ADA YANG MASIH TERSISA 25

ADA YANG MASIH TERSISA  25

(Tien Kumalasari)

 

Tejo terus mengawasi mobil mewah yang sudah berlalu, sambil mengingar-ingat, siapa laki-laki perlente dan ganteng yang ada didalam mobil itu.

“Serasa pernah melihatnya, serasa sangat sering melihatnya. Dia? Masa sih, bukanlah itu tadi seorang bos? Sopirnya saja menerima uang sambil terbungkuk-bungkuk. Pramadi.. haaa.. mirip Pramadi, tapi yakin bukan dia. Pramadi tukang ngamen yang menjadi sopir Miranti, dan itu tadi seorang yang punya kedudukan dan terhormat. Mimpi ‘kali kalau itu Pram,” gumam Tejo lalu kembali duduk sambil menunggu pelanggan datang.

“Heeh.. ngapain bengong? Nih, aku belikan es teh..” kata Supri temannya sambil membawa segelas minum es teh.

“Itu.. tadi ada orang mengisi angin.. biasanya duaribu atau tigaribu.. paling lima ribu.. sudah cukup... ee.. ini tadi dikasih duapuluh ribu aku.”

“Masa?”

“Iya, tuh uangnya sudah aku masukkan kedalam kotak.”

“Ya sudah, namanya rejeki... “

“Tapi hari ini agak sepi ya?”

“Namanya orang berusaha, kadang sepi.. kadang rame. Kita harus sabar Jo. Kamu sih.. biasanya jadi orang kaya.. banyak duit.. pasti nggak sabar ngumpulin uang serupiah demi serupiah.”

“Nggak, aku sudah menjalaninya dan aku ikhlas. Daripada dirumah, adanya pengin marah saja.”

“Memangnya kenapa sih Jo? Tapi sebenarnya aku juga heran sama kamu. Punya isteri cantik, punya salon kecantikan, masih mengajak aku usaha bengkel kayak begini. Badan kotor, duit nggak seberapa. Apa sebenarnya yang kamu cari Jo?”

“Aku mulai menyesali perjalanan hidup yang aku lalui.”

“Menyesal? Apa yang membuat kamu menyesal. Dulu kamu bilang hanya ingin membuang waktu kamu yang membosankan dengan membuat bengkel ini, jadi artinya kan sebenarnya nggak butuh-butuh duit amat dengan pekerjaan seperti ini.”

“Aku tidak suka melihat keseharian Anisa.”

“Ada apa ?”

“Mana sih laki-laki yang suka melihat isterinya bercanda dan bermanis-manis dengan lelaki lain?”

“Kamu kan laki-laki Jo, kamu berhak melarang kalau kamu tidak suka.”

“Mana mau dia aku larang?”

“Kalau punya isteri semaunya seperti itu, menurut aku, ceraikan saja. Cari isteri yang baik, penurut, dan perhatian sama suami.”

“Sebenarnya dia bukan isteri aku..”

“Bukan?”

“Kami hidup serumah tapi tidak pernah menikah,”

“Wah.. berarti kamu itu berzina Jo..”

Tejo terkejut mendengar kata-kata itu. Berzina? Dia sudah lama melakukannya. Dulu alangkah menyenangkan semuanya. Dunia akan dia berikan untuk wanita yang selalu bisa memuaskan hasratnya. Tapi dengan berjalannya waktu, semuanya jadi tak seindah dulu. Bahkan ia merasa Anisa sangat menguasainya. Sangat memaksakan kehendak, dan dari dirinya yang bisa memiliki apapun, sekarang harus berkotor ria untuk melarikan diri dari kekesalannya.

Dari penjualan rumah  yang nilainya dua milyaran, sekarang dibelikan rumah yang dipergunakan untuk mendirikan salon kecantikan. Dan Tejo membiarkannya ketika rumah itu diatas namakan Anisa.

“Aku sama kamu kan sama saja mas, supaya kamu nggak capek mengurus kesana kemari. Urusan perijinan dan segala macam ini melelahkan, kamu nggak akan sabar melakukannya, jadi kalau ini sudah atas namaku kan enak, gampang, kamu tidak usah capek tanda tangan segala macam. Kamu percaya kan ini milik kita bersama?” kata Anisa kala itu,  sambil meletakkan kepalanya didada Tejo, dan hati Tejo yang buta membiarkannya saja.

“Ya sudah terserah kamu saja.”

“Yang penting ini usaha kita berdua, kekayaan kita berdua. Besok kalau sudah besar, kita bisa hidup nyaman dengan hasil dari usaha ini. Ya kan mas?”

Begitu cinta dan begitu percaya, membuat Tejo tak mampu menentang semua keinginan Anisa. Ia percaya bahwa walau itu atas nama Anisa tapi akan menjadi miliknya berdua. Rumah dan usahanya. Terdengar seperti manis. Tapi belum lama menyaksikan hiruk pikuk salon yang ternyata penuh canda dan tawa, Tejo merasa menyesal dan semuanya sudah terlambat. Anisa tak bisa dikendalikan.

Lalu dengan sisa uangnya ia mengajak temannya membuka bengkel, karena temannya memang sebelumnya menjadi pekerja bengkel. Ia tak ingin melamar-lamar untuk bisa bekerja dikantoran, ia ingin punya usaha yang miliknya sendiri. Dan temannya itulah yang mengusulkan agar membuka bengkel. Semula Tejo menolaknya, tapi kemudian dia mulai bisa menyukai pekerjaan itu. Menghasilkan uang dengan keringat bercucuran ternyata nikmat,

“Jo, hiduplah bersih. Kalau kamu memang mencintai Anisa, nikahi dia supaya tidak bertambah beban dosa kamu.”

Dosa? Tejo seperti bangun dari tidur panjang yang nyenyak. Bangun dari mimpi-mimpi tentang sorga yang memabokkan, tak pernah mengenal dosa, atau memang melupakan tentang gelapnya sebuah dosa.

Ketika keringat bercucuran, ketika hati tersakiti dan kecewa, Tejo baru menyadari kesalahan langkahnya. Terbayang tiba-tiba wajah Miranti yang cantik dan lugu, sederhana tapi memikat, yang menjalani hidup sebagai isteri dan berusaha melayaninya layaknya orang berumah tangga. Kecuali satu, karena Tejo tak pernah memintanya. Hadirnya Abi adalah karena nafsu ingin menyakiti Miranti, bukan karena curahan cinta ketika menyemburkan benihnya. Lalu betapa rindunya dia akan Abi, si kecil ganteng yang mulai lucu.

“Ya Tuhan..,” keluh Tejo sambil meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan, membuat wajah yang sudah tercoreng kehitaman menjadi bertambah legam.

***

“Menikah ? Aduh mas.. mengapa harus menikah? Hidup begini lebih enak, apa yang membuatmu tiba-tiba ingin menikahi aku?”

“Orang-orang menyebut kamu bu Tejo, tidakkah terpikir oleh kamu?”

“Biarkan saja aku dianggap isteri kamu, nyatanya kita hidup serumah, makan bareng, tidur bareng, apalagi yang kurang? Ikatan itu menjerat kaki kita mas.”

“Apa maksudmu menjerat?”

“Ya menjerat dong mas, so’alnya ada sebuah ikatan. Kalau begini kita lebih enak, bebas melakukan apa saja tanpa ada ikatan tapi kita bisa tetap saling mencintai.”

“Cinta macam apa yang kamu katakan itu? Kamu sadar bahwa kita telah melakukan banyak dosa?”

Anisa tertawa terbahak mendengar kata-kata Tejo.

“Mas, dosa itu apa.. mengapa tiba-tiba kamu ingat dosa? Dengar, kita hidup berkecukupan, punya rumah bagus, bisa makan enak, bisa pergi kemanapun, apa yang kurang dalam hidup ini?”

“Aku baru sadar bahwa kita telah melakukan dosa besar.”

“Persetan dengan dosa itu mas, Aku hanya ingin hidup kita senang, dan kita sudah merasakannya.”

Tejo terdiam. Ia merasa telah semakin terperosok dalam kegelapan. Ketika tangannya meraba-raba, tak ada sesuatupun yang bisa dipegangnya. Ia merasa kemudian terjatuh tersungkur terjerembab tanpa daya. Mana lentera .. mana cahaya.. ?

***

“Apa kabar bidadari...” bunyi pesan singkat yang masuk, dan seperti biasanya Miranti membalasnya dengan sumringah.

“Kabar baik sopir gantengku..”

Oh ya, urusan perceraian itu kan sudah selesai, jadi boleh dong Miranti juga menunjukkan rasa sayangnya.

“Ehem... iya sih, heran aku.. kok ada  ya orang ganteng seperti aku..”

Miranti membalasnya dengan emotikon orang melet.

Lalu emotikon orang tertawa ngakak dikirimkan oleh Pramadi.

“Mir, aku tuh kemarin seperti melihat Tejo deh..”

“Iyalah, kalau masih didalam kota bisa saja ketemu..”

“Tapi nggak tahu penglihatanku bener atau salah ya.. kok dia seperti kerja di bengkel, muka dan tangannya kotor kehitaman kena olie gitu.”

“Masa? Jual rumah milyaran cuma buat kerja di bengkel?”

“Aku nggak yakin apa itu dia, tapi mirip sekali kok.”

“Kok aneh. Kalau jadi bos bengkel mungkin, tapi dengan wajah berlepotan olie, berarti pekerja dong.”

“Aku nggak yakin sih, besok kalau senggang aku mau kesana lagi, pura-pura mbetulin apa lah apa. Kemarin tuh aku cuma nambah angin di mobil aja sih. Dia sendiri yang mengisinya.  Tapi  dia menatap aku lama, bingung ‘kali.. tukang ngamen kok naik mobil..”

“Dimana itu bengkelnya?”

“Di jalan Veteran, sebelah timur perempatan.. Mau kesana ?”

“Nggak ah, kamu aja...”

“Kalau benar, kok ya kasihan sekali ya, sungguh badannya belepotan olie begitu.. mudah-mudahan aku salah.”

Miranti menutup ponselnya karena Abi merengek minta minum.

***

Hari itu wajah Tejo muram. Supri heran karena Tejo tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik. Memasang ini.. memasang itu, tidak ada yang bener, sehingga harus Supri yang melakukannya.

“Ada apa Jo? Wajahmu kok tertutup mendung, bukannya tertutup olie.”

“Aku bingung dengan hidupku.”

“Mengapa bingung?”

“Aku baru menyadari kesalahanku.”

“Bagus sekali kalau seseorang bisa menyadari kesalahannya. Dengan itu kamu bisa bertobat, lalu melakukan kehidupan dengan benar.”

“Aku meninggalkan seorang wanita yang baik..”

“Pacar kamu sebelumnya?”

“Isteriku..”

“Kamu pernah punya isteri?”

“Aku dijodohkan oleh orang tuaku dengan gadis yang tidak aku cintai.”

“Karena kamu lebih mencintai Anisa?”

“Cintaku buta, aku melakukan banyak hal buruk. Bahkan pernah menyiksa isteriku karena aku benci sama dia, yang aku anggap telah membuat hubunganku dengan Anisa jadi kandas.”

“Ooh, lalu kamu lari bersama Anisa?”

“Aku melepaskan bunga indah yang sudah ada ditanganku, demi memungut bunga jalanan yang semula sangat menarik hatiku.”

“Menurutmu Anisa bukan wanita baik? Dan karenanya kamu tidak mau menikahinya?”

“Aku kemarin mengajaknya menikah, tapi dia menolak mentah-mentah. Katanya lebih baik begini.”

“Wah, nggak bener itu Jo. Tinggalkan saja dia, kembali kepada isterimu.”

“Aku sudah menceraikannya.”

“Waduh.. kamu tersesat Jo..”

“Benar, aku tersesat.”

“Apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu sangat mencintai Anisa?”

“Entahlah, dulu aku sangat mencintainya, tapi akhir-akhir ini aku lebih banyak merasa kesal sama dia.”

“Hidup ini pilihan Jo, kamu berhak memilih jalan yang ingin kamu jalani, tapi berjalanlah dijalan yang benderang, jangan jalan yang penuh kegelapan. “

“Aku menjual rumah pemberian orang tuaku, dibelikan rumah oleh Anisa yang kemudian dijadikannya salon kecantikan.”

“Suruh saja dia pergi..”

“Rumah itu atas nama dia..”

“Astaga..”

“Betapa bodohnya aku, sekarang susah untuk mengambilnya.”

“Cinta membuat kamu buta Jo.”

“Benar.”

“Bertobatlah Jo, masih banyak waktu untuk bertobat.”

Tiba-tiba sebuah mobil melintas, Tejo tahu bahwa itu adalah mobilnya, tapi bukan Anisa yang mengendarainya. Seorang laki-laki yang tidak dikenalnya, sedangkan Anisa duduk disebelahnya.

“Bukankah itu Anisa?”

“Benar.. Anisa.”

“Siapa laki-laki itu?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Barangkali salah satu pelanggannya.”

“Mengapa pergi dengan membawa mobil kamu?”

Wajah Tejo bertambah muram.

“Pri, aku pulang dulu sebentar ya,” kata Tejo lalu melangkah pergi. Supri hanya geleng-geleng kepala. Heran menyaksikan ada laki-laki sebodoh Tejo.

***

“Rita, kesini sebentar,” panggil Tejo dari belakang.

“Oh, iya mas, sebentar.. baru memotong rambut pelanggan nih,” jawab Rita.

“Sebentar saja !” kata  Tejo agak keras.

Rita terpaksa beranjak kebelakang, meninggalkan seorang wanita yang baru dipotong separo rambutnya.

“Ada apa mas?”

“Mana Anisa?”

“Dia... dia.. sedang pergi mas..”

“Pergi kemana ?”

“Saya nggak tahu mas.. baru saja dan tidak pamit sama saya.”

“Siapa laki-laki yang tadi bersamanya?”

“Siapa ya, o.. itu Alex.. baru saja potong rambut disini. Apa mungkin Anisa mengantarkannya pulang ya?”

“Mengantarkan pulang? Jangan-jangan ketika datang tadi juga harus dijemput? Ada pelayanan antar jemput juga di salon ini?” Kata Tejo dengan nada tinggi.

“Sabar mas, bukan karena ada pelayanan antar jemput, memang Alex itu pelanggan disini, dan Anisa sudah mengenalnya dengan baik. Mungkin itu sebabnya maka dia mengantarkannya pulang.”

“Mengantar sampai kerumah? Atau ke hotel ?” kata Tejo dengan mata berapi-api.

“Sabar mas, sabar, itu kemauan Anisa sendiri.. saya nggak ikutan.. “

“Salon apa ini, lebih baik bubar saja. Ditutup lebih baik !!”

“Kalau ditutup ya silahkan saja mas, nanti modal yang sudah saya serahkan ke Anisa akan saya minta,” jawab Rita yang mulai kesal karena Tejo seperti marah kepadanya.

Sementara itu dari luar wanita yang dipotong rambutnya baru separo berteriak-teriak.

“mBaaaak... bagaimana ini? Aku kok dibiarkan beginiiii?”

“Ma’af mas, pelanggan saya marah. Masalah itu nanti mas Tejo bicara sama Anisa saja ya,” kata Rita kemudian setengah berlari keluar, melanjutkan pekerjaannya.

Tejo terpekur dikursi ruang tengah dengan wajah merah menahan marah. Ia menelpon Anisa, tapi tak diangkatnya. Kemudian Tejo merasa bahwa Anisa sama sekali tak menghargainya.

“Apa yang harus aku lakukan? Berbulan aku menjalani hidup dengan suasana yang tidak nyaman. Ingin aku usir saja Anisa, tapi rumah ini kan atas namanya dia? Celakalah aku karena rumah ini bukan aku yang memilikinya,” gumam Tejo sambil menjambak-jambak rambutnya sendiri.

***

Supri sedang mengerjakan sebuah mobil pelanggan yang ditinggal di bengkelnya karena mesinnya ngadat, ketika tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti didepannya.  Ia meninggalkan pekerjaannya dan mendekati pria tampan yang sudah turun dari mobilnya.

“Ada yang bisa saya bantu pak?”

“Mm.. ini.. mobil saya ini kok terkadang tiba-tiba susah distarter ya, coba dilihat apa yang salah dengan mesinnya.”

“Masa sih pak. Mobil bagus begini?”

“Bagus kan tampak luarnya mas, mesinnya siapa tahu,” kata laki-laki tampan yang memang Pram adanya, sambil melongok kesana kemari, seperti ada yang dicarinya.

“Sendiri mas?”

“Iya, teman saya lagi pulang. Nggak tahu kenapa kok lama sekali.”

“Saya sering lewat sini, dan saya seperti mengenal teman mas itu. Namanya siapa ya mas, takutnya saya keliru.”

“Itu Tejo pak,” jawab Supri sambil membuka bagian mesin mobil Pram.

“Tejo... oh.. berarti bukan teman saya.. hanya mirip. Kemana dia?”

“Tadi bilang mau pulang sebentar.”

“Jauhkah rumahnya? Bukan apa-apa, hanya kasihan saja sama mas, kok sendirian.”

“Dia itu sedang marah sama isterinya pak, eh bukan.. eh ma’af.. saya tidak tahu apa-apa, nanti dikira ngegosip. Ini mesinnya ngga apa-apa tuh pak, baik-baik saja kok,” kata Supri setelah melihat mesinnya.

“Bener ya, nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, benar pak..”

“Ya sudah, terimakasih ya mas, “ kata Pram sambil mengulurkan uang seratus ribu.

“Aduh pak, nggak usah, saya kan tidak melakukan apa-apa..”

“Jangan ditolak, mas kan sudah mencoba melihat-lihat mesinnya, ya saya harus menghargainya. Terimakasih ya mas,” kata Pram sambil masuk kedalam mobilnya. Tapi ketika sedang menstarternya, tiba-tiba Tejo muncul dari arah belakang.

***

Besok lagi ya.

 

Previous Post Next Post