ADA YANG MASIH TERSISA 21

ADA YANG MASIH TERSISA  21

(Tien Kumalasari)

 

“Perempuan itu sangat mencurigakan.”

“Tapi tunggu Pram, dia bukan Ana. LIhat baik-baik, dia sedang bicara dengan petugas warung, mungkin sedang memesan makanan. Itu bukan Ana.”

“Bukan ?”

“Bajunya saja yang sama, wajahnya  bersih, tidak ada tahi lalat disana. Padahal besar lho tahi lalatnya. Rambutnya juga tidak digerai begitu. Ah, salah orang kita Pram. Nah sekarang sudah masuk kedalam dia. Memang mirip sih.. tapi bukan kok.”

“Ah, ya sudah, kirain Ana,” kata Pram sambil menjalankan mobilnya.

Tapi beberapa deret mobil yang dilaluinya, tiba-tiba Miranti melihat mobil Tejo.

“Eh, itu kan mobilnya mas Tejo?”

“Iya, ngapain dia disitu?”

“Mungkin dia kelaparan karena dirumah tak ada makanan.”

“Ah... benar, apa kita panggil saja supaya sama-sama makan dirumah?”

“Nggak ah, kamu ada-ada saja deh Pram, cepetan pulang... Abi sudah usreg nih, jangan-jangan dia juga kelaparan.”

“Waduh, kalau benar, kamu harus pindah kebelakang ..”

“Enggak Pram, dia masih akan tahan sampai dirumah. Ketakutan amat sih..”

Mereka melaju, sementara Ana sudah selesai membeli oleh-oleh untuk ibunya. Tanpa sadar bahwa hampir saja dia ketahuan.

“Aku seperti melihat mobilnya Miranti melintas ,” kata Tejo ketika Ana sudah masuk ke mobilnya.

“Masa? Dimana?”

“Lewat disebelah situ tadi, jangan-jangan dia juga membeli gudeg disitu dan melihat kamu.”

“Kok aku nggak lihat ya? Dan kalaupun dia melihat aku, mana mungkin tahu kalau itu Ana, aku kan nggak pakai tahi lalat, dan rambutku juga aku biarkan tergerai.”

“Ya syukurlah kalau mereka tidak melihat kamu.”

***

Abi sudah minum ASI dan terlelap di boxnya, sementara Miranti makan bersama Pram diteras rumah.

“Enak ya makan diteras, ditemani bidadari..”

“Kan ketika lapar maka makan apapun pasti terasa enak. Jadi dimanapun dan dengan siapapun juga pasti enak dong.”

“Diawal-awal kalimat kamu itu memang benar, tapi yang terakhir sama sekali nggak benar.”

“Yang mana?”

“Yang ‘dengan siapapun’ itu tadi. Ada contohnya ketika tiba-tiba Ana menemani aku, yah.. selera makan jadi hilang, rasa lapar juga ikutan hilang.”

Miranti tertawa.

“Itu kan hanya karena kamu sudah antipati sama dia sebelumnya.”

“Mungkin, dan perasaanku hampir betul. Dia bukan perempuan baik-baik.”

“Aku sedang menunggu sa’at yang baik untuk membuktikannya. Bukan karena aku cemburu, tapi merasa risih tinggal serumah dengan perempuan seperti itu.”

“Mudah-mudahan kamu segera bisa melihat dengan mata kepala kamu sendiri. Apa hari ini dia akan menginap dirumah orang tuanya?”

“Entahlah, kalaupun menginap barangkali besok sudah kembali. Dia pamit sehari bukan?”

Ponsel Miranti berdering, ternyata dari bu Kusumo.

“Ya ibu,” jawab Miranti ketika bu Kusumo menyapa.

“Kamu sudah pulang?”

“Sudah ibu.”

“Abi baik-baik saja ?”

“Baik ibu, tadi imunisasi BCG.”

“Hati-hati, biasanya nanti tubuhnya agak panas.”

“Iya bu, sudah diberi obatnya tadi.”

“Syukurlah. Tejo pulang kerumah?”

“Belum bu, mungkin tadi pulang, tapi karena Miranti tidak memasak, lalu makan diluar barangkali.”

“Ibu sedang prihatin ini Mir.”

“Ada apa memangnya bu?”

“Bapakmu sakit.”

“Sakit? Sakit apa bu?”

“Tadi habis marah-marah sama Tejo, lalu merasa pusing, pasti tensinya naik lagi. Sudah ibu beri obat, tapi kok masih sambat pusing.”

“Ibu .. sebaiknya ibu memanggil dokter Frans saja.”

“Iya, sudah Mir, ibu baru menunggu. Ibu gelisah sekali.”

“Ibu tenang saja. Kalau sudah ditangani dokter Frans pasti semuanya akan baik-baik saja.”

“Iya sih. Ibu sedih mikir bapakmu itu Mir, kalau sudah marah lalu lupa bahwa punya sakit tekanan darah tinggi. Sama sekali tidak bisa mengendalikan diri.”

“Ibu sabar ya. Apakah Miranti harus kesitu bu?”

“Tidak usah Mir, anakmu bagaimana. Nanti kalau Tejo pulang tolong dikasih tahu bahwa bapaknya sakit ya. Ibu tidak bisa menghubungi ponselnya.”

“Baik ibu. Kalau ada apa-apa kabari Miranti ya bu.”

Miranti menghela nafas sedih.

“Ada apa? Ibu sakit?”

“Bapak yang sakit. Katanya tadi habis marah-marah sama mas Tejo, pasti tensinya naik. Tapi ibu sudah memanggil dokter Frans. Semoga baik-baik saja.”

“Aku ikut prihatin, kalau memerlukan sesuatu, kabari aku.”

“Terimakasih Pram.”

***

Tapi ketika dokter Frans datang untuk memeriksa pak Kusumo, dokter Frans tampak khawatir. Bu Kusumo cemas melihat dokter Frans geleng-geleng kepala.

“Bagaimana dok?”

“Sebaiknya bapak dibawa kerumah sakit bu. Nafasnya kelihatan sesak. Rumah sakit akan menanganinya lebih baik.”

“Ya Tuhan, apakah itu berbahaya dok?” tanya bu Kusumo cemas.

“Tidak, asalkan segera dibawa kerumah sakit bu.”

“Baiklah dokter, aduh.. sopir sudah kembali ke kantor. Bagaimana ini? Aku menelpon Miranti saja, so’alnya Tejo juga tidak bisa dihubungi.”

“Tidak usah menghubungi Tejo bu.. sudah.. panggil taksi saja.” Kata pak Kusumo lirih dengan nafas yang sedikit tersengal.

“Kalau bapak mau, bersama saya saja sekalian,” kata dokter Frans.

“Nanti merepotkan..” kata bu Kusumo.

“Tidak, saya antarkan kerumah sakit sekarang, sekalian saya pulang bu.”

“Baiklah dokter, terimakasih banyak. Pak, dokter Frans akan membawa bapak sekalian kerumah sakit. Bapak tidak usah ganti pakaian lagi ya, dari tadi juga belum ganti pakaian,” kata bu Kusumo.

Pak Kusumo mengangguk. Lalu dibantu dokter Frans, pak Kusumo dibawa kerumah sakit dengan mobilnya.

***

“Mir...” kata bu Kusumo menelpon Miranti.

“Ya ibu, dokternya sudah datang?”

“Sudah Mir, ini dalam perjalanan kerumah sakit.”

“Kerumah sakit bu? Memangnya bagaimana keadaan bapak?” tanya Miranti terkejut.

“Nafasnya agak sesak, dokter Frans menganjurkan agar segera dibawa kerumah sakit.”

“Ibu membawanya sendiri? Sopir masih ada?”

“Tidak, dokter Frans yang mengantarkan. Tolong kasih tahu Tejo ya.”

“Tidak usah dikasih tahu..” sela pak Kusumo lemah, yang didengar oleh Miranti.

“Baiklah ibu. Ibu tenang saja. Biar Pram menyusul kerumah sakit ya bu, barangkali ibu membutuhkan sesuatu.”

“Oh iya, Pram masih belum pulang ya, baiklah Mir, terimakasih banyak.”

Miranti berjalan kedepan, menghampiri Pramadi yang duduk beristirahat didalam mobil.

“Pram.. bisa minta tolong nggak?”

“Ya, ada apa?”

“Bapak dibawa kerumah sakit.”

“Ya Tuhan, parahkah sakitnya?”

“Dokter sendiri yang membawanya. Bapak melarang mengabari Tejo. Tapi barangkali bapak memerlukan sesuatu, bolehkah minta tolong kamu?”

“Tentu saja Mir, aku akan segera kesana.”

“Terimakasih banyak ya Pram.”

“Tenang bidadari, aku akan menjaga mertua kamu.”

Miranti tersenyum terharu.

***

Ketika memasuki kamar dan menatap Abi yang terlelap, titik air mata Miranti. Teringat kelakuan Tejo yang sama sekali tak memperhatikan keluarga, dan selalu membuat kecewa dan marah orang tua.

“Kakek kamu begitu baik Abi, dia sangat menyayangi kita. Sekarang kakek sedang sakit nak, ayo berdo’a untuk kesembuhan kakek ya?”

Miranti menyentuh pipi Abi. Si kecil ganteng bergerak perlahan, bibirnya menampakkan senyuman yang sangat mengiris hati Miranti. Senyuman si bayi suci, senyuman tulus, apakah dia sedang bermimpi ketemu bidadari, atau sedang memohon kepada Allah untuk kesembuhan kakeknya?

Miranti juga sedih, mendengar kata bapak mertuanya yang melarangnya mengabari Tejo. Begitu marahkah mertuanya kepada Tejo?

“Ya Tuhan, bagaimana seorang anak tega membuat orang tuanya sakit?” gumam Miranti sedih. Bagaimanapun dia juga menyayangi kedua mertuanya, karena mereka juga menyanginya seperti anak sendiri.

“Semoga bapak segera sembuh, ya Allah, angkatlah penyakitnya,” bisik do’a Miranti sambil merangkapkan kedua telapak tangannya.

Miranti menoleh kearah jam dinding, setengah tiga lebih. Ia masuk kekamar mandi dan berwudhu. Sa’atnya menyentuhkan dahi kebumi demi Sang Sesembahan, agar ringan segala beban yang disandangnya.

Sebuah ucapan do’a yang tulus akan membubung kelangit tiada batas, untuk didengar oleh Sang Pemilik segala kehidupan, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

***

Pramadi memasuki rumah sakit, dan melihat bu Kusumo sedang duduk diruang tunggu didekat ruang ICU. Tampak wajahnya yang sedih, dan juga gelisah karena ia hanya sendirian.

“Ibu..” sapa Pram perlahan.

Bu Kusumo menatap Pram, tampak kelegaan memenuhi wajahnya melihat ada orang lain bersamanya.

“Pram, Miranti yang menyuruhmu kemari?”

“Iya ibu. Bagaimana keadaan pak Kusumo?”

“Masih diruang ICU, nafasnya sesak tadi. Aku takut sekali, untunglah dokter Frans segera membawanya kemari.

“Ibu tenang ya, bapak sudah ditangani oleh ahlinya. Semuanya akan baik-baik saja,” kata Pram sambil menepuk tangan bu Kusumo.

Bu Kusumo menitikkan air mata haru. Seseorang yang bukan apa-apanya, duduk disampingnya dan menenangkan batinnya yang gulana. Tatap matanya yang tulus, membuat bu Kusumo merasa nyaman. Dimanakah anak semata wayangnya? Alangkah pilu hati bu Kusumo mendengar suaminya melarangnya menghubungi Tejo. Begitu besarkah kemarahannya kepada Tejo? Apakah justru membencinya?

“Kamu kan sudah sa’atnya pulang Pram.,” kata bu Kusumo sambil mengusap air matanya.

“Tidak apa-apa bu, biar saya menemani ibu disini. Ibu tenang ya, dan terus berdo’a untuk kesembuhan bapak.”

“Pram, kamu baik sekali.” Lalu bu Kusumo kembali menitikkan air mata.

“Ibu, jangan menangis, semuanya akan baik-baik saja.”

“Kamu bukan siapa-siapa, tapi rela melakukan ini semua?”

“Ibu, siapapun pasti akan melakukannya kalau melihat keadaan yang seperti ini.”

“Tidak Pram, anakkupun tidak bisa melakukannya. Justru dialah yang membuat bapaknya sakit seperti ini.”

Pram tak ingin menanyakan sebabnya, karena sedikit banyak dia sudah tahu tentang Tejo yang selalu mengecewakan orang tuanya.

“Tejo selalu membuat kesal, dan bapaknya tidak sabaran, selalu marah dan marah.”

“Semua pasti akan ada jalan keluarnya bu, sudahlah .. ibu jangan memikirkan apapun yang membuat ibu kecewa. Ya.” Pram masih menepuk-nepuk tangan bu Kusumo.

“Seandainya kamu adalah anakku Pram,” kata bu Kusumo lirih.

Pram tersenyum, lalu mencium tangan bu Kusumo dengan lembut.

***

Semalaman Pram menemani bu Kusumo diruang tunggu ICU. Pram melayaninya membelikan makanan dan minum untuk bu Kusumo.

“Pram, kamu tidak pulang, ini sudah larut malam.”

“Tidak bu, tidak apa-apa, biar saya menemani ibu disini. Justru apakah tidak sebaiknya ibu pulang saja, biar saya yang menunggui bapak disini?”

“Mana mungkin aku bisa pulang Pram, bapak masih diruang ICU dan keadaannya belum begitu baik.”

Pram mengangguk mengerti. Dibiarkannya bu Kusumo tertidur dikursi tunggu, dan Pram menjaganya dengan sabar. Ia melipat jaketnya dan diletakkan disandaran kursi agar bu Kusumo bisa tidur dengan nyaman.

Menjelang pagi, bu Kusumo terbangun, agak bingung ketika bangun sedang berada diatas kursi dan berbantalkan sebuah jacket.

“Ibu sudah bangun?”

“Aku tertidur ya? Ini.. punya siapa?”

“Itu jacket saya bu, agak bau ya?”

“Oh, tidak.. baunya enak, kok aku seperti mengenal wangi seperti ini ya?”

Pram terkejut. Jangan-jangan bu Kusumo masih ingat jas loak yang baunya wangi beberapa bulan yang lalu.

“Ibu ada-ada saja. Kan sudah bau keringat saya.”                                               

“Aku mau melihat keadaan bapak. Ayo Pram, temani aku.”

Bu Kusumo dan Pram masuk kedalam ruang ICU dengan hati-hati. Dilihatnya pak Kusumo terbaring dengan asupan oksigen dihidungnya.

“Bagaimana keadaan suami saya?” tanya bu Kusumo kepada perawat yang menjaganya.

“Tekanan darahnya sudah stabil bu, barangkali nanti sudah bisa dipindahkan keruang rawat.”

“Oh, syukurlah.”

TIba-tiba pak Kusumo membuka matanya.

“Pak, sudah lebih baik kan?” kata bu Kusumo sambil memegangi tangan suaminya.

“Baik bu, kamu masih disini?”

“Semalaman ibu disini, ditemani Pram.”

“Pram ? Yah.. Pram.. anak baik.. apa kamu tidak capek?”

“Tidak bapak, saya baik-baik saja.”

“Ya Tuhan, terimakasih telah Kau kirimkan anak baik ini di keluargaku..”

Pram tersenyum, lalu mencium tangan pak Kusumo seperti tadi dilakukannya kepada bu Kusumo.

***

Pagi hari itu Pak Kusumo sudah dipindahkan keruang rawat. Tapi seharian bu Kusumo tidak mau pulang. Pram terpaksa pulang menemui Miranti dan memintakan baju ganti untuk bu Kusumo. Ketika dia datang, dilihatnya Tejo sudah menaiki mobilnya, siap berangkat ke kantor. Miranti tak mengatakan apa-apa seperti pesan bapak mertuanya. Pram mengangguk kearah Tejo, tapi diacuhkannya.

“Apa kamu punya rencana mau keluar atau apa Mir?”

“Sepertinya tidak Pram, Abi agak rewel.. aku akan dirumah saja.”

“Apa perlu dibawa ke dokter?”

“Tidak Pram, ini pengaruh imunisasi kemarin. Dokter sudah mengingatkan dan aku tidak perlu khawatir.”

“Ya sudah, aku akan ke rumah sakit membawa baju untuk ganti bu Kusumo dan makanan yang sudah kamu siapkan.”

“Baik Pram, terimakasih banyak, kamu pasti sangat lelah, semalaman tidak tidur dan sekarang masih harus mengurusi bapak dirumah sakit.”

“Mengapa kamu berkata begitu? Aku tidak apa-apa, aku senang melakukannya.”

"Baikllah, lagipula Ana baru saja datang, jadi kalau butuh sesuatu aku bisa minta tolong sama dia."

"Kalau butuh sesuatu kabari  aku ya."

Miranti mengangguk haru.

***

Tapi malam itu Pram melarang bu Kusumo tidur dirumah sakit lagi.

“Bu, ibu harus pulang, ini sudah malam, sayalah yang akan tidur disini menemani bapak.”

“Apa tidak merepotkan Pram?”

“Ibu juga harus istirahat supaya tidak jatuh sakit. Sopir sudah menunggu diluar, ibu harus pulang sekarang. Ma’af bu, saya terpaksa memaksa ibu agar ibu tidak jatuh sakit.”

“Terimakasih Pram, kalau ada apa-apa kamu kabari aku ya? Sebentar, aku akan meninggalkan minyak gosok ini, barangkali bapak memerlukannya,” kata bu Kusumo sambil mengeluarkan minyak gosok dari dalam tasnya.

***

Tapi ketika hampir sampai dirumah, bu Kusumo bingung mencari kunci rumahnya.

“Aduh, apa aku lupa mengeluarkannya ketika mengambil minyak gosok tadi ya?”

“Bagaimana bu, kembali ke rumah sakit saja?” tanya sopirnya.

“Tidak usah, ini sudah dekat rumah Miranti, aku tidur disana saja,” kata bu Kusumo yang kemudian menelpon Miranti dan mengatakan bahwa akan menginap disana.

“Baiklah bu.”

Ketika bu Kusumo sampai dirumah Tejo, Miranti sudah menunggunya di teras. Malam sudah larut, tapi dengan senang hati Miranti membukakan pintu untuk ibu mertuanya.

“Ma’af Mir, harusnya kamu sudah beristirahat.”

“Tidak apa-apa ibu, itu kamar didepan sudah Miranti siapkan untuk ibu. Ma’af disitu kamar mandinya tidak ada, jadi kalau ibu mau kekamar mandi dikamar Miranti saja.”

“Tidak usah Mir, aku kebelakang saja, sekalian kalau ada baju ganti lagi untuk tidur Mir.”

“Ada bu, sudah Miranti siapkan, kebelakang saja? Terserah ibu, baju ganti akan Miranti susulkan kekamar mandi.”

Bu Kusumo melangkah kebelakang, ia merasa sangat letih dan ingin segera beristirahat. Tapi ketika melewati kamar Ana, didengarnya sebuah suara aneh. Lalu tertawa yang terdengar aneh juga.

“Apa Ana sedang mengigau?”

Bu Kusumo mendorong pintu kamar Ana, dan hampir pingsan ketika melihat pemandangan didalamnya.

“Tejo ??”

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Previous Post Next Post