SANG PUTRI 19

SANG PUTRI  19

(Tien Kumalasari)

 

Palupi tertegun, anak kecil yang entah darimana datangnya ini tiba-tiba merangkul lehernya dengan erat. Dan tanpa sengaja Palupi mengelus punggungnya lembut. Kehangatan yang merayapinya membuatnya trenyuh. Apakah anak ini salah orang, ataukah sedang merindukan ibunya? O.. alangkah nyaman rasanya dirindukan.

Lalu Palupi menoleh kekanan kiri, apakah ada orang kehilangan anak? Palupi menarik kepala anak itu, tapi dekapan pada lehernya terasa semakin kencang. Tampaknya anak itu tak mau melepaskannya.

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Seorang laki-laki yang kemudian berteriak.

“Nanda... aduuh, ma’af mbak.. “

Palupi menatap laki-laki muda itu, yang kemudian mengulurkan tangannya ingin meminta anak yang digendongnya. Palupi berusaha melepaskan rangkulan Nanda, tapi terdengar ia menangis.

“Aku mau ibu.. aku mau ibu....” tangisnya.

Seketika Palupi teringat akan Bintang... ‘aku mau yu Mirah... aku mau yu MIrah...’ lalu hati Palupi terasa seperti disayat ratusan sembilu. Anak kandungnya .. hanya mau yu Mirah.. tapi anak ini ...

“Ma’af mbak.. “

“Ini anaknya mas ?”

“Iya.. sebulan yang lalu dia kehilangan ibunya.. “

“Ohh... lalu dia mengira saya ibunya... kasihan..”

“Nanda, sini.. itu bukan ibu.. ayo sama bapak saja..”

Pelukan Nanda semakin erat, Palupi tak tega melepaskannya paksa.

“Biarkan saja dulu mas.. kasihan..”

Laki-laki itu menampakkan wajah sedih.

“mBak sangat baik.. terimakasih mbak..”

Palupi menatap laki-laki itu.. Terkejut mendengar pujiannya. Selama ini belum pernah ada yang memujinya kecuali Danang. Itupun tidak karena menganggap dia baik. Danang selalu bilang dirinya cantik. Tapi laki-laki ini mengatakan bahwa dirinya baik. Aduhai,

Lalu keduanya melangkah kepinggir.

“Nanda mau digendong bapak?” tanya laki-laki itu lagi, tapi Nanda menggeleng keras dan tetap memeluk leher Palupi.

“Ibu... Nanda mau es krim...”

“Oh, baiklah.. ayo kita beli es krim, sini, gendong bapak..”

“Nggak mau.. sama ibu.. sama ibu..”

“Baiklah, sama ibu ya..?” kata Palupi

“Aduh mbak.. bagaimana ini.. pasti mbak sedang punya keperluan lain..lalu anak saya mengganggu.”

“Tidak, saya hanya sedang jalan-jalan. Biarkan saja, saya suka. Ayo kita cari warung es krim,” ajak Palupi. Seketika Nanda melepaskan pelukannya.

“Gendong bapak yuk..”

Nanda menggeleng lagi.”

“Kasihan ibu, kamu kan sudah besar.. masa minta gendong..”

Nanda menatap Palupi, tampaknya ingin bertanya, apakah “sang ibu” keberatan. Tapi dilihatnya Palupi tersenyum.

“Kita beli es krim?”

“Mauu.. mau...” teriak Nanda sambil berjingkrak, membuat Palupi terhuyung.

“Lihat, ada warung es krim,” teriak Palupi.

Palupi melangkah kearah warung dengan ringan. Sesungguhnya Palupi sedang butuh teman, sehingga ajakan si kecil membuatnya senang.

Bapak Nanda yang kelihatan sangat sungkan.

“Sungguh saya minta ma’af mbak..” katanya setelah duduk berhadapan diwarung itu.

“Tidak apa-apa, saya juga sedang tidak punya pekerjaan,” jawab Palupi yang kemudian mendudukkan Nanda di kursi sebelahnya.

“Apakah wajah saya mirip ibunya?” tanya Palupi setelah memesan es krim permintaan Nanda.

Laki-laki itu menatap Palupi agak lama, membuat Palupi tersipu.

“Tidak persis, tapi ada miripnya, terutama postur tubuh mbak.. seperti postur tubuh isteri saya. Ma’af. Itu sebabnya Nanda mengira mbak adalah ibunya. Oh ya, nama saya Priyambodo. Bolehkah saya tahu nama mbak?”

“Saya Palupi.”

“Bapak, es krimnya ..” pekik Nanda ketika pesanan dihidangkan.

Tiba-tiba Palupi merasa seperti berada dalam sebuah keluarga. Ada suami, ada isteri, ada anak. Begitu bahagia.   

“Dimana bahagiaku?” Kata hati Palupi.

Lalu dia sadar bahwa sedang berada diantara orang-orang asing yang bukan keluarganya. Dan tiba-tiba juga dia merasa rindu kepada anak semata wayangnya.

“Ibu, es krimnya enak...” Palupi menoleh kesamping, dilihatnya Nanda asyik menyendok es krim kesukaannya.

“Oh, iya Nanda.. enak.”

“Rumah mbak Palupi dimana ?”

Palupi diam, dimanakan rumahnya? Apakah Handoko masih mau mengakui bahwa disana juga rumahnya? Kata-kata yang diucapkannya menyiratkan bahwa dia akan menceraikannya.

“Entahlah...” lalu ucapan yang hanya sepatah  itu keluar begitu saja.

Priyambodo menatapnya heran.

“Entahlah?”

Palupi menampakkan wajah sedih. Lalu Pri menyesal menanyakannya.

“Ma’af mbak. Bukan maksud saya untuk membuat mbak bersedih. Sepertinya.. sedang..”

“Sedang ada masalah mas, saya memang lagi butuh teman. Saya senang ketemu Nanda,” kata Palupi sambil mengelus kepala Nanda.

“Ibu tidak makan es krimnya?”

“Oh iya.. ibu lupa, baiklah, ayo kita makan es krimnya..” kata Palupi sambil menyendoknya.

Priyambodo terus menatap wajah cantik yang tampak menderita itu dengan rasa iba.

“Suami saya akan menceraikan saya.”

“Oh, mbak sudah bersuami?”

“Saya punya anak sebesar Nanda.”

“Mengapa harus bercerai mbak, bukankah anak adalah anugerah yang tak ternilai?”

Palupi tak bisa menjawabnya. Ia merasa tak pernah dekat dengan anaknya....”aku mau yu Mirah... aku mau yu Mirah”... manakala terngiang kembali ucapan anaknya, hanya amarah yang membakar jiwanya, lalu semuanya menjadi tak terkendali.

“Ma’af mbak..” lagi-lagi Pri meminta ma’af.

Palupi tersenyum, dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seribu pertanyaan memenuhi benak Priyambodo. Orang secantik Palupi, apa yang kurang dari dirinya sehingga pernikahan yang sudah melahirkan seorang anak harus bercerai? Suaminya selingkuh?

“Ibu, nanti Nanda mau makan disuapi ibu ya.?

Palupi bingung. Mau makan dimana?

“Nanda jangan nakal, ibu pasti capek, nanti disuapin bapak saja.”

“Nggak mau.. nggak mau.. aku mau ibu..”

Lalu terngiang kembali ditelinga Palupi... “aku mau yu Mirah.. mau yu Mirah..”

Sementara anaknya sendiri tak mau dekat dengan dirinya, ada anak lain yang tak mau lepas dari dirinya. Ada apa ini?

“Ma’af mbak..” entah sudah berapa kali Pri mengucapkannya.

"Rumah mas Pri dimana ?”

“Tidak jauh dari sini mbak, pertigaan itu kekiri. Ada sebuah toko kelontong, disitu kami tinggal. Tadi saya mengajak Nanda jalan-jalan, lalu saya tertarik melihat penjual jamu, tanpa sadar Nanda lepas dari saya dan bertemu mbak.”

“Oh, itu tadi, tapi saya senang kok bertemu Nanda.”

“Tapi dia merepotkan mbak bukan, saya bingung harus apa nanti membujuknya supaya dia mau melepaskan diri dari mbak.”

“Saya akan mengantarkannya sampai kerumah.”

“Bapak, bolehkan es krimnya tambah lagi?”

“Nanda, tadi kan sudah banyak, besok kita beli lagi ya.”

“Besok sama ibu lagi kan?”

Aduuh, Pri bingung menjawabnya.

Tapi siang itu Palupi bersedia makan siang bersama Pri dan Nanda, lalu mengantar sampai kerumahnya.

Namun tanpa sepengetahuan mereka dua pasang mata mengawasi mereka dengan penuh tanda tanya.

***

Rumah Priyambodo tidak begitu besar, didepannya ada toko kelontong yang lumayan, dan ditunggui oleh dua orang pegawai.

“Itu toko punya mas Pri?”

“Iya, hanya kecil-kecilan. Sekarang saya hanya hidup dari penghasilan toko itu. Memang tidak banyak, tapi cukup untuk hidup bersama anak saya.”

“Bagus, tampaknya rame tokonya,” kata Palupi ketika melihat banyak pembeli ditoko kecil itu.

“Biasanya saya juga ikut menunggui toko, tapi semenjak isteri saya meninggal, saya harus sepenuhnya memperhatikan Nanda. Dia selalu rewel mencari ibunya. Dia diam ketika saya mengajaknya jalan-jalan. Tapi setelah sampai dirumah biasanya dia kembali rewel.”

Palupi mengamati rumah kecil yang tertata rapi. Dimana-mana tampak bersih.

"Ada pembantu disini?”

“Tidak, saya sendiri membersihkan rumah. Kalau untuk makan saya biasanya beli saja.”

“Mengapa tidak mencari pembantu?”

“Isteri saya tidak suka pembantu. Dia mengerjakan semuanya sendiri. Membersihkan rumah, belanja, memasak, mengasuh Nanda, terkadang saya kasihan melihatnya, tapi dia bilang senang melakukannya.”

Palupi tertegun. Membersihkan rumah, belanja, memasak, mengasuh anak. Tiba-tiba dia membandingkannya dengan dirinya. Dia adalah Sang putri, sang ratu yang harus dilayani. Dan disini, ia melihat sebuah keluarga bahagia, dimana ketika masih hidup sang isteri melakukan semuanya sendiri, dan bilang bahwa dia senang melakukannya.

Palupi menatap foto Priyambodo dan seorang wanita cantik, mengamatinya dengan seksama dan membandingkan apakah wajahnya mirip dengan dirinya.

Memang agak mirip. Tinggi semampai dan cantik. Tak heran Nanda mengira dia adalah ibunya.

“Sepasang suami isteri yang bahagia,” gumam Palupi. Lalu Palupi jadi ingat, sudah lama dia tak melihat foto dirinya dan Handoko yang dipajang sangat besar disudut ruangan tamu. Kemana foto itu? Palupi tak tahu bahwa Handoko telah membuang foto itu kegudang ketika merasa kesal dengan dirinya.

“Inilah rumah sederhana kami mbak Lupi,” kata Pri.

“Ibu, bukankah Nanda harus cuci kaki dan ganti pakaian?” kata Nanda tiba-tiba.

“Oh iya, sini sama bapak.”

“Sama ibu saja..” rengek Nanda. Dan Nanda kemudian menarik Palupi kekamar mandi. Palupi hanya menurut, dan dengan kikuk ia melepaskan Baju Nanda lalu mengguyurnya dengan air.

“Mengapa tidak disabun dulu bu?”

“Oh, iya.. ibu lupa.” Palupi bukannya lupa tapi memang tak tahu cara membersihkan tubuh seorang anak.

Ketika memasuki kamar Nanda lalu mengambilkan baju yang tentu saja ditunjukkan Nanda, Palupi banyak berfikir tentang sebuah keluarga. Inikah yang dimaksud suaminya? Selama ini ia merasa harus dilayani, tak mau mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga yang dianggapnya seperti pembantu.

Ketika Nanda sudah rapi, Palupi kembali keruang tamu, dan Pri sudah menyiapkan segelas jus mangga yang harum dan segar.

“Silahkan diminum mbak.”

Tapi tiba-tiba Nanda yang sejak tadi diam mendengar pembicaraan mereka, merasa aneh karena bapaknya memanggilnya mbak.

“Mengapa bapak memanggil mbak? Bukannya ibu?”

Priyambodo terkejut, rupanya Nanda memperhatikan. Ia benar-benar tak bisa menjawabnya.

“Nanda, sebenarnya ibu ini bukan ibunya Nanda,” kata Palupi.

“Tidaak, ibu adalah ibuku..” lalu Nanda tiba-tiba mendekat dan merangkul Palupi erat-erat.

Palupi menepuk punggung Nanda lembut.

“Oh iya, bukankah ini sa’atnya Nanda tidur? Ayo tidur , anak pintar.”

“Ibu, ayo tidur sama ibu.”

Palupi membawa Nanda kekamarnya dan berbaring disebelah Nanda,

“Mengapa ibu tidak menepuk-nepuk pantat Nanda?”

“Oh, iya ibu lupa..”

Lalu Nanda tertawa.

“Dari tadi ibu lupa terus.”

Palupi bersiap pergi setelah Nanda tidur. Tapi sebelum pergi Palupi meninggalkan nomor kontaknya kepada Pri.

“Ini nomor kontak saya mas, kalau Nanda rewel, mas boleh menelpon saya.”

“Terimakasih banyak mbak. mBak Palupi sungguh baik. Saya belum pernah bertemu orang sebaik mbak.”

Lagi-lagi Palupi tertegun. Pujian bahwa dirinya baik sangat mengusik hatinya, tapi membuatnya senang.

***

“Tadi Palupi sama siapa, kok kamu tidak menyapanya?” tanya Ryan kepada Widi ketika mereka makan siang bersama.

“Kalau aku menyapa nanti mbak Palupi sungkan dong. Tapi siapa ya mereka? Dengan seorang anak kecil pula, tadinya aku mengira dia Bintang, tapi ternyata bukan, anak itu agak kurusan sedikit.”

“Jangan-jangan itu pacar baru Palupi.”

“Nggak tahu aku mas, mungkin juga. Tapi tampaknya memang rumah tangga mas Handoko itu kok semakin tidak karuan.”

“Mungkin karena Palupi sudah punya pacar baru.”

“Wah, bisa gawat kalau mas Handoko tahu.”

“Kamu ingin mengatakannya pada mas Handoko?”

“Tidak mas, jangan, nanti ribut lalu aku yang merasa bersalah.”

“Kalau keterusan bagaimana?”

“Kalau itu memang maunya mbak Palupi, mau bagaimana lagi? Ya sudahlah, kita nggak usah ikutan. Tapi aku juga kasihan sama mas Handoko.”

“Iya benar. Ya sudah, kamu kan mau mengerjakan tugas akhir kamu, nggak usah terlalu banyak ikut campur, nanti mengganggu konsentrasi kamu.”

“Iya sih.”

“Sekarang aku harus mengantar kamu kemana nih?”

“Kerumah Tanti saja mas, tadi sudah janji mau kesana.”

“Baiklah.”

Tapi tiba-tiba ponsel Widi berdering.

“Ada apa mas?” tanya Widi.

“Kamu dimana ?”

“Dijalan. Ada apa?”

“Anterin kerumah Tanti yuk.”

“Anterin kerumah Tanti? Kayak anak kecil saja harus dianterin.”

“Kan aku belum pernah Widi, nanti kalau sudah sekali ini selanjutnya aku mau kesana sendiri.”

“Eh, aku beri tahu ya mas, sa’at ini kami sedang mengerjakan skripsi, jadi jangan mengganggu,” kata Widi dengan galak.

“Aduh, galak amat sih. Kan cuma mau ketemu sebentar.”

“Biar sebentar juga namanya mengganggu, tahu.”

“Sebentar saja Widi, tolong, percayalah aku tidak akan mengganggu.”

“Ya sudah, ini aku lagi mau jalan kesana.”

“Oh ya, sip kalau begitu, aku kan sudah tahu gang yang mau masuk rumahnya, aku tungguin disana ya. Kalau kamu yang datang duluan ya kamu tungguin aku.”

“Enak aja. Nggak mau, cari sendiri dari gang itu.” Lalu Widi menutup ponselnya dan tersenyum-senyum.

“Siapa?”

“Mas Danang, dia jatuh hati sama Tanti.”

“Oh..”

“Tapi aku sudah wanti-wanti agar dia tidak mempermainkan Tanti, dia itu kan mata keranjang.”

“Kalau yang tidak mata keranjang itu aku,” canda Ryan.

“Ah, yang benar.”

“Benar dong, begini-begini juga calon mertua belum mau menerima.”

“Sabar dong mas, kalau jodoh pasti kita akan dipertemukan.”

***

Palupi melangkah dengan ringan ketika keluar dari sebuah toko mainan. Ia membelikan beberapa mainan yang kira-kira disukai Bintang. Pertemuannya dengan Nanda membuatnya ia ingat akan anak semata wayangnya. Keadaan keluarga Priyambodo juga membuka mata hatinya akan sebuah keluarga yang harus mulai dibenahinya. Palupi menginjakkan kakinya diteras, dan melihat Handoko sedang duduk sendirian disana. Ia menatap Palupi sekilas, tapi kemudian pura-pura membuka ponselnya. Palupi mendekat, lalu duduk didepannya.

“Mas..”

Handoko mengangkat wajahnya yang dingin beku.

“Palupi, aku sudah memikirkannya masak-masak, rupanya kamu memang bukan seorang isteri dan ibu yang baik. Barangkali kamu akan lebih bahagia kalau terlepas dari aku. Aku sudah menyiapkan sebuah surat cerai untuk kamu, jadi bergembiralah.”

Palupi terpaku ditempatnya. Ia ingin menangis sekuat-kuatnya.

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15