ADA YANG MASIH TERSISA 24

ADA YANG MASIH TERSISA  24

(Tien Kumalasari)                    

 

“Apa? Rumah apa? Tanya pak Kusumo sambil membelalakkan matanya.

“Ini pak.. coba bapak jawab..” kata Miranti sambil mengulurkan ponselnya.

“Hallo... ini siapa?”

“Saya Sutrisno pak..”

“Ada perlu apa?”

“Saya melihat iklan di koran, rumah yang di Jl. Pendawa katanya mau dijual, lalu saya menghubungi nomor tilpun yang tertera. Kalau benar, saya mau lihat rumahnya apa bisa?”

“Siapa yang mengiklankan?” kata pak Kusumo dengan nada tinggi. Bu Kusumo dan Miranti mendekati pak Kusumo sambil mengelus pundaknya, seakan memintanya untuk sabar dan tidak marah.

“Tidak ada nama disitu, hanya ada dua nomor tilpon. Salah satunya ya nomor ini. Nomor yang satu lagi belum saya hubungi.”

“Tidak. Tidak akan saya jual.” Lalu pak Kusumo menutup ponselnya dan mengembalikannya kepada Miranti.

“Ada-ada saja.. ini pasti ulah Tejo.”

“Pak, sabar pak, dengar ya.. rumah itu kan memang atas namanya Tejo. Bapak kan tidak lupa?”

“Tapi aku tidak minta agar dia menjual semaunya.”

“Menurut ibu, daripada kita bersikeras mempertahankan rumah itu, bagaimana kalau kita biarkan saja pak.”

“Maksudmu dibiarkan bagaimana?”

“Biar saja dijual oleh Tejo, barangkali dia memerlukan modal untuk berusaha, kan dia sudah lepas dari kita.”

“Ternyata kamu masih memikirkan kehidupan anak kamu ya bu?”

“Biar bagaimanapun dia itu darah daging kita pak, kalau dalam istilah Jawa..”TEGA LARANE ORA TEGA PATINE”  , gitu kan pak? Arti gampangnya, biarpun dia kita buang, biarlah kita beri dia kesempatan untuh mengayuh hidupnya. Siapa tahu suatu hari nanti kita akan melihat dia hidup dengan baik, lalu menyadari kesalahannya.. ya kan pak?”

“Lalu bagaimana dengan Miranti dan Abi?”

“Benar apa yang dikatakan ibu,  bapak, jangan lagi bapak memikirkan rumah itu, saya bisa pulang kerumah ibu saya dikampung.”

 “Tidak Miranti, kalau benar rumah itu dijual oleh Tejo, kamu bisa tinggal disini. Rumah ini cukup besar untuk kita.” Kata bu Kusumo.

Pak Kusumo tampak diam. Elusan tangan isteri dan menantunya membuatnya lebih tenang.

“Sudahlah, kita lepaskan semuanya, dan kita fikirkan hidup kita sendiri bersama menantu dan cucu. Mereka akan membuat kita bahagia. Apalagi kalau Abi ada dirumah ini, pasti bapak akan banyak terhibur,” kata bu Kusumo.

Pak Kusumo menghela nafas, dan memegang tangan Miranti erat-erat.

“Ma’afkan bapak telah membuat kamu menderita Miranti,” katanya sendu.

“Bapak, mengapa bapak berkata demikian? Miranti tidak pernah merasa menderita, Miranti bahagia mendapat kasih sayang dari bapak dan ibu. Sungguh bapak,” kata Miranti sambil mencium tangan bapak mertuanya tanpa bisa menahan titik air matanya. Trenyuh mengetahui kemelut yang melanda mertuanya, ketika kehilangan anak semata wayang yang tersesat dalam dunia gelap. Tak terbayangkan betapa sesungguhnya besar duka dihati mereka.

Runtuh hati pak Kusumo mendengar kata-kata Miranti yang terdengar bergetar dan sedih.

“Baiklah, mulai sekarang bersiaplah untuk berpindah kerumah ini. Ada pavilyun disebelah, kamu bisa santai disitu, nanti kita suruh orang untuk membenahi supaya tampak lebih cantik,” kata pak Kusumo sambil menepuk-nepuk bahu Miranti, membuat Miranti tersedu dan bersimpuh didepan pak Kusumo, lalu merebahkan kepalanya dipangkuannya. Bu Kusumo tak tahan melihat adegan itu, dan tak urung dia juga berkali-kali menyeka matanya yang basah oleh air mata.

Ada sa’atnya kehilangan dan terluka, ada sa’atnya bahagia kemudian datang menyelimutinya. Adanya Miranti dan Abi  diharapkan mampu membalut duka dihati pak Kusumo dan isterinya.

***

Maka ketika sedang berada dirumah, lalu ada telpon menanyakan perihal rumah yang akan dijual, dengan enteng Miranti menjawabnya bahwa itu benar.

“Lalu kapan saya bisa melihat rumahnya?” kata orang yang menelpon.

“Setiap sa’at pak, kabari saya kalau bapak mau melihatnya supaya saya tidak pergi kemana-mana.”

“Baiklah terimakasih bu.”

Miranti menutup ponselnya dan menghela nafas panjang.

Tiba-tiba seorang tukang pos masuk kehalaman, Pram yang masih ada didekat mobil setelah membersihkannya, menerima surat yang diulungkan si tukang pos, lalu tukang pos itu berlalu setelah Pram mengucapkan terimakasih.

“Surat dari pengadilan agama,” kata Pram sambil mengulurkan surat itu.

“Baiklah, mas Tejo sudah mengatakannya, aku akan menerima perceraian ini dengan ikhlas.” Kata Miranti tanpa membuka suratnya, hanya meletakkannya diatas meja.

“Benar, rumah ini mau dijual?” tanya Pram.

“Benar Pram, mau bagaimana lagi, dia berhak menjualnya karena ini memang rumahnya.”

“Bagaimana dengan pak Kusumo dan bu Kusumo?”

“Tadinya marah, tapi sekarang sudah bisa menerimanya. Biar saja, kata ibu barangkali bisa untuk modal kerja dia setelah lepas dari bapak ibunya.”

“Baguslah, lalu kamu mau tinggal dimana? Dirumahku saja yuk ?”

Miranti tertawa.

“Jangan membuat semuanya menjadi fitnah.”

“Siapa tahu ada setan lewat. Eh bukan, siapa tahu didengar malaikat lalu disampaikannya kepada Tuhan, lalu kejadian deh.”

Miranti tersenyum, sebuah kehidupan yang indah tiba-tiba terlintas dibenaknya, hidup yang nyaman, saling mencintai dan menghargai. Tanyakan kepada semesta, apakah itu akan terjadi?

“Besok aku akan menemui pak Kusumo.”

“Untuk apa?”

“Bukan untuk melamar kamu.”

Lalu keduanya tertawa lucu.

“Barangkali iya, tapi nanti, pada suatu sa’at,” sambung Pram sambil menatap mesra Miranti. Miranti tersipu, hari ini dia bisa menerima tatapan Pramadi dengan sepenuh hati.

“Eh.. kamu belum menjawab pertanyaan aku..”

“Oh ya, apa kamu tadi menanyakan sesuatu ?”

“Kamu mau ketemu bapak, untuk apa?”

“Aku harus mengundurkan diri.”

“Kamu tega meninggalkan aku Pram?”

“Aku tidak akan meninggalkan kamu, tapi meninggalkan mobil itu,” kata Pram sambil menunjuk kearah mobil Miranti.

“Pram, tahukah kamu, aku sedih mendengarnya, tapi aku merasa itu yang lebih baik. Jangan sampai ada fitnah, seorang janda main api dengan sopirnya.”

Lalu keduanya tertawa berderai.

“Semoga semuanya baik-baik saja.”

***

“Kurangajar benar. Ini kurangajar. Apa maunya dia?” omel Anisa setelah mendapat telpon dari pak Sutrisno.

“Ada apa?”

“Ini, pak Sutrisno yang mau membeli rumah itu, sama bapakmu yang jahat itu ditolaknya mentah-mentah. Agak marah ketika dia menelpon tadi.”

“Apa ketika itu Miranti ada dirumah bapak ya, kok bapak bisa langsung memberi jawaban?”

“Mungkin saja. Tapi kan rumah itu rumah kamu. Sertifikatnya saja atas nama kamu?”

“Iya benar.”

“Jadi seharusnya bapak kamu nggak boleh lagi ikut mempertahankan rumah itu. Salah kamu mas, mengapa memberi nomor kontak Miranti juga di iklan itu.”

“Maksudku kalau dia melihat rumah itu,  kan yang ada hanya Miranti.”

“Tapi kamu tidak memberi tahu Miranti dulu sebelumnya.”

“Iya aku lupa.”

“Tunggu.. tunggu..ini ada telpon masuk lagi... Hallo,.”

“Saya akan melihat rumah yang akan ibu jual, Kapan saya bisa melihatnya?”

“Oh, silahkan saja, kapan bapak mau melihatnya, silahkan telpon ke nomor yang satunya ya pak. Dia yang menunggu rumah itu disana.”

“Oh, baiklah, bagaimana kalau besok?”

“Iya, bapak menghubungi nomor satunya ya, supaya dia tidak pergi.”

“Baiklah bu.”

“Mas Tejo, sekarang kamu telpon Miranti, atau SMS, terserah.. pokoknya memberitahu bahwa besok akan ada orang yang melihat rumah itu. Bilang juga, boleh atau tidak rumah itu akan tetap dijual. Itu kan milik kamu?”

“Ya, baiklah.”

“Aku sudah melihat rumah yang ada dipinggir jalan besar, nanti kita beli rumah itu, seperti rencana yang aku bicarakan kemarin, aku mau membuka salon kecantikan bersama Rita.”

“Kalau dipinggir jalan besar kan mahal? Nanti tidak ada sisa untuk modal usaha.”

“Ya kita lihat saja nanti mas, mudah-mudahan ada sisa. Nanti aku akan menanyakan harga rumah yang aku ingin kita membelinya. Jadi kita bisa dapat rumah yang dibagian depannya bisa aku pergunakan usaha salon kecantikan.”

“Ya, terserah kamu saja.”

“Ya sudah, hubungi Miranti sekarang, jangan sampai pembeli kecewa dengan jawaban mereka yang tidak jelas.

***

“Pram, kamu sudah seperti keluargaku sendiri, mengapa kamu ingin mengundurkan diri? Apa gaji kamu kurang?” kata pak Kusumo ketika Pram mengatakan mau mengundurkan diri.

“Bukan pak, saya mendapatkan lebih dari apa yang saya kerjakan, sungguh, tapi saya diminta pulang kampung oleh keluarga, dan saya tidak sampai hati menolaknya.”

“Lha kalau kamu pulang kampung kamu mau bekerja apa Pram? Biasanya walau sedikit kan dapat penghasilan, apa kamu sudah yakin bahwa dikampung kamu bisa membuka usaha, misalnya.”

“Semoga saja bisa pak, memang akan ada usaha kecil-kecilan.”

“Nanti kalau Miranti butuh pergi-pergi bagaimana?”

“Ibu Miranti sudah pintar mengendarai mobil sendiri pak, saya kira tidak memerlukan saya lagi.”

“Benarkah?”

“Benar, bapak..”

“Yah, sebenarnya berat aku melepaskan kamu Pram, kamu sangat baik, dan sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri. Entah apakah aku bisa menemukan orang seperti kamu lagi. Bahkan kalau pendidikan kamu cukup, aku akan menjadikan kamu sebagai staf dikantor aku. Apakah kamu mau aku sekolahkan lagi Pram?” pak Kusumo masih berusaha menawar.

“Wah, saya cukup tua untuk bersekolah pak, nanti ditertawakan oleh teman-teman kuliah saya.”

“Kamu itu bagaimana, yang namanya menuntut ilmu itu tidak ada batasnya Pram, kakek-kakek atau nenek-nenek yang masih ingin kuliah juga banyak lho.”

Pramadi tersenyum haru.

“Kebaikan bapak sungguh tak ternilai oleh saya, bahkan bapak juga berusaha untuk mengangkat derajat saya dengan ingin menyekolahkan saya, saya sangat terharu dan berterimakasih pak, tapi saya lebih diperlukan oleh keluarga dikampung, saya tidak bisa menolaknya.”

“Mungkin kamu mau dinikahkan ya Pram?”

“Oh, tidak pak.. tidak.. hanya ingin berusaha sendiri saja.”

Pak Kusumo tampak kecewa, ada kesedihan dimatanya ketika Pramadi menyalaminya, mencium tangannya lama sekali. Lalu pak Kusumo menepuk-nepuk punggung Pram dengan air mata berlinang.

“Kalau ada kesalahan saya selama mengabdi kepada bapak, saya mohon ma’af ya pak,” kata Pram tak kalah terharu.

“Kamu tidak pernah melakukan kesalahan apapun Pram, aku dan keluargakulah yang selalu menyusahkan kamu. Aku berhutang budi sama kamu Pram,” kata pak Kusumo sambil mengusap air matanya. Sungguh tampak mengharukan, orang sehebat pak Kusumo, pengusaha setengah tua yang masih tampak perkasa, menitikkan air mata ketika salah seorang sopirnya berpamitan. Ada ikatan yang mengikatnya, yaitu kebaikan Pram yang tiada taranya. Dan bukan hanya pak Kusumo yang merasa kehilangan, bu Kusumo pun menitikkan air mata ketika Pram menyalami dan mencium tangannya.

“Kamu sudah seperti anakku Pram, aku tidak mengira kamu akan pergi,” isak bu Kusumo.

“Ma’afkan saya ibu..”

“Sering-seringlah datang kemari Pram, jangan melupakan kami begitu saja ya, kami benar-benar kehilangan kamu.”

“Saya akan sering datang kemari bu, untuk mencium lagi tangan ibu dan bapak.. dan melepaskan kerinduan saya atas keluarga yang sangat baik ini.”

“Anakku...” bu Kusumo memeluk Pram dengan hangat dan berurai air mata. Pemandangan yang sangat berbeda ketika kepergian Tejo diiringi kemarahan yang memuncak, sementara kepergian Pram diiringi tangis kehilangan. Apa yang salah dalam hidup ini?

***

Dua bulan sudah Miranti pindah kerumah keluarga Kusumo, dan tampaknya rumah Tejo sudah benar-benar laku, karena ketika kebetulan Miranti melewatinya, tampak orang-orang tak dikenalnya sedang duduk santai diteras rumah itu. Hubungannya dengan Pram juga sebatas berkirim pesan singkat yang selalu didahului..’apa kabar bidadari’. Dan yang selalu diterima dengan senyum sumringah oleh Miranti.

Tejo dan Anisa juga sudah mulai tinggal dirumah barunya, walau agak kecil tapi terletak dipinggir jalan besar. Anisa sudah mulai sibuk membangun usaha barunya bersama Rita temannya. Ia yang belum begitu pintar menjadi kapster, kemudian belajar dari Rita yang sudah berpengalaman. Harus irit dan belum mencari pekerja karena belum banyak pelanggan. Karenanya semua dikerjakan sendiri bersama Rita,

Tapi Tejo tak mau ikut campur dalam usaha itu. Kecuali Anisa tak mengijinkannya, Tejo juga kurang menyukai bisnis kecantikan itu.

Baru seminggu buka, sudah banyak langganan datang, yang sebagian besar adalah laki-laki. Rupanya Rita sudah punya calon pelanggan jauh-jauh hari sebelum salonnya dibuka.

Tejo kurang suka dengan keadaan itu. Apalagi ketika melihat Anisa  melayani setiap pelanggan laki-laki dengan amat manis.  

“Kamu nggak boleh marah mas, aku harus bisa melayani pelanggan dengan ramah dan baik, kalau tidak mana bisa dapat pelanggan, mana bisa dapat duit?” kata Anisa ketika Tejo menegurnya. Memang benar sih, tapi lelaki mana yang tak cemburu melihat wanita yang dicintainya bermanis-manis dengan lelaki lain?

“Memang benar, tapi aku tidak suka kalau ada yang berani menjamah tubuh kamu, menowel dagu kamu.”

“Ya ampun mas, cuma gitu aja, masa iya akan ada yang hilang. Biarkan sajalah mas, yang penting mereka rajin datang dan bisa menghasilkan banyak uang untuk kita.”

“Menurut aku, pelanggan kamu itu terlalu kurangajar.”

“Mas, kalau kamu tetap cemburuan, aku jadi kesal nih sama mas, malu dong kalau sampai Rita mendengarnya.”

“Mengapa salon kecantikan yang datang sebagian besar laki-laki?”

“Yah, kita kan menerima potong rambut juga, dan yang berpotong rambut itu bukan hanya perempuan. Laki-laki juga butuh potong rambut disalon, lalu yang agak genit juga minta facial, keramas. Semua harus kita layani dong mas.”

“Kalau begitu carilah kapster lain, biar mereka mengerjakannya, kamu kan bosnya.”

“Kita kan sedang mulai mas, kalau sudah rame dan banyak pelanggan barulah cari pegawai, sementara ini baru aku dan Rita yang mengerjakannya.”

Tejo diam, tapi ia benar-benar merasa tidak suka.

“Mas, kalau kamu hanya dirumah, setiap hari pasti marah-marah karena aku melayani para pelanggan. Lebih baik mas Tejo mencari usaha lain, daripada hanya bengong dirumah.”

***

Lalu bersama seorang teman lamanya Tejo membuka usaha sebuah bengkel mobil tak jauh dari letak salon Anisa.

Tejo harus banyak belajar tentang mesin dari temannya, agar bisa ikut mengerjakan setiap ada yang datang untuk memperbaiki mobilnya.

Belum banyak pelanggan sih, tapi Tejo mulai menyukai pekerjaannya, biarpun tubuh belepotan oli kehitaman.

Siang itu udara sangat gerah, seorang temannya berpamit untuk membeli minuman dingin. Tejo sedang duduk sendiri menunggu pelanggan ketika sebuah mobil mewah berhenti, lalu sopirnya turun.

“Mau menambah angin mas, tolong ya, ban belakang,” kata sang sopir.

Tejo berdiri, dan memompa ban mobil bagian belakang seperti yang ditunjuk. Wajahnya yang kotor kehitaman tak dipedulikannya, karena memang itulah pekerjaannya.

Kaca mobil dibagian belakang terbuka, dan seorang laki-laki ganteng mengulurkan uang duapuluh ribu kepada sang sopir yang menerimanya sambil terbungkuk-bungkuk, kemudian diulurkannya kepada Tejo. Tampaknya sopir itu sangat menghormatinya.

“Waduh, kembaliannya belum ada pak..” kata Tejo.

“Tidak usah, ambil saja semuanya,” kata laki-laki ganteng itu sambil menutup kaca mobilnya. Tapi sebelum kaca tertutup semuanya, Tejo sempat melihat wajah laki-laki itu dengan seksama. Ia merasa pernah melihatnya.

“Masa sih dia?” gumam Tejo sambil memasukkan uang duapuluh ribu tadi kedalam kotak uang yang memang disediakan disana.

***

Besok lagi ya.

 

 

Previous Post Next Post