SANG PUTRI 04
(Tien Kumalasari)
“Apa sebenarnya maunya anak itu,” omel bu Ismoyo.
Simbok memegangi tangannya ketika bu Ismoyo mau mendekati serombongan wanita-wanita berpakaian glamour itu.
“Jangan bu, nanti ramai ditepi jalan, malu dilihat orang.”
“Aku kesal banget sama menantuku itu mbok.”
“Sabar bu, mari belanja dulu saja, biarkan mereka.”
“Nanti saja sehabis belanja kita mampir kerumah Handoko. Harus diberi tahu Handoko itu, jangan membiarkan isterinya berbuat semaunya. Seorang isteri kok tidak memperhatikan keluarga, malah sibuk bersenang-senang.”
“Bu, kita cari yang bumbu-bumbu kering dulu ya, sayuran belakangan,” kata simbok mengalihkan kekesalan bu Ismoyo.
“Ya sudah , terserah kamu saja.”
Akhirnya bu Ismoyo menuruti kata-kata simbok, melanjutkan masuk kedalam supermarket untuk belanja, walaupun kekesalannya belum hilang.
“Bagaimana menurut kamu mbok, menantuku itu. Tadinya baik-baik saja lho, kok sekarang berubah menjadi seperti itu?” bu Ismoyo masih mengomel.
“Namanya masih muda bu, mungkin belum puas bersenang-senang,” kata simbok sambil mengambil sebotol pala bubuk dan lada.
“Lha ketika dia bersiap untuk menjadi isteri, kebutuhan keluarga kan harus lebih diutamakan ta mbok?”
“Benar bu, tapi terkadang ada nyang belum puas menikmati kesenangan masa muda.”
“Ah, lha kalau begitu ya jangan buru-buru menikah.”
“Ibu butuh buah kan bu? Itu pisangnya bagus-bagus,” kata simbok sambil meraih sebotol kecap.”
“Iya, beli saja pisang, sama jeruk untuk Danang. Oh ya, belikan juga untuk Handoko, kan nanti mau kesana.”
“Baiklah,”
Bu Ismoyo terus menggerutu tentang menantunya, sementara simbok menanggapi ala kadarnya sambil menyibukkan diri memilih buah dan sayuran. Sebagai sesama orang tua ia bisa mengerti apa yang dirasakan bu Ismoyo terhadap menantunya. Kesal dan kecewa.
“Katanya ibu ingin masak bistik hari ini?”
“Oh iya, pilihkan dagingnya yang empuk. Pilih has dalam ya mbok.”
“Iya bu, seperti biasanya kan?”
“Benar, kamu kan sudah sering beli.”
***
Ketika bu Ismoyo dan simbok sampai dirumah Handoko, Handoko dan Bintang sedang makan pagi dilayani oleh Mirah.
“Lhoh, jam segini baru makan pagi?” tegur bu Ismoyo.
“Ibu... ? Kok tumben sama simbok?”
“Iya, habis belanja langsung kemari.”
“Eyang mau makan sama Bintang?” tegur Bintang.
“Eyang sudah sarapan, biar eyang temani saja disini ya ?”
“Belanja dimana bu?”
“Biasa le, di Ngapeman, tadi aku ketemu isteri kamu.”
“Oh ya ? Ayo duduk di ruang tengah saja bu. Miraah, tolong kursi rodaku.”
“Baik pak,” kata Mirah yang semula duduk didapur bersama simbok.
Mirah mendekatkan kursi roda Handoko.
“Saya bantu pak?”
“Nggak, biar aku mencobanya sendiri,” kata Handoko yang mencoba berdiri, kemudian Mirah mendekatkan kursi rodanya sehingga Handoko bisa langsung duduk dengan nyaman.
Bu Ismoyo menatap puteranya dengan iba.
“Kamu itu masih perlu dukungan isteri kamu, tapi isteri kamu seenaknya saja bersenang-senang dengan teman-temannya,” gerutu bu Ismoyo ketika sudah duduk diruang tengah.
Handoko mencoba berpindah duduk di sofa, Mirah menjaga didekatnya, agar tuan gantengnya tidak sampai terjatuh lagi. Tapi kali ini Handoko berhasil berpindah duduk dari kursi rodanya ke sofa dengan manis.
Mirah meminggirkan kursi roda dan melangkah kebelakang. Lalu membuat minuman untuk bu Ismoyo.
“Bu Palupi sering pergi ya?” tanya simbok ketika Mirah sudah membawa minuman kedepan, lalu mengangsurkan cawan yang satu kearah simbok.
“Setiap hari nggak pernah ada dirumah mbok, tadi juga, pagi-pagi sudah pergi.”
“Iya, tadi ketemu di sebelah selatan perempatan Ngapeman. Temannya banyak, cantik-cantik, bercanda heboh sekali tadi.”
“Bu Ismoyo melihatnya?”
“Ya melihatnya, kalau aku tidak mencegahnya pasti sudah didamprat disana tadi.”
“Iya ya mbok, kasihan bapak .. makan pagi juga sendiri.. hanya bersama mas Bintang, dan saya juga yang melayani.”
“Tampaknya mereka tadi seperti memasuki rumah makan rame-rame. Jadi dia pergi makan, membiarkan suaminya makan dilayani kamu ya Rah.”
“Ah, entahlah mbok, aku juga kasihan kalau melihat bapak ini. Aku heran kok ya didiamkan saja. Tapi ibu itu kalau ditegur berani menjawab lho mbok, aduuh.. kalau sudah begitu mas Bintang aku sembunyikan dikamar, supaya nggak melihat pertengkaran bapak ibunya.”
“Yu Miraaah...” tiba-tiba Bintang berteriak.
“Ya mas Bintang, ada apa,” jawab Mirah sambil mendekati Bintang.
“Mana mobilku yang merah?”
“Lho, kemarin ditaruh dimana ? Sebentar, yu MIrah cari, barangkali tertinggal didepan,” kata Mirah sambil beranjak didepan.
“Cari apa Rah?” tanya Handoko.
“Mobilnya mas Bintang yang merah, kemarin sepertinya dibuat mainan disini.”
“Itu, disebelah meja televisi,”
“Oh iya...” Mirah mengambil mobilnya dan berlalu.
“Untunglah kamu punya pembantu yang baik Han.. kalau tidak, bagaimana rumah tangga kamu tanpa dukungan isteri.”
“Iya bu, semuanya Mirah yang mengerjakan. Dia melakukannya dengan baik, melayani Bintang dengan telaten.”
“Seperti yang ibu katakan tadi, kamu harus menegur isteri kamu. Harus dihentikan kesukaannya berfoya-foya. Kalau perlu jangan diberikan kunci mobil supaya dia tidak kemana-mana.”
“Nanti saya akan mencoba bicara bu. Sebetulnya saya segan, karena kalau saya tegur pasti dia marah dan menjawab dengan keras.”
“Kamu seorang laki-laki, jangan sampai dia melakukan lagi hal yang kamu tidak suka.”
“Selamat siang..” tiba-tiba seseorang muncul, langsung mendekati bu Ismoyo dan mencium tangannya. Demikian juga terhadap Handoko.
“Widi ?”
“Iya bude..”
“Lama sekali nggak ketemu, kamu tambah cantik saja nduk..”
“Ah, bude nih, terimakasih bude..”
“Apa kabar bapakmu, aku juga lama nggak pernah kabar mengabari.”
“Bapak sehat bude. Kapan-kapan mau saya ajak kerumah bude.”
“Han, bagaimana kalau Widi ini ibu ambil menantu?”
Widi terkejut. Diambil menantu?
“Kamu saya jodohkan sama Danang, bagaimana nduk?”
Widi semakin terkejut.
“Danang? Ogah. Mata keranjang begitu, bisa sakit darah tinggi aku.” Kata batin Widi.
“Kok senyum-senyum, mau kan?” bu Ismoyo mendesak.
“Tidak bude, jangan.. Widi masih ingin kuliah..”
“Ya ditunggu lah, sampai kamu selesai kuliah..yang penting kamu mau, nanti aku bicara sama bapakmu.”
“Aduh...” wajah Widi pucat tiba-tiba.
“Ibu, jangan membuat Widi takut. Pertama, Widi dan Danang itu kan saudara sepupu. Kedua, Widi sudah punya pacar. Ya kan Wid?”
Widi menunduk dan tersipu.
“Iya Wid, kamu sudah punya pacar?”
“Bude, Widi hanya belum memikirkannya.”
“Sedih aku ini memikirkan Danang. Kapan mau punya isteri. Pacaran terus nggak ada yang dipilih.”
“Ibu tidak usah terlalu memikirkan Danang. Dia sudah dewasa, nanti kalau sa’atnya tiba pasti dia akan mendapat jodoh.”
Tiba-tiba terdengar mobil memasuki halaman. Handoko menatap kedepan.
“Isteri kamu bukan?”
“Iya bu.”
“Ibu nggak mau rame-rame disini. Ibu mau pamit saja. Tolong panggilkan ibu taksi.”
“Lho, bude kok buru-buru?”
“Bude sudah lama nduk, tolong Han, panggilkan taksi.”
“Miraaah...”
“Ya bapak,”
“Tolong ambilkan ponselku di kamar.”
Ketika Handoko memanggil taksi, Palupi masuk kedalam rumah.
“Eeh, ada Widi... ada ibu juga..” katanya sambil mencium tangan mertuanya.
Bu Ismoyo membiarkannya. Ditatapnya Palupi dengan wajah cemberut.
“Darimana kamu ?”
“Dari.. belanja bu..”
“Belanja dimana ?”
“Cuma dekat situ bu..”
“Bukannya kamu tadi bersama-sama dengan teman-teman kamu ?”
“Apa?”
“Makan di restoran dekat Ngapeman ?”
“Oh, iya bu.. kebetulan tadi ketemu teman, lalu diajak makan.”
“Ibu, taksinya sudah datang.”
“mBook.. ayo pulang,” teriak bu Ismoyo lalu simbok tergopoh kedepan.
Palupi mengantarkan mertuanya sampai naik keatas taksi, sementara Widi juga bersiap pamit pulang.
“Kok pulang sih Wid, kamu kan baru saja datang?”
“Tadi cuma mampir mas,” kata Widi yang sebenarnya merasa akan ada suasana panas dirumah itu.
“Wid, besok datanglah kemari, aku mau minta tolong.”
“Minta tolong apa mas?”
“Aku ingin memakai kruk saja .. tidak kursi roda. Rasanya aku sudah semakin kuat kok. Maukah mengantar? Sekalian aku kontrol ke dokter.”
“Tidak sama mbak Palupi?”
“Sama kamu saja, naik taksi. Aku pengin ngobrol. Jam berapa pulang kuliah?”
“Besok kebetulan libur mas. “
“Bagus, datang agak pagi ya?”
“Baiklah.”
***
“Mau kemana tadi janjian sama Widi?” tanya Palupi yang mendengar pembicaraan suaminya dengan Widi sebelum gadis itu pulang.
“Mau kontrol,”
“Kok ngajak Widi? Nggak sama aku?”
“Memangnya kamu ada waktu?”
“Mas ini lama-lama ketularan sama ibu ya.”
“Ketularan apa?”
“Menilai aku bukan sebagai isteri yang baik.”
“Jadi menurut kamu... apa kamu sudah merasa menjadi isteri yang baik?”
“Mas itu maksudnya apa sih? Dulu kan mas tidak pernah melarang kalau aku pergi kemana-mana?”
“Sekarang tidak. Aku melarang kamu. Mana kunci mobil..?”
“Apa mas?”
“Kunci mobil. Itu mobil untuk bekerja, bukan untuk jalan-jalan.”
“Mas mau mengekang saya?”
“Mengendalikan kamu.”
“Apa maksudmu mas?”
“Cobalah menjadi ibu rumah tangga yang benar-benar seorang ibu rumah tangga. Mengurus suami, mengurus anak..”
“Aku harus dirumah saja dan mengurus semuanya?”
“Ya.”
“Aku nggak mau mas, memangnya aku ini gadis pingitan?”
“Kamu itu ibu dari anakmu, isteri aku. Kamu yang seharusnya mengurus semuanya, bukan Mirah !”
“Jadi tadi ibu kesini, mengajari mas untuk mengatakan semua itu?”
“Aku bukan anak kecil yang harus diajari. Sudah lama aku menahan semuanya.”
“Aku tidak mau.”
“Baiklah, kalau itu pilihanmu. Mana kunci mobil, serahkan sekarang.”
Palupi melemparkan kunci mobil kehadapan Handoko dengan kasar, kemudian masuk kedalam kamar.
Handoko merasa lega sudah menumpahkan semuanya.
***
Sampai sore harinya Palupi masih ada didalam kamar. Ia menelpon teman-temannya dan menceriterakan ‘penderitaannya’.
“Aku kan sudah mengingatkan kamu Lupi, ketika suami sakit kamu mengurangi lah acara bersenang-senang,” kata salah seorang temannya.
“Aku tidak bisa ngendon terus didalam kamar. Dan kamu tahu nggak, kunci mobil diminta oleh suami aku.”
“Kamu berikan?”
“Iya lah.. “
“Ya sudah, kalau begitu untuk sementara jangan pergi kemana-mana, biarkan kemarahan suami kamu reda dulu. Nanti kalau dia melihat kamu menuruti kata-katanya, pasti dia akan membiarkannya lagi kamu jalan kemana kamu suka.”
“Kayaknya nggak deh. Tapi biarin saja, kalau nggak pakai mobil kan aku bisa naik taksi? Enak aja suruh dirumah saja.”
“Haa.. rupanya kamu memang pintar ya Lup.. baiklah, terserah kamu saja. Cuma pesan aku, kalau bisa menurutlah pada apa yang dikatakan suami kamu, agar rumah tanggamu baik-baik saja.”
“Ah, nggak tahulah, aku masih sebel. Kayaknya aku mau tidur saja seharian.”
“Ya sudah tidur aja dan jangan ngomel terus.”
***
“Palupi sudah makan Rah?”
“Belum pak, masih ada didalam kamar, tapi kalau disuruh membangunkan, Mirah nggak berani.”
“Ya sudah biarkan saja, yang penting Bintang sudah makan.”
“Ya bapak.”
“Aku mau istirahat dulu, setiap habis minum obat rasanya kok ngantuk.”
“Sebaiknya bapak tidur saja, banyak istirahat bapak.”
“Ya, terimakasih Mirah.”
“Perlu saya bantu bapak?”
“Tidak, aku sudah banyak latihan, nggak apa-apa, aku bisa kok.”
“Baiklah, hati-hati bapak.”
“Iya Mirah. Besok aku mau mengajak Widi untuk beli kruk saja, supaya tidak terus-terusan duduk di kursi roda, sambil melatih kakiku.”
“Bukankah besok bapak harus kontrol?”
“Iya benar Mirah, biar sama Widi saja, naik taksi, kan aku belum bisa menyetir mobil.”
Handoko menjalankan kursi rodanya kearah kamar.
“Hati-hati bapak.”
Handoko mengangguk dan tersenyum kearah Mirah sebagai ucapan terimakasih. Senangnya Mirah menatap senyum itu.
“Yu Miraah...” teriak Bintang.
“Bobuk yuk mas...”
Mirah membawa Bintang kekamar mandi untuk mencuci kaki tangannya karena habis bermain-main.
Bintang lebih dulu lari kekamar, sementara Mirah akan menutup pintu rumah dulu. Tapi tiba-tiba seseorang mendekapnya dari arah pintu. Mirah meronta.
“Mas Danaaaang, lepaskan..!” teriak Mirah.
“Kamu kalau cemberut tambah cantik lho Rah.
“Hiih.. benci saya sama mas Danang. Sukanya mengganggu orang,” kata Mirah sambil membalikkan tubuhnya setelah Danang melepaskannya. Tapi Danang tiba-tiba mengejarnya dan mendekapnya lagi dari belakang.
“Mas Danaaang !!”
Teriakan Mirah terdengar oleh Handoko.
“Jangan begitu mas ! Lepaskaaan!!” Mirah terus berteriak.
Danang membungkam mulut Mirah. Tapi tiba-tiba Handoko muncul dengan kursi rodanya.
“Danang !!” bentak Handoko keras.
Danang melepaskan dekapannya.
“Mas Handoko.. aku kira tidur.”
“Kamu jangan kurangajar. Kelakuan burukmu tidak bisa kamu bawa ke rumah ini.”
“Lho mas, Mirah kan cuma pembantu. Boleh saja kan dibuat mainan?”
“Tutup mulut kamu Danang! Mirah itu milik aku !!”
Bukan hanya Danang yang terpana, Mirah yang setengah berlari dan mau masuk kekamar Bintang menghentikan langkahnya.
***
Besok lagi ya.