ADA YANG MASIH TERSISA 23
(Tien Kumalasari)
Miranti masih terpaku ditempatnya. Kata-kata ‘aku akan menceraikanmu’ adalah sebuah kata perpisahan, dan bagaimanapun sebuah perpisahan akan menggoreskan sebuah luka.
Sungguh Miranti tak ingin bersorak atas kata-kata Tejo itu, walau rumah tangganya bukanlah sebuah rumah tangga yang utuh, bahagia dan saling mencintai. Bahwa kata perpisahan sudah lama difikirkannya tapi Miranti tak menduga akhirnya perpisahan itu benar-benar akan terjadi. Didekapnya Abi dan diciuminya dengan linangan air mata.
Ada sedikit rasa syukur dihati Miranti, bahwa bukan dia yang lebih dulu mengatakan ingin berpisah, walau justru ibu mertuanya sendiri yang menganjurkannya.
Miranti masih terpaku diteras sambil menggendong Abi, ketika mobil yang dikendarai Pram memasuki halaman. Dan Miranti masih terpaku ketika Pram turun dari mobil dan mendekatinya.
“Ada apa?” tanya Pram ketika melihat air mata mengambang disepasang mata bintang yang menghiasi wajah cantik itu.
Miranti duduk dikursi teras, Pram mengikutinya.
“Ada apa?” ulang Pram.
“Semuanya sudah selesai,” jawab Miranti lirih.
“Selesai ? Apanya yang selesai ?”
“Rumah tangga aku..”
“Apa maksudmu ?”
“Tejo sudah mengatakan akan menceraikan aku..”
Pramadi menatap Miranti, mencari apa yang ada didalam benak wanita yang dicintainya itu setelah suaminya akan menceraikannya. Sedihkah Miranti, atau gembirakah, atau tak ada kesan apa-apa yang ditangkapnya.
“Semalam ada kejadian luar biasa,” lanjut Miranti.
“Wouw..”
“Pram, semuanya tak terduga, dan ibu mengetahuinya.”
“Mir, tolong ngomong yang jelas, jangan melompat-lompat begitu dong.”
Miranti menceritakan semuanya, yang didengar Pram dengan pandangan tak percaya.
“Jadi Ana itu Anisa? Kalau begitu yang kita lihat di warung gudeg itu benar Ana dong. Dia melepas tahi lalatnya, melepas ikatan rambutnya. Dan disitu ada suami kamu juga, jadi mereka berdua dong.”
“Benar Pram, aku baru tahu setelah semalam semuanya ketahuan.”
“Kurangajar benar, rumah sendiri dijadikan rumah mesum. Herannya kamu tidak pernah memergokinya.”
“Benar, aku pernah sih mendengar suara aneh dari dalam kamar Ana, tapi aku mengira ketika itu Ana sedang mengigau. Aku sama sekali tidak menduga kalau mas Tejo ada didalam, aku kira dia sudah mendengkur dikamarnya. Dan selamatlah aku karena aku tak ingin membuka pintu Ana waktu itu. Kalau itu terjadi, bisa jadi aku pingsan ditempat.”
“Hebat benar Tejo ya.. bisa menyembunyikan bau busuk selama berbulan-bulan. Tega benar dia mengotori rumah tangganya sendiri dengan perbuatan kotor yang sangat menjijikkan.”
“Malam itu ibu mengusir Ana, lalu mas Tejo mengejarnya dan mengantarnya pergi. Sa’at itu ibu mengatakan bahwa dia bukan anaknya lagi. Bahkan ibu menyuruh aku agar minta cerai dari mas Tejo. Tapi aku tak perlu melakukannya karena mas Tejo akan melakukannya hari ini juga.”
“Ya Tuhan..”
“Lalu mangapa tadi dia kembali kemari?”
“Hanya mengambil barang-barangnya, lalu menggendong Abi, mendekapnya erat, lalu bilang ‘titip anakku, aku akan menceraikan kamu’. Setelah itu dia pergi.”
Miranti mendekap Abi yang tiba-tiba merengak.
“Dan gelang yang hilang waktu itu, ternyata dibawa Ana.”
“Kok kamu tahu?”
“Semuanya Tuhan yang mengaturnya Pram, ketika dia mau keluar dari rumah, kotak perhiasan yang waktu itu digenggamnya, jatuh dan isinya tumpah semua, lalu sebuah gelang tiba-tiba menggelinding, jatuh tepat didepan ibu.”
“Allah hu akbar...”
“Sebuah keanehan ya Pram, dan ibu mengenali bahwa itu adalah gelangku, karena modelnya ibu sendiri yang memilihnya.”
“Semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Semoga ini jalan terbaik untuk langkah kamu selanjutnya.”
“Aamiin.”
Tapi kemudian Pram berfikir akan meninggalkan penyamarannya sebagai sopir pribadi Miranti.
***
“Bu, kok wajahmu tampak berbeda pagi ini ?” tanya pak Kusumo ketika bu Kusumo duduk disebelahnya.
“Masa sih pak? Aku kok biasa-biasa saja.”
“Apa mataku yang salah?”
“Perkiraan bapak yang salah..”
“Mungkin orang kalau lagi sakit pandangannya kelihatan lain ya bu? Menurutku wajahmu seperti pucat, seperti habis menangis.. gitu.”
Bu Kusumo terdiam. Apakah wajahnya kelihatan sembab?
“Jangan sampai suamiku tahu tentang kejadian semalam, setidaknya sampai dia benar-benar sembuh,” kata batin bu Kusumo.
“Bapak ada-ada saja.. mungkin karena semalam banyak cerita sama Miranti sehingga jadi kurang tidur,” akhirnya jawab bu Kusumo.
“Kamu jangan sampai kurang tidur bu, biar aku saja yang sakit, jangan sampai kamu juga sakit. Orang kalau kurang istirahat kan jadi sakit.”
“Iya, ibu tahu..”
“Bagaimana kabar cucuku?”
“Lucu pak, sudah bisa diajak tertawa.. dan ngoceh semaunya..”
“Aku kangen bu..”
“Iya, nanti kalau bapak sudah sembuh, kita kesana, atau biar Miranti yang mengajak kerumah kita.”
“Aku rasanya seperti sudah baik lho bu.”
“Ah, bapak itu.. lihat, masih dipasang infus, berarti bapak belum sehat.”
“Tapi kan aku sudah tidak butuh asupan oksigen lagi.. nafasku sudah normal..”
“Iya pak, sabar sedikit.. nanti kalau sudah benar-benar sehat pasti boleh pulang. Daripada nanti sampai dirumah merasa sakit lagi... jadi bolak balik kerumah sakit dong.”
“Keadaan kantor bagaimana? Apa Tejo bisa melakukan tugasnya selama aku sakit? Anak itu tidak bisa diserahi tanggung jawab.”
“Bapak jangan memikirkan apapun.. pikirkan saja kesehatan bapak, nanti kalau bapak sudah benar-benar sehat baru boleh memikirkan kantor. Biarpun Tejo tidak pintar mengurus usaha kita, tapi kan anak buah bapak sudah bisa melakukannya dengan baik.”
“Katanya hari ini orang-orang kantor akan membezoek..”
“Kalau begitu nanti bapak bisa menanyakan keadaan kantor, atau pesan apa.. gitu kan pak?”
“Semoga Tejo tidak ikut kemari. Bapak masih belum bisa melupakan semua kekecewaan bapak atas anak kamu itu.”
“Ya sudah, nyatanya dari kemarin nggak datang ya berarti dia nggak akan datang.”
“Kalaupun kamu atau Miranti tidak mengatakannya, dia juga pasti mendengar dari orang-orang kantor.”
“Apa bapak sebenarnya ingin supaya Tejo datang?”
“Tidak.. tidak.. semoga tidak usah datang..”
Hampir terucap dibibir bu Kusumo cerita malam ‘mengerikan’ itu kepada suaminya, tapi ditahannya.
***
“Mas, kok lama sekali perginya, darimana saja..?” Tanya Anisa ketika Tejo sudah ada dirumah.
“Mengambil barang-barang aku yang ada di kantor dan dirumah. Aku kan sudah bilang?”
“Mengapa lama sekali? Ada perpisahan mengharukan dengan isteri kamu ?”
“Ada-ada saja .. ya enggak lah, aku sekalian ke pengadilan agama, mengurus perceraian aku sama dia.”
“Benar, kamu mau bercerai?”
“Mau bagaimana lagi.. diteruskan juga nggak ada gunanya. Orang tuaku sudah membuang aku, jadi aku harus hidup sendiri.”
“Hm, mau makan apa kamu? Sudah nggak jadi membelikan aku mobil, apa nanti yang akan kita makan? Apa kamu masih punya uang?”
“Ada sih, tapi nggak seberapa.. Nanti aku akan berusaha. Masalah mobil.. kan mobilku ada.. bisa saja kalau kamu mau memakainya.”
“Benar ?”
“Kan aku ada dirumah kamu..”
“Tapi sebaiknya kita punya rumah sendiri ah mas.. nggak enak kalau aku merepotkan orang tua. Kalau sehari dua hari sih nggak apa-apa, kalau kelamaan malu. Tahunya mereka aku kan isteri pengusaha kaya, masa rumah saja ndompleng orang tua?”
“Kalau beli rumah ya belum mampu, aku harus punya usaha dulu..”
“Ya kelamaan mas.. “
“Kamu harus sabar Ana.. Aku malah berfikir, bagaimana kalau mobil itu dijual.”
“Oh.. tidak.. tidak... Jangan mas, mobil cuma satu-satunya kok dijual?”
“Maksudku, dibelikan mobil yang lebih murah, sisa penjualannya bisa kita buat untuk usaha.”
“Dengar mas, ini tadi usul dari ibuku, tapi ada benarnya juga lho..”
“Apa tuh ?”
“Nanti saja aku beri tahu, aku mau pinjam mobilnya dulu ya mas, kamu istirahat saja dulu.”
“Iya aku capek, kalau bisa kamu sekalian beli makanan lah..”
“Mana uangnya?”
Tejo mengulurkan selembar uang ratusan, tapi Anisa menerimanya dengan cemberut.
“Kok cuma segini, apa nggak kurang?”
“Kamu itu mau beli makanan apa, masa cuma untuk berdua saja seratus ribu tidak cukup?”
“Tambahin lagi dong mas, siapa tahu nanti aku pengin beli sesuatu.”
Tejo terpaksa memberinya lagi selembar.
“Nis, untuk sementara kita harus berhemat ya, aku akan membuka suatu usaha yang entah apa, untuk menyambung hidup kita.”
“Usaha apa mas, kelamaan..” kata Anisa sambil menyambar kunci mobil yang ada dimeja, lalu pergi begitu saja.
Tiba-tiba Tejo menyadari bahwa Anisa tidak bisa diajak hidup prihatin. Sementara hidup baginya seakan baru saja dimulai. Hingar bingar kisah cinta mereka yang terasa indah tiba-tiba lenyap seketika, berganti rasa mencekam dihati Tejo. Uang yang biasanya mengalir dari hasil kerjanya bersama bapaknya, sekarang tak bisa lagi. Uang tidak begitu saja jatuh dari langit. Harus ada usaha dan tetesan keringat untuk meraihnya. Bagaimana kalau Anisa tak sabar menjalaninya?
Sehari terlepas dari keluarganya, Tejo sudah merasa berjalan dijalan yang berbatu. Bukan dukungan yang didapatkan dari Anisa, tapi tuntutan yang sangat susah diraihnya. Minta rumah? Astaga, berapa harga rumah?
***
Anisa jalan-jalan sendiri berkeliling kota. Singgah kerumah teman yang satu, keteman yang lainnya. Sesungguhnya dia ingin memamerkan kepada mereka bahwa hidupnya berkecukupan, dengan mobil mewah yang membuat decak kagum teman-temannya. Anisa mengatakan bahwa dia adalah isteri seorang pengusaha kaya.
“Hebat Nis, aku kagum sama kamu. Bagaimana kalau kita bekerja sama membuka sebuah usaha?” kata Rita, salah seorang temannya.
“Wouw, kedengarannya menarik. Usaha apa tuh?”
“Bagaimana kalau membuka salon kecantikan?”
“Hm.. bagus juga, berapa kira-kira besarnya uang untuk patungan?”
“Nanti aku perhitungkan dulu, aku yakin kamu bisa, tapi bagusnya kalau sudah ada rumah yang letaknya strategis. Kita bisa menyewa lebih dulu.”
“Oh.. menyewa? No.. no.. aku akan minta kepada suami aku agar dia beli lahan atau rumah yang cocog untuk usaha itu.”
“Bagus, kalau begitu tidak perlu mencari kontrakan.”
“Benar, aku mau pulang dulu, nanti aku bicara sama mas Tejo ya.”
“Segera hubungi aku ya Nis.”
“Oke..”
Baru saja masuk kedalam mobil, ponsel Anisa berdering.
“Dari siapa nih? Hallo..”
“Hallo.. mbak Nisa, saya Budi..”
Nisa terkejut. Ia lupa pernah menjanjikan kepada Budi agar menjadi sopir pribadinya. Tapi tidak, sekarang dia tidak butuh sopir.
“Ooh, Budi ya? Aduh, ma’af ya Bud, ternyata aku belum bisa memperkerjakan kamu sebagai sopir aku.”
“Lho.. lha kenapa mbak? Saya tunggu-tunggu, katanya hari itu mau mengambil mobil?”
“Nggak jadi Bud, ini sudah ada mobil yang bisa aku pegang sendiri. Tapi nanti kalau usahaku maju, siapa tahu aku butuh kamu.”
“Aduh mbak, padahal aku butuh sekali pekerjaan.”
“Mau bagaimana lagi Bud.. ma’af ya.”
Lalu Anisa menutup ponselnya begitu saja.
“Dulu aku butuh, kan karena aku masih ada dirumah Miranti. Sekarang aku sudah dirumah aku sendiri, dan aku bisa mengendarainya sendiri. Untuk apa sopir?”
***
Seminggu kemudian pak Kusumo sudah boleh pulang kerumah. Sangat senang ketika Miranti datang bersama Abi.
“Aduuh, cucunya yangkung sudah pintar ngomong ya? Kok ganteng banget, kamu seperti siapa nak? Oh, seperti yangkungmu ini pastinya, ya kan yangti?” kata pak Kusumo sambil memangku Abi.
“Iya benar, ganteng seperti yangkungnya. Masa seperti yangti.. aneh kalau aku dibilang ganteng,” canda bu Kusumo.
“Kamu itu lho bu, cuma mau mengakui suamimu ini ganteng kok ya malu. Coba Mir, menurut kamu, bapakmu ini ganteng apa tidak?”
“Sangat ganteng bapak, itu sebabnya Abi juga ganteng,” jawab Miranti sambil tersenyum.
“Tuh, kan.. menantumu itu saja mengakui, masa kamu nggak mengakui sih bu. Nggak ingat ya, dulu kalau aku nggak datang sehari saja kerumah kamu, lalu kamu ngembeg..?” kata pak Kusumo menggoda isterinya.
“Iih, bapak itu, sudah tua kok masih genit, nggak malu sama cucunya ini. Ya le.. eyangmu itu sudah tua tapi genit kan?”
Dan mereka senang ketika melihat Abi juga tertawa, entah mengerti atau tidak candaan orang-orang tua disampingnya, Abipun tertawa sambil mengangkat-angkat kakinya.
Ketika sa’atnya Abi minum ASI, Miranti membawanya kebelakang.
“Ya sudah, minum dulu sampai kenyang ya le.” Kata pak Kusumo.
“Bu, kamu tahu tidak.. barusan orang kantor menelpon, katanya sudah seminggu lebih Tejo tidak ke kantor. Coba tanyakan ke Miranti, aku tadi kok ya lupa tanya, kemana suaminya kok tidak ke kantor?”
Bu Kusumo mendekati suaminya dan berkata dengan hati-hati.
“Pak, ibu mau ngomong, tapi bapak harus bisa menerima dengan tenang, jangan emosi, jangan marah ya.”
“Ada apa sih bu? Tentang Tejo ? Bikin ulah apa lagi dia?”
“Lho, kok nadanya sudah tinggi begitu, ibu bilang kan bapak nggak boleh emosi, dan nggak boleh marah. Kita berserah saja kepada Yang Maha Kuasa, agar semuanya baik-baik saja.”
“Kamu itu kalau mau ngomong kok pakai muter-muter segala.”
“Janji ya, nggak marah, nggak emosi?”
“Ya, aku janji..”
“Sehari ketika bapak ada dirumah sakit, ibu mengusir Tejo.”
“Bikin ulah apa lagi dia?
“Bapak tahu Ana kan? Ternyata Ana itu Anisa yang menyamar jadi Ana.”
“Apa iya?”
“Iya pak, dia memakai tahi lalat palsu, lalu pura-pura berpakaian dan berdandan sederhana, lalu pura-pura juga melamar menjadi pembantu dirumahnya Tejo.”
“Benar-benar kurangajar dia. Bagaimana ibu bisa tahu?”
“Ketika ibu menginap dirumah Tejo itu, ibu memergoki mereka berdua sedang ada didalam kamar.”
“Hm, aku sudah pernah melihat itu, tapi alasannya Tejo minta dikerokin. Ketika anaknya lahir itu lho bu.”
“Ibu sangat marah, lalu ibu mengusir Ana. Ee.. Tejo ikut pergi bersama dia pak.”
“Benar-benar sudah ‘keblinger’ Tejo itu.”
“Dan ketika Ana keluar dari kamar.. tiba-tiba ada kotak perhiasan jatuh, salah satunya adalah gelang yang entah bagaimana caranya, menggelinding kedekat kaki ibu ini. Dan gelang itu adalah gelang Miranti yang hilang beberapa bulan lalu.”
Pak Kusumo diam, dia tampak mencoba menguasai gejolak kemarahannya. Bu Kusumo mendekat dan mengelus punggungnya.
“Bapak tidak usah sedih, tidak usah marah. Anak seperti Tejo itu memang tidak bisa diharapkan untuk apapun. Rupanya perempuan pengerat itu sudah merusak jiwa Tejo sehingga Tejo tidak pernah peduli kepada keluarga dan orang tuanya.”
“Iya bu, bapak tidak marah. Bapak bersyukur semuanya sudah terkuak. Bapak tidak mengira, mereka benar-benar seperti penjahat licik.”
“Tadi Miranti bilang, Tejo mau menceraikannya. Tejo mengatakan itu ketika esok paginya mengambil semua barang-barangnya yang tertinggal.”
Pak Kusumo menghela nafas.
“Ya sudah bu, kalau memang itu maunya. Kita harus kuat. Miranti akan menjadi anak kita, dan bapak bahagia punya anak sebaik dia.”
“Syukurlah bapak bisa menerimanya. Semoga pada suatu hari nanti ada yang mengingatkan Tejo atas jalan salah yang dilaluinya.”
“Aamiin..”
Tiba-tiba Miranti keluar dari dalam, tampaknya Abi sudah tertidur dan ditidurkannya dikamar bu Kusumo.
“Bapak.. ini kok ada telpon aneh..”
“Aneh bagaimana Mir?”
“Ada orang menanyakan, benarkah rumah itu mau dijual.”
Pak Kusumo dan bu Kusumo terkejut.
***
Besok lagi ya