ADA YANG MASIH TERSISA 22
(Tien Kumalasari)
Pucat wajah Ana. Ditariknya selimut untuk menutupi tubuhnya.
Bu Kusumo menatap keduanya dengan mata menyala. Tiba-tiba diamatinya wajah Ana yang berbeda. Ia seperti mengenalnya. Kemana tahi lalat yang biasanya ada diwajahnya? Kemarahan bu Kusumo semakin memuncak ketika menyadari siapa perempuan itu.
“Kalian ini bukan manusia !! Lihat siapa dirimu !! Kamu bukan Ana. Mana tahi lalat itu? Ternyata palsu !! Kamu Anisa, perempuan penggoda dan pengerat itu !!”
Bu Kusumo membalikkan tubuhnya lalu pergi keruang tengah, terduduk lemas disana. Miranti yang membawa baju ganti untuk bu Kusumo, terpana melihat pemandangan menjijikkan itu. Ia menyusul ibu mertuanya, duduk disampingnya dan mengelus punggungnya lembut.
“Minggatlah kamu. Perempuan hina !!” teriak bu Kusumo sambil mengusap air matanya.
“Bu, tenang ya bu...” bisik Miranti lembut sambil mengelus punggung bu Kusumo.
“Aku tidak menyangka, perempuan itu bisa menyamar dan masuk kedalam rumah tangga anakku. Melakukan hal busuk dan memalukan. Mengotori rumah ini. Menjinjikkan !!”
Miranti mengambilkan minum untuk bu Kusumo.
“Segera minggat !! Enyah dari rumah ini !!” bu Kusumo berteriak lagi.
Ana mengenakan bajunya, mengambil semua barang di almari dan dimasukkannya kedalam tas, lalu menyeretnya keluar. Tapi ia lupa sesuatu,, sebuah kotak perhiasan miliknya, yang tidak sempat dimasukkannya kedalam tas, digenggamnya begitu saja. Melewati bu Kusumo dan Miranti diruang tengah, Anisa tak mengucapkan apa-apa.
“Minggat! Minggatt!” teriak bu Kusumo membuat Ana atau Anisa terkejut, lalu sesuatu yang dipegangnya terjatuh. Sebuah kotak berisi perhiasan yang kemudian terbuka tutupnya, memuntahkan semua isinya, dan sebuah gelang menggelinding sampai dihadapan bu Kusumo.
Miranti memungutnya, dan bu Kusumo semakin murka.
“Ini.. bukankah ini gelang kamu yang hilang Mir? Kurangajar !! Jadi benar Tejo mencurinya lalu diberikan kepada perempuan murahan itu !!”
Anisa memunguti beberapa perhiasan yang terjatuh, tapi tak berani meminta gelang yang sudah dipegang bu Kusumo.
“Perempuan pengerat, busuk! Menjijikkan !!” teriak bu Kusumo lagi.
Dan Anisa setengah berlari keluar dari rumah Tejo.
Tak lama kemudian Tejo mengejarnya.
“Anisa, tunggu !!”
“Kamu mau mengikuti dia? Pergi dan jangan pernah kembali lagi kerumah ini !! Kamu bukan anakku !!” bu Kusumo masih berteriak sambil menangis.
Dan ucapan bu Kusumo itu terasa sangat menggetarkan. Apa yang terjadi kalau seorang ibu tak lagi mau mengakui seorang anak sebagai anaknya?
Tejo seperti tak mendengar kata-kata ibunya, ia membuka garasi, mengeluarkan mobil dan berlalu, dengan membawa Anisa yang berjalan sambil menyeret tas besarnya.
***
Miranti masih mengelus punggung bu Kusumo.
“Ibu tenang ya..”
“Ibu sama sekali tak menduga, bahwa Ana itu Anisa. Malam ini Tuhan menunjukkan semua kebusukan itu. Juga hilangnya gelang kamu. Ya Tuhan, Tejo tega melakukannya. Anak itu rusak gara-gara perempuan setan itu. Aku tak pernah mendidiknya menjadi pembohong pendusta dan penista.”
“Iya bu, Miranti juga tak menduga, apalagi Miranti belum pernah melihat Anisa sebelumnya. Miranti pernah melihat mereka berdua disebuah rumah makan, tapi Miranti hanya melihat punggungnya. Tapi sudahlah bu, ibu tenang ya, maukah sekarang tidur dan beristirahat? Atau ibu tidur dikamar Miranti saja, berdua dengan Miranti, supaya ibu tidak sendirian?”
“Sementara bapaknya sakit, anaknya melakukan perbuatan maksiat yang memalukan..”
“Miranti juga tak berani mengatakan kepada mas Tejo tentang sakitnya bapak, takut bapak justru marah bu.”
“Itu benar, bapakmu melarang, tapi dikantor apa tidak ada yang bicara tentang sakitnya bapak sampai dia samasekali tak pempedulikannya ?”
“Barangkali orang kantor juga belum pada tahu bu, bukankah seharian sopir kantor ada dirumah sakit dan tidak ada yang mengabarkan tentang sakitnya bapak kepada orang-orang kantor? Barangkali baru besok ketika dia ke kantor ya bu.”
“Benar Mir, tapi itu tidak penting. Aku sudah memutuskan tak akan mengakui Tejo sebagai anakku. Besok kamu urus perceraian kamu Mir, kamu wanita baik, tak pantas bersuamikan Tejo yang sudah kotor oleh perbuatan nistanya.”
Miranti berdebar mendengar kata-kata bu Kusumo. Dua kali seorang ibu mengatakan tak mengakui anak kepada anak kandungnya. Miranti juga berdebar ketika bu Kuusmo memintanya agar bercerai dengan Tejo.
Tiba-tiba ada perasaan lega, seperti terlepas dari ikatan yang membelenggunya. Takut melukai mertua yang sangat sayang kepadanya, takut melukai orang tuanya yang berharap hidup dan rumah tangganya bahagia, Miranti tak berani melakukan apa-apa. Sekarang sebuah tali serasa sudah terlepas. Apakah nanti bapak ibunya sendiri akan terluka?
“Ibu, sekarang ibu istirahat ya, nanti ibu sakit..” kata Miranti sambil menarik tangan bu Kusumo kedalam kamarnya. Miranti khawatir kalau bu Kusumo sendirian akan semakin merasa sedih.
“Cucuku... “” kata bu Kusumo menahan isak ketika melihat Abi terbaring nyenyak.
“Didiklah dia agar menjadi manusia baik. Dia juga darah dagingku, dia akan menjadi pengganti Tejo,” bisik bu Kusumo sambil menyentuh pipi Abi.
“Iya ibu, Abi adalah darah daging ibu dan bapak. Do’akan agar Miranti bisa mendidiknya dengan baik.”
“Miranti, kamu tetaplah menjadi anakku.”
“Tentu saja ibu,” kata Miranti sambil memeluk ibu mertuanya lama sekali.
“Ibu belum berganti pakaian, ibu mau kekamar mandi dulu.”
“Iya bu, ini pakaian ganti untuk ibu sudah Miranti siapkan.”
Ketika bu Kusumo masuk kekamar mandi, Miranti merasa bahwa ini adalah malam yang luar biasa. Semuanya tak terduga. Barangkali Tuhan ingin menunjukkan semua kebusukan yang terjadi dirumahnya, tanpa sepengetahuannya, malam ini juga. Hubungan Tejo dan Anisa yang tersembunyi, gelang yang raib tiba-tiba. Aduhai..
“Berarti wanita yang kemarin aku lihat di warung gudeg itu memang benar Ana atau Anisa. Dia bersama mas Tejo, karena aku juga melihat mobilnya. Ya Tuhan, hubungan macam apa ini, dan mengapa mas Tejo tidak sadar bahwa Anisa bukan wanita baik-baik? Sangat jauh dia terperosok, dan tak mampu menolong dirinya sendiri, membiarkan dirinya tenggelam dalam kesenangan semu.
Bu Kusumo sudah mengganti bajunya dengan baju yang disiapkan Miranti. Bentuk tubuh mereka tidak jauh berbeda sehingga bu Kusumo bisa mengenakannya dengan nyaman.
“Ibu tidurlah..”
“Ini sudah hampir pagi Mir.”
“Tidak apa-apa, tidur walau sebentar itu lumayan bisa mengembalikan energi bu, ibu sudah lelah dua hari dua malam tidak istirahat.”
Bu Kusumo mengangguk, membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Miranti berbaring disampingnya, lalu memeluknya, agar bu Kusumo merasa tenang.
***
Ketika bangun pagi harinya, pak Kusumo melihat seseorang tidur dipembaringan kecil yang terletak tak jauh drinya. Tapi itu bukan Tejo anaknya, dan ketika seseorang itu bangkit dan duduk, baru dilihatnya bahwa dia adalah Pramadi.
“Pram...” pak Kusumo menyapa pelan.
Pramadi berdiri dan mendekati pak Kusumo.
“Ya pak..”
“Kamu tidur disini ?”
“Ya bapak.. saya minta ibu untuk pulang, kasihan kalau sampai kecapekan.”
“Kamu rela melakukannya untuk aku Pram.”
“Bapak jangan mengatakan itu, saya senang melakukannya. Bagaimana perasaan bapak pagi ini?”
“Rasanya lebih baik, boleh nggak ya aku minta pulang?”
“Sebaiknya tunggu dulu pemeriksaan dokter nanti. Bukankah dokter yang bisa menentukan boleh tidaknya bapak pulang?”
“Iya sih..”
“Bapak sabar ya. Apa bapak mau makan sekarang? Biar saya suapin bapak.”
“Pram, aku menyusahkan kamu kan?”
“Tidak bapak, sungguh... mau ya pak?”
“Apa kamu tidak ingin pulang dulu?”
“Saya akan pulang setelah bapak makan.”
Pak Kusumo menurut, beberapa suap makan pagi yang disiapkan oleh rumah sakit, berhasil masuk kedalam perutnya.
“Sudah Pram, sudah kenyang.”
“Baru separo, bapak..”
“Sudah kenyang, perutku nggak muat lagi.”
“Baiklah, nanti kalau bapak ingin makan camilan yang dibeli kemarin oleh ibu, bilang ya pak.”
“Katanya kamu akan pulang?”
“Saya akan menelpon ibu dulu, apakah dia harus dijemput atau tidak.”
“Nanti sopir kan pasti menjemput.”
Tapi bukannya berangkat pulang, Pram malah duduk kembali di sofa.
“Pram... pulanglah dulu.”
“Biar saya menunggu ibu dulu, supaya bapak tidak sendirian.”
“Yaaah.. Pram...” pak Kusumo tersenyum dan terharu menyaksikan kebaikan Pram.
***
Ketika bangun, Miranti sudah menyedikan segelas susu coklat dimeja, dan beberapa potong roti bakar. Kemudian ia menyusukan Abi setelah memandikannya.
Bu Kusumo sudah mandi dan berpakaian rapi, lagi-lagi memakai baju Miranti.
“Cucu eyang sudah ganteng, sudah wangi?” kata bu Kusumo sambil mengelus kepala Abi. Abi melirik kearah bu Kusumo, melepaskan ASI yang disedotnya. Bu Kusumo tersenyum.
“Kamu heran ya, pagi-pagi ada eyang disini ?”
Abi tertawa lalu kembali menyedot ASI nya.
“Ibu, minum dulu, masih hangat, biar saya temani,” kata Miranti sambil berdiri lalu menemani bu Kusumo duduk diruang tengah. Tak apa menyusukan Abi disana, tak ada siapapun dirumah itu kecuali dirinya dan ibu mertuanya.
“Seperti mimpi kejadian semalam,” gumam bu Kusumo sambil meneguk coklat susunya.
“Sudah ibu, jangan difikirkan lagi. “
“Telponlah Pram, bagaimana keadaan bapakmu. Tapi selesaikan dulu menyusukan anakmu, sepertinya belum kenyang tuh.”
“Baiklah bu. Tapi sudah kenyang nih, dia hanya main-main saja. Tuh, sudah dilepas kan bu. Maukah ibu memangkunya sebentar, saya ambil ponsel saya.”
“Tentu saja ibu mau, sini cah bagus... waduuh.. mantap nih bobotnya.. “ bu Kusumo menerima Abi dan menciumnya.
Miranti mengambil ponsel dan menelpon Pram.
“Ya ibu, selamat pagi,” sapa Pram dari seberang.
Miranti tersenyum. Pram memanggilnya ibu, pasti karena ada pak Kusumo disana.
“Ibu menanyakan, bagaimana keadaan bapak.”
“Baik bu, tadi sudah makan pagi, tampaknya semakin membaik. Ibu Kusumo sudah ada disini? Mau kerumah sakit tidak?”
“Iya, semalam ibu tidur dirumah. Iyalah pasti mau ke rumah sakit. Sukurlah kalau bapak baik-baik saja. Biar ibu sarapan dulu. Tolong ditanyakan ke bapak, bapak ingin makan apa?”
“Bapak, bu Miranti tanya, bapak ingin makan apa?” tanya Pram kepada pak Kusumo.
“Tidak, sudah banyak makanan disini. Bu Kusumo sudah dirumah Miranti?”
“Katanya bu Kusumo tidur dirumah bu Miranti, bapak.”
“Oh baiklah, bilang aku tidak ingin apa-apa.”
“Hallo ibu, pak Kusumo bilang tidak ingin apa-apa. Tapi mungkin butuh baju ganti, biar nanti yang kotor saya bawa pulang.”
“Baiklah Pram, terimakasih banyak.”
Miranti menutup ponselnya sambil tersenyum dalam hati, mendengar Pram memanggilnya ibu berkali-kali.
“Ibu, bapak sudah semakin membaik, kata Pram sudah makan pagi.”
“Syukurlah. Tapi kasihan Pram, sejak kemarin masih dirumah sakit.”
“Nanti kalau ibu sudah sampai disana pasti Pram pulang bu.”
“Apa aku harus menceritakan peristiwa semalam kepada bapak kamu?”
“Jangan bu, jangan dulu.. bapak masih sakit, kalau mendengar itu nanti malah bapak marah lagi, jadi nggak sembuh-sembuh.
“Kalau ingat itu ibu sedih sekali. Oh ya Mir, ini gelangmu yang hilang, simpan saja sana.”
“Iya bu, nanti Miranti simpan.”
“Hari ini kamu harus mengurus perceraian kamu.”
“Ibu bersungguh-sungguh?”
“Iya Mir, kamu tidak pantas mendapatkan suami seperti Tejo. Ibu kecewa, biar dia anak ibu tapi dia melukai hati ibu dan bapakmu. Aku ingin melupakannya. Kamulah sekarang anakku Mir.”
Miranti memeluk bu Kusumo dan mereka bertangisan. Tangis itu berhenti ketika terdengar celoteh Abi.
“Oh, dengar.. cucu eyang bilang, jangan sedih, ada Abi.. gitu kan nak?” kata bu Kusumo masih dengan linangan air mata.
***
Tejo pergi ke kantor dengan perasaan was-was. Jangan-jangan ketemu bapaknya lalu menyemprotnya lagi. Ia tak tahu bahwa ayahnya ada dirumah sakit karena tak ada yang mengatakannya. Ia baru tahu ketika sopir pak Kusumo menyapanya.
“Pak Tejo kok tidak ke rumah sakit?”
“Kenapa ?”
“Lhoh, pak Tejo tidak tahu? Bapak masuk rumah sakit sejak kemarin."
“Bapak sakit apa? Tidak ada yang memberi tahu aku.”
“Apa bu Tejo tidak bilang?”
“Tidak, aku baru mendengarnya sekarang. Kemarin saya ke kantor juga tidak ada yang bilang kalau bapak sakit.”
“Kemarin orang kantor belum tahu kalau bapak sakit, karena seharian saya tidak ke kantor. Baru kali ini.”
“Aku benar-benar tidak tahu..”
“Kok aneh, pak Tejo tidak pulang sejak kemarin barangkali. Ini saya mau menjemput bu Kusumo dirumah pak Tejo,” katanya sambil berlalu.
Tejo baru tahu mengapa ibunya semalam ada dirumahnya dan memergokinya ketika dia sedang bersama Anisa. Tejo menghela nafas panjang. Bingung antara ingin menjenguk ayahnya, tapi ngeri kalau nanti ketemu ibunya dan kembali mengumpatnya. Ada rasa sedih ketika ibunya tak mau lagi menganggap dirinya sebagai anaknya. Tejo kemudian menyesali kecerobohannya sehingga semua rahasia bisa terkuak. Tapi mau bagaimana lagi, Tejo sangat mencintai Anisa. Cinta yang membabi buta sehingga melupakan segala kebaikan.
Sebenarnya Tejo ke kantor hanya ingin mengambil barang-barangnya saja, dan dia tak akan lagi bekerja dikantor ayahnya. Apalagi ibunya sudah mengusirnya. Semalam dia tidur dirumah Anisa, untuk menenangkan hatinya.
Setelah mengambil barang-barang yang harus dia bawa dari kantornya, Tejo menuju kerumah. Tapi dia tidak tergesa-gesa. Sopir baru saja berangkat yang katanya untuk menjemput ibunya. Ia mampir untuk makan disebuah warung, sambil menunggu sampai ibunya kira-kira sudah berangkat kerumah sakit.
***
Ketika ibu mertuanya sudah dijemput sopir, Miranti menidurkan Abi, kemudian ia kekamar belakang, bekas kamar Ana. Miranti mengambil semua seprei dan sarung bantal juga selimut yang masih terserak dilantai, kemudian membuangnya ke keranjang sampah. Miranti merasa barang-barang itu sangat menjijikkan. Ia juga menyapu dan mengepel kamar itu sampai tercium bau wangi segar, untuk menghilangkan kesan jorok yang ada dikamar itu. Ia juga mengelap setiap perabotan yang ada sampai bersih. Membuang semua isi almari yang mungkin adalah barang Ana yang tertinggal. Semuanya dia masukkan ke keranjang sampah. Kemudian ia masuk kekamar Tejo, dan membersihkan juga kamar itu. Mengganti seprei dan sarung bantal, tapi ia memasukkannya ke mesin cuci. Tejo tak mungkin membawa Ana memasuki kamarnya, karena kamar itu ada disebelah kamar Miranti dan bayinya.
Tapi tiba-tiba Miranti terkejut ketika Tejo menyeruak masuk.
“Apa yang kamu lakukan disini?” katanya dingin.
“Aku membersihkannya, kamu tidak melihat?” lalu Miranti keluar dari kamar itu, pergi kebelakang untuk membuang barang-barang yang dianggapnya kotor itu ketempat sampah didepan rumah.
Miranti masuk kedapur, dan mencoba memasak.
Tapi tiba-tiba didengarnya rengek Abi. Bergegas Miranti mencuci tangannya dan setengah berlari pergi kekamarnya. Tertegun Miranti ketika melihat Tejo sedang menggendong Abi, dan memeluknya erat.
“Aku titipkan anakku, aku akan menceraikan kamu, aku mengurusnya hari ini juga.” kata Tejo sambil mengulurkan Abi yang tidak lagi menangis.
Miranti tak menjawab, sampai Tejo mengelus kepala Abi, lalu pergi begitu saja.
***
Besok lagi ya.