BUAH HATIKU 09
(Tien Kumalasari)
Ketika Indra berteriak, Seruni sudah membuka matanya. Dan ketika terdengar gelas pecah Seruni memalingkan wajahnya, melihat Surti sedang berjongkok, memunguti pecahan gelas.
"Ada apa?"
Indra bangkit lalu beranjak keluar dari kamar.
"Surti...?"
"Ma'af bu, saya.. memecahkan gelas, " kata Surti terbata.
"Oh, ya sudah.. nggak apa-apa, bersihkan pelan-pelan dan hati-hati ya Sur."
"Ya bu, saya ambil pel dulu."
Ketika melewati ruang tengah, Surti melihat Indra duduk termangu. Hatinya ciut ketika tadi majikan gantengnya menghardiknya. Terbungkuk badannya ketika melewatinya.
"Mengapa kamu masih saja berdandan? Mau memamerkan apa?" ternyata Indra masih menatapnya marah,.
"Ma'af pak.."
"Bersihkan wajahmu !!"
"Baik, saya bersihkan tumpahan susu dikamar dulu."
"Bersihkan wajahmu dulu Surti ."
"Baik," jawab Surti takut-takut.
Surti langsung kekamar mandi, lalu membersihkan wajahnya, baru mengambil pel dan wadah untuk mengumpulkan pecahan kaca gelas.
"Surti.."
"Ya bu.. kamu belum mandi?"
"Sudah bu."
"Mengapa wajahmu tidak tampak cantik?"
"Pak Indra marah bu, Surti disuruh membasuhnya."
Seruni menghela nafas, matanya menatap kelangit-langit kamar. Bayangan wajah suaminya tampak menatapnya dengan garang. rupanya dia tahu apa yang menjadi maksudnya. Seruni memejamkan matanya. Sementara gemerincing pecahan gelas terdengar seperti pecahan itu mengiris iris hatinya.
***
"Mas..." sapa Seruni ketika Indra memasuki kamar.
"Bagaimana perasaanmu sekarang ?"
"Baik, pusingnya sudah agak berkurang."
"Bagus. Jangan memikirkan yang berat-berat, supaya cepet pulih.."
"Hm.. iya."
"Seruni, mengapa kamu cemberut begitu?" tanya Indra sambil menarik tangan isterinya dan menciumnya lembut.
"Mengapa mas memarahi Surti gara-gara dia berdandan?"
"Harusnya aku yang bertanya sama kamu, mengapa menyuruh Surti berdandan. Itu tidak pantas. Masa serang pembantu berdandan seperti majikannya?"
"Mas jangan membedakan antara pembantu dan majikan."
"Aku tidak membedakannya, tapi itu memang berbeda sayang, kalau dibiarkan dia bisa ngelunjak."
"Apa maksud mas? Surti bukan seperti pembantu biasa. Dia sangat lugu. Dia tak akan melakukan hal yang mengecewakan kita."
"Seruni, sayang... kamu terobsesi oleh keluguan Surti, lalu ingin menjadikannya madumu," kata Indra sambil terus menciumi tangan isterinya.
"Mas harus memikirkannya, bukan untuk diri dan perasaan kita saja, tapi pikirkan kedua orang tua kita. Mereka akan bahagia kalau mas bisa mewujudkan impiannya."
Indra terdiam. Agak kesal karena Seruni kekeuh dengan keinginannya. Kemudian ia berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Tapi sebelum mencapai pintu, Seruni memanggilnya.
"Mas..."
Indra berhenti melangkah, menoleh kearah isterinya.
"Mas marah ?"
"Tidak sayang, aku tidak marah," katanya sambil tersenyum, lalu membuka pintunya dan menghilang dibaliknya.
Seruni menatap pintu itu, dengan beribu rasa memenuhi benaknya.
"Apakah mas Indra merasa bahwa aku merendahkan dirinya karena menjodohkannya dengan Surti? Bukankah dia gadis yang baik? Bukankah mas Indra takut kalau nanti isteri mudanya akan menyakiti aku? Harusnya dia melihat bahwa Surti tak akan melakukannya." Seruni terus bergumam lirih, dalam kesendirian karena Indra meninggalkannya didalam kamar itu.
Seruni terus memandangi pintu, berharap suaminya akan kembali muncul dari sana.
"Apakah aku keterlaluan? Ya Tuhan, tolonglah hambamu ini... Hamba rela tersakiti demi kebahagiaan kedua mertua hamba, dan suami hamba."
Seruni mengusap titik air matanya, menunggu pintu kamarnya terbuka. Namun ketika terbuka, Surtilah yang muncul, dengan membawa lagi segelas susu dan kurma muda diatas nampan.
"Bu.. saya buatkan lagi susunya sekalian kurma mudanya," katanya sambil meletakkan nampan itu dimeja.
"Gadis yang baik, hanya kasta yang membedakannya. Apakah itu masalah?" bisiknya dalam hati.
"Bu.. mau diminum sekarang?"
"Oh, eh.. iya Surti.. tolong sedotannya," kata Seruni.
Seruni meminum susu dalam gelas itu sampai habis.
"Kurma dimakan sekalian ya bu?"
"Agak dekatkan kesini, nanti aku mengambilnya."
"Baiklah."
"Kamu tidak berdandan lagi ?"
"Tidak bu, pak Indra memarahi saya."
"Pak Indra nggak suka ya? Ya sudah, begini juga kamu juga kelihatan cantik kok."
"Ah, ibu..." Surti tersipu. Ia mengambil gelas kosong bekas susu, dibawanya kebelakang.
Berkali-kali Seruni menghela nafas.
"Surti gadis baik..." gumamnya lagi.
***
"Ibu nanti sore mau dimasakin apa?" tanya Surti ketika Seruni sudah selesai makan siang hari itu.
"Apa ya Sur, kalau menurut kamu enaknya masak apa?"
"Di freezer masih ada daging."
"Daging ya.. dimasak apa enaknya Sur?"
" Maukah rendang bu?"
"Wauw.. itu enak Sur, tapi keluarkan dagingnya sekarang, jangan sampai daging beku langsung kamu masukkan kedalam wajan.""
"Iya bu, saya sudah tahu. Lalu apa pagi?"
"Tahu sama tempe masih ada kan?"
"Ada, pasti saya akan menggorengnya untuk ibu."
"Bagus Sur, kamu pintar karena selalu ingat kesukaanku."
"Ibu itu orang kaya, sukanya tahu sama tempe."
"Eeh, Surti, kamu nggak boleh bilang begitu."
"Itu kan menu Surti sama bapak kalau dirumah, tak pernah lepas dari tahu sama tempe."
"Itu menu setiap orang dan setiap kalangan. Dan kamu harus tahu, bahwa itu makanan sehat, kaya akan protein."
"Iya bu."
"Jangan lagi membedakan antara makanan orang tak punya dan punya. Bukankah kamu juga sering aku suruh masak sayur bening? Sayur yang isinya cuma bayam dan ceme?"
"Iya bu, kalau di Surabaya itu namanya gambas."
"Betul. Enak lho itu. Sayur bening, tahu sama tempe bacem, sambel terasi.. hm.. enak sekali Sur."
"Iya bu."
"Baiklah, untuk nanti malam kamu boleh masak rendang, sama tahu tempe goreng, dan kerupuk. Itu cukup Sur.
"Besok masak sayur bening itu ya Sur, jadi pengin makan sama sayur bening. Itu juga makanan sehat, mengandung banyak vitamin dan zat besi untuk penambah darah."
"Baiklah bu."
Tapi nanti sore aku mau pergi ke dokter Sur, menunggu pak Indra pulang. Aku lelah disuruh terbaring terus. Pak Indra tidak mengijinkan aku bangun kalau dokter belum mengatakan bahwa aku sehat.
"Tapi ibu sudah kelihatan sehat."
"Rasanya juga begitu, mual pusing sudah tak lagi terasa."
"Syukurlah bu, Surti senang kalau ibu sehat."
"Lelah melayani aku yang terus terbaring dikamar ya Sur?"
"Bukan bu, masa gitu saja lelah. Hanya kasihan karena pak Indra tak mengijinkan ibu turun dari tempat tidur. Mandipun harus dengan Surti."
"Mudah-mudahan besok sudah bisa melakukan semuanya sendiri ya Sur."
"Mudah-mudahan bu."
***
Sore itu Indra membawa isterinya ke dokter, dan dengan gembira mendengar bahwa Seruni dinyatakan sehat.
"Aku tidak harus tiduran kan? Aku boleh jalan-jalan kan?
"Baiklah, kamu mau jalan-jalan kemana?"
"Aku mau makan es krim."
Indra tertawa senang melihat kegembiraan Seruni. Ia mengajaknya masuk kedalam rumah makan yang ada es krimnya, duduk berhadapan dan saling pandang dengan mesra, seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
"Kamu dari dulu suka es krim.. sudah tua juga masih suka es krim," celetuk Indra ketika pesanan es krim sudah ada dimeja meraka.
"Iih.. masa aku sudah tua sih ?" Seruni cemberut, dan membiarkan mulutnya berlepotan es krim. Indra mengusap lelehan es krim dibibir Seruni dengan jarinya.
"Maksudku lebih tua dari waktu masih muda," kata Indra sambil mencubit pipi isterinya.
"Iya sih, tapi aku masih tetap cantik kan ?"
"Kecintaanku akan tetap cantik, dulu, sekarang dan selamanya."
"Terimakasih sayang," kata Seruni sambil menyendokkan es krimnya ke mulut suaminya. Indra mengecapnya dengan nikmat.
"Aku lapar, mau pesan nasi ah, kamu mau?" kata Indra.
"Kalau kita makan disini, nanti kasihan Surti sudah masak buat kita."
Indra langsung muram ketika Seruni mengingatkannya tentang Surti.
"Benar tidak?"
"Tidak, pokoknya aku lapar dan mau makan sekarang," Indra memanggil pelayan dan memesan nasi ayam panggang untuk dirinya. Lalu menatap kepada Seruni.
"Kamu ?"
"Ya sudah, aku mau juga deh, nanti suamiku marah, aku takut," kata Seruni sambil tertawa lucu.
"Kamu mau makan apa?"
"Aku sama. Dan aku ingin es beras kencur."
"Baiklah, dua nasi ayam panggang dan dua es beras kencur," pesannya kepada pelayan.
"Eh, es krim strawbery susu, mau satu lagi," tambah Seruni.
Pelayan berlalu, dan Indra menatap isterinya. Tampaknya malam itu sangat menyenangkan, bicara so'al es krim, perut lapar dan es beras kencur yang sudah lama tidak dinikmatinya.
"Mas..."
Indra menahan nafas, dalam hati ia berdo'a, jangan sampai Seruni mengungkit masalah Surti lagi.
"Mengapa ya, aku merasa kita seperti sa'at kita pacaran?"
Indra menghembuskan nafas lega. Ia menatap isterinya dengan penuh cinta.
"Kita akan tetap seperti ini, walau nanti kita sudah seperti kakek nenek, berjalan berdua sambil bergandengan tangan dan tertatih melangkah..menikmati alam sekitar."
"Jangan sampai kita berjalan dengan tongkat penopang ya mas, semoga kita selalu kuat."
"Iya Seruni, jaga kesehatan baik-baik supaya kita tetap kuaat. Aku selalu perkasa dan kamu tetap lincah seperti kupu-kupu terbang ditaman bunga."
Seruni tersenyum bahagia, lalu mereka menikmati nasi ayam panggang dan hangat, sambil sesekali menyeruput es beras kencur yang segar.
***
"Bu, apakah saya bisa menyiapkan makan malam sekarang?"
"Oh, iya Surti, ma'af, kami sudah makan tadi diluar, kamu makan saja sendiri dan beristirahat ya."
"Oh, baiklah, apakah ibu mau disiapkan kurma mudanya?"
"Kalau itu aku mau, bawalah kemari Surti."
"Baik, bu."
Sambil mengunyah daging buah kurma yang segar, Seruni menatap punggung Surti dengan perasaan iba. Pasti sore tadi Surti sudah memasak untuk makan malam, dan dengan enaknya Seruni mengatakan 'ma'af kami sudah makan diluar'. Pasti Surti kecewa.
"Surti.."
Surti berhenti melangkah, membalikkan tubuhnya kearah majikan cantiknya.
"Simpan saja masakanmu, untuk kita sarapan besok pagi."
Surti mengangguk lalu kembali kebelakang.
"Tapi aku besok pagi ingin makan nasi goreng masakan kamu," kata Indra tiba-tiba.
"Baiklah, aku akan memasak nasi goreng untuk kamu besok."
"Pakai telur ceplok.."
"Oke.."
"Taburi bawang goreng.."
"Siap.. Apa lagi?"
"Kerupuk udang.."
"Hm emh.."
"Dan senyuman manis isteriku..."
Seruni tersenyum..
"Senyumnya selalu ada, setiap sa'at untuk kamu."
"Terimakasih, cantik."
"Mas..."
Indra menatap isterinya.
"Surti itu kan baik."
Tuh kan, kesitu lagi..?
"Aku harap mas terus memikirkannya."
"Memikirkan Surti?"
"Memikirkan permintaanku."
Indra menghela nafas.
"Mengapa mas tak mau berkorban sedikit saja untuk bapak dan ibu, juga untuk mas sendiri? Pada suatu hari nanti mas pasti akan berterimakasih sama aku."
"Ini bukan pengorbanan yang sedikit Seruni. Itu ada hubungannya dengan rasa."
"Baiklah, sedikit atau banyak, pengorbanan itu kan sesuatu yang mulia."
Indra terdiam. Seruni akan terus memintanya kalau ia tak segera memberi jawaban. Kalau jawabannya 'tidak', pasti Seruni akan menganggapnya tak punya perasaan, atau hanya memikirkan diri sendiri. Tapi kalau dia bilang 'ya'.. aduhai, bagaimana menjalaninya?
"Ma'af ya mas, akupun berat mengatakan serta membayangkannya. Tak mudah barangkali berbagi cinta,berbagi suami, tapi aku harus tidak memikirkan diri sendiri."
***
Semalaman Indra tak bisa tidur, kata-kata Seruni terus terngiang ditelinganya. Berat dan tak mudah berbagi suami berbagi cinta. Kalau Seruni bersedia berkorban, mengapa dirinya tidak?
Pagi buta, setelah sembahyang subuh berjamaah, Indra keluar dari kamar, menuju halaman, duduk dikursi dibawah pohon mangga yang sedang berbunga. Ada wangi bunga jeruk yang menusuk, yang pohonnya tak jauh dari pohon mangga itu.
Indra menyandarkan tubuhnya, menghirup aroma pagi yang menyegarkan. Menatap kejora yang berkedip ditimur sana, yang berpendar indah dan tak pernah lelah.
"Hai kejora pagi, alangkah indah hidup ini, kalau saja tak ada beban yang menghantui." bisiknya sambil menatap kejora dengan takjub.
Sepotong bulan yang mengambang, tampak maya berpacu dengan semburat merah yang menyembul dari balik bukit. Barangkali matahari sudah berkata, tidurlah wahai bulan dan bintang, sa'atnya aku menduduki singgasana hari, agar hangat bumi ini.
Lalu bintang-bintang tampak maya, lenyap karena benderang perlahan merayapi awal hari itu.
"Mas.." tiba-tiba Seruni sudah duduk disampingnya. Indra merengkuh tubuh wangi isterinya, mencium aroma rambut yang sebagian tergerai karena hembusan angin pagi.
Indra menyibakkan anak rambut yang menutupi kening, lalu mencium kening itu lembut.
"Semalaman mas nggak tidur kan?"
"Berarti sama dong. Kalau kamu tahu bahwa aku nggak tidur, berarti kamu juga nggak tidur. Iya kan?"
Ada beban yang menghimpit keduanya.
"Semua ini harus berakhir," kata Indra.
'Apa maksudmu mas?"
"Aku menyetujui usulmu."
***
besok lagi ya
"