SEPENGGAL KISAH 16
(Tien Kumalasari)
Mimi bingung mendengar kata2 ayahnya. Tapi pak Surya terkejut menyadari kesalahan ucapan yang diungapkannya.
"Apa maksud papah?
Harta apa?"
Pak Surya kebingungan menjawabnya. Apa yang dilakukannya tak harus diketahui oleh anak gadisnya. Isterinya pun tidak.
"Papah...." Mimi mengulangi pertanyaannya.
"Apa maksudmu?"
"Papah tadi bilang harta.. harta apa? Apa hubungannya dengan Mimi atau Damar?"
"Oh... hahaaa.. papah lagi linglung. Tadi dirumah teman papa kami berbicara tentang hartanya yang ludes karena rumahnya terbakar. Heran.. papah kepikiran terus jadi kebawa sa'at bicara sama kamu."
Pak Surya segera bangkit lalu masuk kekamarnya, khawatir Mimi akan bertanya lebih jauh.
"Aku kerumah sakit ya pa..," Mimi berteriak pamit. Ayahnya hanya mengangguk.
Damar masih seperti tadi. Tergolek lemah seakan tanpa daya. Ia bisa melawan apa saja tapi tak bisa melawan keinginan batinnya untuk melupakan Asri.
Tidak .. aku tak percaya itu.. Asri masih mencintai aku.. masih menyayangi aku. Mengapa tiba2 sudah bertunangan? Begitu kata batinnya. Kemudian timbullah semangatnya untuk sehat. Kemudian ia akan menanyakannya sendiri pada Asri. Harus Asri sendiri yang menjawabnya.
Asri sudah beberapa hari dirumah. Bosan sekali ia karena tak banyak yang bisa dikerjakannya dengan berjalan mempergunakan kruk. Padahal ia ingin sekali bekerja untuk meringankan beban ayahnya.
Pagi itu pak Marsam sedang membersihkan mobil majikannya. Ia berfikir untuk tidak usah menerima gajinya mulai bulan ini entah sampai beberapa bulan me ndatang sampai hutangnya lunas.
Tiba2 Bowo mendekat.
"Pak biar aku lanjutkan pekerjaan ini," sambil tanganbya meraih lap mobil yang dipegang pak Marsam.
"Jangan mas..
"Tapi bapak memanggil pak Marsam diteras depan."
"Oh. Baiklah"
Pak Marsam bergegas kearah yang ditunjuk Bowo dengan perasaan tak menentu. Pasti pak Prasojo akan mengitung berapa bulan waktu yang diberikannya untuk melunasi hutangnya.
Diteras itu pak Prasojo sudah menunggu. Ia berdiri ragu2.
"Kesini pak.. duduk didepanku," sapa pak Prasojo ramah.
Pak Marsam mendekat dan duduk dengan hati2.
6 bulan.. sepuluh bulan.. atau setahun .. 2 tahun. Kebit2 hati pak Marsam.
"Bagaimana keadaan Asri?"
"Baik pak, semua itu atas budi baik keluarga bapak, tapi saya berjanji untuk ... "
Terpenggal kata2 pak Marsam karena pak Prasojo memutusnya.
"Sst... kamu saya panggil bukan untuk membicarakan hutang piutang karena aku tidak menghutangkan apapun kepada siapapun" tandas pak Prasojo.
" Tt.. tapi .. saya merasa..."
"Stopp... stop.. aku ingin menanyakan keadaan Asri. Ok.. sudah baik.. dia bisa berjalan kan walau pakai kruk?" Pak Marsam hanya meng angguk2. Telapak tangannya dingin berkeringat. Alangkah susahnya dan beratnya orang berhutang budi.
"Apa Asri bisa membantuku?"
Pak Marsam memandang majikannya tak mengerti.
"Aku membutuhkan seorang baik yang tekun dan yang bisa bekerja pastinya. Dan aku pikir kalau Asri mau biarlah dia bekerja dikantorku untuk menjadi sekretarisnya Bowo."
Pak Prasojo memandangi sopirnya yang masih kebingungan dan tetap menundukkan kepala.
"Kau mendengar kata2ku bukan? Aku minta Asri membantu dikantorku. Mulai besok pagi."
"Ttapi.. kakinya mas.. masih sakit... dan.."
"Yang nanti bekerja itu tangannya.. bukan kakinya."
"Oh.. ya.. ya.."
Nanti setelah mengantar aku kekantor kau boleh pulang sebentar untuk menanyakannya pada Asri.
Seperti mimpi rasanya ketika pak Marsam berjalanke mobil yang akan dipakainya untuk mengantar majikannya.
Damar sudah boleh pulang kesehatannya telah pulih. Pagi tadi pak Surya menandaskan bahwa minggu depan mereka akan berangkat.
"Aku sudah mangurus semuanya Damar. Kita langsung berangkat. Lagipula tantemu juga sudah kangen sama kamu."
Damar tak menjawab. Pagi itu ia berjalan kerumah Asri. Ia harus mencari jawab atas apa yang didengarnya dari mulut laki2 ganteng dirumah sakit itu.
Sebentar lagi sampai dan hati Damar berdebar debar. Tapi didepan rumah Asri sebuah mobil berhenti. Kira2 sepuluh langkah sebelum sampai Damar melihat Asri berjalan dengan topangan tongkat dan seorang laki2 memapahnya. Darah Damar seakan berhenti mengalir. Laki2 itu adalah laki2 yang dilihatnya dirumah sakit itu dan mengucapkan kata2 yang membuat hatinya hancur.
#adalanjutannya tuh#
(Tien Kumalasari)
Mimi bingung mendengar kata2 ayahnya. Tapi pak Surya terkejut menyadari kesalahan ucapan yang diungapkannya.
"Apa maksud papah?
Harta apa?"
Pak Surya kebingungan menjawabnya. Apa yang dilakukannya tak harus diketahui oleh anak gadisnya. Isterinya pun tidak.
"Papah...." Mimi mengulangi pertanyaannya.
"Apa maksudmu?"
"Papah tadi bilang harta.. harta apa? Apa hubungannya dengan Mimi atau Damar?"
"Oh... hahaaa.. papah lagi linglung. Tadi dirumah teman papa kami berbicara tentang hartanya yang ludes karena rumahnya terbakar. Heran.. papah kepikiran terus jadi kebawa sa'at bicara sama kamu."
Pak Surya segera bangkit lalu masuk kekamarnya, khawatir Mimi akan bertanya lebih jauh.
"Aku kerumah sakit ya pa..," Mimi berteriak pamit. Ayahnya hanya mengangguk.
Damar masih seperti tadi. Tergolek lemah seakan tanpa daya. Ia bisa melawan apa saja tapi tak bisa melawan keinginan batinnya untuk melupakan Asri.
Tidak .. aku tak percaya itu.. Asri masih mencintai aku.. masih menyayangi aku. Mengapa tiba2 sudah bertunangan? Begitu kata batinnya. Kemudian timbullah semangatnya untuk sehat. Kemudian ia akan menanyakannya sendiri pada Asri. Harus Asri sendiri yang menjawabnya.
Asri sudah beberapa hari dirumah. Bosan sekali ia karena tak banyak yang bisa dikerjakannya dengan berjalan mempergunakan kruk. Padahal ia ingin sekali bekerja untuk meringankan beban ayahnya.
Pagi itu pak Marsam sedang membersihkan mobil majikannya. Ia berfikir untuk tidak usah menerima gajinya mulai bulan ini entah sampai beberapa bulan me ndatang sampai hutangnya lunas.
Tiba2 Bowo mendekat.
"Pak biar aku lanjutkan pekerjaan ini," sambil tanganbya meraih lap mobil yang dipegang pak Marsam.
"Jangan mas..
"Tapi bapak memanggil pak Marsam diteras depan."
"Oh. Baiklah"
Pak Marsam bergegas kearah yang ditunjuk Bowo dengan perasaan tak menentu. Pasti pak Prasojo akan mengitung berapa bulan waktu yang diberikannya untuk melunasi hutangnya.
Diteras itu pak Prasojo sudah menunggu. Ia berdiri ragu2.
"Kesini pak.. duduk didepanku," sapa pak Prasojo ramah.
Pak Marsam mendekat dan duduk dengan hati2.
6 bulan.. sepuluh bulan.. atau setahun .. 2 tahun. Kebit2 hati pak Marsam.
"Bagaimana keadaan Asri?"
"Baik pak, semua itu atas budi baik keluarga bapak, tapi saya berjanji untuk ... "
Terpenggal kata2 pak Marsam karena pak Prasojo memutusnya.
"Sst... kamu saya panggil bukan untuk membicarakan hutang piutang karena aku tidak menghutangkan apapun kepada siapapun" tandas pak Prasojo.
" Tt.. tapi .. saya merasa..."
"Stopp... stop.. aku ingin menanyakan keadaan Asri. Ok.. sudah baik.. dia bisa berjalan kan walau pakai kruk?" Pak Marsam hanya meng angguk2. Telapak tangannya dingin berkeringat. Alangkah susahnya dan beratnya orang berhutang budi.
"Apa Asri bisa membantuku?"
Pak Marsam memandang majikannya tak mengerti.
"Aku membutuhkan seorang baik yang tekun dan yang bisa bekerja pastinya. Dan aku pikir kalau Asri mau biarlah dia bekerja dikantorku untuk menjadi sekretarisnya Bowo."
Pak Prasojo memandangi sopirnya yang masih kebingungan dan tetap menundukkan kepala.
"Kau mendengar kata2ku bukan? Aku minta Asri membantu dikantorku. Mulai besok pagi."
"Ttapi.. kakinya mas.. masih sakit... dan.."
"Yang nanti bekerja itu tangannya.. bukan kakinya."
"Oh.. ya.. ya.."
Nanti setelah mengantar aku kekantor kau boleh pulang sebentar untuk menanyakannya pada Asri.
Seperti mimpi rasanya ketika pak Marsam berjalanke mobil yang akan dipakainya untuk mengantar majikannya.
Damar sudah boleh pulang kesehatannya telah pulih. Pagi tadi pak Surya menandaskan bahwa minggu depan mereka akan berangkat.
"Aku sudah mangurus semuanya Damar. Kita langsung berangkat. Lagipula tantemu juga sudah kangen sama kamu."
Damar tak menjawab. Pagi itu ia berjalan kerumah Asri. Ia harus mencari jawab atas apa yang didengarnya dari mulut laki2 ganteng dirumah sakit itu.
Sebentar lagi sampai dan hati Damar berdebar debar. Tapi didepan rumah Asri sebuah mobil berhenti. Kira2 sepuluh langkah sebelum sampai Damar melihat Asri berjalan dengan topangan tongkat dan seorang laki2 memapahnya. Darah Damar seakan berhenti mengalir. Laki2 itu adalah laki2 yang dilihatnya dirumah sakit itu dan mengucapkan kata2 yang membuat hatinya hancur.
#adalanjutannya tuh#