahnya, menuju ke ruang makan. Ia tak ingin mengecewakan Bintang yang sudah menunggu.

“Makan bapak,” sapa Bintang sambil memain-mainkan sendoknya.

“Iya Bintang,” jawab Handoko sambil duduk.

“Bukankah ini obat yang tadi bapak beli?” tanya Mirah sambil membawa bungkusan obat.

“Iya benar, tukang taksi membelikannya supaya aku tidak usah naik turun mobil. Tolong dibuka, apa ada yang aku harus meminumnya siang ini.”

Mirah membuka bungkusan dan membaca etiketnya.

“Ini bapak, harus dimakan tiga kali, berarti sekarang bapak minum satu, yang ini hanya untuk siang.”

“Terimakasih Mirah.”

“Saya siapkan dulu di cawan, bapak.”

“Jarimu masih terasa nyeri?”

“Tidak bapak. Ini obat untuk bapak yang diminum siang.”

“Aku boleh latihan berjalan sedikit-sedikit,”

“Syukurlah.”

“Horeee... bapak boleh berjalan..” teriak Bintang.

“Belum Bintang, masih latihan. Latihan itu, seperti belajar berjalan, gitu..”

“Pelan-pelan ?”

“Iya.. pelan-pelan.”

***

Danang terkejut ketika tiba-tiba Palupi muncul dikantornya. Begitu datang lalu menubruknya dan menangis terisak-isak.

“Eeh.. tunggu mbak.. tunggu.. ada apa ini?”

“Danaaaang... aku mau mati saja...”

“Lhah... mau mati? Kenapa kalau mau mati bilangnya sama saya? Apa saya ini dewa pencabut nyawa?” Danang masih bercanda.

“Danaaang... tolong aku Danang...”

“Ada apa sih mbak? Aduuh.. mengapa pula ini?”

“Aku ini.. setiap hari hanya dimarahi terus sama kangmasmu.. aku sedih Danang,” katanya setelah duduk didepan Danang.

“Kalau orang dimarahi itu kan pasti karena mbak punya salah. Kalau nggak salah masa mau dimarahi sih?”

“Aku ini memang biangnya salah. Tak ada yang benar untuk aku..”

“Kalau mbak Lupi merasa benar ya bilang saja sama mas Handoko, bahwa mbak Lupi sudah melakukan hal yang benar. Atau kalau dianggap salah, tanyakan dimana letak kesalahan mbak.”

“Semuanya salah.. semuanya salah.. Danang, aku itu dianggap tidak pernah benar.”

“Padahal mbak Lupi sudah merasa benar? Ya protes dong.. jangan mau disalahin kalau memang sudah melakukan hal yang benar.”

“Danang, kamu membuat aku bingung..”

“Begini saja mbak, mbak harus bisa mendekati mas Handoko lagi.”

“Mendekati bagaimana? Aku kalau dekat hanya kena omelan yang sangat menyakitkan.”

“Kalau memang ingin baik, dengarkan saja omelan itu, lalu dirangkul dia, dicumbu dia, dan mintalah ma’af.. pasti semuanya akan menjadi baik.”

“Apa katamu? Aku, mendekati, merangkul, mencumbu, meminta ma’af?”

“Kalau mbak Lupi ingin semuanya menjadi baik, damai, lakukan itu.”

“Ogah lah.”

“Kalau begitu ya sudah. Terima saja apa adanya, jangan mengeluh, jangan menangis, jangan ingin bunuh diri.”

“Kali ini kamu tidak menghibur aku, Danang.”

“Tidak mbak, aku bukan taman hiburan..”

“Danang !!”

 “Aku juga manusia biasa, dan melihat keadaan mbak Lupi seperti itu, rasanya aku ingin bicara begitu.”

Lalu ponsel Danang berdering.

“Ya ibu, iya.. Danang ingat, pulang sebentar lagi, iya bu, ini sudah selesai, baiklah bu.”

“Dari ibu?”

“Ibu meminta aku pulang, untuk makan. Sekarang sa’at makan aku harus benar-benar pulang, kalau tidak, ibu akan marah.”

“Nang, ayo makan bersama aku saja.”

“Ma’af mbak, aku tidak mau mengecewakan ibu,” kata Danang sambil mengemasi surat-surat yang tadinya terserak dimeja, merapikannya kemudian berdiri.

“Danang.. kamu benar-benar tega?”

“Ini cuma masalah makan siang, kalau mbak Lupi mau, ayo pulang dan makan dirumah, masakan simbok itu enak sekali lho. Barangkali ibu akan senang kalau mbak Lupi ikut makan.”

“Nggak mungkin, ibu juga benci sama aku.”

Danang melangkah kearah pintu, Palupi terpaksa berdiri, mengikutinya dari belakang.

“mBak Lupi mau kemana? Sekalian bareng, nanti aku turunkan dimana mbak Lupi mau.”

“Tidak, aku ditunggu taksi,” katanya setengah menangis, lalu berjalan mendahului Danang dengan kesal.

“Yaah, mau bagaimana lagi? Kata ibu aku harus menjaga jarak dengan kakak iparku itu. Memang benar sih, agak kesal juga mendengar keluhan-keluhannya. Sementara aku coba menasehati tapi tidak digubrisnya. Lalu maunya apa?” Danang mengomel dalam hati

***

Handoko duduk diteras dengan termangu. Ia merasa tak mampu lagi mempertahankan rumah tangganya. Ia sudah berusaha, bukan hanya sekali dua kali, tapi pembicaraan itu tidak pernah menemukan hasil. Palupi selalu salah menangkap apa yang dikatakannya. Intinya adalah bahwa Palupi sudah tidak lagi bisa diajak bicara.

Handoko mengambil ponselnya, lalu memanggil taksi. Ia ingin bertemu ibunya dan mengadu apa yang menjadi beban hidupnya.

Ia hanya berteriak memanggil Mirah ketika taksi sudah datang.

“Bapak mau kemana?” tanya Mirah yang berlari-lari kedepan dan heran melihat taksi sudah ada dihalaman.

“Aku kerumah ibu sebentar, jaga Bintang,” hanya itu yang dikatakan Handoko sambil mendekati taksi itu. Mirah mengantarkan dan membantu Handoko menaikinya.

Ia juga tak berani bertanya banyak tentang kepergian Handoko yang tiba-tiba.

***

Bu Ismoyo heran melihat Handoko datang sendirian.

“Kok sendiri le? Mana Bintang?”

Handoko tertatih mendekati ibunya, lalu merangkulnya sambil menangis.

“Handoko, ada apa ini? Jangan membuat ibu takut le..” kata bu Ismoyo cemas. Dielusnya punggung Handoko ketika mendengar isak perlahan dari mulutnya.

“Ayo duduk dulu, ada apa?”

“Ibu, ma’afkanlah Handoko..”

“Mamangnya ada apa, kamu tidak berbuat salah sama ibu.”

“Saya tidak bisa mempertahankan rumah tangga saya lagi bu,” isaknya.

“Ayo duduklah disini,  ayo.. duduk dulu dan katakan semuanya,” kata bu Ismoyo sambil menuntun Handoko agar duduk.

“Sejak kamu menjadi besar, dan tumbuh menjadi anak ibu yang dewasa, ibu tak pernah mendengaar kamu menangis. Ini sungguh aneh, dan pasti terjadi sesuatu yang luar biasa.”

“Ma’afkan saya ibu..”

“Apa yang terjadi?”

“Saya tidak bisa mengendalikan Palupi bu, saya sudah putus asa.. saya harus mengambil keputusan, saya harap ibu tidak kecewa,” kata Handoko sedih.

Bu Ismoyo diam. Ia sudah sering mendengar tentang perilaku menantunya. Ia juga pernah merasa sakit hati ketika sedang mengajaknya bicara lalu tiba-tiba Palupi menutupnya. Tapi bukan perceraian ini yang sesungguhnya diinginkannya. Bu Ismoyo masih berharap akan ada jalan terbaik untuk anak dan menantunya. Tapi tampaknya semua sudah sampai dipuncaknya. Keluhan Handoko, rintihan dan tangisnya yang menyayat, membuat bu Ismoyo juga luluh dalam belas kasihan yang dalam. Dielusnya kepala Handoko dengan air mata berlinang.

“Kalau memang itu yang terbaik untuk hidup kamu, ibu mendukungmu.”

Lalu Handoko merosot turun dari kursinya dengan menyelonjorkan sebelah kakinya yang sakit dan menekuk yang satunya lagi, kemudian merebahkan kepalanya dipangkuan sang ibu.

***

Palupi sebenarnya tidak ditungguin taksi, dia keluar dari kantornya Danang, berjalan tak tentu arah. Hatinya yang bebal tak bisa menerima kesalahan yang ditimpakan kepadanya. Ia ingin selalu benar, dipuji dan dipuja. Ia harus menang dan tak mau dikalahkan. Ia merasa terpuruk dalam dunia gelap yang tak dimengertinya. Ia ingin tenang tapi ia salah melangkah, dan itu tak disadarinya.

Palupi terus berjalan, hiruk pikuk jalanan tak dihiraukannya. Terkadang air mata meleleh dipipinya, kemudian diusapnya dengan ujung lengan bajunya.

Ia merasa rumah tangganya sudah sampai pada suatu titik, yaitu kehancuran. Ia tak tahu bagaimana cara membangunnya. Ia begitu sombong dan angkuh.

Palupi terus melangkah, menyibakkan kerumunan orang disebuah pasar. Rupanya ada penjual jamu yang dengan sebuah pengeras suara menawarkan dagangannya.

Palupi tak peduli apa yang ditawarkan. Ia juga tak peduli mengapa banyak orang tertarik mendengar tawaran yang tentu saja dibuat sangat apik dan menarik.

Palupi ingin menyeberang sebuah jalan, ketika tiba-tiba seorang anak memeluk kakinya.

“Ibu.... ibu...”

Palupi terkejut.

“Ibu.. aku mau gendong ibu.. gendong..” rengek anak kecil itu.

Palupi menatap bocah kecil berkulit bersih dan bermata bening itu dengan seksama. Ia melihat air mata membasahi pipinya.

“Ibuuuu...”

Tiba-tiba Palupi teringat anak semata wayangnya, luluh ia melihat air mata bercucuran itu. Serta merta digendongnya si anak, yang kemudian memeluk lehernya erat.

Tak sadar Palupi mengelus punggung anak itu, yang kemudian terdiam dari tangisnya.

Ada rasa hangat merayapi hati Palupi.

***

Besok lagi ya

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15