ADA YANG MASIH TERSISA 26
(Tien Kumalasari)
Pramadi melihat dari kaca spionnya, Tejo melangkah mendekat, lalu ia menjalankan mobilnya. Tak tahu harus melakukan apa kalau benar-benar ketemu Tejo.
“Lama sekali sih Jo?” sapa Supri.
“Iya ma’af, rame ya?”
“Tadi lumayan, ini mobil, baru aku otak atik.. “
“Barusan ada mobil bagus, sepertinya yang nambah angin beberapa hari yang lalu.” Kata Tejo.
“Oh, itukah mobilnya? Tadi aku cuma disuruh ngelihat mesinnya, katanya terkadang susah distarter, tapi aku lihat nggak ada yang salah.., ee.. aku dikasih seratus ribu.”
“Wah, rupanya dia memang seorang dermawan. Itu yang memberi aku duapuluh ribu hanya untuk menambah angin ban belakang.”
“Tampaknya pengusaha kaya. Tapi tadi nggak ada sopirnya, dia setir sendiri.”
“Ya sudah, itu juga rejeki kita kan.”
“Ayo bantuin, mungkin karburatornya.. maklum mobil tua.. “
Walau hatinya sedang kacau mengingat kehidupannya bersama Anisa, tapi Tejo berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik, agar tidak selalu disalahkan Supri.
“Selesai... Untunglah pemiliknya belum datang sudah selesai,” kata Supri sambil mengambil sebatang rokok lalu disulutnya.
“Apakah merokok bisa melepaskan pikiran resah?”
“Aah, omong kosong itu..”
“Kelihatannya nikmat, duduk.. mengepulkan asap.. seperti tak ada beban. Aku akan mencobanya,” kata Tejo sambil meraih bungkus rokok yang masih berisi beberapa batang. Tapi Supri segera menepiskan tangan itu.
“Jangan !! Sudah bagus-bagus tidak merokok.. mau mulai menghisap rokok?”
“Satu saja Pri, aku ingin mencobanya.”
“Tidak Jo, jangan melarikan diri dari masalah dengan menyulut rokok. Biarlah aku yang sudah terlanjur. Kalau kamu ketagihan bisa puyeng.”
Tejo menghela nafas berat, lalu duduk dibawah dan menyelonjorkan sebelah kakinya, lalu kedua tangannya memeluk lututnya.
“Pri, bagaimana kalau kita mencari tempat lain untuk bengkel kita ini?”
“Apa maksudmu?”
“Cari tempat yang lebih enak, mungkin menyewa sebuah rumah kecil yang didepannya bisa kita buat membuka bengkel, tapi supaya aku sekaligus bisa tinggal disitu.”
“Kamu ini gimana Jo, kalau pindah ketempat yang ada rumahnya, duitnya kan mahal.”
“Aku akan jual mobil aku.”
“Benar?”
“Tapi kita harus pindah dari sini.”
“Kamu serius?”
“Sejuta kali serius. Aku tak ingin melihat rumah dengan salon itu.”
“Kamu ingin berpisah dari Anisa?”
“Aku ingin membuat hidupku lebih tenang.”
“Itu benar?”
“Pri.. aku ini bicara.. bukan menguap,” kata Tejo kesal.
Supri tertawa melihat wajah Tejo yang tampak kesal.
“Iya.. iya.. lalu apa yang harus aku lakukan?”
“Cari pembeli mobil, cari rumah kecil untuk disewa dan untuk buka bengkel, yang jauh dari sini. Aku tidak mau melihat wajahnya lagi.”
“Baiklah, mobil itu bukan atas nama Anisa kan?”
“Bukan, itu mobil aku.. hanya itu yang aku miliki, rumahku sudah terbang dan susah untuk kembali. Tolong Pri, bantu aku. Aku ingin hidupku tenang.”
“Dan yang penting bertobatlah Jo, kenali Tuhanmu, dan bersujudlah .”
“Terimakasih Pri.”
“Tapi pertama kali kamu harus pegang surat mobil itu. Lalu bawa mobil itu supaya Anisa tidak bisa memakainya.”
“Baiklah.”
***
Sudah malam ketika Anisa kembali kerumah, tapi tak sepatah katapun Tejo menegurnya. Percuma, pasti ada jawabannya yang akan menambah kesal hatinya.
“Mas, ma’af ya, tadi aku bertemu teman lama, lalu aku menemaninya sampai sore.”
Tejo tak menjawab. Ia sedang makan nasi bungkus yang tadi dibelinya bersama Supri.
“Mas, aku bicara sama kamu.”
Tejo menyuap nasinya lalu mengangkat kepalanya, manatap Anisa yang berdiri dengan wajah kusut. Rambutnya tak serapi biasanya, dan bau keringat bercampur parfum menyentuh hidungnya, membuatnya muak.
“Mas marah ya? Aku kan sudah minta ma’af?”
Tejo melanjutkan makan nasinya, minum segelas air lalu masuk kekamar. Diambilnya BPKB mobilnya, dimasukkan kedalam saku, lalu diambilnya kunci mobil yang baru saja diletakkan diatas meja oleh Anisa.
“Mas, mau kemana? Jangan lama-lama ya, aku kangen sama mas,” kata Anisa mencoba merayu Tejo sambil menggelendot ditubuh Tejo, tapi Tejo terus melangkah, keluar rumah lalu membawa mobilnya pergi.
***
Anisa yang baru bangun pagi harinya, menggeliat dan seperti biasanya berusaha memeluk tubuh Tejo yang terbaring disisinya. Tapi Tejo tak ada.
Anisa keluar dari kamar, mengira Tejo sudah bangun duluan.
“Tak ada?” lalu Anisa membuka semua pintu. Pintu depan tidak terkunci karena memang Anisa membiarkannya agar kalau Tejo pulang tidak usah berteriak membangunkannya, dan kalau tetap belum terkunci berarti Tejo tidak pulang semalaman. Atau pergi pagi-pagi sekali?
Anisa mengambil ponsel dan berusaha menelpon, tapi tidak terjawab.
“Kemana sih dia? Marah dan pergi meninggalkan rumah? Ah, nggak percaya aku, dia sangat menyayangi aku, mana mungkin pergi? Dan kalaupun pergi, pergi sajalah sana.. memangnya dia punya rumah untuk berteduh?”
Anisa heran ketika siang harinya Tejo kembali, tanpa membawa mobilnya.
“Mas, kok nggak naik mobil, kemana mobilnya?”
“Sudah aku jual,” jawab Tejo dingin, lalu terus masuk kekamar tanpa mempedulikan Anisa yang mengikutinya.
“Apa mas? Kamu jual? Apa maksudmu?”
“Memangnya kenapa kalau aku jual?”
“Kita naik apa mas kalau mau pergi kemana-mana?”
Tejo tak menjawab, ia membuka almari.
“Lalu kalau kamu jual mana uangnya? Untuk dibelikan baru? Atau....”
Anisa heran ketika Tejo menurunkan kopor dan memasukkan baju-bajunya.
“Mas, kamu mau kemana?”
“Aku mau pergi. Bukankah rumah ini rumah kamu? Tak mungkin aku memintanya karena dengan licik kamu sudah mengatas namakan rumah ini dengan nama kamu.”
“Tapi kan kita bisa menempatinya berdua?”
“Tidak. Aku sudah tahu siapa kamu. Kamu bukan wanita baik-baik. Menyesal aku telah menuruti kemauan kamu dan membuat aku terperosok kedalam jurang yang menyakitkan,” kata Tejo sambil menyeret kopornya dan keluar dari rumah itu. Anisa melihat kedepan, ternyata ada taksi yang menunggu.
“Jadi kamu benar-benar mau pergi mas?”
Tejo tak menjawab. Taksi itupun berlalu.
“Kurangajar ! Dia pergi dan mobilnya tidak kembali,” omel Anisa sambil masuk kedalam. Didepan dilihatnya Rita sedang mengeramasi rambut seorang pelanggan.
“Ada apa?” tanya Rita
“Dia pergi membawa kabur mobilnya.”
“Sejak kemarin dia marah-marah terus. Salah kamu sendiri, pergi sama Alex dan dia melihatnya.”
“Alex yang membawanya lewat bengkel.”
“Ah, aku bingung Nis. Bagaimana kalau kita tutup saja salon ini?” kata Rita ketika sedang tak ada pelanggan.
“Apa maksudmu? Penghasilan salon ini adalah hidupku, hidup kita. Jalan terus saja, memangnya kenapa kalau tak ada dia,” kata Anisa dengan sombongnya.
Tapi kalau tak ada mobil aku bingung,” lanjutnya sambil berpangku tangan.
“Ya sudah, kan banyak taksi online yang siap mengantar setiap kamu inginkan.”
“Tidak, aku harus mencari jalan lain.”
***
“Apa kabar bidadari?”
“Pram..”
“Aku sudah tahu, memang dia Tejo.”
“Kerja di bengkel?”
“Iya, bersama temannya.”
“Bagaimana dengan rumah yang dulu dijualnya?”
“Aku tidak bertanya detail. Tampaknya temannya tak mau bercerita tentang Tejo. Ada sepatah ucapannya, bahwa dia lagi marahan sama isterinya, tapi diralatnya. Tampaknya dia tak mau menceritakan perihal temannya.”
“Waktu itu dia tak ada?”
“Ya, sendirian, katanya Tejo sedang pulang. Tapi ketika aku mau pergi, aku melihat Tejo datang. Ya sudah, kalau bertemu malah bingung mau ngomong apa.”
“Jangan-jangan uangnya dikuasai Anisa.”
“Mungkin, tapi entahlah. Oh ya, bagaimana kabarnya Abi?”
“Sudah bisa duduk, lalu minta diberdirikan, terus dia lonjak-lonjak deh.”
“Pasti sangat lucu.”
“Kamu tak ingin datang kemari?”
“Ada keinginan untuk itu. Tapi aku harus menyamar lagi dong.”
“Iya sih..”
“Nanti aku pikirkan bagaimana caranya. Aku juga kangen nih sama bidadariku..”
Lalu pembicaraan lewat pesan singkat itu dihiasi dengan saling mengirimkan emotikon yang menggambarkan isi hati mereka.
***
“Tiba-tiba kok teringat Pram ya bu,” kata pak Kusumo pada suatu sore.
“Iya, sudah lama juga nggak mendengar kabarnya.”
“Benar, usaha apa ya kira-kira anak itu, sepertinya sibuk sekali.”
“Kalau dikampung ya mungkin buka warung makan, atau jualan sembako, gitu pak.”
“Apapun usahanya, semoga berhasil ya bu, Pram anak baik, pasti semua usahanya selalu dirahmati Allah.”
“Benar pak. Tapi kok ya sama sekali nggak menjenguk kita.”
“Kalau tahu persisnya rumah Pram aku ingin jalan-jalan kesana.”
“Eyang,,, Abi sudah mandi...” tiba-tiba Miranti muncul sambil menggendong Abi. Abi tampak melonjak-lonjak dalam gendongan, seperti ingin menyapa kakek neneknya, mulutnya berceloteh lucu.
“Ooh, cucuku sudah ganteng.. sudah wangi.. sini.. sini.. sama eyang uti..”
Miranti mengulurkan Abi kepada bu Kusumo, lalu duduk diantara mereka.”
“Ada ubi goreng Mir, kebetulan empuk.. bapakmu suka.”
“Oh ya.. baunya gurih bu.. “ kata Miranti sambil mencomot ubi gorengnya. Abi yang melihat segera meraih-raih kearah makanan itu.
“Eeh, Abi belum bisa makan itu, sebentar, eyang ambilkan roti marie ya..” kata pak Kusumo sambil berdiri untuk mengambil roti lalu mengulurkannya kearah Abi, yang kemudian memasukkannya kedalam mulut.
“Hm, enaknya.. suka ya Abi?”
Abi berceloteh sambil mengulum rotinya. Pak Kusumo dan bu Kusumo menatap cucunya dengan bahagia.
“Mir, kapan main kerumah ibu kamu, dia pasti juga kangen sama cucunya ini?” kata bu Kusumo.
“Miranti juga ingin bu, terserah ibu mau kapan?”
“Kalau mau kesana bilang, biar diantar sopir ..” sela pak Kusumo.
“Biar saya sendiri saja pak, takutnya lama, kasihan pak sopirnya.” Kata Miranti.
“Benar kamu mau membawa mobil kamu sendiri?”
“Iya bapak, kan sudah sering Miranti membawa mobil sendiri.”
“Baiklah, tapi hati-hati ya..”
Abi berceloteh ikutan bicara.. seakan tahu bahwa akan bertemu kakek-nenek yang satunya lagi.
***
MIranti tidak mau diantar sopir, karena sesungguhnya ingin melewati jalan Veteran, yang kata Pram, Tejo membuka bengkel disana.
“Abi, jangan mengganggu ibu ya, ibu lagi menyetir mobil,” kata bu Kusumo ketika Abi yang dipangkunya meraih-raih lengan ibunya.
“Iya sayang, duduk manis sama eyang ya.”
“Lewat Singosaren ya Mir, beli selat untuk oleh-oleh,” kata bu Kusumo.
“Waduh, kalau lewat Singosaren bisa kelewat nih letak bengkel yang ditunjukkan Pram.,” pikir Miranti.
“Ibu, beli selatnya jangan di Singosaren, nanti di daerah Tipes ada kok. Enak bu,” kata Miranti membujuk bu Kusumo.
“Baiklah, terserah kamu saja.”
Miranti merasa lega. Tapi ketika melewati jalan yang dikatakan Pram, tak ada sebuah bengkelpun didekat perempatan. Miranti justru melihat Salon Anisa dikiri jalan.
Miranti berdebar.
“Apakah itu salonnya Anisa? Lalu apakah Tejo juga ada disana ?”
“Dimana belinya selat Mir,” tanya bu Kusumo membuyarkan lamunan Miranti.
“Oh iya bu, didepan.. sebentar.. masih disana bu.”
Miranti hanya menemukan sebuah salon bernama Anisa, tapi didekat perempatan itu tak ada bengkel mobil.
***
“Bagus Pri tempatnya, aku suka. Rumah kecil dan ada dua kamar, lumayan bagus, kita bisa buka didepan situ.”
“Alat-alat bengkel besok baru akan aku bawa kesini, kan tempatnya belum dibenahi.”
“Gampang Pri, barang-barangnya kan sudah ada dirumah kamu?”
“Iya, sudah aku kumpulkan dirumah, besok tinggal mengangkutnya kemari.”
“Sewa colt saja, biar bisa sekali jalan.”
“Iya, aku juga berfikir begitu.”
“Kalau kamu capek bisa tidur disini Pri. Aku sudah membeli peralatan dapur dan kulkas. Kita tidak usah beli makan dan minum, biar irit.”
“Benar, siapa tahu kita bisa beli rumah dan tidak usah kontrak.”
“Semoga disini bisa lebih panyak pelanggan.”
Supri mengikuti Tejo melihat-lihat rumahnya.
“Rupanya kamu sudah membeli semua kebutuhan dan isi rumah,” kata Supri mengomentari rumah yang baru mereka sewa.
“Biar seperti benar-benar rumah, walau bukan perabot mahal. Ada kursi tamu, dapur tempat tidur, almari pakaian. Nah, disitu kalau kamu mau tiduran.” Kata Tejo sambil menunjuk kearah sebuah kamar.
“Habis berapa kamu beli semua ini?”
“Sisa uang dari pembayaran kontrak selama tiga tahun dari penjualan mobil itu Pri. Masih ada sisa kalau kamu ingin membeli peralatan yang lebih lengkap dan bagus.”
“Bagus Jo, aku ikut senang. Semoga dengan ini kamu bisa memulai kehidupan barumu yang bersih. Jangan lupa, kenali Tuhanmu dan selalu bersujud. Dengan itu kamu pasti bisa menjalani hidup nyaman dan tenang.”
“Terimakasih karena telah selalu mendukungku dan mengingatkan aku Pri.”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gaduh orang-orang dijalan. Supri dan Tejo keluar, ingin tahu apa yang terjadi.
“Ada apa bu?” tanya Tejo kepada seorang ibu yang berjalan tergesa sambil membawa kartu berwarna putih.
“Ada yang membagi sembako untuk orang-orang miskin dilapangan itu, jawabnya sambil menunjukkan kartu kecil yang dibawanya.
“Oh ya?”
Dan tanpa keinginan ikutan meminta, keduanya ikut berjalan kearah lapangan. Sudah banyak orang berkerumun disana, Tejo dan Supri mendekat.
“Antri, jangan berebut ya, jangan berebut, siapa yang sudah membawa kartu pengambilan sembako pasti akan mendapatkan,” terdengar suara keras seseorang dari pengeras suara.
Ada sebuah panggung kecil disana, lalu ada beberapa yang sibuk membagikan sembako.
“Siapa yang memberi sembako sekian banyak?” tanya Supri.
“Itu, seorang pengusaha kaya. Dia sering melakukannya. Kabarnya bukan hanya disini. Tuh, orangnya ada diatas panggung.” Kata seseorang yang sedang ngantri.
Tejo dan Supri melihat keatas panggung, dan terkejut melihat seorang laki-laki ganteng ikut membagikan sembako itu.
“Dia itu kan,..” kata Supri dan Tejo hampir bersamaan.
“Kalau tidak salah namanya Pramadi,” lanjut orang itu dengan bangga karena merasa mengenali orang dermawan itu. Tapi Tejo hampir pingsan dibuatnya.
***
Besok lagi ya