ADA YANG MASIH TERSISA 05
(Tien Kumalasari)
Tejo mengelus elus pelipisnya dan rahangnya yang membiru.
“Kurangajar. Setan darimana yang tiba-tiba menghajarku? Salah orang apa ya? Kalau saja dia tidak segera kabur, pasti aku balas kelakuannya yang sok jagoan.”
Tejo belum juga menstarter mobilnya. Kepalanya terasa berat. Tapi mengingat pesan bapaknya, ia harus segera pulang.
Begitu memasuki rumah, dilihatnya bapaknya sudah menunggu diteras.
Tejo turun, dan pak Kusumo terkejut melihat wajah Tejo matang biru.
“Ada apa kamu?”
“Nggak tau bapak, tiba-tiba ada orang memukuli Tejo.”
“Apa? Tiba-tiba memukuli? Berarti kamu punya musuh?”
“Tidak, barangkali salah orang, setelah menghajar wajah Tejo dia kabur.”
“Ya ampuun, kok bisa ada salah orang. Ya sudah, masuk kedalam biar diobati ibumu. Obat isterimu serahkan saja dulu biar segera diminum.”
“Obat.... ya ampuun..” Tejo memukul keningnya lalu mengaduh sendiri karena mengenai lebam yang semakin membiru.
“Ada apa?”
“Sebentar, obatnya mana ya...” Tejo berlari kembali ke mobil, tapi obat itu tidak diketemukannya.
“Bagaimana kamu ini?”
“Sebentar bapak, Tejo kembali ke apotik lagi, barangkali obatnya jatuh didepan apotik ketika ada orang mengamuk itu tadi, katanya sambil memasuki mobilnya dan memacunya kembali ke apotik.
Pak Kusumo geleng-geleng kepala, lalu masuk kedalam kamar. Dilihatnya isterinya masih duduk disamping ranjang, menunggui Miranti yang terbaring sambil memejamkan matanya.
“Seperti mobilnya Tejo, dia sudah datang?”
“Nggak tahu kenapa, wajah anak itu matang biru.”
“Matang biru bagaimana ?”
“Katanya ada orang mengamuk, memukuli dia sampai wajahnya matang biru.”
“Kok bisa mengamuk sih pak, memangnya Tejo salah apa?”
“Tejo juga nggak tahu, dia mengira ada yang salah orang, sekarang dia kembali lagi ke apotik.”
“Lha kenapa lagi?”
“Obat untuk Miranti hilang entah dimana.”
“Haduuuh, bagimana anak itu?”
“Mungkin ketika ada orang tiba-tiba memukuli dia itu, obatnya jatuh. Ada-ada saja anak itu. Miranti bagaimana ? Masih panas, pusing?”
“Sudah bisa tidur pak, biarkan saja dia istirahat.”
Tapi sesungguhnya Miranti tidak tidur. Mendengar bahwa Tejo tiba-tiba dihajar orang, Miranti terkesiap, ia ingat bahwa Pramadi mengancamnya. Ingin menghajarnya sampai tak bisa bangun kembali. Miranti gelisah sekali. Ia ingin menelpon Pramadi, tapi mana mungkin? Ia hampir yakin pasti Pramadilah yang melakukannya. Tadi dia mengancamnya , dan dia sudah membuktikannya. Bagaimana kalau dia melakukannya lagi?
“Sudah tidak panas, semoga benar kata dokternya, bahwa dia hanya masuk angin,” kata pak Kusumo sambil menyentuh kening menantunya.
“Iya benar pak, syukurlah.”
“Aku menunggu Tejo lagi didepan ya bu, setelah itu lihat wajahnya anakmu, apakah perlu dibawa kerumah sakit atau kita bisa mengobati sendiri.”
“Bagaimana sih lukanya?”
“Lebam-lebam diwajah.”
“Kenapa, anak itu.”
***
Ketika Tejo kembali, bu Kusumo merasa miris melihat lebam diwajah anaknya. Dengan hati-hati dia mengompresnya dengan air dingin untuk mengurangi nyerinya.
“Kamu punya musuh?”
“Tidak bu, itu orang ngawur, mungkin salah sasaran. Kalau saja dia tidak langsung pergi sudah Tejo habisin dia,” kata Tejo dengan jumawa, padahal dia miris mendengar ancamannya sebelum pergi. Benarkah dia akan menghajarnya lagi? Siapa sebenarnya dia?”
“Sudah, ini cukup. Sekarang dekati isteri kamu, berikan obatnya dan suruh minum sekarang.”
Tejo memasuki kamar dengan terpaksa. Dilihatnya wajah Miranti yang pucat, tampak memejamkan mata. Tejo meletakkan obatnya dengan hati-hati dimeja, tapi sebuah sendok tergelincir dari atas gelas, menimbulkan suara berdenting.
Miranti membuka matanya. Ia menatap wajah suaminya, yang biru lebam.
“Sampai seperti itu? “ bisik batinnya. Tapi dia masih sangat marah pada suaminya. Perlakuan terhadap dirinya, penghinaan yang merobek harga dirinya, sangat sulit dima’afkan.
Miranti membalikkan tubuhnya memunggungi suaminya.
“Ini obatmu,” kata Tejo dengan nada kaku.
Miranti tak menjawab.
“Pokoknya aku sudah bilang, jangan sampai bapak atau ibu mengira aku tak memperhatikan kamu,” kata Tejo lalu melangkah keluar.
“Sudah kamu suruh minum obatnya?” tanya bu Kusumo.
“Dia tidur bu, susah dibangunkan. Apa dokter telah membiusnya?” kata Tejo sekenanya.
“Hush, membius bagaimana? Memangnya mau dioperasi. Coba bangunin pelan, soalnya ia harus segera minum obatnya,” kata bapaknya.
“Sudah saya coba pak. Tidak bangun juga.”
“Tapi kalau nyenyak tidurnya kok ya kasihan pak, coba ditunggu sebentar lagi saja,” ujar bu Kusumo, dan Tejo merasa lega.
Tejo duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya. Ia bukan hanya pusing memikirkan sakit kepalanya, tapi juga pusing kalau teringat bahwa ia menjanjikan uang pada Anisa.
“Kalau sakit ya ke dokter sana,” kata bu Kusumo.
“Oh, kalau lebam-lebam begitu kan ada salep yang bagus untuk itu, itu yang bening, baunya harum, dingin kalau dioleskan. Nanti aku belikan,” kata pak Kusumo.
“Ya sudah kamu istirahat saja Tejo, bapak sama ibu mau pulang, karena kamu sudah datang. Jaga isteri kamu dan selalu ingatkan agar minum obatnya ya,” pesan bu Kusumo.
“Tejo mau tidur dikamar sebelah saja bu, takut menggangu Miranti,
“Ya sudah sana, tapi jangan lupa sesekali kamu lihat isteri kamu.”
Tejo senang karena tidak harus sekamar dengan Miranti.
***
Pagi hari itu Miranti mencoba bangun, setelah terlelap semalaman. Ia bersyukur Tejo tidak tidur disampingnya. Sungguh merasa ngeri membayangkan apa yang telah dilakukannya.
Miranti bangkit, kekamar mandi dan berwudhu. Ketika selesai shalat dan keluar dari kamar, dilihatnya Tejo sudah berpakaian rapi. Rupanya dia terlelap sampai siang, barangkali karena pengaruh obat yang diminumnya. Ia kedapur dan membuat teh hangat untuk dirinya sendiri, duduk diruang makan sambil menunggu tehnya agak dingin. Ada beberapa potong roti dimeja itu, rupanya ibu mertuanya yang membelikannya.
Miranti mengambil sepotong, roti semir dengan keju, dan dinikmatinya bersama teh hangat buatannya. Ketika Tejo masuk keruang makan, Miranti tak menoleh sedikitpun. Tejo melirik keatas meja, tak ada minuman yang tampaknya tak disiapkan untuknya. Lalu Tejo teringat bahwa dia selalu menolak teh buatan Miranti. Lalu diambilnya gelas, lalu menuangkan air dingin dari dalam kulkas, meminumnya tanpa duduk, lalu pergi begitu saja.
Miranti menghabiskan rotinya, lalu mengambil obat, dan diminumnya mana yang harus diminum sa’at pagi.
Dering ponsel terdengar, ternyata dari bu Kusumo, ibu mertuanya.
“Miranti ?” sapa bu Kusumo dari seberang.
“Ya, ibu.”
“Bagaimana keadaanmu?”
“Baik ibu, Miranti sudah bangun dan minum obat.”
“Syukurlah, ibu mau mengirimkan nasi liwet untuk makan pagi kamu.”
“Sudah bu, Miranti sudah masak nasi, ibu tidak usah repot-repot lagi,” kata Miranti berbohong. Tidak enak rasanya selalu merepotkan mertua.
“Masa mau makan nasi saja? Kan harus ada lauknya, ibu belikan gudeg ya, atau soto saja?”
“Ibu, di kulkas masih banyak sayur dan Miranti akan memasaknya sebentar lagi.”
“Mir, kamu kan masih sakit?”
“Tidak ibu, Miranti sudah sehat, sungguh, ibu jangan repot-repot, ya.”
“Baiklah kalau begitu, jangan terlalu lelah, banyak-banyak istirahat ya nak.”
“Baiklah ibu.”
“Apa ibu perlu mengabari orang tua kamu? Kemarin ibu belum bilang apa-apa.”
“Tidak usah bu, Nanti mereka khawatir. Miranti kan tidak apa-apa.”
“Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa, kamu kabari ibu ya? Jangan lupa obatnya.”
“Iya ibu, yang diminum pagi sudah Miranti minum.”
“Bagus nak, sekarang istirahat saja dulu.”
“Iya bu, terimakasih banyak.”
“Oh ya, ada roti dimeja makan..”
“Sudah Miranti makan bu.. enak.”
“Syukurlah. Suami kamu sudah berangkat?”
“Sudah bu..”
“Ya sudah. Banyak-banyaklah istirahat.”
Miranti kemudian menanak nasi, lalu melihat sayuran di kulkas, masih cukup untuk membuat sepanci kecil sup ayam.
Begitu selesai memasak, tilpunnya berdering lagi. Dari Pram, dan Miranti mengangkatnya dengan antusias. Dari kemarin dia ingin menegurnya dan memarahinya.
“Apa kabar bidadari?”
“Pram, aku ingin marah sama kamu.”
“Hei... kamu sudah sehat?”
“Sudah, aku tidak apa-apa."
"Kemarin aku sudah menonjok wajahnya sampai matang biru.”
“Pram, itu sebabnya aku ingin marah sama kamu, mengapa kamu melakukannya?”
“Aku masih akan menghajarnya sampai dia tak bisa bangun lagi.”
“Ya ampun Pram, dengar aku, jangan lagi melakukannya. “
“Miranti, kamu kesakitan lahir dan batin kamu, sedangkan dia hanya matang biru diwajahnya, itu belum cukup.”
“Dengar Pram, kalau kamu menyayangi aku, hentikan itu. Jangan lagi menyakiti dia.”
“Oo.. kamu merasa kasihan?”
“Tidak Pram, aku hanya tidak ingin kamu menyakiti orang lain. Semua yang menanam dia akan menuai,. Tapi bukan dengan tangan kamu Pram, tolong dengar aku, jangan lakukan ya.”
“Miranti.. apakah bidadari selalu bersikap seperti itu?”
“Pram, aku serius. Tolong dengar aku Pram..”
“Sungguh aku tak rela kamu dihinakan seperti itu Mir.. “
“Dengar aku Pram, tolong.. hentikan...” suara Miranti terdengar menghiba. Pramadi menghela nafas berat, menahan kemarahan yang masih membakar ubun-ubunnya.
“Pram...”
“Iya.. aku mendengarnya..”
Lalu Pram menutup pembicaraan itu. Miranti sedikit lega sudah bisa mengingatkan Pram, walau belum yakin apakah Pram benar-benar mau mendengarkan kata-katanya.
***
“Bagaimana isteri kamu?” tanya pak Kusumo yang berada dikantor hari itu.
“Baik..”
“Baik bagaimana ? Kamu memperhatikan isteri kamu apa tidak sih Jo?”
“Memperhatikan bapak, tadi sudah bisa bangun, membuat teh sendiri dan sarapan.”
“Kamu harus memperhatikan isteri kamu, dia itu wanita yang baik. Bapak tahu itu.”
“Iya bapak.”
Tiba-tiba ponsel Tejo berdering. Aduh, dari Anisa? Mana berani Tejo mengangkatnya?
“Itu ada telpon, dari siapa?”
“Dari teman, biarkan saja, paling mengajak reuni besok Minggu depan," kata Tejo sambil mereject panggilan itu. Lalu ia menulis pesan singkat.
“Ada bapak. Kamu kan sudah aku kirimi foto wajahku yang lebam biru?”
Lalu Tejo memasukkan ponselnya kedalam laci.
“Aku peringatkan lagi Tejo, jangan sekali-sekali kamu berhubungan dengan perempuan bernama Anisa itu. Awas saja kalau nekat.”
“Ya..”
“Nanti sa’at makan siang kita akan kerumah kamu. Bapak ingin melihat keadaan isteri kamu, dan ibumu bilang Miranti sudah akan masak siang ini. Kita lihat, benarkah itu, atau dia masih terbaring sakit.”
“Celaka, padahal aku akan menemui Anisa sa’at makan siang.,” kata batin Tejo.
“Tejo.. kamu mendengar kata bapak tadi?”
“Oh, iya pak, mendengar.. “
“Oh ya, telpon dulu isterimu, apakah benar dia sudah bisa masak hari ini? Kalau belum kita mampir ke rumah makan untuk membeli makan siang kita, dan dimakan bersama isteri kamu dirumah.”
“Saya menelpon Miranti?”
“Iya lah, masa bapak sih?”
Tejo menelpon isterinya, yang dengan heran mengangkatnya.
“Ada apa?” kata Miranti dingin.
“Bapak bertanya, apakah kamu sudah bisa masak hari ini?”
“Ya masaklah, masa aku membiarkan diri aku kelaparan?” jawab Miranti ketus.
“Bapak mau makan dirumah. Kalau kamu tidak memasak bapak mau beli direstoran.”
“Tidak, biarpun sedikit aku masak,” kata Miranti. Ia yakin bapak mertuanya ada dikantor, dan karenanya maka Tejo mau menelponnya.
“Ya bapak, Miranti sudah memasak hari ini,” kata Tejo kepada bapaknya.
“Bagus, kita makan masakan isteri kamu.”
“Ya pak.” Jawab Tejo sambil mengomel dalam hati.
“Baiklah, lanjutkan pekerjaan kamu, bapak mau melihat semua laporan yang masuk bulan ini. Oh ya, kamu masih ingat kan, gaji kamu akan ditransfer ke rekening isteri kamu.”
Tejo mendongakkan kepalanya, tak percaya bapaknya akan membuktikan ancamannya.
“Bapak sudah perintahkan ke bagian keuangan.”
Tejo tak menjawab, menekuni pekerjaannya dengan wajah kesal. Masa sih gajinya akan ditransfer ke rekening Miranti?
***
Pak Kusumo senang, makan dirumah anaknya, karena Miranti telah memasak sup ayam, dan membuat perkedel.
“Kamu kok sudah masak-masak sih Mir, apa sudah sehat benar?”
“Sudah bapak, Miranti tak apa-apa.”
“Obat selalu diminum?”
“Iya pak.”
“Jangan terlalu capek, kalau memang enggan memasak, pesen saja, atau bilang sama ibumu, biar dikirim kemari.”
“Iya bapak, tidak apa-apa, tapi ma’af masakannya, seadanya sayur di kulkas.”
“O, ini enak sekali, bapak tidak mengira kamu juga pintar memasak.”
Miranti tersenyum, menunduk, duduk disamping suaminya yang hanya diam sambil makan masakannya.
“Bagaimana Tejo, benar kan kata bapak bahwa masakan isterimu sangat enak?”
“Iya bapak, enak sekali,” jawab Tejo sambil menambahkan nasi kepiringnya.
Miranti mencibir dalam hati.
“Doyan juga makan masakanku, padahal baru sekali ini dia merasakannya.”
“Oh ya Miranti, gaji suami kamu bulan ini akan ditransfer ke rekening kamu.”
Miranti terkejut.
“Ke rekening saya pak?”
“Iya, biar keuangan dia lebih terkontrol, jadi kalau dia butuh apa-apa tinggal minta ke kamu.”
“Tt..tapi.. bapak..”
“Sama saja kan, uang dibawa kamu atau dibawa suami kamu? Ini agar Tejo lebih berhati-hati mengelola uang penghasilannya. Biarpun dia anak pemilik perusahaan, tapi tidak bisa menghamburkan uang seenaknya. Kalau ada keperluan mendesak, bilang sama bapak, Gampang kan? Dan ini berlaku sampai dia benar-benar tidak lagi berhubungan dengan perempuan pengerat itu.”
Pak Kusumo meletakkan sendoknya setelah suapan terakhir. Miranti menyiapkan minum untuk mertuanya, sekaligus untuk Tejo. Ia tak ingin rumah tangga yang tak berujud ini diketahui oleh mertuanya, ataupun oleh orang tuanya sendiri.
***
Ketika pemberitahuan dari kantor mengatakan bahwa gaji suaminya telah ditransfer kerekeningnya, Miranti segera mengambil uang itu, dan diberikannya kepada Tejo, ketika pulang pada malam harinya.
“Ini uang kamu.”
“Uang apa?”
“Uang gaji kamu.”
“Bukankah kamu berkuasa atas uang itu? Ya sudah, bersoraklah karena kamu telah menguasai rumah tangga ini, menjadi ratu yang harus dihormati sekaligus dimanjakan,” kata Tejo yang bukannya berterimakasih tapi malah mengomel tak jelas.
Miranti tak mengacuhkannya. Ia pergi kekamarnya, dan membaringkan tubuhnya. Setelah sakit beberapa hari lalu Miranti merasa tubuhnya sering merasa lemas. Ia enggan mengeluh kepada mertuanya, nanti mereka.. lebih-lebih ibu mertuanya pasti akan heboh menyuruhnya ke dokter lalu tidak boleh mengerjakan apapun.
Tiba-tiba Tejo masuk, dan ada rasa takut kalau nanti Tejo tidur lagi disebelahnya setelah berminggu-minggu tidak dilakukannya.
Miranti pura-pura memejamkan matanya.
“Ini uangnya,” kata Tejo sambil meletakkan uang itu diatas meja.
Miranti membuka matanya, bersyukur tak ada tanda-tanda Tejo akan melakukan apapun.
“Itu gaji kamu, bawa saja, tidak usah bilang sama bapak, tidak enak aku membawa uang kamu, lalu kamu menuduh aku menguasainya.”
Tejo menatap tak percaya.
“Tinggalkan untuk kebutuhan harian, sisanya bawa saja.”
Dan Tejo dengan senang mengikuti anjuran isterinya.
***
Pagi itu MIranti ingin belanja. Ada kebutuhan dapur yang harus dibelinya, stok sayuran menipis dan masih banyak yang harus dibelinya. Sejak diancam oleh bapaknya, setiap hari Tejo makan pagi, siang dan malam dirumah, sehingga walau melayaninya dengan setengah-setengah dan yang makan juga hanya setengah-setengah.. setiap hari Miranti harus memasak.
Belanja di supermarket saja, karena badannya agak kurang enak.
Turun dari taksi, Miranti langsung masuk ke supermarket itu, tapi tiba-tiba ia merasa limbung. Sebelum naik ke eskalator Miranti tak tahan lagi, tubuhnya terhuyung.
“Miranti.."
***
Besok lagi ya