ADA YANG MASIH TERSISA 19

ADA YANG MASIH TERSISA  19

(Tien Kumalasari)

 

Pak Kusumo segera minta agar telpon dari dealer disambungkan kedalam.

“Hallo..”

“Selamat siang bapak..”

“Selamat siang. Darimana ya?”

“Kami dari Dealer mobil Prakarsa, mau menghubungi pak Tejo, bisakah kami bicara?”

“Oh, pak Tejo sedang keluar, apa yang bisa saya bantu? Saya direktur utama perusahaan KUSUMA.”

“Begini bapak, kami cuma mau pesan kepada pak Tejo, bahwa pesanannya baru siap besok, karena surat-surat baru dikerjakan.”

“Itu.. surat-surat apa ya?”

“Surat perjanjian kredit pak.”

“Dia mau kredit mobil ?”

“Betul bapak.”

“Saya bilang, batalkan saja pesanan pak Tejo.”

“Apa bapak?”

“Batalkan !! Saya bilang batalkan.”

“Tapi.. bagaimana dengan pak Tejo?”

“Saya ini direktur utama sekaligus bapaknya Tejo. Dia sudah saya belikan mobil baru, cash, tidak kredit. Jadi batalkan saja transaksi kreditnya, daripada nanti saya tidak akan mau mengangsurnya.”

“Tapi bapak, kalau transaksi dibatalkan, maka uang muka yang sudah dibayarkan tidak bisa diminta kembali.”

“Tidak apa-apa, biar hangus. Nah, begitu saja ya. Sekali lagi batalkan, atas nama pak Kusumo Atmojo, bapaknya Sutejo.”

“Baiklah bapak. Terimakasih.”

Pak Kusumo menutup telpon dengan wajah kusut. Bingung apa saja yang dilakukan anaknya. Pakai mau kredit mobil segala. Kalau dia bosan mobil lamanya kan bisa bicara. Kok kredit sendiri. Maksudnya apa?

Ia ingin menelpon Tejo tapi diurungkannya. Kalau Tejo masih bersama isterinya, nanti isterinya jadi terganggu. Lalu pak Kusumo duduk di sofa menyandarkan tubuhnya dan mencoba menenangkan pikirannya.

***

Tejo yang keluar dari kantor tak berani menemui Anisa. Kalau bapaknya ngecek kerumah bisa kena marah lagi dia.

Ketika memasuki halaman, dilihatnya Miranti sudah siap menggendong Abi dan hampir memasuki mobilnya.

Tejo turun dan mendekat, tak tahan untuk tidak menyentuh pipi Abi, membuat Miranti heran.

“Mau ke dokter?” tanya Tejo.

“Ya.”

“Perlu sama aku?”

“Tidak. Aku sendiri saja.”

“Ya sudah, bapak menyuruh aku mengantar kamu. Tapi kalau kamu mau sendiri ya sudah.”

Miranti masuk kedalam mobil, dan berlalu.

Tejo termangu, diantara mau mengabari ke bapaknya bahwa Miranti tidak mau diantar, atau membiarkannya saja, lalu dia menemui Anisa. Pasti sudah lama dia menunggu. Dan pasti juga dia akan marah-marah nanti.

***

“Tumben-tumbenan dia menawarkan diri mau mengantar..” gumam Miranti.

“Barangkali sudah mulai sadar.”

“Tidak juga, bapak yang menyuruhnya. Dia tadi bilang begitu.”

Lalu Pram teringat adegan diteras ketika Tejo menyentuh pipi Ana dan Ana tersenyum genit.

“Dia juga menyentuh pipi Abi.”

“Mudah-mudahan dia segera sadar bahwa dia seorang ayah, dan juga seorang suami.”

Miranti menghela nafas berat.

“Pram, kemarin mau cerita apa?”

“Yang mana ya?”

“Kamu bilang besok saja cerita, sekarang lagi bekerja atau apa.. pokoknya lagi sibuk ada urusan kantor begitu.”

“Ooh.. itu.. apa ya.. kok aku lupa..”

“Iiih.. masa baru kemarin kok bisa lupa?”

“Ooh.. itu.. aku heran melihat sebuah adegan. Kelihatannya Ana itu gadis nggak bener.”

“Memangnya kenapa?”

“Kemarin aku melihat adegan seperti yang kamu pernah cerita itu.”

“Adegan apa sih?”

“Ketika Tejo mau berangkat kerja, Ana kan mengantar sampai kedepan, diteras Tejo menyentuh lagi pipi Ana, dan Ana senyum-senyum genit begitu..”

“Masa?”

“Masa sih aku bohong. Bukannya aku ingin memanas-manasi kamu sih Mir, cuma itu kan nggak pantas.”

“Hiih, siapa yang panas? Nggak tuh, aku biasa saja. Tapi kalau memang begitu ya aku benar-benar mulai nggak suka. Risih saja serumah dengan perempuan nggak bener begitu.”

“Kamu awasi saja terus, kalau benar-benar kelewatan ya cari baby sitter lain yang lebih baik.”

“Iya akan aku awasi dia. Kamu kemarin juga digodain kan?”

“Tapi aku kan laki-laki yang teguh.. mana mungkin aku tergiur sama wanita macam begitu ?”

“Tergiurnya sama yang bagaimana ?”

“Yang kalem, yang lembut.. keibuan.. baik hati.. cantik lah pastinya..”

“Banyak banget syaratnya..”

“Iya lah, bukankah semua orang berharap yang terbaik ?”

“Semoga kamu segera mendapatkannya ya Pram.”

“Aamiin...”

“Oh ya Pram, nanti mampir ke apotik sebentar ya?”

“Mau beli obat?”

“Tidak, obatnya sudah diberi. Aku cuma mau beli baby oil saja, kemarin satu botol tumpah. Habis deh.”

“Kalau baby oil kan tidak harus diapotik Mir? Ada mini market didepan sana.”

“Terserah kamu saja Pram.”

***

Anisa menunggu Tejo tapi tak kunjung tiba ditempat yang mereka janjikan. Lalu Anisa masuk kesebuah warung, memesan makan dan minum disana. Tiba-tiba seseorang menyapanya.

“Ini mbak Anisa kan ?”

“Iya.. eh.. kamu Budi ?”

“Iya, syukurlah masih ingat saya. Kok sendirian mbak?”

“Lagi nungguin teman. Kamu sekarang disini ?”

“Iya, cari pekerjaan susahnya bukan main.”

“Kamu mau cari pekerjaan apa? Jangan ngelamar jadi direktur,” canda Anisa.

“Bukan mbak, aku kan tidak sekolah tinggi. Jadi sopir saja aku juga mau kok.”

“Jadi sopir mau ?”

“Mau mbak, aku punya  SIM A, SIM C..”

“Hm... aku kasih pekerjaan mau ?”

“Mau, diperusahaan apa?”

“Jadi sopir pribadi, kamu mau?”

“Oh, mau mbak.. mau, dimana yang membutuhkan, aku dikasih tahu alamatnya dong mbak, bener nih.. aku butuh sekali.”

“Iya.. iya sabar.. ini.. aku kasih nomornya.. kamu catat ya..” kata Anisa sambil menyodorkan ponsel yang sudah tertera nomor ponselnya.

“Ini nomor mbak Anisa sendiri?”

“Iya, wong nantinya bakal jadi sopir pribadi aku kok.”

“Oh, begitu mbak? Bagus lah.. kapan aku bisa mulai?”

“Secepatnya, mobilnya baru mau aku ambil. Kamu minta gaji berapa?”

“Yah.. biasa saja mbak, berapa standar gaji sopir pribadi, pastinya mbak Nisa lebih tahu. Saya tidak muluk-muluk, terserah mbak saja.”

“Bagus kalau begitu, bubuhkan nomor kamu, atau chat di nomor itu saja, nanti kamu aku hubungi.”

“Baiklah mbak, terimakasih banyak.”

“Kamu sudah mau pergi ?”

“Sudah mbak, tadi cuma sarapan disini, habis melamar ke dua perusahaan ini tadi, nggak diterima, untunglah ketemu mbak Anisa.”

“Baiklah Bud, mungkin hari ini aku baru mau mengambil mobilku, nanti aku hubungi kamu.”

“Terimakasih banyak mbak, saya permisi dulu.”

“Ya.. ya..” kata Anisa senang.

“Untunglah, sudah dapat sopir.. jadi besok kalau ibu mau pergi kemana-mana ada yang ngantar. Setelah itu aku siap-siap keluar dari rumah mas Tejo dan bersenang senang dengan mobilku. Biar mas Tejo nanti yang membayar gaji sopirnya,” gumam Anisa sambil menghabiskan makanannya.

Hari sudah siang dan Tejo belum tampak batang hidungnya. Anisa sudah mau menelpon ketika Tejo sudah menelponnya lebih dulu.

“Nisa, ma’af.. aku agak terlambat ya.. aku baru mau kekantor lagi, tadi keluar ..ada urusan sebentar.” Kata Tejo ketika menelpon.

“Aku sudah menunggu dari tadi, janjinya kan jam sembilan?”

“Iya, tiba-tiba ada urusan pekerjaan dan bapak ada dikantor, aku tak berani keluar menemui kamu, kalau bapak tahu bisa kacau semua urusan.”

“Jadi bagaimana? Aku harus tidur diwarung soto ini? Tadi sambil menunggu kamu aku masuk ke warung soto, makan sampai kenyang.”

“Iya, sabarlah sebentar, aku mau ke kantor, kalau bapak sudah pulang aku langsung menemui kamu.”

“Baiklah, tahu nggak mas, aku sudah dapat sopir untuk mobil aku nanti.”

“Sopir ?”

“Iya, habisnya kalau mobil ditaruh dirumah siapa yang mau nyopir? Ibuku nggak bisa nyetir. Tadi ketemu teman yang cari pekerjaan, aku tawarin saja kalau mau jadi sopir pribadiku. Lalu dia mau.”

“Ya sudah, itu dibicarakan nanti. Sekarang aku ke kantor dulu.”

“Tapi jangan lama-lama ya mas. Aku tungguin sambil jalan-jalan ya.”

“Terserah kamu saja. Kalau aku siap nanti aku telpon kamu.”

***

Karena kesal, pak Kusumo justru pulang kerumah.

“Lho pak, kok sudah pulang, katanya di kantor banyak yang harus diselesaikan?”

“Sebel aku bu.. pengin marah aku ini.”

“Lho.. lho.. ada apa sih pak, datang-datang kok pengin marah. Ibu ambilkan minum ya, barusan ibu buat jus sirsat, seger pak..” kata bu Kusumo yang kemudian langsung beranjak kebelakang.

Pak Kusumo menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Ini pak, seger.. diminum.. supaya amarahnya hilang.”

Pak Kusumo meneguk jus sirsatnya. Tapi kemarahan itu tak bisa hilang begitu saja.

“Ada apa sih pak ?”

“Ibu tahu nggak, Tejo pakai mau kredit mobil segala.”

“Kredit mobil ? Untuk apa?”

“Nggak tahu aku bu, gregetan aku sama anak kamu itu. Kelakuannya serba membuat bapak kesal, gemes,marah !!”

“Dia bilang kalau mau kredit mobil?”

Kalau dia bilang gitu ya pasti gampang bu, langsung bisa bapak tolak. Tapi ini tiba-tiba sudah transaksi sendiri.”

“Bapak tahunya dari mana?”

“Tadi dikantor, ada telpon dari dealer mobil, mencari Tejo. Waktu itu Tejo bapak suruh pulang untuk mengantar isterinya ke dokter.”

“O iya, ini waktunya periksa, mungkin imunisasi juga pak.”

“Lha itulah bu, telpon itu mengatakan ingin bertemu Tejo, sehubungan dengan kredit mobil yang sudah dia ajukan. Kaget bapak.”

“Bapak sudah tanya ke Tejo ?”

“Nggak usah tanya, wong sudah jelas. Nanti kalau ketemu tinggal bapak semprot saja.”

“Lalu bagaimana dengan transaksi kredit itu?”

“Bapak suruh batalkan. Bapak bilang ke dealer itu.”

“Lha kalau sudah transaksi biasanya sudah ada DP atau uang muka kan pak?”

“Biar saja DP nya hilang, bapak nggak peduli. Pokoknya sudah bapak batalkan. Nggak ngerti aku bu, apa maksudnya anak itu?”

“Jangan-jangan mau diberikan ke wanita itu pak, siapa namanya sampai lupa.. Anisa.. “

“Menurut bapak, sepertinya sudah tidak berhubungan lagi sama Anisa. Kan bapak menyuruh orang untuk mengawasi Tejo setiap harinya.”

“Tapi namanya maling itu sama yang jaga ya masih pinter malingnya.”

“Wah, nggak tahu kalau itu bu. Bapak belum telpon dia, kalau dia sedang bersama Miranti, nanti Miranti ikut mikir. Bapak tunggu saja dirumah. Kalau marah-marah dikantor ya nggak enak didengar orang-orang kantor.”

“Bapak sudah bilang kalau bapak tunggu dia dirumah?”

“Sudah, barusan bapak kirim pesan singkat.”

“Ya sudah, jusnya dihabiskan dan sabar pak, nanti darah tinggi bapak naik lagi kalau marah-marah terus.”

***

Tejo membaca pesan bapaknya, bahwa dia ditunggu dirumah. Alangkah senangnya, jadi dia bisa langsung menemui Nisa dulu, lalu mengurus mobil yang akan dibelinya.

Tapi dasar lagi apes, ban mobilnya kempes tiba-tiba, barangkali tertusuk paku dijalan.

Tejo memberhentikan mobilnya dipinggir jalan.

“Hadduuh...

Lalu Tejo menelpon bengkel langganannya.

Tiba-tiba pak Kusumo menelpon.

“Ya bapak..”

“Kamu masih dirumah sakit ?”

“Tidak bapak.. “

“Sudah pulang?”

“Tadi MIranti tidak mau Tejo mengantarnya, dia memilih berangkat sendiri.”

“Kalau begitu mengapa lama sekali tidak segera kembali?”

“Sebenarnya ini dalam perjalanan kembali ke kantor, tapi bapak menyuruh Tejo kerumah.”

“Ya sudah cepat kerumah.”

“Tidak bisa pak, ban Tejo kempes dua-duanya.”

“Apa?”

“Ban kempes bapak.. baru menelpon bengkel, supaya datang untuk mengganti ban-nya..

Pak Kusumo menutup ponselnya begitu saja. Tejo menangkap nada marah dalam suara bapaknya. Sama sekali Tejo tidak menduga bahwa itu dikarenakan masalah kredit mobil yang dilakukannya.

Tejo bingung, Bapaknya seperti menunggu, dan Anisa juga pasti menunggu. Lalu ditelponnya Anisa.

“Gimana mas?”

“Ada masalah nih Nis. “

“Masalah apa lagi mas?”

“Banku kempes dijalan.”

“Masih dimana ?”

“Purwosari sih, nggak begitu jauh dari dealernya, tapi bapak menelpon aku diminta cepat pulang. Bingung aku Nis.”

“Hiih, kebangeten deh bapak kamu itu. Lalu bagaimana ini? Kulitku sudah gosong karena berpanas-panas..”

“Begini saja Nis, kamu langsung ke dealer, bilang kamu isterinya pak Tejo, tanyakan apa mobilnya sudah siap. Nanti aku yang transfer uangnya.”

“Jadi aku ke dealer nih?”

“Iya, kamu bilang dari pak Tejo, gitu.. mereka sudah tahu.

***

 Besok lagi ya

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

SANG PUTRI 30

ADA YANG MASIH TERSISA 35

ADA YANG MASIH TERSISA 15