ADA YANG MASIH TERSISA 27

ADA YANG MASIH TERSISA  27

(Tien Kumalasari)

 

“Pri, ayo pulang,” ajak Tejo dengan suara gemetar.

“Pulang? Bukannya mau meminta kartu untuk mengambil sembako itu, barangkali masih ada.”

“Enggak, memalukan. Aku tiba-tiba kok merasa pusing,” kata Tejo yang berjalan sambil memegangi lengan Supri.

Supri agak cemas, karena tiba-tiba tangan Tejo berkeringat dan terasa dingin. Padahal tadinya tak apa-apa.

Sesampai dirumah Tejo duduk dikursi sambil menyandarkan kepalanya. Yang dilihatnya membuat perasaannya tak menentu. Pramadi? Pengusaha kaya yang dermawan? Bukankah dia pengamen yang pernah dibentaknya dan dilemparinya uang receh limaratusan? Lalu dihardiknya ketika menaruh sepeda motor butut di garasi...?

“Ya Tuhan, apa arti semua ini? Lalu aku diberinya uang duapuluh ribu hanya ketika mengisi angin di ban mobilnya, dan Supri diberinya seratus ribu hanya untuk melihat mesin mobilnya?” Tejo terus memikirkannya dalam hati.

“Mengapa dia melakukannya? Menjadi pengamen, lalu menarik hati bapak kemudian dijadikannya sopir Miranti? Ternyata dia bukan orang sembarangan..”

“Kamu perlu obat Jo?”

“Tidak, tidak...aku hanya ingin beristirahat saja,” kata Tejo pelan.

Ia tidak sakit, ia hanya terkejut, bercampur malu tak terhingga atas semua perlakuannya kepada Pramadi.

“Aku ambilkan minum ya,” kata Supri sambil beranjak kebelakang, lalu kembali dengan segelas air dingin.

“Minumlah dulu. Kenapa sih kamu ini? Kesambet barangkali?”

“Tiba-tiba pusing, terimakasih Pri, aku akan istirahat dikamar sebentar ya.”

“Baiklah, istirahat saja, aku mau pulang mempersiapkan alat-alat bengkel kita, sekaligus memesan colt yang bisa mengangkut besok pagi.”

“Baiklah Pri.”

“Kalau ada apa-apa kabari aku.”

Supri berlalu dan menutupkan pintu depan.

Tejo masih terbaring dengan lamunan yang sungguh membuatnya sangat menyesal.

“Apakah Miranti tahu  siapa sebenarnya Pramadi? Apa maksudnya dengan menyamar-nyamar seperti itu? Ya Tuhan, dulu aku sangat membencinya karena bapak sangat menyayangi dia. Ternyata dia seorang baik yang punya kedudukan. Apakah dia tahu bahwa yang ditemuinya beberapa minggu yang lalu itu adalah aku? Sungguh aku malu..”

***

“Pram... ternyata yang kamu bilang bengkel itu nggak ada..” kata Miranti di pesan singkatnya kepada Pramadi.

“Iya, kamu benar, aku juga sudah tak melihatnya sejak seminggu lalu.”

“Pindah tempatkah ?”

“Mana aku tahu? Kamu ingin sekali ketemu?”

“Iih.. enggaklah.. hanya pengin tahu saja.. “

“Mungkin saja mencari tempat yang lebih menjanjikan, karena disitu sepi.”

“Kamu melihat salon yang ada disekitar tempat itu?”

“Salon? Aku nggak begitu memperhatikan.. ada apa dengan salon itu?”

“Aku mencari bengkel nggak ketemu, malah melihat salon didekat situ, dengan nama ‘ANISA’.”

“Benarkah? Jadi mungkin saja Tejo tinggal disitu.”

“ Bisa jadi.”

“Aku akan menyuruh orang untuk mencari tahu. Bukan apa-apa, cuma penasaran saja.”

“Barangkali keadaannya baik, aku ingin memberitahu ibu. Aku tahu ibu masih memikirkan Tejo, seringkali aku melihat ibu melamun, dan tampak sedih. Bagaimanapun Tejo itu anak satu-satunya, nggak mungkin benar-benar dibuangnya. Cuma saja, kalau masih bersama Anisa ya susah kalau mau agar ibu mema’afkannya.”

“Iya benar. Nanti aku cari tahu bagaimana keadaannya”

***

Malam itu ketika Miranti sedang duduk sendirian dipavilyun yang ditempatinya, tiba-tiba bu Kusumo datang.

“Mir, kamu belum mengantuk?”

“Belum bu, kan masih jam delapan.”

“Abi sudah tidur?”

“Sudah bu..”

“Ibu ingin bicara sama kamu, setelah berhari-hari ibu ingin mengatakan tapi belum sempat mengatakannya.”

“Ada apa bu?”

“Waktu kita ketempat ibumu itu, dan kamu sedang menyusui anakmu dikamar, ibumu bilang bahwa ada yang ingin meminang kamu.”

Miranti terkejut.

“Meminang saya? Maksudnya..?”

"Kamu sudah lama menjanda Mir, hampir setahun. Sudah sepantasnya kalau kamu menikah lagi.”

“Ah, ibu..”

“Ibu sama bapakmu tidak apa-apa Mir, kami justru berharap kamu segera menikah lagi, karena kamu kan masih sangat muda.”

Miranti terdiam. Terbayang olehnya wajah ganteng Pramadi yang selalu membayanginya. Tapi sejauh ini Pramadi belum pernah mengatakan ingin meminangnya. Miranti tahu, pasti sulit baginya setelah Pram melakukan penyamaran beberapa waktu lalu. Atau.. jangan-jangan Pramadi ragu karena dia sudah janda?”

“Mir, kata ibu kamu, anaknya pak Lurah yang rumahnya disebelah rumah itu.. suka sama kamu lho. “

“Oh.. dia ?”

“Iya, kalau dia baik.. terima saja Mir, sudah lama kamu hidup sendirian.”

“Kan sama bapak sama ibu sama Abi?” Miranti mengelak.

“Itu hal yang berbeda. Aku sama bapak adalah orang tua kamu, Abi adalah anak kamu. Tapi kamu butuh seseorang yang bisa melindungi kamu. Ya kan?”

“Iya bu, tapi Miranti belum memikirkan itu.”

Walau begitu, kata-kata ibu Kusumo itu menyiratkan bahwa tak ada masalah seandainya dia menikah lagi. Tapi siapa yang mau melamar? Jangan anaknya pak lurah ah. Kata hati Miranti. Ada yang ditunggunya, tapi belum datang juga.

“Mir, pikirkan baik-baik ya, ibu sama bapak disini akan mendukung kamu kok. Tapi kamu harus mendapatkan laki-laki yang baik, yang mencintai kamu, yang bisa melindungi kamu, dan Abi pastinya.”

“Iya ibu, akan Miranti pikirkan.”

“Baiklah. Sekarang tidurlah, sudah malam,” kata bu Kusumo sambil mengelus wajah Miranti dengan kasih sayang.

Miranti masih duduk dikursinya, membiarkan televisi menyala tanpa sedikitpun dinikmatinya. Batinnya menjerit...

“Praaaam, lamarlah aku..”

Malam itu Miranti bermimpi tentang bunga-bunga, tentang pangeran berkuda yang meraih pinggangnya dan menaikkannya keatas kudanya, lalu mengajaknya terbang keawang, menggapai bintang-bintang, bermain dengan gumpalan mega dan berpacu dengan angin menderu. Aduhai...

***

“Anisa, mobil siapa itu?” tanya Rita heran melihat Anisa datang membawa mobil baru.

“Mobil aku lah, masa mobil orang..”

“Dikasih sama kekasih baru kamu? Alex?”

“Bukan, aku beli sendiri.”

“Banyak duit rupanya.”

“Aku menggadaikan surat rumah ini..”

“Astaga, kamu sembrono tentang uang Nis. Hanya untuk membeli sebuah mobil kamu menggadaikan rumah kamu?”

“Ini kesenangan aku Rit, aku pasti bisa menebusnya. Bukankah salon kita semakin ramai?”

“Kalau kamu suka menghamburkan uang untuk kesenangan kamu, mana bisa uang kamu menumpuk?”

“Bisa.. harus bisa.”

Tapi Anisa terus saja bersenang senang dan menghamburkan uang. Ia juga berganti-ganti pasangan. Bagai kuda lepas dari kandangnya semenjak Tejo sudah pergi dari rumahnya. Baginya Tejo sudah tak berguna karena tak lagi memiliki apa-apa.  Berbulan bulan ia menikmati kesenangan, dan membuat Rita terkadang  juga merasa kesal.

“Rit, aku pergi dulu ya..”

“Pergi kemana lagi?”

“Ada aja.. nggak akan lama.. mumpung lagi sepi.” katanya sambil berlalu, pergi dengan mobil barunya.

Rita hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia menyesal bekerja sama dengan Anisa, yang pada kenyataannya dia sering harus bekerja sendiri sedangkan Anisa hanya meminta uang lalu lebih banyak bepergian. Lalu ia berfikir akan melepaskan salon itu dan berusaha sendiri dirumahnya  walau hanya sederhana.

“Selamat siang,” sapa seorang wanita yang kemudian masuk kedalam.

“Selamat siang mbak, silahkan masuk.”

“Lagi sepi ya?”

“Baru saja sepi mbak, tadi lumayan ramai. Mau potong rambut?”

“Saya mau keramas dong mbak, lalu dipotong sedikit saja.”

“Baiklah, ayo silahkan duduk disini.”

Rita melayani pelanggan yang baru masuk dengan sangat ramah. Begitu  ia selalu melakukannya.

“Kok sendirian mbak..”

“Iya, teman saya sedang keluar.”

“Nama salon ini Anisa, mbak kah yang bernama Anisa?”

“Oh bukan, itu nama teman saya yang sekarang sedang keluar. Dia juga pemilik rumah ini.”

“Oh, tidak ada karyawan lain ya mbak..”

“Biasanya saya mengerjakan dengan Anisa. Tapi karena sepi dia keluar sebentar katanya.”

“Itukah yang namanya Anisa?” kata sang pelanggan sambil menunjuk kearah sebuah foto besar yang terpampang didinding.

“Ya, itu Anisa.”

“Masih muda ya, dan masih gadis tampaknya. Hebat, masih muda-muda sudah sukses menjalankan usaha.”

“Oh, saya sudah punya suami dan seorang anak mbak.”

“Oh ya? Tampaknya seperti masih gadis.”

“Masak sih?”

“Iya mbak, bener, mungkin karena punya salon jadi pintar merawat diri.”

“Mbaknya terlalu memuji.”

“Benar kok. Kalau mbak Anisa itu juga masih gadis kah, atau sudah keluarga?”

“Dia .. pernah punya suami.. “

“Apa maksudnya pernah?”

“Suaminya sudah pergi, mungkin tidak cocog dengan kehidupan salon yang pelanggannya bukan hanya wanita tapi juga pria.”

“O..jadi mbak Anisa sendirian dirumah ini?”

“Ya.. begitulah. Sudah mbak, ayo pindah kesana, saya potong dulu rambutnya, mau yang seperti apa, lalu saya keringkan.”

“Seperti ini saja mbak, cuma agak dipendekin sedikit.”

“Oh, baiklah..”

***

Sebuah pesan singkat diterima Miranti dengan hati berdebar.

“Bidadari, aku ingin sekali ketemu kamu, tapi seakan akan ketemu dimana.. gitu..”

“Memangnya kenapa?”

“Kangeeeen...”

Maka Miranti mendekati bu Kusumo dengan hati-hati.

“Ibu, bisakah saya nitip Abi sebentar?”

“Mau kemana Mir?”

“Belanja sebentar saja bu..”

“Mau ibu temenin, nanti biar Abi sama ibu.”

“Nggak usah ibu, Abi lagi tidur. Cuma sebentar saja kok bu.”

“Baiklah Mir.”

“Ibu mau nitip apa?”

“Apa ya, semua masih ada. Kalau ada beli jeruk saja buat bapak.”

“Baiklah bu, nanti Miranti belikan.”

***

Miranti memasuki supermarket dengan hati berdebar. Ini janjian tempat bertemu, pura-pura tidak sengaja, tapi sebenarnya sengaja. Miranti berdebar-debar. Sudah berbulan-bulan tidak ketemu, hanya memandangi foto dan membaca kalimat-kalimat romantis dipesan singkat, dan sekarang akan bertemu. Miranti menata batinnya yang bergejolak. Ini adalah kerinduan yang sudah lama ditahannya, lalu ketika ia sedang memilih sayuran dan akan memasukkannya ke keranjang belanjaan, dan seseorang berdehem dibelakangnya, maka Miranti hampir jatuh terhuyung.

“Apa kabar bidadari...” kali itu dibisikkannya melalui bibirnya yang selalu tersenyum teduh.

“Pram...” bergetar Miranti menyapanya.

“Kamu masih seperti dulu..cantik dan menawan.”

“Apa kamu juga ingin agar aku memuji kamu?” kata Miranti setelah menata batinnya.

“Jangan, aku sudah tahu bahwa aku tampan, handsome,ganteng,menawan..” goda Pram.

“Huuh..” Miranti mencibir, Pram menatapnya gemas.

“Aku sudah tahu kalau Anisa tidak bersama Tejo..”

“Oh ya..”

“Salon itu memang punya Anisa. Karyawanku pura-pura memotong rambut disana dan sempat memotret fotonya, karena waktu itu Anisa tidak ada.”

“Lalu dimana Tejo?”

“Entahlah, aku tidak tahu, atau belum tahu. Karyawanku mau menanyakan dimana bekas suami Anisa, tapi sungkan.”

Mereka berbicara sambil belanja, berjalan pelan dan sesekali saling pandang dengan manis.

“Sudah aku duga, Anisa hanya menginginkan hartanya. Tapi entah bagaimana caranya dan apa yang terjadi sehingga mereka berpisah,” lanjut Pramadi.

“Ya sudah, nanti kalau sudah jelas keberadaannya aku mau bilang sama ibu. Kalau ternyata dia sudah tidak bersama Anisa pasti ibu mau menerimanya.”

“Bagaimana kalau Tejo tak mau datang untuk menemui ibu bapaknya?”

“Yah, entahlah. Sebenarnya aku kasihan sama ibu. Terkadang ibu tampak diam sambil membuka-buka album, menatap wajah Tejo berlama-lama.”

“Tak mungkin seorang ibu melupakan atau membuang anaknya.”

“Semoga yang hilang segera kembali,” gumam Miranti sambil mengambil jeruk pesanan bu Kusumo.

“Didekat situ ada  cafe, boleh kan sekedar minum berdua?”

Setelah belanja Miranti mengikuti Pramadi masuk ke cafe yang ditunjuk. Memesan dua gelas jus jeruk kesukaan mereka, sambil saling pandang dengan mesra.

“Aku akan segera melamar kamu. “

“Benar? Tidak menyesal melamar seorang janda?”

“Janda cantik yang selalu hadir didalam mimpi dan sa’at terjaga. Aku serius. Tapi aku tak tahu, harus melamar kemana? Ke pak Kusumo atau ke pak Winardi?”

“Karena aku anak mereka berdua, jadi datanglah dulu kepada pak Kusumo.”

“Benarkah? Mereka tidak akan sakit hati aku menggantikan kedudukan Tejo?”

“Tidak, bu Kusumo justru mengejar-kejar aku supaya segera menikah lagi.”

“Kalau begitu kendalanya tinggal satu, yaitu aku akan datang sebagai apa? Bekas sopir kamu, atau sebagai aku yang sesungguhnya.”

“Aduh, jangan tanya kalau so’al itu, aku juga bingung.”

“Semoga ada jalan, dan semuanya menjadi lancar.”

Tiba-tiba Pram melihat seseorang memasuki cafe, dan Pram mengenalnya.

“Itu kan Ana.. eh.. Anisa?”

Miranti menoleh kearah pintu masuk, dilihatnya Ana sedang menggandeng seorang laki-laki yang tampak tidak muda lagi. Mereka tampak mesra, lalu duduk diseberang meja dimana Pram dan Miranti duduk.

“Ayo kita pergi,” bisik Miranti.

Pramadi menurut, tapi ketika keduanya berdiri, Anisa melihatnya.

“Haa... akhirnya Miranti pacaran dengan sopirnya?” teriak Anisa tanpa sungkan.

Miranti dan Pram mendengarnya, tapi tidak menggubrisnya. Pramadi justru merangkul pundak Miranti sambil melangkah keluar lalu menghampiri mobil masing-masing yang kebetulan diparkir berurutan.

“Hati-hati, bidadari,” pesan Pram ketika mengantarkan Miranti ke mobilnya.

“Terimakasih, mas sopirku yang ganteng,” kata Miranti tersenyum lalu masuk kedalam mobilnya.

“Sopirmu ini akan segera melamar kamu,” kata Pram sambil menatap Miranti dari jendela kaca.

Miranti mengangguk sambil tersenyum.

***

Masih pagi ketika pak Kusumo duduk dikursi kerjanya dan membaca koran yang sudah siap di mejanya. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada sebuah berita dikolom utama koran itu.

SEORANG PENGUSAHA MUDA,  Ir. PRAMADI ADALAH SEORANG DERMAWAN.

“Pramadi?” gumam pak Kusumo, lalu melanjutkan membaca.

Setiap bulan ribuan kaum du’afa mendapat limpahan rejeki dengan sembako yang dibagikan disetiap sudut kota.

Dibawahnya terpampang foto seorang laki-laki ganteng dan seorang lagi sedang membagikan sebuah bungkusan yang diterima seorang wanita.

Pak Kusumo menatap lekat-lekat wajah itu, tanpa melanjutkan membaca.

“Pramadi? Insinyur Pramadi.. pengusaha muda yang dermawan.. Tapi bukankah ini Pramadi yang aku kenal?” gumamnya sambil terus menatap wajah yang terpampang dikoran itu.

“Kalau nama sama, boleh saja.. wajah sama juga boleh.. tapi nama sekaligus wajahnya sama.. bagaimana ini?”

Tak lama kemudian terdengar  interkom berbunyi.

“Bapak.. ada yang mau ketemu bapak, apakah bapak bisa menerima?”

“Siapa?”

“Seorang bapak bernama Pramadi..”

***

Besok lagi ya

 

Previous Post Next Post