ADA YANG MASIH TERSISA 14

ADA YANG MASIH TERSISA  14

(Tien Kumalasari)

 

Miranti membalikkan tubuhnya, dan Tejo melangkah keluar dari ruang makan.. Ketika lewat disamping Miranti, Tejo berhenti.

“Tadi aku menghapus wajahnya, entah berlepotan sabun atau apa..,” kemudian dia berlalu.

Miranti tak ingin menjawabnya. Ia tak peduli apa yang dilakukan Tejo, dan tak butuh penjelasan dari Tejo,  tapi ia curiga, Ana bersikap genit pada Tejo, dan  itu membuat kesenangannya pada Ana berkurang. Bukan karena cemburu, tapi perilaku yang tidak terpuji menurunkan rasa simpati Miranti kepada Ana.

Begitu Tejo pergi, Ana mendekati Miranti.

“Bu, tadi itu saya tidak sengaja, wajah belepotan bekas sabun, lalu bapak membersihkannya,” kata Ana yang tampak sedikit takut.

“Tidak apa-apa Ana, tapi kalau mau aku beri saran, sebagai seorang gadis kamu harus bisa menjaga martabat dan harga diri kamu. Membiarkan sebagian kecil tubuh kamu dijamah oleh lelaki, apalagi yang baru saja kamu kenal, sungguh perbuatan yang tidak pantas.”

“Ma’af bu, sungguh saya tidak bermaksud membuat ibu cemburu.”

Miranti menatap Ana dengan pandangan tak senang.

“Cemburu? Kamu kira aku cemburu? Tidak, aku hanya ingin mengingatkan kamu, sebagai sama-sama wanita.”

“Terimakasih bu,” kata Ana sambil  berlalu, lalu membersihkan piring bekas makan Tejo. Awal langkah Ana yang membuat Miranti tertarik, yaitu tampak rajin dan cekatan, tapi setitik kesalahan yang dilihatnya, membuat rasa tertarik itu ternoda.

“Baiklah, asalkan dia mau mendengarkan kata-kataku saja. Memang sih Tejo itu nggak jelek, perempuan yang suka pasti juga banyak, dan tidak aneh juga kalau Ana yang masih gadis juga merasa ‘suka’. Tapi rasa suka bagi wanita itu kan dibatasi oleh banyak hal yang tidak pantas dilompatinya. “ gumam Miranti  dalam hati, kemudian pergi ke ruang makan, dan makan sendirian.

“Ana, kalau kamu mau makan, ambil saja sendiri.”

“Baiklah bu, setelah itu bolehkah saya beristirahat?”

“Tentu saja, manusia bukan mesin yang bisa terus bergerak. Kamu harus istirahat juga.”

“Terimakasih bu.”

***

Tetapi didalam kamar Ana mengeluh sendiri.

“Huh, ini ide gila, aku benar-benar harus jadi pembantu? Capek deh,” keluhnya pelan sambil membaringkan tubuhnya. Diraihnya ponselnya ketika sebuah panggilan kemudian terdengar.

“Ada apa mas?” lirih suara Ana, takut Miranti mendengarkan dari luar kamarnya.

“Bagaimana tadi? Miranti melihat ketika aku menyentuh pipi kamu, apa dia marah sama kamu?”

“Tidak, dan tidak ada rasa cemburu tampak dimatanya.”

“Benarkah?”

“Tapi kamu harus lebih berhati-hati mas, kalau tidak maka akan gagallah semua rencana kita. Belum apa-apa aku sudah dipecat.”

“Kamu harus bersabar dan bisa menahan diri.”

“Bukankah mas yang mulai? Tapi aku capek mas.. pijitin dong.”

“Iya, jangan khawatir, nanti malam pasti aku pijitin.”

“Benar ya.”

“Bener lah, kamu berada disini kan supaya setiap hari bisa bertemu aku tanpa ada yang curiga. Miranti memang belum pernah ketemu kamu, tapi bapak sama ibuku kan pernah, jadi berhati-hatilah kalau ada bapak sama ibuku.”

“Penampilanku sudah berbeda mas, jangan khawatir.”

“Lagi ngapain kamu?”

“Tiduran dikamar lah, aku capek.”

“Ya sudah, istirahat saja dulu.”

“Lain kali jangan sembarangan menyentuh tubuhku kalau ada isteri kamu.”

“Iya, tadi aku tak tahan saja, dan saking gembiranya melihat kamu sudah ada dirumah aku.”

“Ana..” suara dari luar mengejutkannya. Ana segera menutup ponselnya.

Lalu dia membuka pintu kamarnya.

“Kamu lagi telponan sama siapa?”

“Sama.. ibu saya di kampung bu, tapi sudah selesai.”

“Aku cuma mau tanya, kamu tadi menyalakan kompor?”

“Iya, sudah sa’at masak tadi..”

“Kamu lupa mematikannya.”

“Oh, ma’af...” kata Ana sambil keluar dari kamar.

“Sudah aku matikan. Aku hanya ingin mengingatkan kamu agar lain kali berhati-hati kalau menyalakan kompor. Tengok sekali lagi sebelum kamu istirahat, barangkali kelupaan belum mematikannya.”

“Baiklah bu.”

Miranti berlalu dan Ana kembali masuk kekamar dengan bersungut-sungut.

“Ternyata isterinya mas Tejo itu cerewet, bawel.. kaya nenek-nenek," gerutunya kesal.

***

Miranti duduk di teras sambil mengipas-ngipas tubuhnya. Biarpun habis mandi, hawa masih terasa panas, apalagi bagi wanita yang sedang hamil tua. Pram mengawasinya dari dalam mobil. Lalu tak tahan untuk berdiam diri, dia mendekatinya.

“Apakah ibu ingin pergi hari ini?” tanya Pram dengan gaya membungkuk dan Miranti tersenyum karena tampak lucu.

“Pergi nggak ya, bagaimana kalau belanja saja..?”

“Silahkan ibu, saya siap mengantar ibu kemanapun.”

“Hiiiih...” Miranti terlihat gemas melihat sikap Pram. Ia masuk kedalam untuk mengambil tasnya dan berpamit sekilas pada Ana. Tapi tak ada jawaban. Mungkin sudah tertidur. Miranti memilih membiarkannya lalu mengunci pintu dan pergi bersama Pram.

“Kok wajahnya gelap sih..”

“Aku agak merasa aneh sama Ana..”

“Aneh ?”

“Nggak tahu aku, apa dia kegenitan.. atau apa? Baru sehari disini.. Tejo sudah berani menyentuh pipi Ana, dan Ana nya cuma senyum-senyum gitu..”

“Haa.. Tejo menyentuh pipi Ana? Kamu pasti cemburu dong.”

“Eh, mana mungkin aku cemburu?”

“Lha itu.. marah tampaknya..”

“Bukan marah karena cemburu. Heran saja sama Ana, mungkin dia kegenitan.. dan Tejo juga laki-laki yang mudah tergoda. Ah entahlah, aku tiba-tiba merasa kurang suka sama Ana. Masa baru pertama kali ketemu, disentuh pipinya malah senyum-senyum.”

“Harusnya bagaimana?”

“Marah dong, kalau aku .. langsung aku tampar wajahnya. Laki-laki kurangajar itu.”

“Wah, sadis..”

“Aku tidak perduli apa yang dilakukan Tejo, tapi aku nggak suka melihat perempuan bersikap begitu, dirumahku pula.”

“Aku kan sudah bilang, hati-hati menerima orang.”

“Awalnya baik-baik saja.”

“Ya sudah, kita lihat saja apa dia memang perempuan begitu. Kalau memang keterusan pecat saja.”

“Iya, maksudku juga begitu. Eh ya Pram, boleh aku yang pegang setir?”

“Oh, kamu bisa? Perut kamu besar dan jalanan rame lhoh.”

“Masuk ke jalan sepi saja.”

“Nggak jadi belanja?”

“Jadi sih, tapi aku pengin nyobain, sudah lama nggak pegang setir, masih bisa nggak ya?”

“Baiklah, sebentar, aku cari jalan sepi dulu ya.. kalau sudah bisa menguasai, keluar ke jalan  besar nggak apa-apa.”

“Baiklah.”

Miranti mencoba dan ternyata hanya beberapa sa’at kemudian.. terbukti ia  bisa mengemudi dengan lincah.

“Waah, masih hebat nih. Mau ke jalan besar? Tapi sebentar saja, aku khawatir perutmu terganggu tuh.”

“Ya, kejalan besar sebentar ya. Kalau ramai nggak tahu nih bisa menguasai apa tidak.”

Lalu Miranti membawa mobilnya kejalan besar.

“Lumayan nih... tapi sudah aja ya, anakku marah nih, perutku ditendang-tendang,” kata Miranti sambil menghentikan mobilnya.

Pram membantu Miranti turun, karena mendengar Miranti mengeluhkan perutnya.

“Nggak apa-apa?”

“Nggak, biasa begini kok. Tapi udah aja nyetirnya. Gantian kamu.”

“Baiklah ibu.”

“Oh ya Pram, nanti sore maukah kamu pulang agak sorean?”

“Ya, nggak apa-apa, harus mengantar kamu kemana?”

“Aku harus periksa kehamilan, aku lupa, harusnya kemarin.”

“Baiklah, tidak apa-apa. Aku siap kapanpun kamu inginkan.

***

Tapi Miranti agak sedikit cemas, ketika dokter mengatakan bahwa bayinya sungsang. Bukan kepalanya yang ada dibawah tapi pantatnya. Padahal sudah sa’atnya bayi itu akan lahir.

“Memangnya kenapa kalau bukan kepalanya yang ada dibawah?”

“Dokter mengatakan bahwa kemungkinan tidak bisa lahir normal.”

“Jadi... harus operasi ?”

“Ya, mau tidak mau harus caesar.”

“Apakah itu buruk?”

“Tidak juga, hanya aku tidak merasakan sakitnya wanita melahirkan.”

“Tidak apa-apa, kalau memang harus begitu.”

“Iya, benar, dokter tadi juga mengatakan bahwa aku tidak usah merasa takut.”

“Ya, semua akan baik-baik saja. Aku akan tetap menemani kamu, walau hanya boleh menunggu diparkiran.”

“Kok diparkiran?”

“Iya lah, aku kan sopir, kalau ada suami kamu, mertua kamu, apalagi orang tua kamu, masa aku harus dekat-dekat sama kamu?”

“Ah, iya.. “

“Sudahlah, jangan difikirkan, semoga semua baik-baik saja.”

“Aamiin.”

***

Hari-hari berikutnya tak ada yang mencurigakan. Ana bersikap biasa dan tak pernah dekat-dekat dengan Tejo. Barangkali Ana mencermati apa yang dikatakan Miranti agar dia bisa menjaga kewanitaannya dengan baik apalagi didepan laki-laki yang belum lama dikenalnya.

Tapi ada yang membuat heran Miranti, Tejo tak lagi pernah keluyuran malam. Menurut Miranti mungkin Tejo sudah lebih sadar akan kesalahannya, tapi sikapnya terhadap Miranti masih sama saja. Kaku dan jarang sekali bicara. Miranti yang sudah terbiasa juga tak peduli akan semua itu. Tapi Miranti tak sadar, bahwa sa’at lewat tengah malam, terdengar burung berkicau dikamar lain. Ada desah-desah yang tidak wajar, yang pada suatu sa’at Miranti mengira Ana sedang mengigau.

***

“Anakmu sungsang Mir?”

“Iya bu, kata dokter begitu.”

“Coba sering-sering menungging Mir.”

“Menungging bagaimana bu?”

“Kamu tengkurap, kedua bahu letakkan dibawah, letak pinggul harus diatas. Tidak terlalu lama, sepuluh menit saja cukup, diulang setiap bangun tidur Mir, terkadang letak bayi bisa berbalik. Itu resep orang kuno.”

“Oh, baiklah, akan Miranti coba bu.”

“Tapi keadaannya baik-baik saja kan ?”

“Bayinya sehat, cuma ya itu, kok kepalanya nggak mau turun kebawah.”

“Tidak apa-apa. Kalau jaman dulu banyak kasus bayi lahir pantatnya dulu, kepalanya belakangan. Tapi sekarang dokter tak mau ambil resiko. Lebih suka operasi caesar.”

“Tidak apa-apa kan bu?”

“Tidak apa-apa, selalu mohonlah keselamatan dan kelancaran untuk diri kamu dan bayi kamu. Ibu juga selalu mendo’akan.”

“Iya ibu, terimakasih banyak.”

“Bagaimana Ana, apa kamu suka pekerjaannya?”

“Suka bu, nggak apa-apa.” Jawab Miranti tanpa mengatakan apa-apa.

“Syukurlah, semoga bisa meringankan beban kamu nanti.”

“Iya bu.”

“Nanti kalau kamu sudah merasa mau melahirkan, suami kamu harus segera dikabari.”

Miranti tak menjawab, hanya mengangguk.

“Terutama akan mengabari ibu dulu,” jawab Miranti.

“Iya, baiklah.”

***

Siang itu Miranti akan menyiapkan baju perlengkapan bayi dan kain-kain yang diperlukan ketika mau melahirkan.

“Ana..” tak terdengar jawaban, Miranti melangkah kebelakang. Didepan kamar Ana, Miranti berhenti.

“Ana..”

Miranti mendorong pintu kamar Ana yang ternyata tidak terkunci, dan Miranti geleng-geleng kepala melihat Ana tertidur pulas. Padahal belum lama dia membersihkan meja makan lalu makan untuk dirinya sendiri. Ternyata begitu selesai makan dia sudah tidur dengan pulasnya.

Miranti menutup kamar Ana dan kembali masuk kekamarnya sendiri.

Ia mendongak keatas kearah kopor yang terletak disana. Ia ingin meminta tolong Pramadi tapi diurungkannya. Ia merasa tak enak meminta Pram masuk kekamarnya.

Hanya sekali ketika  membawa masuk box bayi, tapi kali ini ia tak ingin melakukannya.

Miranti mencari sebuah kursi, lalu diletakkannya didepan almari itu. Ia mencoba naik dengan hati berdebar-debar. Ragu-ragu diantara berani dan takut jatuh.

Tapi kemudian diurungkannya. Miranti menumpuk baju-baju bayi dan kain diatas kasurnya. Mengambil handuk, sabun dan sikat gigi untuk dirinya sendiri. Lalu kembali termangu sambil menatap keatas almari.

Miranti kembali kebelakang, mencoba membangunkan Ana.

“Ana..”

Ana tak bergeming. Tidurnya benar-benar lelap, terdengar dengkur halus memenuhi ruangan kamar itu.

“Ana..” sekali lagi dia memanggil dan tetap tak ada tanda-tanda Ana terbangun.

Lalu dengan kesal Miranti kembali masuk kekamarnya. Menatap kopor diatas almari dan mencoba menaiki kursi yang sudah ditariknya semakin dekat dengan almari itu.

Huppp... Miranti berhasil naik keatas kursi itu. Gemetar kakinya. Lalu dia menata debar jantungnya.

“Aduh.. bagaimana ini? Kalau aku menarik kopor itu, lalu menjatuhi tubuhku, bagaimana?” gumam Miranti masih dengan tangan berpegangan pada almari.

“Anaa..” Miranti berteriak kencang.

“Ya ampuun... Anaaa” teriak MIranti semakin kencang. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa Ana datang.

Kaki Miranti benar-benar gemetar.

“Anaaaa..” teriakan itu sudah mirip sebagai jeritan.

Keringat dingin membasahi leher dan dahinya. Sekarang ia ingin turun saja, tapi mau turun ternyata memerlukan sebuah keberanian.

“Bagaimana ini, sebaiknya aku duduk dulu, baru turun, tapi ketika mau duduk itulah kakinya tergelincir dan Miranti hampir jatuh kelantai, kalau saja tak ada sepasang tangan kekar menangkapnya.

“Miranti ! Apa yang kamu lakukan?” kata Pram sambil menggendong tubuh Miranti lalu diletakkannya diatas ranjang.

“Pram, terimakasih Pram,” kata Miranti dengan mulut bergetar.

“Kamu mau apa? Mengapa memanjat manjat keatas kursi?”

“Mau mengambil kopor itu..”

“Ya ampun, mengapa tidak minta tolong aku? Aku mendengar kamu menjerit memanggil Ana, memangnya dimana Ana?”

“Entahlah, aku memanggilnya berkali-kali dan dia tidak mendengarnya.”

Pram masih berada ditepi pembaringan itu dan meminggirkan baju-baju yang tertata ditepi pembaringan, ketika tiba-tiba Ana masuk. Rupanya jeritan terakhir dari Miranti baru bisa membangunkan Ana. Tapi Ana berpikiran lain, melihat sang sopir berdiri ditepi ranjang Miranti.

“Ouh.. ma’af,” pekiknya kemudian meninggalkan kamar itu.

***

Besok lagi ya

 

Previous Post Next Post