SANG PUTRI 20

SANG PUTRI  20

(Tien Kumalasari)

 

Palupi menahan sedu sedannya. Ia langsung kebelakang mencari Bintang.

Dilihatnya Bintang habis mandi, sedang didandani Mirah.

“Itu ada ibu,” kata Mirah setelah selesai menyisir rambutnya.

“Bintang....”

“Sana, tuh dipanggil ibu..” kata Mirah ketika melihat Bintang diam saja.

Bintang mendekati ibunya, lalu Palupi  berlutut ketika Bintang mendekatinya.

“Bintang... peluk ibu, sayang..” Palupi mengembangkan lengannya, lalu memeluk Bintang erat sambil berlinang air mata.

Palupi baru menemukan hatinya yang hilang entah kemana. Palupi baru merasa menjadi wanita seutuhnya, yang memiliki suami dan anak, yang harusnya membuat dirinya bahagia, tapi bahagia itu tiba-tiba lenyap tanpa bekas. Beliung mengombang ambingkan jiwanya yang tinggal seiris.. Tinggal kerak kering terserak sampai ke dasar hatinya.

Bintang bergeming, tapi melihat air mata ibunya, hati si kecil tiba-tiba luluh.

“Mengapa ibu menangis?”

“Bintang...”

Lalu Palupi memeluknya lebih erat.”

“Ibu sayang Bintang, apakah Bintang juga menyayangi ibu ?”

Bintang mengangguk, lalu jari kecilnya mengusap pipi sang bunda.

Mirah menatapnya terharu. Ini luar biasa. Palupi bersikap manis kepada Bintang, bahkan ada air mata meleleh segala. Mirah bersembunyi dibalik pintu, ikut melelehkan air mata ketika melihat Bintang mengusap air mata ibunya. Ada harapan dihati MIrah, agar Palupi menjadi baik.

Tapi kemudian Palupi melepaskan pelukannya, mengulurkan bungkusan kepada Bintang.

“Ini buat main ya nak,” kata Palupi masih dengan linangan air mata.

Bintang menerimanya, tapi terus menatap mata ibunya, yang masih berlutut dihadapannya.

“Mengapa ibu menangis?”

“Karena ibu sayang kamu,” katanya lagi sambil menciumi pipi Bintang.

“Ibu jangan menangis,” kata Bintang dan lagi-lagi mengusap air mata ibunya dengan telapak tangannya.

“Bintang harus pintar ya, nggak boleh nakal ya.”

Bintang mengangguk. Palupi kemudian berdiri.

“Mirah,” panggilnya pelan. Ini diluar dugaan. Mirah keluar dari balik pintu.

“Ya bu,” Palupi melihat mata Mirah memerah.

“Titip Bintang ya Rah, dan ma’afkan aku telah berbuat salah sama kamu,” katanya sambil memegangi pundak Mirah.

Mirah terkejut.

“Ibu tidak bersalah. Tidak apa-apa bu. Lalu ibu mau kemana?”

“Aku harus pergi. Mana Suprih ?”

“Bu Suprih...”

“Ya bu.”

“Tetaplan disini menemani Mirah. Mirah anak baik, aku yang bersalah.”

Suprih menatap Mirah yang sedang mengusap air matanya.

“Prih, tolong kumpulkan barang-barangku di almari, besok aku akan mengambilnya.”

“Ibu tidak usah pergi, nanti mas Bintang mencari ibu.”

“Tidak MIrah, Bintang lebih suka sama kamu.”

“Tidak bu, ibu adalah ibunya, saya bukan siapa-siapa bu.”

“Tapi aku harus pergi.” Lalu Palupi membalikkan tubuhnya dan tanpa menoleh lagi keluar dari rumah. Mirah memburunya, tapi Palupi terus melangkah dengan cepat. Dilihatnya Handoko termangu diteras.

“Bapak, apa yang terjadi?”

Handoko menatap Mirah dan melihat matanya yang memerah.

“Hentikan ibu pak, semuanya bisa diperbaiki. Tolong.”

“Apa maksudmu Mirah? Dia yang menghendakinya.”

“Tidak, ada sisi baik dihatinya. Semuanya bisa diperbaiki.”

Tapi Handoko tetap tegak dikursinya.

“Bapak...bagaimana bapak ini.”

Mirah turun dari teras, setengah berlari mengejar Palupi,  Didepan gerbang dilihatnya Palupi sudah berjalan, dan berjalan, Mirah terus mengejarnya.

“Ibu.. tunggu ibu...” katanya terengah.

Palupi berhenti, lalu menoleh kebelakang. Dilihatnya Mirah terengah-engah semakin dekat dengan dirinya.

“Ibu...”

“Ada apa Rah?”

“Ibu, jangan pergi..”

“Dia tidak menghendaki aku lagi Mirah, tolong lepaskan tanganku,” kata Palupi karena Mirah langsung memegang lengannya dengan kedua tangan.

“Tidak ibu, semua bisa dibicarakan, tolong bu, kasihan mas Bintang, kembalilah bu, jangan pergi,” kata Mirah sambil terisak.

Palupi merasa sedih tiba-tiba. Pembantu yang selalu disebutnya begundal, yang sangat dibenci dan pernah difitnahnya, sekarang menangisi kepergiannya. Palupi merasa dadanya sakit menahan sesak sesal dihatinya. Airmata pun segera merebak, kemudian menetes ke pipinya.

“Mirah, aku minta ma’af. Kamu sangat baik, dan aku telah berbuat jahat kepada kamu. Ma’af Mirah, aku pernah mefitnahmu,” isak Palupi sambil menepuk pundaknya dengan sebelah tangannya, karena sebelahnya lagi dipegang erat oleh Mirah.

“Tidak ibu, lupakan semuanya, seperti Mirah melupakannya. Kembalilah bu, bicaralah dengan bapak dan mulailah semuanya dengan damai dan penuh kasih sayang.”

“Mirah, aku ini buruk dimata mas Handoko. Dia lebih menyukai kamu.”

“Mengapa ibu berkata begitu? Saya hanya pembantu bu, saya akan bahagia kalau bapak dan ibu kembali bersama.  Kasihan mas Bintang bu.”

Pada dasarnya Palupi berwatak keras. Ucapan Handoko sudah sangat melukainya, dan dia tak bisa melupakannya. Ketika sebuah angkot lewat, tangan Palupi melambai dan angkot itu berhenti. Ia melepaskan tangan Mirah, lalu melompat kedalam angkot yang membawanya pergi.

“Ibu... jangan pergi..” Mirah terisak lirih, sedih karena tak berhasil menghentikan kepergian Palupi. Dengan gontai ia melangkah pulang sendiri.

***

“Darimana kamu Mirah?”

“Mengapa bapak biarkan ibu pergi?”

“Bukankah itu kemauannya sendiri?”

“Tapi bapak tidak berusaha menghentikannya,” kata Mirah yang langsung melangkah kebelakang. Entah darimana datangnya keberanian untuk mencela tuan gantengnya. Kata-kata itu meluncur begitu saja karena sudah sangat menyesak dadanya.

Dibelakang, dilihatnya Suprih sedang membuka bungkusan yang tadi diberikan Palupi kepada Bintang.

“Yu Mirah.. ada mainan baru..”

“Iya mas Bintang, dari ibu ya?”

“Mana ibu ?”

Mirah tak bisa menjawabnya. Tampaknya Bintang baru saja merasa bahwa ibunya juga menyayanginya setelah berbulan bahkan bertahun merasa tak pernah dekat dengannya. Hanya dengan sebuah pelukan, mengapa Palupi terlambat melakukannya? Mirah benar-benar sedih.

***

Ketika Danang tiba di gang tempat dulu pernah menurunkan Tanti, ia melihat kesekeliling. Tak tampak bayangan Widi.

“Dasar anak nakal. Aku disuruh mencari sendiri rumah Tanti,” omel Danang sambil berjalan memasuki gang, sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Danang melangkah perlahan. Rumah-rumah yang dilaluinya tampak sepi, dimana ia tak menemukan seorangpun untuk bertanya. Tapi ketika sampai di pertigaan, ia melihat seorang anak kecil sedang berjalan. Danang menghampirinya.

“Eh, dik.. tolong tanya. Rumahnya mbak Tanti dimana ya?”

“mBak Tanti?”

“Ya, tahu rumahnya kan?”

“Disana mas, sudah lewat.”

“Lhoh, yang mana?”

“Rumahnya kecil, ada pohon jambu didekat pagar.”

“Kalau dari sini kiri jalan atau kanan jalan?”

“Kiri jalan mas.”

“Oh, baiklah. Tadi kelihatan itu, rumahnya tertutup. Jangan-jangan pergi.”

“Rumahnya selalu tertutup mas, dirumah atau pergi nggak pernah terbuka.”

“Oh. Baiklah, terimakasih ya dik.”

Danang membalikkan tubuhnya. Ia sudah melihat rumah kecil yang ada pohon jambunya tadi, tapi tidak mengira disitu rumah Tanti. Apalagi rumahnya tampak tertutup rapat.

Ia sudah sampai di rumah kecil itu. Ada pot-pot dengan tanaman asri dikiri kanan pintu.

Danang memasukinya pelan dengan hati berdebar. Danang heran pada dirinya, bagaimana mungkin hatinya bisa berdebar ketika akan mendekati seorang gadis? Biasanya kok biasa saja. Danang menghela nafas untuk menata hatinya ketika akan mengetuk pintunya.

“Permisi..”

Tak ada jawaban.

“Selamat siang..”

Sepi. Tak ada suara apapun, lalu Danang mengetuk pintunya pelan, dan semakin keras karena tetap tak ada suara dari dalam.

“Rupanya dia pergi, dan Widi tampaknya juga belum sampai disini. Atau jangan-jangan malah Widi mengajak Tanti pergi. Setan alas anak itu, sudah tahu aku mau kesini malah diajak pergi, awas ya,” gumam Danang lalu membalikkan tubuhnya keluar dari halaman.

Tapi tiba-tiba terdengar orang tertawa terpingkal-pingkal dari dalam sana. Danang kembali lagi, lalu melihat pintu terbuka, dan dua orang gadis tampak didepan pintu sambil terus tertawa.

“Awas kamu ya !!” kata Danang geram sambil menuding kearah Widi.

“Masih beruntung kamu dibukain pintu mas, coba kalau enggak,” kata Widi masih sambil tertawa.

“Silahkan masuk mas," sapa Tanti ramah.

“Tuh, yang punya rumah begitu baik. Kamu jahat jelek. Awas kamu nanti.”

Danang duduk disebuah kursi. Rumah itu sangat sederhana tapi bersih dan rapi. Ada foto terpajang diatas meja disudut ruangan. Danang mengamatinya. Seorang bocah dikucir dua, duduk dipangkuan seorang ibu, dan seorang laki-laki memakai peci berdiri disamping mereka.

“Ini kamu, Tanti?”

“Iya lah, masa aku,” Widi menyahut centil.

“Ih, nggak nanya sama kamu, galak.”

“Iya mas, itu saya, sama bapak, sama ibu. Tapi bapak sudah meninggal. Itu foto terakhir saya sama bapak.”

“Oh.. lalu dimana ibu?”

“Bekerja mas. Ibu bekerja keras untuk menyekolahkan saya.”

“Eh, tamu kok banyak nanya sih, nanti nggak disuguhin minum tahu rasa kamu.”

“Tanti, bagaimana kamu bisa berkawan dengan macan betina ini?” tanya Danang sambil menuding kehidung Widi.

Tanti tertawa geli.

“Enak aja macan betina,” Widi cemberut.

“Dia itu macan yang baik mas.”

“Tuh, dengar..” ejek Widi.

“Sebentar saya ambilkan minum ya mas,” Tanti berdiri dan beranjak kebelakang.

“Eh, kenapa dikasih minum, ini tamu tak diundang,” teriak Widi.

“Widi.. jahat banget kamu sama kakak sendiri ya.”

“Dengar mas, disini jangan lama-lama, kami mau belajar, tahu!”

“Aduuh, baru datang sudah diusir. Yang mengusir bukan yang punya rumah pula.”

“Nanti kamu kesenangan disini terus nggak mau pulang, kapan kami belajarnya.”

“Widi, jangan galak-galak dong,” tegur Tanti ketika mengeluarkan dua gelas teh hangat.

“Iya tuh, si macan kelaparan ‘kali.”

“Silahkan diminum mas, tapi adanya cuma teh hangat.”

“Tidak apa-apa, teh hangat dan sambutan yang sama hangat, menyenangkan sekali. Boleh saya minum sekarang ?”

“Silahkan mas.”

“Aduuh, tamunya rakus..”

“Widi, kamu benar-benar nakal ya,” tegur Tanti sambil tertawa.

“Biarkan saja, dia biasa galak kalau sama saya.”

Danang merasa nyaman berbincang dirumah Tanti. Dia tahu, Tanti hanya gadis sederhana dan bukan dari keluarga kaya. Tapi Danang menyukainya. Danang merasa belum pernah sebahagia ini.

“Apakah aku benar-benar jatuh cinta?”

***

“Danang, kamu tadi tidak ke kantor setelah makan dari rumah?” tegur bu Ismoyo ketika Danang sampai dirumah.

“Iya bu.”

“Kemana kamu?”

“Kerumah seorang gadis.”

“Tuh kan, kamu bilang sudah tobat, tidak akan main-main, mengapa kamu meninggalkan kantor untuk pergi kerumah seorang gadis?”

“Ini Danang baru pendekatan bu, bukan main-main.”

“Pendekatan bagaimana? Jangan membuat ibu kecewa Danang.”

“Tidak dong bu. Kata ibu Danang harus segera mencari seorang isteri?”

“Oh ya, sudah dapat?”

“Aduh, ibu.. memangnya Danang sedang memancing ikan? Baru berangkat langsung dapat.”

Bu Ismoyo tertawa.

“Siapa gadis itu? Benar-benar gadis baik, atau nanti akan mengecewakan kamu juga seperti Palupi?”

“Tidak bu, jangan samakan dia dengan Palupi. Dia teman kuliahnya Widi.”

“O, yang waktu itu makan bakso sama kamu?”

“Iya, baru tadi Danang kerumahnya.”

“Oh, ketemu orang tuanya juga?”

“Tidak bu, orang tuanya Tanti itu tinggal ibunya saja, bapaknya sudah meninggal ketika Tanti masih kecil. Ibunya bekerja keras untuk menyekolahkan Tanti.”

“Bekerja dimana ibunya ?”

“Danang nggak menanyakan itu bu. Tapi ibu perlu tahu sebelumnya, dia itu gadis biasa. Maksudnya gadis sederhana, bukan anak orang kaya. Itu Danang lihat dari rumahnya yang kecil sederhana tapi bersih dan rapi. Ibunya bekerja, Tanti,  sendirian dirumah, dan pergi hanya kalau kuliah. Ketika Danang kesana dia sedang belajar bersama Widi, ” kata Danang panjang lebar menceriterakan keadaan Tanti kepada ibunya.

“Oh, begitu.”

“Danang bilang sama ibu, supaya ibu tahu sebelumnya, bahwa ia bukan anak orang kaya. Apakah itu masalah buat kita?”

“Tidak, anak orang kaya bukan jaminan bahwa dia pasti gadis yang baik.”

“Terimakasih ibu.

“Tapi apakah dia sudah pasti mau menerima kamu? Kan kamu baru bertemu sekali?”

“Dua kali bu, yang pertama ketika makan bakso. Yang kedua ini tadi.”

“Maka dari itu, apakah dia sudah pasti suka sama kamu?”

“Nggak tahu bu, Danang juga baru tertarik, tapi mungkin kalau dia mau Danang akan serius sama dia.”

“Ibu hanya mendo’akan yang terbaik untuk kamu. Ibu kecewa dengan rumah tangga kangmasmu, yang tampaknya akan segera bubar.”

“Danang kira itu lebih baik bu, daripada keluh mengeluh setiap hari.”

Tiba-tiba ponsel Danang berdering.

“Dari mas Handoko..”

“Danang ?”

“Ya mas.. ada apa?”

“Apa besok kamu mau nyamperin mas sebelum masuk kantor?”

“Bisa mas, mas mau kemana?”

“Aku mau mulai kekantor besok pagi.”

“Mas sudah benar-benar sehat?”

“Mas sehat, hanya harus memulihkan kaki mas yang habis dioperasi. Mas sudah bisa berjalan pelan dan menapakkan kaki.”

“Baiklah mas, besok Danang samperin ke rumah.”

“Masmu mau kekantor?” tanya bu Ismoyo ketika Danang sudah menutup ponselnya.

“Iya, besok mulai masuk ke kantor, kakinya sudah membaik.”

“Syukurlah, semoga dengan kesibukan kantornya kangmasmu bisa lebih tenang.”

***

Priyambodo bergegas masuk kekamar ketika mendengar Nanda merengek.

“Ibuuu... ibu...”

Aduh.. Pri bingung mendengar Nanda menyeebut ibunya lagi.

“Ibuuu... mana ibu...”

“Nanda, sini sama bapak..”

“Mana ibu ?”

“Ibu sedang pergi nak, ayo sama bapak. Mau pipis dulu kan? Ayuk, nanti keburu ngompol. Sini, anak pintar..” rayu Pri.

Nanda terpaksa menurut, karena memang kebelet pipis.

Tapi ketika melangkah keluar kamar, Nanda tiba-tiba berteriak.

“Itu ibu.....!”

***

Besok lagi ya

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15