SEPENGGAL KISAH 65
Desember 08, 2018
Damar melompat turun dari ranjang, membetulkan letak bajunya lalu keluar dari kamar. Tak ada siapapun diluar, karena malam telah larut. Damar menyesal telah melakoni hudup yang seharusnya bukan keinginannya, Damar menyesal telah menjadi permainan dari keluarga yang entah untuk apa, Ingin ia menangis menggerung gerung, menangisi nasib baik yang tidak berfihak kepadanya, Menyesali kepergian ayah ibunya ketika ia masih kanak2, dan tak tau harus apa yang dilakukannya kalau keluarga Surya tidak merawatnya. Ia bingung, haruskah ia berterimakasih atau sebaliknya? Nyatanya apa yang dialaminya sangat menyakitkan. Kini ia sadar, tak sudi menjadi boneka tanpa nyawa tanpa rasa. Ia ingin memberontak pada nasib yang melumuri hidupnya. "Ya Tuhan,"keluhnya, "aku melakukan ini karena aku sudah kehilangan Asri. Kalau saja Asri masih setia padaku, tidak menjadi milik orang lain, aku tak akan menjadi seperti ini," Patah hati, membuatnya pasrah, tapi pasrah ternyata membuatnya lebih menderita.
"Damar...," lirih suara Mimi sambil terisak. Pakaiannya telah rapi kembali, dan ia bersimpuh dihadapan Damar.
"Damar, ma'afkanlah aku, dua bulan yang lalu, ketika pesta dirumahnya John, dan kamu nggak mau ikut bersamaku, aku terlena, aku minum2 dan lupa segalanya..ma'af Damar.."
"Aku tidak perduli kamu melakukan apa, tidak perduli kamu beralasan apa. Itu terserah kamu, itu hidup kamu."
"Damar, kamu adalah suamiku,"
"Aku suamimu, karena kertas itu menulisnya begitu. Tapi aku bukan milik kamu." sengit kata2 Damar ketika mengucapkannya. Sesungguhnya ia tidak perduli bagaimana keadaan Mimi, karena ia menikahi Mimi dengan tanpa rasa, tanpa hasrat, apalagi cinta.
"Tapi aku mencintaimu," terisak Mimi, lalu menjatuhkan kepalanya dipangkuan Damar, tapi Damar kemudian berdiri dan membiarkan tubuh cantik itu terkulai.
"Tapi aku tidak, dulu.. dan sekarangpun tidak."
"Damar..." Mimi beringsut dari duduknya.. mengejar Damar sambil tangannya menggapai gapai.
"Aku bahkan sudah hamil..."
Terkejut Damar, sekarang ia tau, pak Surya menyuruhnya segera menikah karena anak gadisnya sudah hamil. Damar semakin kalap. Ia telah banyak dikorbankan..
"Ma'af Damar, lebih baik aku berterus terang.. daripada..."
"Aku tidak perduliiii... mulai detik ini kamu bukan isteriku."
Mimi menangis me raung2.
Pagi hari itu bu Sorya mendekati Damar,. Sungguh ia sangat menyayangi Damar seperti anaknnya sendiri. Ia mendengar Damar berteriak teriak diruang keluarga, mendengar tangis anak gadisnya, tapi ia tau bahwa semua itu kesalahan Mimi. Bu Surya sedih mendengar ucapan Damar yang ingin menceraikan Mimi>
"Damar, tolong, jangan tinggalkan Mimi..."
Bu Surya duduk disebelah Damar dan mengelus bahunya lembut. Damar selalu terhanyut dalam haru setiap bu Surya mengelus bahunya, apalagi memeluknya. Ia tau bu Surya sangat sedih mendengar dirinya akan meninggalkan Mimi.
"Tolong ma'afkanlah dia. Juga ma'afkanlah kami, karena telah memaksa kamu menikahi Mimi tanpa memberitahukan keadaan yang sebenarnya. Sebulan yang lalu Mimi menangis, mengatakan bahwa dia telah hamil. Kami panik, kemudian menyuruhmu menikahinya. Ma'afkan kami Damar.." Bu Suryo terisak. Damar tak berkutik.
"Tetaplah tinggal bersama kami, dan menjadi suami Mimi, walau aku tau kamu tidak mencintainya. Setidaknya, sampai bayi itu lahir, aku mohon..." Pilu hati Damar. Ia seakan ikut merasakan kepedihan bu Suryo, wanita halus budi yang menyayanginya dengan tulus.
"Dulu ketika ayah ibumu meninggal, akulah yang memaksa ayahnya Mimi agar merawatmu. Aku sangat menyayangi kamu Damar,"bu Suryo masih terisak.
Sekarang Damar tau, bahwa bu Soryo lah yang ingin menjadikan dirinya seperti keluarga mereka, merawat dan memenuhi semua kebutuhannya, bahkan menyekolahkannya. Ini bukan kemauan pak Surya, tapi isterinya.
Damar luluh, dan berbalik memeluk bu Surya dengan hangat. Tapi mulai hari itu Damar tak pernah lagi menyentuh Mimi.
Hari itu Damar ingin pulang ke Indonesia, tapi bu Suryo memaksa ingin ikut bersamanya.
"Bukan karena aku takut kehilangan kamu Damar, tapi entah kenapa, aku ingin sekali berziarah ke makan ayah ibumu. Aku kangen sekali." pinta bu Suryo.
"Baiklah tante, tapi Damar dan tante saja."
Di Indonesia mereka berziarah kemakam kedua orang tua Damar. Bu Suryo menangis tersedu sambil menaburkan bunga2 keatas pusara sahabatnya.
"Marsudi, aku minta ma'af.. aku merawat anakmu dengan tulus dan penuh kasih sayang, sungguh .. tapi anakmua kelihatan sangat menderita. Aku tidak tau lagi harus bagaimana, ma'afkan aku ya.."
Damarpun menangis, tak bisa dibayangkan betapa bahagianya apabila ayah ibunya masih hidup. Mereka meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan.
Tiba2 terdengar langkah kaki mendekat. Damar dan bu Suryo menoleh, dilihatnya sesosok perempuan yang berpakaian lusuh, dan juga tubuh yang tak terawat, tampak tua, letih dan kuyu. Ditangan perempuan itu tampak sebuah bungkusan berisi bunga. Tampak dari luar karena bungkusnya plastik yang bening.
"Bu Surya ?" perempuan itu berteriak senang.
Bu Surya kaget, mencoba mengingat ingat siapa perempuan itu.
"Bu Surya, saya Tumi.. isterinya Manto.. sopir pak Surya dulu itu..
Bu Surya terkejut. Dipandanginya Tumi, perempuan itu tanpa berkedip. :"Iya benar, kamu Tumi." Bu Surya memeluk Tumi, tak perduli pakaiannya akan menjadi kotor karena memeluk perempuan lusuh yang bagi orang lain pasti menjijikkan.
"Kenapa kamu menjadi seperti ini? Apa kabar suamimu ?"
"Itulah bu, setelah lepas menjadi sopir pak Suryo, mas Manto lalu bekerja di pak Albert, pengacaranya pak Surya," lanjut Tumi.
"Oh.. ya, aku ingat.. lalu?"
"Tapi mas Manto sakit2an sehingga tidak bekerja beberapa bulan ini bu, hidup kami menderita. Bahkan sekarang ini sakitnya parah, dan pagi tadi tiba2 ia menyuruh saya menaburkan bunga di pusara pak Marsudi ini. "
"Oh.. begitu?"
"Saya sedih bu, tampaknya mas Manto menyimpan suatu rahasia besar."
"Rahasia besar apa?"
"Itu.. ada.. hubungannya dengan ..dengan.. kecelakaan.. yang menimpak..pak Marsudi dan isterinya.." terbata Tumi mengatakannya.
Bu Surya terkejut, apalagi Damar.
#adalanjutannyalho#
Desember 08, 2018
Damar melompat turun dari ranjang, membetulkan letak bajunya lalu keluar dari kamar. Tak ada siapapun diluar, karena malam telah larut. Damar menyesal telah melakoni hudup yang seharusnya bukan keinginannya, Damar menyesal telah menjadi permainan dari keluarga yang entah untuk apa, Ingin ia menangis menggerung gerung, menangisi nasib baik yang tidak berfihak kepadanya, Menyesali kepergian ayah ibunya ketika ia masih kanak2, dan tak tau harus apa yang dilakukannya kalau keluarga Surya tidak merawatnya. Ia bingung, haruskah ia berterimakasih atau sebaliknya? Nyatanya apa yang dialaminya sangat menyakitkan. Kini ia sadar, tak sudi menjadi boneka tanpa nyawa tanpa rasa. Ia ingin memberontak pada nasib yang melumuri hidupnya. "Ya Tuhan,"keluhnya, "aku melakukan ini karena aku sudah kehilangan Asri. Kalau saja Asri masih setia padaku, tidak menjadi milik orang lain, aku tak akan menjadi seperti ini," Patah hati, membuatnya pasrah, tapi pasrah ternyata membuatnya lebih menderita.
"Damar...," lirih suara Mimi sambil terisak. Pakaiannya telah rapi kembali, dan ia bersimpuh dihadapan Damar.
"Damar, ma'afkanlah aku, dua bulan yang lalu, ketika pesta dirumahnya John, dan kamu nggak mau ikut bersamaku, aku terlena, aku minum2 dan lupa segalanya..ma'af Damar.."
"Aku tidak perduli kamu melakukan apa, tidak perduli kamu beralasan apa. Itu terserah kamu, itu hidup kamu."
"Damar, kamu adalah suamiku,"
"Aku suamimu, karena kertas itu menulisnya begitu. Tapi aku bukan milik kamu." sengit kata2 Damar ketika mengucapkannya. Sesungguhnya ia tidak perduli bagaimana keadaan Mimi, karena ia menikahi Mimi dengan tanpa rasa, tanpa hasrat, apalagi cinta.
"Tapi aku mencintaimu," terisak Mimi, lalu menjatuhkan kepalanya dipangkuan Damar, tapi Damar kemudian berdiri dan membiarkan tubuh cantik itu terkulai.
"Tapi aku tidak, dulu.. dan sekarangpun tidak."
"Damar..." Mimi beringsut dari duduknya.. mengejar Damar sambil tangannya menggapai gapai.
"Aku bahkan sudah hamil..."
Terkejut Damar, sekarang ia tau, pak Surya menyuruhnya segera menikah karena anak gadisnya sudah hamil. Damar semakin kalap. Ia telah banyak dikorbankan..
"Ma'af Damar, lebih baik aku berterus terang.. daripada..."
"Aku tidak perduliiii... mulai detik ini kamu bukan isteriku."
Mimi menangis me raung2.
Pagi hari itu bu Sorya mendekati Damar,. Sungguh ia sangat menyayangi Damar seperti anaknnya sendiri. Ia mendengar Damar berteriak teriak diruang keluarga, mendengar tangis anak gadisnya, tapi ia tau bahwa semua itu kesalahan Mimi. Bu Surya sedih mendengar ucapan Damar yang ingin menceraikan Mimi>
"Damar, tolong, jangan tinggalkan Mimi..."
Bu Surya duduk disebelah Damar dan mengelus bahunya lembut. Damar selalu terhanyut dalam haru setiap bu Surya mengelus bahunya, apalagi memeluknya. Ia tau bu Surya sangat sedih mendengar dirinya akan meninggalkan Mimi.
"Tolong ma'afkanlah dia. Juga ma'afkanlah kami, karena telah memaksa kamu menikahi Mimi tanpa memberitahukan keadaan yang sebenarnya. Sebulan yang lalu Mimi menangis, mengatakan bahwa dia telah hamil. Kami panik, kemudian menyuruhmu menikahinya. Ma'afkan kami Damar.." Bu Suryo terisak. Damar tak berkutik.
"Tetaplah tinggal bersama kami, dan menjadi suami Mimi, walau aku tau kamu tidak mencintainya. Setidaknya, sampai bayi itu lahir, aku mohon..." Pilu hati Damar. Ia seakan ikut merasakan kepedihan bu Suryo, wanita halus budi yang menyayanginya dengan tulus.
"Dulu ketika ayah ibumu meninggal, akulah yang memaksa ayahnya Mimi agar merawatmu. Aku sangat menyayangi kamu Damar,"bu Suryo masih terisak.
Sekarang Damar tau, bahwa bu Soryo lah yang ingin menjadikan dirinya seperti keluarga mereka, merawat dan memenuhi semua kebutuhannya, bahkan menyekolahkannya. Ini bukan kemauan pak Surya, tapi isterinya.
Damar luluh, dan berbalik memeluk bu Surya dengan hangat. Tapi mulai hari itu Damar tak pernah lagi menyentuh Mimi.
Hari itu Damar ingin pulang ke Indonesia, tapi bu Suryo memaksa ingin ikut bersamanya.
"Bukan karena aku takut kehilangan kamu Damar, tapi entah kenapa, aku ingin sekali berziarah ke makan ayah ibumu. Aku kangen sekali." pinta bu Suryo.
"Baiklah tante, tapi Damar dan tante saja."
Di Indonesia mereka berziarah kemakam kedua orang tua Damar. Bu Suryo menangis tersedu sambil menaburkan bunga2 keatas pusara sahabatnya.
"Marsudi, aku minta ma'af.. aku merawat anakmu dengan tulus dan penuh kasih sayang, sungguh .. tapi anakmua kelihatan sangat menderita. Aku tidak tau lagi harus bagaimana, ma'afkan aku ya.."
Damarpun menangis, tak bisa dibayangkan betapa bahagianya apabila ayah ibunya masih hidup. Mereka meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan.
Tiba2 terdengar langkah kaki mendekat. Damar dan bu Suryo menoleh, dilihatnya sesosok perempuan yang berpakaian lusuh, dan juga tubuh yang tak terawat, tampak tua, letih dan kuyu. Ditangan perempuan itu tampak sebuah bungkusan berisi bunga. Tampak dari luar karena bungkusnya plastik yang bening.
"Bu Surya ?" perempuan itu berteriak senang.
Bu Surya kaget, mencoba mengingat ingat siapa perempuan itu.
"Bu Surya, saya Tumi.. isterinya Manto.. sopir pak Surya dulu itu..
Bu Surya terkejut. Dipandanginya Tumi, perempuan itu tanpa berkedip. :"Iya benar, kamu Tumi." Bu Surya memeluk Tumi, tak perduli pakaiannya akan menjadi kotor karena memeluk perempuan lusuh yang bagi orang lain pasti menjijikkan.
"Kenapa kamu menjadi seperti ini? Apa kabar suamimu ?"
"Itulah bu, setelah lepas menjadi sopir pak Suryo, mas Manto lalu bekerja di pak Albert, pengacaranya pak Surya," lanjut Tumi.
"Oh.. ya, aku ingat.. lalu?"
"Tapi mas Manto sakit2an sehingga tidak bekerja beberapa bulan ini bu, hidup kami menderita. Bahkan sekarang ini sakitnya parah, dan pagi tadi tiba2 ia menyuruh saya menaburkan bunga di pusara pak Marsudi ini. "
"Oh.. begitu?"
"Saya sedih bu, tampaknya mas Manto menyimpan suatu rahasia besar."
"Rahasia besar apa?"
"Itu.. ada.. hubungannya dengan ..dengan.. kecelakaan.. yang menimpak..pak Marsudi dan isterinya.." terbata Tumi mengatakannya.
Bu Surya terkejut, apalagi Damar.
#adalanjutannyalho#