CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 06

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  06

(Tien Kumalasari)

 

Bagas memungut ponsel ayahnya nyang terjatuh. Untung tidak pecah lalu ambyar berkeping-keping..

"Bapak.. bagaimana sih.." katanya sambil memberikan  ponsel itu kepada ayahnya.

"Ah..iya..nggak tau bapak, tiba-tiba meloncat begitu saja. Rusakkah?  Nggak apa-apa kan?"

Sementara itu pak Suryo terus berteriak-teriak karena pak Darmono tidak menjawab.

"Hallo.. Hallo.. Darmono.. kamu masih disitu ..?"

"Hallo mas, waduh.. ponselku terjatuh mas, ma'af.."

"Waduuh.. untung nggak rusak.. "

"Iya, terkejut mendengar ucapan mas tadi. Bercanda kan?"

"Bercanda bagaimana? Biar aku suka bercanda, tapi untuk urusan pekerjaan mana bisa aku bercanda.. Ini serius dan sangat serius."

"Tapi kenapa mas? Bagas baru sebulan bekerja.. dan dia sedang belajar pastinya."

"Kristin bosan melakukannya."

"Tapi jangan begitu mas, aku takut Bagas mengecewakan."

"Tidak, dia tidak akan berjalan sendiri. Aku sama Kristin akan membantu."

"Tidak mas, ini bukan masalah sepele, aku harus bicara sama Bagas. Apakah dia sanggup atau tidak, karena ini menyangkut sebuah tanggung jawab yang berat.

"Baiklah, bicara dulu sama anakmu. Aku menunggu."

Ketika pembicaraan itu selesai, Bagas menatap ayahnya, ingin agar ayahnya mengatakan sesuatu, karena tadi dia menyebut namanya juga. Pak Darmono menatap anaknya lekat-lekat.

"Ada apa bapak?"

"Ini permintaan yang aneh, dan menurutku terlalu tergesa-gesa."

"Permintaan apa ?"

"Pak Suryo ingin kamu menggantikan pekerjaan Kristin."

"Apa maksudnya?"

"Dia minta agar kamu memegang perusahaan itu."

"Apa?" Bagas ternganga. Ia merasa seperti bermimpi. 

" Diserahi perusahaan? Memangnya siapa aku ini. Bukankah ada yang lebih berhak?" lanjutnya tak mengerti.

"Itulah, aku juga heran. Tampaknya itu terlalu berlebihan bukan?"

Bagas teringat kata-kata Kristin siang tadi, ketika bicara tentang salary yang lebih banyak. Pasti dia yang mengusulkannya pada ayahnya.

"Sangat berlebihan, dan Bagas tidak akan mau."

"Bagus le, tawaran yang tampak menggiurkan bukan berarti nyaman untuk dinikmati. Ini bukan sesuatu yang sepele, tapi berat."

 

***

 

Basuki memasuki warung dengan hati berdebar. Ia ingin ketemu Mery dan berbicara banyak. Ia duduk disebuah kursi kosong, menghadap kedalam, supaya bisa melihat Mery kalau dia kebetulan melintas diantara kesibukan para pelayan.

Ia memesan makan dan minum, lalu duduk sambil meletakkan kedua tangan diatas meja. Matanya nanap melihat kedalam, namun yang dicarinya tak tampak batang hidungnya,

Ketika pelayan mengantarkan pesanan, Basuki terpaksa menanyakannya.

"mBak Mery ada?"

"Sampai sa'at ini bu Mery belum datang pak."

"Biasanya datang jam berapa?"

"Biasanya sebelum warung buka sudah datang. Saya kurang tau mengapa sampai sekarang belum datang. Mungkin sakit, karena kemarin bilang kepala pusing."

Ketika pelayan ingin beranjak pergi, Basuki menahannya.

"Sebentar mas, kalau rumahnya bu Mery itu dimana ya?"

"Agak jauh mas,  didaerah Sukoharjo."

"Oh, baiklah, terimakasih."

Basuki menghirup es jeruk yang dipesannya. Ia ingat nama daerah itu, ketika dua orang anak buahnya mengejar si Sri. Apa itu rumahnya Timan? Apa Mery masih numpang dirumah Timan?

Basuki mengaduk nasinya, menyendoknya perlahan. Akankah dia mencari kesana? Tapi sungkan rasanya kalau nanti ketemu Timan, atau Sri..

Oh ya, dipapan nama warung didepan kan ada nomor telponnya. Pasti itu nomor ponsel Mery. Basuki berdiri sebentar dan mencatat nomor yang terpampang disana, lalu kembali duduk dan menikmati makan siangnya.

Selesai menyuapkan sendok terakhir, Basuki memutar nomor itu .

"Hallo selamat siang,"

Basuki berdebar. Suara itu amat dikenalnya, nyaring dan manis didengar.

"Mery..." bergetar Basuki menyapanya.

"Siapa ya?"

"Mery, kamu tidak lagi mengenali suaraku?"

Tak ada jawaban segera, Merypun sedang tergetar hatinya. Pasti dia tau bahwa itu suara Basuki. Ia ingin menutup ponselnya tapi tak sampai hati. 

"Mery ? Kamu masih disitu ?"

"Basuki ?"

"Ya aku, siapa lagi ?"

"Ada yang bisa dibantu?"

"Mery, kamu menyapa aku seperti menyapa orang asing."

Mery menata batinnya. Suaranya dia merasa tidak asing, tapi nadanya, lagunya, begitu halus dan lembut. Ini bukan seperti Basuki. Tampaknya dia sudah berubah. Tapi untuk apa dia menelponnya?

"Mery.." Basuki kembali menyapa, dan Mery merasa seperti ada hembusan angin dingin yang menerpa tengkuknya. Suara itu begitu manis dan mesra. 

"Ya.." bergetar suara Mery.

"Bisakah kita bertemu?"

Nah, ini membuat Mery curiga. Bertemu, lalu melakukan hal-hal yang tak pantas, untuk melampiaskan hawa nafsu? Tidak, Mery sudah berubah. Mery sudah mengenal yang namanya dosa, yang namanya pantas dan tidak pantas.

"Kamu tidak mau bertemu aku Mery?"

"Untuk apa?"

"Mery, aku kangen sama kamu," bergetar ucapan itu ketika dilontarkan, dan bergetar pula Mery mendengarnya. 

Tiba-tiba sebuah rentetan peristiwa ketika masih bersamanya, silih berganti menari di benaknya. Rindu, kangen, sayang, sudah sering diucapkannya. Tapi kali ini dengan suara berbeda, atau hanya karena perasaannya yang juga merasa kangen? Tidak, aku benci suasana itu. Basuki itu busuk, bejat, laknat.

"Mery.. sa'at ini aku ada diwarung kamu. Bisakah aku menunggu disini, atau aku datang ketempatmu?"

Mery menata hatinya. Ia ingin bertemu, di warung atau dirumah ini? Tadinya Mery mengira dia akan mengajaknya kerumah dia, atau ke sebuah hotel dan melakukan hal-hal busuk seperti dulu. 

"Mery.."

"Apa kamu ingin memarahi aku? Kamu dendam kepadaku karena aku membuatmu dipenjara?"

"Tidak Mery, tidak, aku sudah bertobat, jangan mengira aku menyukai  perbuatan itu, aku menyesal dan ingin menebusnya dengan perbuatan baik."

Mery terdiam. Perasaan curiga dan ingin bertemu bertarung dalam hatinya. Kalau curiga, tak usah datang, tapi ia juga ingin bertemu, menatap wajah garang tapi menghanyutkan, kala itu. Bagaimana sekarang keadaannya? Kemarin dia hanya melihatnya sekilas.

"Mery, aku akan kesini saja ya."

"Jangan.. aku sedang sakit."

"Kamu sakit apa?"

"Pokoknya sakit. Besok saja datang lagi ke warung."

"Jam berapa kamu ada di warung?"

"Jam sembilan aku sudah ada disana."

"Baiklah Mery, terimakasih banyak."

Ketika menutup ponselnya, Mery tertegun, selamanya Basuki belum pernah mengucapkan terimakasih atas apapun juga. Kebaikan yang diberikan untuk dia hanya semata ingin menyenangkannya dan dia tak perlu mengucapkan terimakasih. Tapi baru saja kata-kata itu terucap dari bibirnya.

Mery menghela nafas. Semoga dia benar-benar berubah.

 

***

 

"mBak, yuk makan dulu, aku sudah selesai memasak dan menatanya dimeja," ajak Sri sambil menjenguk kearah kamar Mery.

"Tiwi mana?"

"Sedang tidur, makanya aku bisa memasak lebih cepat. Ayo, nanti keburu dia bangun. Apa makannya harus aku bawa kesini mbak?""Jangan, aku kan cuma pusing sedikit, seperti orang sakit keras saja," kata Mery sambil bangkit.

"Tadi dapat telpon dari langganan ya?" tanya Sri setelah mereka duduk diruang makan.

"Dari Basuki."

"Basuki?" Sri membelalakkan matanya, lalu tersenyum nakal.

"Pantesan, pusingnya langsung hilang."

"Ah, kamu itu."

"Apa benar dia masih marah?"

"Nggak tau aku, tapi nadanya seperti enggak. Dia akan ke warung lagi besok. " 

"Aku bisa melihat, mbak Mery seperti sangat bahagia," canda Sri.

"Kamu itu bisa saja mengarang. Aku biasa-biasa saja."

"Sikap mbak Mery ketika menceritakan tentang Basuki, berbeda ketika mbak Mery bercerita tentang Bagas."

"Apa maksudmu?"

"mBak Mery suka sama Bagas, tapi tidak seperti rasa suka mbak Mery kepada Basuki."

Mery menghela nafas. 

"Aku suka anak itu. Dia baik, tampan, tapi masih sangat muda dibanding aku. Aku kira dia hanya membutuhkan sosok seorang ibu, dimana dia ingin bermanja."

"Dia tak mempunyai ibu?"

"Sejak dia masih bayi ibunya meninggal."

"Lalu dia dibesarkan ibu tiri?"

"Tidak, ayahnya tak pernah menikah lagi. Membesarkan Bagas dengan pembantunya yang setia."

"Oh, kasihan.."

"Kasihan.. benar, barangkali itulah yang aku rasakan. Tapi sungguh aku terkadang merasa bahagia berada didekatnya. Aku sering mengomel karena setiap kali dia makan selalu minta agar aku menungguinya, tapi aku senang melakukannya."

"Itu hanya rasa sayang, karena kasihan sama dia."

"Aku senang dia bermanja-manja sama aku. Tapi jauh rasanya kalau aku mengimbangi cintanya."

"Baiklah, aku berharap mbak Mery segera bisa menemukan seseorang yang benar-benar mencintai mbak Mery dengan sepenuh hati."

"Aamiin.. Do'akan aku ya Sri."

***

Hari itu seperti biasa Bagas datang kewarung. Begitu ia memarkir mobilnya, dilihatnya mobi Basuki berlalu.

"Bukankah itu mobilnya mas Basuki? Rupanya dia lebih dulu datang kemari. Aku terlambat. Sesungguhnya aku ingin minta agar mas Basuki mau menerima aku bekerja di perusahaannya. Aku benar-benar ingin resign, apalagi setelah dengan tiba-tiba pak Suryo meminta aku agar mengurus perusahaannya. Ini sangat aneh, dan aku yakin ini semua karena Kristin." gumam Bagas sambil turun dari mobilnya. Ia ingin segera bertemu mbak Merynya dan mengeluhkan semua permasalahan yang dihadapinya.

Namun begitu dia duduk dan seorang pelayan mendekatinya, ia mendapat keterangan bahwa Mery tidak datang ke warung hari ini.

"Mengapa tidak datang?"

"Sepertinya bu mery sakit, karena kemarin pulang lebih awal dan bilang kepalanya pusing."

"Yaah, sakit apa dia?"

"Kurang tau mas.."

"Baiklah, buatkan aku makan."

"Mas mau pesan apa?"

"Seperti biasa saja, dan cepat ya."

Ketika pelayan itu pergi, Bagas menelpon Mery. Tapi lama sekali panggilan itu tak diangkatnya. Bagas mencobanya lagi dan lagi, tetap tak ada jawaban.

"Apakah dia benar-benar sakit?" gumam Bagas yang mulai merasa khawatir.

Begitu pelayan menghidangkan pesanannya, Bagas segera menyantapnya, bahkan tampak tergesa-gesa sehingga mulutnya menganga karena kepanasan.

"Bodoh aku, kan harus dibiarkan sebentar baru disantap," gumamnya.

"Bagaas..!"

Bagas tersentak, suara panggilan itu sangat dikenalnya dan sangat membuatnya kesal. Bagaimana si centhil itu tiba-tiba bisa menyusulnya?

Kristin tiba-tiba sudah duduk didepannya, lalu melambai kearah pelayan.

"Aku nasi goreng, pakai udang, minumnya es kopyor," pesannya begitu pelayan datang.

  "mBak, kok tiba-tiba kesini? Lupa ya kalau ini cuma warung?"

"Bagas, kata papa aku harus belajar banyak dari kamu."

"Belajar apa? Aku ini orang biasa-biasa saja."

"Itulah, aku harus belajar menjadi orang biasa-biasa saja. Jadi biarpun agak sebel, aku ikuti saja kamu. Aku tau kamu tadi tiba-tiba menghilang disa'at jam makan siang. Kamu takut aku mengajakmu makan bersama bukan?"

Bagas menyendok nasinya dan mengunyahnya dengan nikmat, tak perduli pada apa yang dikatakan Kristin.

"Papa sudah bilang sama kamu?"

Bagas terkejut. Pasti yang dimaksud adalah tentang diserahkannya usaha pak Suryo itu kepada dirinya. Tapi Bagas tak mau membahasnya. Lebih baik ia pura-pura tidak tau.

"Sudah belum?" ulang Kristin.

"Aku belum ketemu pak Suryo."

"Oh, iya betul."

Bagas terus saja menyantap nasinya, sehingga begitu pesanan Kristin datang, ia sudah menghabiskan nasinya.


Seharusnya Bagas menghormati Kristin karena gadis itu adalah atasannya. Tapi karena sikap Kristin sendiri akhirnya Bagas memperlakukannya seperti teman biasa. Ia tak peduli seandainya harus dipecat sekalipun.

"Aku sudah selesai, bolehkah aku pulang dulu?" katanya  sambil meneguk minumannya.

Kristin tersedak pada suapan pertamanya karena terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia terbatuk-batuk dan itu membuat Bagas kasihan juga.

"Minumlah dulu.. kenapa sih bisa sampai tersedak begitu?"

Kristin menghirup minumannya sambil masih terbatuk-batuk sedikit.

"Kamu mau pergi sekarang? Meninggalkan aku sendiri disini?"

"Bukankah kamu juga datang sendiri ?"

"Bagas, jangan terlalu jahat sama aku, biar aku habiskan dulu nasiku ini, lalu kita pulang bersama."

"Bukan pulang bersama, bukankah kita membawa mobil sendiri-sendiri?"

"Tidak, aku tadi cuma diantar sopir. Jadi kita bisa pulang sama-sama," kata Kristin seenaknya sambil terus menikmati nasi gorengnya.

Bagas menghela nafas berat. 

***

Pak Darmono terkejut karena siang itu pak Suryo datang kerumah. Setelah pak Suryo mengatakan tentang Bagas yang akan diserahi perusahaannya, pak Darmono berfikir panjang. Ada apa sebenarnya dibalik ucapan itu.Sebuah anugerah yang berat untuk diterima, pak Darmono harus berhati-hati.

"Dar, kok bengong.."

Pak Darmno mencoba tertawa.

"Yang penting bukan seperti sapi ompong," candanya.

"Kamu sedang tidur?"

"Tidak, sedang melihat acara sinetron di televisi."

Pak Suryo tertawa.

"Kamu seperti emak-emak saja, suka menonton sinetron."

"Habisnya orang tua seperti aku, daripada tidur kan lebih baik menonton acara apapun di televisi. Oh ya, mau minum apa?"

"Tidak usah, aku mau bicara penting."

"Seperti yang mas bicarakan di telpon itu?"

"Ya, apa kamu sudah bicara sama anakmu?"

"Belum mas."

"Mengapa belum? Anakmu harus segera tau Dar. Ini demi masa depan dia."

"Bagas itu anak yang sederhana mas. Iming-iming kedudukan tidak akan membuatnya tergiur. Aku hampir yakin bahwa dia akan menolaknya."

"Mengapa? "

"Aku selalu mengajarkan padanya agar dia tak mudah tergiur oleh gemerlapnya bintang dilangit. Sejak masih kanak-kanak dia hidup sederhana dan tak pernah punya keinginan yang muluk-muluk. Jadi permintaan mas Suryo yang tiba-tiba pasti akan membuatnya bertanya-tanya."

"Bertanya-tanya bagaimana maksudmu?"

"Dia baru sebulan bekerja, mana mungkin tiba-tiba mendapat kepercayaan sebesar itu? Saya kira justru dia akan takut untuk menerimanya mas."

"Kan aku sudah bilang bahwa aku dan Kristin akan membantu sebelum dia benar-benar menguasainya."

"Harusnya Kristin yang menjalankannya, bukankah itu milik orang tuanya?"

"Dengar Dar, aku memintanya begitu bukan tanpa sebab."

"Jadi benar, ada sebabnya?"

"Aku ingin agar Bagas bisa menjadi menantuku." 

Pak Darmono terkejut.

***

besok lagi ya



 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15