BAGAI REMBULAN 26

 

BAGAI REMBULAN  26

(Tien Kumalasari)

 

Dayu terus meronta, lalu ketika Anjas berhasil mencengkeram tangan Dayu, tusuk rambut yang dipegangnya berhasil melukai lengan Anjas, membuatnya menjerit dan melepaskan cengkeramannya. Anjas berguling dilantai, lalu Dayu dengan sekuat tenaga bangkit, berlari kearah pintu..

“Mamaaa...”

Dayu berlari keluar, dan ketika itulah Lusi menangkapnya.

“Mau lari kemana kamu?”

“Biarkan aku pergi... “

“Lalu kamu akan melapor ke polisi?” Lusi tertawa gelak-gelak. Dayu merinding mendengar tawa itu. Ia merasa seperti mendengar auman iblis yang datang dari awang-awang. Tertatih Anjas keluar, darah menetes dari lukanya.

“Ada apa? Kenapa tanganmu?”

“Betina itu melukai aku mama.. hajar dia !!”

Lusi menubruk Dayu seperti banteng terluka. Dayu tetap meronta. Dan tiba-tiba sebuah hantaman keras terdengar. Hantaman itu adalah suara kaca pintu yang dipukul oleh sebuah tongkat dengan kekuatan raksasa.

Sebelum Anjas dan Lusi sadar apa yang terjadi, seorang kakek tua dengan tongkatnya berhasil memukul kepala Lusi, dan membuatnya tersungkur sambil menjerit kesakitan.

Anjas marah sekali, sakit yang terasa dilengannya tak lagi dirasakannya. Ia menubruk kakek tua itu dan memukulnya bertubi-tubi.

Dayu mengambil sebuah kursi pendek yang ada didekatnya, dan memukulkannya ke kepala Anjas, membuatnya tersungkur.

Dayu terkesiap melihat kakek tua itu meringkuk tak bergerak.

“Toloooong...” jerit Dayu.

“Aduh.. bagaimana ini.. aku harus menelpon.. lalu dilihatnya sebuah ponsel di atas meja. Untunglah hidup.. ia menelpon  nomor Aliando.

“Hallo..”

“Liando.. aku Dayu...”

“Dayu, dimana kamu?”

“Disuatu tempat, aku tidak tahu.. cepat kemari Liando.. kakek tua itu tampaknya parah.”

“Apa?”

“Liando, cepatlah...”

“Bagaimana aku bisa... hei... nyalakan GPS nya...”

Aduh, Dayu sangat panik, untunglah ponsel yang ada termasuk canggih. Ia bisa menyalakannya, lalu memasukkan ponselnya kedalam saku baju, barangkali diperlukan. Ia melihat Lusi bergerak lemah.. tapi Anjas tak berkutik.

Dayu mendekati kakek tua dengan perasaan takjub. Bagaimana kakek tua itu bisa berada dimana-mana? Ia membuka matanya, tapi seperti tak berdaya. Dayu berlari kebelakang, barangkali ada minuman yang bisa diberikan kepada sang kakek. Oh, ada aqua yang masih utuh, Dayu berlari kembali menghampiri kakek itu.

“Kakek, bangunlah kakek.. ini, minumlah dulu,” Dayu mengangkat kepala kakek, dan meminumkan beberapa teguk air.”

“Kakek harus kuat, seperti kakek telah melakukan banyak hal besar untuk kami.”

Dayu memangku kepala kakek itu, dan terus mengajaknya bicara.

“Bagaimana kakek bisa sampai ditempat ini dan kembali menyelamatkan aku?”

“Aku.. mau.. melihatt... wisuda..”

“Jadi kakek ada di kampus saya, dan melihat ketika saya dibawa pergi?”

Kakek itu memejamkan matanya, sementara Dayu menangkap sedikit kisah sang kakek sehingga sampai ditempat dimana dia nyaris celaka.

“Ya Tuhan.. kakek mau melihat acara wisuda itu?”

Tiba-tiba Dayu melihat Lusi bangkit sambil memegangi kepalanya.

“Jahanam kamu! Setan kamu ! Kamu membunuh anakku?” geramnya seperti harimau kelaparan. Dayu miris melihat mata itu. Itu bukan mata manusia, itu mata iblis, wajah iblis, geram iblis.

Ia mencari sesuatu untuk membela diri, seandainya perempuan setan itu masih mampu menyerangnya. Dan itu benar, begitu bangkit, seperti memiliki kekuatan raksasa, Lusi mengangkat sebuah kursi, siap dilemparkannya kearah Dayu yang sedang memangku kepala kakek itu.  Dayu beringsut dari tempat duduknya, bersiap menghindar, tapi kakek tua itu tiba-tiba bangkit, mengambil tongkat yang tergeletak tak jauh dari sana, dan menyabetkannya kearah kaki Lusi. Lusi memekik keras, tubuhnya jatuh dengan kursi yang semula diangkatnya telah menindih tubuhnya. Ia mengeluh lalu diam.

“Kakek, terimakasih,” Dayu kembali memeluk kakek itu dan tak lama kemudian terdengar raungan mobil polisi. Beberapa mobil masuk, dan Dayu yang masih merangkul kakek tua melihat Liando yang kemudian menubruknya serta memeluknya erat.”

“Sayangku, rembulanku.. aku merasa telah kehilangan kamu, dan ternyata kamu masih berada dipangkuanku,” saking gembiranya Liando berlinangan air mata.

“Liando, tolong bawa kakek kerumah sakit terdekat.”

“Kenapa dia?”

“Cepat Liando, ceritanya nanti.”

“Dayu.. Dayu...” teriakan Adit membuat kakek tua yang masih dalam rangkulan Dayu membuka matanya.

“Mas Adit, tolong bawa kakek ini ke mobil, “ pinta Dayu.

“Langsung kerumah sakit Dit,” kata Liando yang segera berlari kearah mobilnya.

Biarlah polisi menangani kedua penjahat yang entah pingsan atau mati, Dayu ingin sang kakek segera mendapat pertolongan. Adit menggendong sang kakek, yang kemudian meletakkan kepalanya didada Adit. Liando melarikannya kerumah sakit.

***

Surti berhenti menangis ketika mendapat kabar bahwa Dayu selamat.

“Syukurlah, apakah dia tak apa-apa?” tanya Surti kepada suaminya.

“Tidak apa-apa, ada kakek-kakek yang menolongnya, sehingga Dayu kemudian bisa menelpon Liando serta membawa polisi kesana.”

“Dayu tidak diapa-apakan?”

“Tidak Surti, jangan khawatir, dia selamat lahir batin,” kata Tikno yang tahu bahwa isterinya pasti khawatir kalau anak gadisnya mendapat perlakuan buruk seperti ketika dirinya dibawa penjahat di daerah Ngawi.

“Kalau begitu aku ingin kerumah sakit.”

Tikno terkejut. Sungguh dia ingin menutup sejarah buruk yang menimpa isterinya dimasa lalu, dan Tikno tahu siapa kakek-kakek itu. Tidak, Surti tak boleh melihatnya dan mengetahuinya, karena Tikno tak ingin luka yang telah kering kembali berdarah.

“Surti, sudahlah, kamu menunggu saja dirumah, kamu kan harus memasak, bukankah besok ada pesanan? Sebentar, Dayu akan bapak telpon supaya kamu bisa mendengar suaranya.”

“Kok ya tidak menelpon dari tadi,” keluh Surti.

“Tadi dia masih sibuk membawa penolongnya itu ke rumah sakit. Sebentar ya.”

“Hallo bapak, Dayu belum bisa menelpon, masih mengurusi kakek tua, tapi sekarang semuanya sudah selesai. Mas Adit dan Liando sudah mengurus semuanya dan sekarang kakek sudah dirawat. Mana ibu, bapak?”

“Ini, ibumu juga menunggu kamu, menangis dari tadi siang.”

“Hallo ibu, masihkah ibu menangis?”

“Dayu, kamu nakal ya, mengapa tidak segera menelpon ibu?”

“Ma’af ibu, kakek itu ketika dibawa keadaannya kritis. Jadi Dayu belum memikirkannya, tapi kan ibu sudah mendengar dari mas Adit bahwa Dayu baik-baik saja.”

“Belum lega karena belum mendengar suara kamu. Kamu baik-baik saja?”

“Dayu baik-baik saja ibu, tak kurang suatu apa.”

“Apa berandal itu tidak menyentuhmu ?”

“Ketika menyentuh Dayu, Dayu menusukkan tusuk konde yang Dayu pakai ketika itu, mengenai lengannya sampai dia berguling-guling kesakitan.”

“Oh, syukurlah nduk.”

“Ketika Dayu mau melarikan diri, Anjas hampir menangkap Dayu, tapi kakek tiba-tiba datang dan menghajarnya.

“Ya Tuhan. Bagaimana kakek itu bisa selalu bisa menjadi penolong kamu?”

“Rupanya dia ada didepan auditorium ketika itu, dan melihat ketika Dayu dijemput orang tak dikenal. Lalu dia mengikuti sampai ketempat dimana Dayu dianiaya.”

“Oh, Tuhanku, terimakasih. Kok ya suatu kebetulan yang luar biasa menurut ibu.”

“Karena  ibu yang selalu mendo’akan bagi keselamatan kami, maka Allah mengutus sang kakek tua menjadi penolong.”

“Bagus sekali nak, sampaikan salam ibu kepada kakek, dan rasa terimakasih ibu dan bapak ya,”

“Iya ibu, nanti setelah sadar akan Dayu sampaikan.”

“Siapa nama kakek itu?”

“Dia itu orang aneh bu, nggak pernah mau mengatakan nama dan dimana rumahnya.”

“Oh, ya sudah nak, segera pulang ya, ibu ingin memeluk kamu.”

“Iya ibu, segera.”

Surti menyerahkan ponsel suaminya dan tersenyum lega.

“Aku heran kakek itu, apakah dia malaikat yang disuruh Allah untuk menjaga anak-anakku?”

“Kalaupun dia bukan malaikat, tapi dia adalah sang penolong. Besok saja bapak kerumah sakit.”

“Ibu ikut ya?”

“Jangan bu, besok-besok saja, ibu kan banyak pekerjaan.”

***

Kakek tua itu sudah sadar, tapi tubuhnya sangat lemah. Kata dokter, ada pukulan keras didadanya yang membuat paru-parunya terluka. Nafasnya sesak, karenanya ada selang oksigen untuk membantunya bernafas.

Adit dan Dayu selalu duduk disampingnya, Aliando mendampingi Dayu sambil mengelus pundaknya. Tampaknya membayangkan kehilangan Dayu membuat hati Liando sangat terguncang, dan sekarang tak sedikitpun dia mau meninggalkannya.

Mata kakek itu masih terpejam.

“Kakek...” Adit memanggilnya pelan, membuat mata kakek itu terbuka.

Kakek mengulurkan tangan, disambut oleh Adit.

“Selamat,” katanya sangat pelan.

Adit mengangguk.

“Terimakasih kakek..”

Lalu kakek itu mengulurkan lagi tangannya, seakan ingin memeluk Adit.  Adit membungkukkan tubuhnya, sehingga kakek itu bisa merangkulnya.

“Anak baik, teruslah menjadi baik.” Bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

“Ya, kakek. Sekarang istirahatlah, biar cepat pulih.”

Kakek itu melepaskan pelukannya, lalu memejamkan matanya. Tampak letih dan nafasnya terengah-engah.

“Dayu, kamu pulanglah dulu, ibu dan bapak menunggu kamu bukan?”

“Iya. Mas Adit masih mau disini ?”

“Iya, biar aku disini dulu. Katanya Yayi juga mau kesini.”

“Naya dan Susan juga mau kesini, tapi Dayu harus segera ketemu bapak sama ibunya, mereka pasti ingin sekali segera ketemu Dayu.”

“Tolong antarkan Dayu pulang, Liando.”

“Baiklah, kalau ada apa-apa kabari aku. Aku sudah menitipkan uang untuk perawatan kakek, sampai sembuh.”

“Terimakasih Liando.”

***

“Sayang... syukurlah kamu baik-baik saja, tapi lihat, baju kamu kusut dan kotor. Ayo.. ibu mandiin ya?” kata Surti sambil menggandeng anaknya ke kamar mandi.

Liando dan Tikno menatapnya terharu. Seperti dirinya, tadi juga serasa enggan melepaskan Dayu.

“Terimakasih ya nak Liando, gerak cepat itu segera menyelesaikan semuanya, dan kakek tua juga segera mendapat pertolongan.”

“Iya bapak, kasihan, tulang tuanya sampai matang biru. Kebangeten berandal itu, sama sekali tidak punya peri kemanusiaan.”

“Benar nak, tapi untunglah, mereka sudah ditangkap. Banyak kejahatan telah dilakukannya, dan mereka harus menebusnya.”

“Semoga setelah ini semuanya baik-baik saja.”

“Aamiin. Besok bapak juga mau kerumah sakit, bapak perlu mengucapkan terimakasih. Semoga besok keadaannya sudah lebih baik.”

“Iya pak, tadi nafasnya masih terengah-engah, tapi dia bisa bercakap dengan Adit, walau patah-patah.”

Tikno terdiam, ia semakin meyakini siapa sebenarnya kakek tua itu. Biarlah semuanya berlalu, karena waktu telah menggulungnya, lalu menjadikannya lembaran baru yang semoga lebih baik dari hari-hari terdahulu.

“Nanti bolehkah saya mengajak Dayu kerumah? Ibu pasti juga menunggu beritanya.”

“Oh, ibu juga dberi tahu?”

“Tidak secara langsung pak, tapi pak Karjo pasti bilang sama ibu ketika saya mencari-cari Dayu.”

“Baiklah, nak.. para orang tua harus segera tenang, agar tidak terus-terusan merasa was-was.”

Dayu keluar bersama ibunya, tersenyum cerah karena bahagia.

“Tahu nggak sih, aku seperti bayi, ibu memandikan aku lalu mendandani aku..” kata Dayu sambil tertawa.

“Biar bersih dari segala aura jahat yang tadi sempat menempel ditubuh kamu,” kata Surti.

“Dan itu membuat Dayu lebih cantik lho bu,” kata Liando sambil menatap Dayu lekat-lekat.

“Iih..  berarti biasanya nggak cantik dong,”

“Cantik kok, cuma ini semakin cantik, berkat ibu.”

“Ya sudah, ibu siapkan makan ya,” kata Surti.

“Ibu, bagaimana kalau makannya nanti saja? Liando mau mengajak Dayu menemui ibu, supaya ibu juga nggak khawatir,” kata Liando.

“Baiklah, kalau begitu, tapi jangan lupa makan disini ya.”

“Baiklah ibu.”

***

Susan terkulai sedih melihat hasil perbuatan mama dan kakaknya. Tak terbayangkan mereka bisa melakukan hal yang begitu sadis dan membahayakan nyawa manusia, bahkan hampir saja Anjas memperkosa Dayu.

Naya mendekatinya, menepuk-nepuk tangannya.

“Ada apa San?”

“Aku ini ikut merasa berdosa.. kenapa sampai begini..”

“Itu bukan kamu Susan, sudahlah, mama dan kakak kamu sudah mendapatkan hukuman. Semoga ini adalah pelajaran bagi mereka, supaya selanjutnya bisa melangkah kejalan yang lebih baik.”

“Naya...”

“Sudahlah Susan.. tidak usah menyesali apapun. Kamu adalah kamu dan bukan siapapun.”

“Terimakasih Naya..”

Walau begitu perasaan menyesal masih juga meliputi hatinya.

“Kalau kamu ingin menengoknya ditempat tahanan, aku akan mengantarkan kamu.”

“Tidak Naya, aku tak mau.”

“Bagaimanapun mereka adalah keluarga kamu.”

“Tapi aku tak ingin bertemu mereka. Menatap wajah mereka bisa menambah guratan luka dihati aku, Naya.”

“Baiklah, barangkali kamu butuh menenangkan pikiranmu terlebih dulu, tapi nanti ketika kamu ingin menemui mereka, aku akan mengantarkan kamu.”

***

Malam itu Adit menunggui kakek tua dirumah sakit. Tak tega membiarkannya sendirian, Ia tidur sudah larut, karenanya ia masih terlelap ketika pagi mulai menjelang. Adit tidur disofa panjang, antara sadar dan tidak.. ia melihat sang kakek berjalan mendekati dia. Adit menegurnya karena ia yakin sang kakek masih sakit.

“Kakek, tidurlah saja..”

“Jangan panggil aku kakek..”

“Apa?”

“Panggil aku bapak..”

“Bapak?”

“Karena kamu anakku.”

“Bohong ! Penipu. Berhenti disitu, selangkah lagi kamu maju,  aku hajar kamu.”

“Adit...”

“Hentikan!”

“Adit..”

Tiba-tiba Adit merasa seseorang mengguncang tubuhnya. Adit membuka matanya, dan melihat bapaknya berdiri menatapnya.

“Oh, bapak? Ini jam berapa?”

“Kamu tidur sampai jam setengah delapan pagi, dan mengigau tidak karuan.”

“Ya ampun bapak, memangnya Adit mengigau?”

“Mimpi apa kamu?”

Adit mengucek matanya, ditempat tidur, dilihatnya kakek masih terbaring. Kok tadi bangun ya?”

“Mimpi apa nak?”

“Mimpi aneh. Dalam mimpi itu, kakek sudah bisa berdiri tegak dan mengahampiri Adit, lalu Adit panggil dia kakek, tapi dia tidak mau. Dia mau saya panggil bapak. Lalu Adit marah-marah,” Adit menghela nafas.

“Untunglah hanya mimpi. Masa aku membentak-bentak kakek yang baik hati itu.”

Tikno tertegun. Ada pesan didalam mimpi itu, dan itu benar adanya. Hanya Adit yang tak mau menerimanya. Tikno mengelus kepala Adit.

“Pergilah kekamar mandi dan basuh wajahmu. Kamu sudah shalat?”

“Tadi sudah, lalu kembali tidur, so’alnya Adit tidur sangat larut. Duduk disamping kakek sampai melihat kakek itu pulas.”

“Anak baik..”

“Kakek itu terus menerus berkata seperti itu, anak baik.. teruslah menjadi baik..”

Tikno mengangguk. Adit sama sekali tidak mengerti, ada ikatan darah diantara mereka,  dan barangkali ada kebanggan dihati kakek itu melihat Adit tumbuh dewasa, gagah, tampan dan pintar. Ya Tuhan, bahkan kakek itu sebenarnya ingin menghadiri acara wisuda Adit. Tikno mengusap air matanya.

“Mengapa bapak?”

“Cuci mukamu dulu, bapak mau menemui kakek itu.”

Tikno menghampiri ranjang, kakek tua masih memejamkan matanya. Nafasnya tampak tersengal. Keadaan ini masih seperti yang diceritakan Dayu semalam.

Wajah keriput itu tampak lelah, Tikno menatapnya tak berkedip.

Laki-laki yang membuat isterinya sengsara, menderita, ternoda, sekarang tergolek tak berdaya. Barangkali segunung sesal selalu menindihnya dalam perjalanan hidupnya. Dia berkeliaran disekitar rumah Tikno, menyaksikan dari jauh si Adit kecil dalam gendongannya, lalu bersekolah bersama adiknya, lalu kuliah, dan berhasil menggondol predikat sarjana. Tak semua orang merasakannya, dan kakek tua itu menelan kebanggaannya dalam hati. Menelan kerinduannya yang tak pernah pudar selama bertahun-tahun.

Tikno kembali mengusap air matanya. Kebenciannya mendadak sirna, penderitaan panjang yang disandang laki-laki tua ini sudah cukup menebus semua dosanya. Semoga...

“Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu, pak Sardiman,” bisiknya pelan. Tapi yang pelan itu berhasil membuka mata si kakek. Bola mata yang layu, menatap Tikno lekat, lalu bibirnya membisikkan sebuah kata.

“Ma’af...”

Lalu tiba-tiba nafas kakek Sardiman tersengal. Adit baru keluar dari kamar mandi, mendekat dan merasa khawatir.

“Susteeerr...tolong suster..”

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 



 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15