ADA YANG MASIH TERSISA 20

ADA YANG MASIH TERSISA  20

(Tien Kumalasari)

 

Anisa memanggil taksi dengan sangat bersemangat. Tak apa-apa ke dealer sendiri tanpa Tejo. Kan semuanya sudah diatur oleh Tejo.

Turun dari taksi Anisa melenggang dengan senyum terkembang.

“Selamat siang,” sapanya kepada petugas dealer.

“Selamat siang ibu, ada yang bisa saya bantu ?”

“Saya isterinya pak Tejo. Tahu kan Tejo? Yang direktur perusahaan Kusuma?”

“Oh iya ibu, saya tahu.”

“Saya akan melihat mobil pesanan suami saya, dan kalau sudah siap bisa saya bawa sekarang juga?”

Karyawan itu tampak bingung.

“Bagaimana mbak? Boleh saya melihat mobilnya?”

“Nanti dulu bu.. sebentar...”

“Belum selesai ya?”

Karyawan itu kemudian berdiri dan menemui  atasannya diruang lain.

“Pak, ini ada isterinya pak Tejo, menanyakan mobil yang kemarin mau dibeli oleh pak Tejo. Saya bingung. Bukankah transaksi sudah dibatalkan?”

“Ya benar, sudah dibatalkan, bahkan sudah ada susulan surat dari pak Kusumo direktur utamanya pak Tejo, bahwa apabila ada surat keterangan yang menyebutkan bahwa pak Tejo dalah direktur perusahaan, maka surat itu palsu. Perusahaan tidak pernah membuat surat apapun yang ada hubungannya dengan kredit itu. Jadi tetap transaksi dibatalkan.”

“Tapi kita kan belum menghubungi pak Tejo.”

“Saya sudah menghubungi belum lama, tapi ponselnya tidak aktif. Jadi saya memutuskan untuk membatalkan transaksi itu. Lagipula kalau perusahaan tidak menjamin, bagian leasing juga tidak akan bisa menerimanya.”

“Tapi tampaknya pak Tejo belum tahu, karena isterinya datang menanyakan mobil itu.”

“Bilang saja sudah dibatalkan, atau kita tunggu kedatangan pak Tejo kalau tidak bisa menerimanya.”

“Baiklah.”

Karyawan itu keluar dan kembali menemui Anisa.

“Bagaimana? Sudah siap kan mobilnya? Kalau belum bisa dibawa, saya boleh melihatnya dulu yang mana?”

“Begini bu, ma’af, tapi...”

“Tapi apa, belum selesai surat-suratnya? Kalau begitu saya mau lihat mobilnya saja dulu.”

“Sebentar bu, mengenai pesanan pak Tejo, bukankah sudah dibatalkan ?”

Anisa kembali duduk, wajahnya memerah.

“Apa maksudnya dibatalkan? Baru saja suami saya menelpon dan menyuruh saya melihat mobilnya dan mengambilnya sekalian kalau sudah selesai.”

“Tapi belum lama ini transaksi tersebut sudah dibatalkan.”

“Siapa yang membatalkan?” tanya Anisa dengan nada tinggi.

Direktur utama perusahaan Kusuma, yang juga ayahnya pak Tejo.

“Kurangajar. Mengapa dibatalkan ?”

“Kami tidak tahu alasannya bu. Mohon ma’af.”

“Tapi mengapa orang lain bisa membatalkan transaksi suami saya?”

“Dari fihak perusahaan dimana pak Tejo bekerja, tidak mau mengakui adanya hubungan transaksi tersebut , sementara surat itu juga kami butuhkan untuk menguatkan transaksi kreditnya.”

“Tapi mas Tejo itu direkturnya.”

“Ada direktur utama yang menguatkan bahwa surat-surat yang diajukan tidak benar. Perusahaan tidak tahu menahu adanya transaksi kredit itu. Dan barusan pak Tejo juga sulit kami hubungi.”

“Ini benar-benar mempermalukan saya. Biar suami saya saja yang datang kemari untuk menjelaskan semuanya.

“Benar ibu, kami tunggu kedatangan pak Tejo sendiri.”

Anisa berdiri dan keluar dari dealer, langsung menelpon Tejo, dengan wajah marah, tapi ponsel Tejo mati. Memang dimatikannya karena takut kalau Anisa menelpon sementara dia ada dihadapan bapaknya.

***

Tejo duduk dihadapan bapaknya dengan kepala menunduk. Entah kemarahan apa lagi yang akan ditumpahkan kepadanya kali ini. Menciut hati Tejo melihat wajah bapaknya yang gelap tanpa senyuman.

“Kamu tahu mengapa bapak memanggil kamu kemari?”

Tejo mengangkat wajahnya dan menggeleng.

“Jawab Tejo, untuk apa kamu mengajukan kredit mobil !!”

Tejo terkejut bukan alang kepalang. Darimana bapaknya tahu tentang mobil itu?”

“Jawab !!” pak Kusumo hampir berteriak.

“Itu... darimana bapak.. tahu?”

“Jawab saja untuk apa kamu mau kredit mobil! Untuk apa, atau untuk siapa?”

“Itu... tidak bapak.. sebetulnya.. tadi.. Tejo.. mau membatalkannya.”

“Omong kosong !”

“Begini.. Tejo.. tertarik ketika...  seorang salesman menawarkan mobil baru, saya pikir saya ingin membelinya.. dengan.. mencicil.. tapi..”

“Tapi apa, kamu pintar mencari alasan dan mengarang jawaban. Kamu juga memalsukan tanda tangan bapak sebagai direktur utama perusahaan Kusuma untuk keperluan kredit mobil itu.”

“Iya... tapi.. saya kemudian menyesal.. dan tadi sebenarnya ingin membatalkan transaksi itu.”

“Bohong kamu ! Kamu sudah punya mobil bagus dan masih ingin mobil baru lagi? Atau kamu ingin memberikannya kepada seseorang?”

“Tidak bapak, sungguh tidak. Tejo hanya tergiur oleh rayuan salesman, lalu kemudian Tejo menyesal. Sekarang juga Tejo akan membatalkannya.”

“Terlambat. Bapak sudah membatalkannya.”

Tejo menatap bapaknya tak percaya.

“Itu benar.”

“Apa bisa, bapak membatalkannya?”

“Mengapa tidak? Bapak direktur utama perusahaan yang kamu palsukan tanda tangannya. Bapak bilang itu tidak benar dan mereka sudah melakukannya.”

“Bapak..sudah membatalkannya?”

“Tanyakan saja kepada mereka. Tadinya bapak hanya bilang melalui telpon, tapi bapak kemudian mengirimkan surat melalui fax bahwa kalau ada surat-surat perusahaan yang ada hubungannya dengan transaksi itu maka itu surat palsu.”

“Ya Tuhan, kalau Anisa datang kesana dan transaksi itu dibatalkan, pasti Anisa akan marah sekali,” kata Tejo dalam hati, dan keringat dingin mulai bercucuran.

“Mengapa wajahmu pucat?”

“Tejo.. Tejo... merasa bersalah.. mohon ma’af bapak..” lirih suara Tejo, bukan hanya karena  rasa takutnya kepada bapaknya, tapi lebih-lebih karena rasa takutnya ketika Anisa marah-marah nanti.”

“Baiklah, akhir-akhir ini bapak kecewa melihat tingkah lakumu. Bapak khawatir ini semua karena perempuan pengerat itu.”

“Tidak bapak, Tejo tidak lagi pernah menemuinya.”

“Bapak pegang kata-kata kamu, tapi kalau sekali saja bapak mendapatkan bukti bahwa kamu masih ada hubungan sama dia, bapak tidak akan mengampuni kamu lagi,” kata pak Kusumo sambil berdiri dan berlalu kebelakang. Bagaimanapun melihat wajah Tejo menunduk dan meminta ma’af dengan suara memelas, hampir runtuh belas kasihannya. Tapi rasa kesal terhadap sikap Tejo masih memenuhi benaknya. Bahkan ia tak sepenuhnya mempercayai apa yang dikatakan Tejo.

***

Tapi begitu pak Kusumo memasuki kamar, dirasa kepalanya berdenyut-denyut. Pak Kusumo membaringkan tubuhnya diranjang dan memanggil istrinya.

“Bu... bu..”

Bu Kusumo masuk kekamar dan heran melihat pak Kusumo berbaring sambil memijit-mijit kepalanya.

“Ada apa pak? Itu Tejo kok langsung pergi..”

“Sudah bu, tidak usah memikirkan Tejo, tolong ambilkan obatku. Kepalaku pusing sekali.”

“Tuh kan, bapak tuh kebanyakan marah-marah sih, tensinya pasti tinggi lagi tuh,” kata bu Kusumo sambil mengambilkan obat untuk suaminya.

Pak Kusumo mengerti bahwa pasti tensinya naik karena hari ini kemarahan melandanya bertubi-tubi.

“Ini pak, obatnya,” kata bu Kusumo sambil membantu suaminya bangun.

“Hari ini kesabaranku hampir habis bu,” kata pak Kusumo sambil meminum obatnya, lalu kembali berbaring.

“Pak, segala sesuatu itu jangan dihadapi dengan marah, sabarlah pak, bapak itu kan sudah tua, jadi harus bisa mengendalikan diri,” kata bu Kusumo sambil memijit-mijit kaki suaminya.

“Pagi tadi, kesal karena Tejo tidak mau mengantar isterinya kedokter, agak siang mendapat telpon dari dealer yang tidak bapak sangka-sangka. Lalu bapak mengurus surat-surat ke dealer itu agar pembatalan yang aku lakukan sungguh-sungguh bisa diterima oleh fihak dealer yang semula ngotot harus ketemu Tejo dulu. Itu saja sudah membuat emosi bapak naik. Lalu menunggu Tejo terlalu lama, dan kemudian bapak marah-marah lagi setelah dia datang.”

“Lalu apa kata Tejo tentang mobil itu?”

“Ah, alasan apapun kok aku tidak percaya sih bu, ini dadaku sampai terasa sakit menahan rasa kesal aku sama anakmu itu.”

“Pak, sudahlah.. sekarang lepaskan semuanya. Tejo sudah bukan anak kecil lagi. Dia harus tahu mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak.”

“Lhah, ibu kok percaya kalau Tejo bisa melakukannya. Menurut bapak dia itu pembohong bu. Entah apa sebabnya, padahal aku tidak pernah mendidik anakku jadi pembohong.”

“Ya sudahlah pak, sudah.. jangan marah-marah lagi. Tidur dan lepaskan semua beban. Nanti bapak jadi sakit beneran lho.”

Pak Kusumo memejamkan matanya, berusaha tidur dan melepaskan beban seperti anjuran isterinya. Tapi kepalanya semakin terasa berdenyut-denyut.

***

Keluar dari rumah ayahnya dengan lunglai, Tejo  tampak seperti prajurit kalah perang. Bajunya basah oleh keringat.

Hal pertama yang dilakukannya ketika mobilnya sudah keluar dari halaman adalah menelpon Anisa.

“Anisa...”

“Setan alas kamu mas, kamu mempermalukan aku. Kamu membuat aku kehilangan muka dihadapan karyawan-karyawan dealer itu. Kamu tidak bilang bahwa transaksi dibatalkan. Aku datang dan hanya mendapatkan malu,” semprot Anisa sambil terisak.

“Dengar Anisa, sekarang kamu dimana, aku akan menemui kamu dan menjelaskan semuanya.”

“Aku ada diwarung dipinggiran kota, tempat dimana kita sering ketemu.”

“Baiklah, sudah.. jangan menangis dan jangan marah, aku akan menjelaskan semuanya.”

***

“Kamu tega mas, kamu membuat aku malu, aku benci kamu. Mulai sekarang aku tak mau lagi kembali kerumah kamu. Semuanya sia-sia. Kamu bohong sama aku.” Isak Anisa ketika mereka bertemu.

“Jangan begitu Nis, kalau kamu tidak mau kembali kerumah, kita tidak akan bisa sering bertemu. Dengar dulu penjelasanku.”

“Aku kira kamu akan membelinya dengan cash mas, ternyata kamu hanya mau kredit. Aku tidak tahu semua itu.”

“Itu benar, aku belum punya uang ratusan juta Nis, baru akan aku bayar sebagian. Sebetulnya tidak akan lama pasti aku bayar semuanya.”

“Mengapa kamu bilang kepada bapak kamu bahwa akan kredit mobil?”

“Tidak, mana mungkin aku bilang sama bapak. Kebetulan saja fihak dealer menelpon dan aku sedang keluar, sehingga bapak yang menerima telpon itu.”

“Bagaimana bapak kamu bisa membatalkannya?”

“Aku memakai nama perusahaan untuk mengajukan kredit itu, agar prosesnya cepat. Tapi bapak mengatakan bahwa surat-surat itu palsu, jadi mereka langsung membatalkannya.”

Anisa masih terisak.

“Ma’af ya, aku tidak tau sebelumnya sehingga kamu aku suruh datang ke dealer itu. Aku disuruh pulang juga karena bapak akan memarahi aku,” lanjut Tejo dengan wajah memelas.

“Lalu bagaimana dengan mobil itu?”

“Kamu jangan khawatir, aku akan mencari dealer lain atas nama aku pribadi, tapi kamu harus bersabar ya.”

“Benarkah ?”

“Benar Nisa, aku sangat mencintai kamu dan tak ingin membuat kamu kecewa.

“Baiklah, sekarang antarkan aku pulang, aku akan ketemu ibu dan besok baru akan kembali.”

“Baiklah, sekarang senyum dong, jangan marah lagi. Mobil itu pasti segera terwujud untuk kamu.”

Anisa benar-benar tersenyum, karena janji tentang mobil yang diimpikannya dikumandangkan lagi ditelinganya.

“Tapi mampir dulu beli oleh-oleh untuk ibu aku ya mas.”

“Ya, mau beli oleh-olehnya dimana?”

“Agak kesana, ada warung makan yang enak, ada gudeg, dan macam-macam, tapi biar aku saja yang turun, kamu nggak usah, nanti kalau ada yang melihat bisa kacau.”

“Iya, terserah kamu saja.”

***

“Ternyata sudah siang ya Pram, padahal aku tadi belum masak.”

“Tidak apa-apa .. aku juga tidak lapar.”

“Tapi aku yang lapar Pram.”

Pram tertawa mendengarnya.

“Tapi bagaimana kalau beli saja makanan dan dibawa pulang? Tidak enak kalau kita makan berdua diluaran, lagi pula kamu membawa Abi juga, dia pasti lelah digendong terus.”

“Kamu benar Pram. Beli gudeg saja ya Pram, satu paket kan sudah lengkap lauknya.”

“Baiklah, tapi biar aku saja yang turun, kamu tetap dimobil.”

“Tidak apa-apa kalau kamu yang turun?”

“Tidak, kasihan Abi kalau kepanasan. Lihat, tidurnya pulas sekali.”

“Iya. Benar. Itu warung gudeg ada didepan.”

“Baiklah, lagian kamu pasti sudah sangat lapar. Biasanya wanita menyusui harus makan banyak bukan? Nanti aku juga mau beli beberapa potong roti supaya kamu bisa memakannya sebelum sampai dirumah.”

“Terimakasih Pram,” kata Miranti sambil tersenyum.

***

Pramadi membeli satu kendil gudeg Jogya dan beberapa potong roti, lalu segera memberikan rotinya kepada Miranti.

“Ini, rotinya dimakan dulu ibu, sepertinya kelaparan sekali,” goda Pram.

Miranti menerimanya sambil tertawa.

“Terimakasih mas sopir,” kata Miranti sambil membuka bungkusan roti pisang coklat yang diberikan Pramadi.

“Hm, enak..”

“Biasanya kalau orang sedang lapar, makan apapun jadi enak.”

“Iya benar. Kamu mau Pram.”

“Tidak, nanti saja, aku kan tidak sedang menyusui.”

Lalu keduanya tertawa keras.

“Sudah ya, mau beli apa lagi? Mampir kemana lagi?”

“Sudah Pram, kan keburu lapar, jadi harus segera sampai dirumah dan makan. Nanti ASI nya Abi kosong.”

“Iya benar.” Kata Pram yang kemudian menstarter mobilnya.

Namun ketika baru saja mobil itu distarter, Pramadi melihat seseorang memasuki warung gudeg itu.

“Lho, itu bukannya Ana?”

Miranti menatap kearah yang ditunjuk Pram.

“Mana sih Pram?”

“Itu, itu kan baju yang dipakai ketika dia pamit untuk pulang?”

“Iya, itu Ana.  Kok dia masih ada disini sih? Bukankah perginya dari pagi?”

***

Besok lagi ya.

 

 

Previous Post Next Post