ADA YANG MASIH TERSISA 28

ADA YANG MASIH TERSISA  28

(Tien Kumalasari)

 

“Persilahkan dia masuk,” kata pak Kusumo dengan dada berdebar.

“Pramadi? Apakah perkiraanku benar?” gumam pak Kusumo sambil berdiri lalu menunggu dengan duduk disofa.

“Selamat siang bapak,” sapa seorang laki-laki tegap ganteng dengan pakaian jas keren.

Pak Kusumo menatap tanpa berkedip, karena agak gugup maka tak sempat membalas ucapan selamat siang dari tamunya.

Dan tiba-tiba saja Pramadi ganteng langsung menuju ketempat duduk pak Kusumo lalu bersimpuh dihadapannya lalu mencium lututnya. Membuat pak Kusumo kebingungan.

“Eeh..ehh...” pak Kusumo hanya bisa berkata ah eh ah eh..

“Bapak, ma’afkanlah saya bapak..” ucap Pram bergetar sambil terus mendekap kaki pak Kusumo.

“Nak.. tunggu nak, berdirilah..”

“Ma’afkan saya bapak..” Pramadi terus mengucapkan itu..

“Berdirilah..”

“Katakanlah bahwa bapak mema’afkan saya. Saya bersalah pada bapak, berbulan-bulan membohongi bapak, saya berdosa pada bapak.. ma’afkan saya..” Pramadi terus merangkul kaki pak Kusumo.

Susah payah pak Kusumo mengangkat tubuh Pramadi yang kekar.

“Baiklah, saya ma’afkan, berdirilah dulu dan katakan semuanya pada saya.”

Pramadi mengangkat wajahnya, lalu mengusap air matanya yang membasahi sepasang mata tajam dan penuh pesona itu.

“Apa-apaan ini nak..” pak Kusumo masih kebingungan, dan Pramadi masih bersimpuh dibawah kakinya.

“Saya bersalah pak, saya telah membohongi bapak..”

“Anda Pramadi yang saya kenal?”

“Bapak, saya mohon jangan merubah sikap bapak kepada saya. Saya masih seperti dulu. Saya tidak berubah untuk bapak.”

“Berdirilah dan duduk disini,” kata pak Kusumo sambil menarik sebelah tangan Pramadi lalu menunjuk kearah kursi didepannya.

“Saya bingung, saya tidak mengerti semua ini, dan mengapa kamu melakukannya Pram.”

“Ceritanya panjang pak..sungguh saya mohon ma’af, dan percayalah saya tidak ingin berbuat jahat.”

“Baiklah, aku tahu bahwa kamu baik. Sangat baik dan banyak menolong keluargaku. Tapi mengapa kamu melakukan semua itu? Seorang pengusaha yang memiliki beberapa perusahaan besar, lalu menjadi pengamen, lalu bersedia menjadi seorang sopir.. Ya Tuhan..” pak Kusumo geleng-geleng kepala.

“Hanya kamu yang bisa melakukannya, dan untuk apa?”

“Saya sangat mencintai Miranti..”

Pak Kusumo terkejut bukan alang kepalang.

“Itu benar pak, ma’afkanlah saya. Tapi percayalah bahwa saya tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma adab dan susila. Saya melakukannya menjadi sopir dan hanya menjadi sopir.”

“Jadi Miranti juga sudah tahu siapa kamu sebenarnya?”

“Kami sudah lama berkenalan, sejak masih kuliah. Lalu kami berpisah karena saya menderita sakit selama tiga bulan dan dirawat di Singapura. Ketika kembali, saya berharap bisa ketemu Miranti dan kembali merajut hubungan kami yang terputus, tapi ternyata Miranti sudah menikah. Saya akan menerimanya dengan ikhlas seandainya Miranti tidak mengeluhkan hubungannya dengan suaminya yang tidak bahagia. Ma’af pak.”

Pak Kusumo menghela nafas. Ia bisa mengerti kalau bersama Tejo MIranti tidak bahagia, walau Miranti tak pernah mengeluhkan apapun..

“Sekali lagi ma’af, pak Tejo tidak pernah mencintai Miranti, justru berhubungan dengan wanita lain. Tapi terhadap bapak maupun kedua orang tuanya Miranti tak pernah mengeluhkan apapun. Penderitaan itu dipendamnya dalam-dalam, demi baktinya kepada orang tua dan mertuanya.”

Pak Kusumo mengangguk-angguk. Kenyataannya memang demikian.

“Saya tidak tega mendengar keluhannya. Lalu saya menemui dia sebagai pengamen, hanya karena ingin mengetahui keadaannya. Lalu bapak melihat saya dan menjadikannya sopir untuk Miranti. Saya kemudian menjalaninya. Tapi percayalah kami tidak melakukan apapun yang melanggar norma-norma susila. Kami sangat menjaganya.”

Pak Kusumo mengangguk-angguk mengerti.

“Dan ketika pak Tejo pergi, saya mengundurkan diri karena saya tak ingin merusak citra Miranti yang ma’af akan menjadi janda, sementara saya ada didekatnya. Tidak pak, saya tak ingin mengganggunya.”

“Iya, saya percaya kamu Pram, kamu anak baik.”

“Tapi saya tak bisa menghilangkan rasa cinta saya kepada Miranti pak.”

“Hm.. baiklah, lalu bagaimana?”

“Saya mendengar Miranti sudah bercerai, dan saya ingin melamarnya.”

Pak Kusumo sangat menyayangi Miranti, dan berharap Miranti akan hidup bahagia. Apa yang dikatakan Pramadi sudah bisa diduganya. Ia suka Pramadi, dan ia yakin Pram akan bisa membahagiakan Miranti.

“Baiklah, datanglah kerumah, karena Miranti sudah seperti anakku sendiri. Tapi jangan lupa bahwa Miranti juga punya orang tua di kampung.”

***

Pramadi keluar dari kantor pak Kusumo dengan perasaan lega. Semua sudah diutarakan dan pak Kusumo bisa menerimanya. Rupanya sikap baik dan kelakuan yang terpuji ketika masih menjadi sopir Miranti cukup membuat pak Kusumo percaya bahwa Pramadi adalah memang laki-laki yang baik.

Miranti terkejut ketika Pramadi mengatakan bahwa dia sudah ketemu pak Kusumo dan mengatakan semuanya. Karenanya ia berdebar-debar ketika bekas bapak mertuanya itu sudah pulang kerumah, lalu tak lama kemudian memanggilnya.

“Ya bapak..”

“Kamu sudah tahu mengapa bapak memanggil kamu?”

“Tidak bapak..”

“Pramadi tidak mengatakannya sama kamu?”

Miranti terdiam, ditatapnya wajah kedua bekas mertuanya itu, tapi dia tak melihat ada kemarahan diwajah mereka.

“Kamu wanita yang sangat beruntung. Setidaknya setelah mengalami kepahitan dalam rumah tangga kamu.”

Miranti tak menjawab, tapi menundukkan kepalanya.

“Jangan takut Mir, bapakmu tak akan memarahi kamu,” kata bu Kusumo yang melihat Miranti tampak tertunduk dan tak mengucapkan apapun.

Miranti mengangkat wajahnya.

“Bapak sudah tahu siapa Pramadi..”

“Ma’af bapak... saya.. ikutan berbohong.. karena..”

“Ya nak, bapak sudah tahu alasannya, bapak menyesal karena hidup kamu waktu itu sangat tidak bahagia. Kamu menutupinya walau batin kamu menangis. Kamu bisa menjaga nama baik rumah tangga kamu dengan tak melompati pagar yang seharusnya memang terjaga.”

Miranti menatap pak Kusumo dengan wajah masih takut-takut.

“Sekaranglah sa’atnya kamu meraih kebahagiaan kamu.”

“Miranti sangat bahagia bapak.. karena bapak dan ibu sangat mengasihi Miranti.”

“Ada kebahagiaan lain yang kamu harus menikmatinya, yaitu hidup disisi seorang laki-laki yang sangat mencintai kamu.”

Walau sudah mengerti siapa yang dimaksud, tapi tetap saja jantung Miranti berdebar.

“Inikah awal kebahagiaanku?” bisiknya dalam hati.

“Pramadi akan melamar kamu.”

MIranti kembali menundukkan wajahnya, yang kali ini memerah karena malu.

“Apakah kamu mau menolaknya?”

Miranti mengangkat wajahnya. Menolak? Ya enggaklah..

“Melihat wajahnya yang malu-malu begitu, tampaknya dia tak akan menolaknya pak,” sambung bu Kusumo sambil tersenyum.

“Raih kebahagiaan kamu Miranti.. lupakan masa lalumu yang getir. Sekali lagi bapak minta ma’af karena telah membuat kamu menderita batin.”

“Tidak bapak, jangan berkata begitu.. orang tua selalu punya maksud baik untuk anaknya, demikian pula bapak dan ibu.”

“Baiklah, lupakan yang telah lalu, tapi tolong bilang kepada Pramadi agar melamar kepada bapak dan ibu kamu terlebih dulu, bapak ibu disini akan mendukung kamu.”

Dan ketika memasuki kamarnya maka terdengarlah senandung lirih dari bibir tipisnya. I can’t stop loving you...

Lalu rengek Abi terdengar, dan Miranti menggantikan popoknya sambil masih terus bersenandung riang.

“Sayang, mari kita raih bahagia untuk kita bersama,” kata Miranti sambil mengangkat tubuh Abi dan menciuminya berkali-kali. Lalu ia menidurkan Abi lagi sambil menunggu sebuah sapa melalui pesan singkat seperti biasanya.

“Apa kabar bidadari?”

***

 “Bu, ibu janji apa sih sama pak lurah?” tanya pak Winardi malam itu.

“Lho, janji apa ya pak.. kok aku janji sama pak lurah?”

“Kata pak lurah, ibu janji bahwa kita mau besanan sama pak lurah.”

“O.. itu lho pak, pak Lurah ingin mengambil Miranti sebagai menantu.”

“O.. dulu itu? Apa kamu sudah bilang sama Miranti?”

“Ibu sudah bilang sama bu Kusumo waktu kemari itu.. tapi kalau sama Miranti belum.”

“Bu Kusumo bilang apa?”

“Bu Kusumo seneng pak, dia menyesal Tejo tidak bisa membahagiakan Miranti, malah rumah tangganya jadi berantakan. Jadi kalau ada yang mau ngelamar Miranti, bu Kusumo malah senang. Tapi aku sama pak lurah itu nggak janji apa-apa lho pak, wong dia yang ingin besanan, dan aku belum bilang sama Miranti juga.”

“Sebaiknya ibu bicara juga sama Miranti, kan yang mau menjalani itu Miranti?”

“Ibu telpon sekarang ya pak.”

“Jangan telpon  bu, besok saja kita kesana, ngomong langsung. Masalah seperti itu mana bisa enak kalau hanya bicara di telpon?”

“Ya baguslah pak kalau kita kesana, kita sudah kangen juga sama Abi kan?”

“Iya, tapi besok Sabtu sore atau Minggunya, jadi bisa disana lebih lama.”

“Baiklah pak. Semoga Miranti mau ya pak, kasihan, ibu kira rumah tangga mereka itu baik-baik saja, ternyata kok ya bubar.”

“Dulu itu yang ingin besanan sama kita kan pak Kusumo, jadi nak Tejo sebenarnya tidak suka sama  Miranti.”

“Lha iya pak, nggak kasihan sama isteri, masih berhubungan dengan pacar lamanya.  Miranti juga tidak pernah cerita mengenai rumah tangganya, kalau ibu tanya .. kamu bahagia.. jawabnya bahagia sekali bu.”

“Ya sudah, semuanya sudah berlalu, semoga nantinya Miranti akan mendapat jodoh yang baik.”

“Aamiin ..”

***

“Nis, jangan pergi dulu, aku mau ngomong,” kata Rita ketika dilihatnya Anisa bersiap-siap mau pergi.

“Ya, ada apa? Kalau kamu mau ambil separo keuntungan kita bulan ini ambil saja, kan sudah ada perhitungannya,” jawab Anisa.

“Iya, itu aku tahu, tapi aku bukan mau bicara so’al uang.”

“Lalu..?”

“Minggu depan aku mau berhenti.”

“Berhenti bagaimana maksudmu?”

“Aku mau usaha dirumah saja, disini kejauhan Nis. Anakku protes.”

“Anakmu kan sudah besar?”

“Justru karena sudah besar itu makanya bisa protes, ibunya nggak pernah ada dirumah, kalau pulang dia sudah tidur, begitu.”

“Kamu tega ninggalin aku Rit?”

“Ini bukan so’al tega atau nggak tega. Ini masalah keutuhan rumah tangga. Suamiku juga mendukung kemauan anaknya. Lagi pula kan kamu sudah pintar, jadi bisa menjalankannya sendiri.”

“Tapi kalau sendirian aku nggak bisa kemana-mana dong.”

“Kamu itu usaha ya usaha, kesampingkan kesukaan bersenang-senang.”

“Yaah, cepat tua dong kalau dilarang mencari kesenangan.”

“Ya enggak.. tergantung kamunya.. Lagian kalau repot bisa cari kapster yang bisa membantu kamu.”

“Jadi kamu serius nih ?”

“Serius Nis, dan ma’af, uangku yang untuk modal walaupun tidak seberapa boleh aku minta ya?”

“Lhoh, kalau itu ya belum ada Rit, kamu bilangnya mendadak begitu, ya aku harus ngumpulin dulu.”

“Lho, masa sih kamu nggak punya simpanan sedikitpun, aku juga mau mempergunakannya untuk modal kerja sendiri nih.”

“Benar, aku nggak punya simpanan.”

“Kamu itu kalau sekalian mau bersenang-senang, cari bos yang berduit, bukan cowok-cowok yang cuma bisa jual tampang tapi kamu malah diporotin,” kata Rita kesal.

“Bukan diporotin Rit, cuma aku malu kalau nggak ngeluarin uang.”

“Daripada main gila tapi menghabiskan uang, cari dong yang bisa menghasilkan uang.”

“Yang banyak uang itu sudah pada tua, aku nggak suka.”

“Ya sudah terserah kamu, pokoknya aku minta, kapan kamu bisa memberikan, kabari aku, gitu ya Nis.”

Namun sebenarnya Anisa merasa bahwa dia ditinggal sendirian. Selama ini Ritalah yang mengatur pemasukan dan pengeluaran uang, Ia ingin menahan Rita tapi merasa gengsi, padahal sebenarnya apakah dia bisa menjalankan usaha itu atau enggak, entahlah.

***

“Sekarang boleh dong aku menelpon? Tidak perlu takut lagi kalau bu Kusumo bertanya, telpon sama siapa Mir.. ya kan?” kata Pramadi ketika menelpon Miranti.

“Iya, nggak apa-apa. Kenapa menelpon?”

“Duuuh, kejam banget pertanyaannya.”

“Kok kejam sih? Kejam bagaimana?”

“Ya kejam, masa menelpon ditanya kenapa, ya pasti kangen lah”

“Kalau kangen ya datang dong,”

“O, sudah berani menantang nih?”

Miranti tertawa.

“Kamu sudah diberitahu pak Kusumo?”

“Tentang ketika kamu datang ke kantornya? Wah.. aku kagum sama kamu, ragu-ragu terus,  akhirnya berani juga.”

“Yah, kalau nggak gitu kapan akan mulainya? Ketika aku melangkah kesana aku sudah siap dicaci maki lho, habisnya aku berbohong selama berbulan-bulan. Pas aku datang itu beliaunya lagi membaca berita dikoran, dimana ada berita tentang aku. Kaget juga pak Kusumo, dan aku sungguh ketakutan karena merasa bersalah.”

“Akhirnya?”

“Pak Kusumo seorang yang bijaksana. Setelah aku ceritakan semuanya, pak Kusumo bisa mengerti, malah aku disuruh datang kerumah.”

“Syukurlah, ketika dipanggil itu aku juga takut kena marah, ternyata malah dikasih tahu bahwa aku mau dilamar. Bener nggak ya?”

“Bener nggak ya?” Pram balik bertanya menggoda.

“Ya sudah, kalau nggak bener aku terima saja lamaran anak pak lurah dikampungku.”

“Eiitt.. rupanya aku dapat saingan nih?”

“Iya, ibu yang bilang.”

“Harus segera nih, daripada kedahuluan.

“Kemarin bapak bilang, kamu ngelamarnya harus ke bapak yang dikampung, bapak disini hanya akan mendukung.”

“Pak Kusumo bilang begitu?”

“Iya. Mungkin bapak merasa bahwa tak berhak menerima lamaran karena orang tua kandungku kan yang dikampung.”

“Aku harus pakai kumis nggak nih?”

Miranti terkekeh.  Kalau ingat kumis itu Miranti selalu ingin tertawa ngakak.

“Padahal kumis palsuku entah aku buang dimana ..”

Miranti masih saja tertawa.

“Pram, jangan buat perutku sakit.. “

“Jadi bagaimana dong, aku kan cuma bertanya, kok kamu jadi terpingkal-pingkal?”

“Ya terserah kalau kamu mau pakai kumis palsu, biar bapak mengira sopir aku mau melamar aku.”

“Baiklah, aku beli lagi saja kumis palsunya.”

“Pram.. bercanda ihh!”

“Kalau bisa hari MInggu aku samperin kamu, lalu kita ke bapak bersama-sama ya.”

“Iya, terserah kamu saja.”

***

“Iya benar Mir, harusnya ketika nak Pram menemui bapak sama ibu kamu, kamu juga harus ikut bersamanya. Masa dia akan datang sendiri.”

“Iya bu, “

Pagi itu bu Kusumo dan Miranti sedang menunggui Abi didepan rumah. Abi sudah mulai belajar berjalan. Dia sedang berjalan-jalan dihalaman dengan baby walker sambil berteriak-teriak riang  ketika tiba-tiba seseorang menggendongnya dari belakang.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Previous Post Next Post