SANG PUTRI 02

SANG PUTRI  02

(Tien Kumalasari)

 

Mirah menggeleng-gelengkan kepalanya agar bisa terlepas dari dekapan yang entah oleh siapa.

“Aduuh, siapa sih.. ini.. tangannya Mirah belepotan sabuun... nanti Mirah kasih sabun lho tangannya.”

Lalu terdengarlah suara tertawa keras. Dekapan itu terlepas.

“Ya ampuun.. mas Danang..  hiih.. Mirah siram air.. mau ?” kata Mirah sambil menadahkan tangannya di pancuran ledeng.

”Kamu itu lho Rah, mbok jangan galak-galak begitu, nanti cantiknya hilang lho.”

“Sudah, mas Danang kesana saja, tamu kok langsung masuk ke dapur.”

“Aku kan juga kangen sama kamu?”

“Mau Mirah siram pakai air ?”

“Waduh.. lha nanti aku basah kuyup gantengku hilang dong.”

“Hih, siapa bilang ganteng..” gerutu Mirah sambil melanjutkan mencuci piring.

“Lho, semua orang bilang aku ganteng  kok kamu enggak?”

Mirah diam, kesal menanggapi Danang yang usil.

“Yu MIraaaah... “ tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan.

Mirah menoleh dan melihat seorang gadis cantik menuju dapur sambil menggendong Bintang.

“Eeeh, ada mbak Widi... hadduhh.. itu mas Bintang sudah besar kok minta gendong tante Widi.”

Bintang merosot turun.

“Aku dapat coklat dari tante Widi,” katanya sambil lari menjauh.                                            

“Kok ada mas Danang disini ?”

“Kamu itu juga, tamu langsung masuk kedapur,” tegur Danang.

“Aku mendengar suara kamu didapur, jadi aku langsung ke dapur. Ternyata benar, kamu lagi nggangguin yu MIrah kan?”

“Kamu itu lho Wid, gitu saja kok cemburu,” goda Danang.

“Hih, enak saja, siapa cemburu?”

“Lha itu, melihat aku lagi nggangguin Mirah kamu langsung cemberut.”

“Cemberut karena nggak suka melihat yu Mirah digangguin. Ya kan yu?”

“Iya mbak.. sudah, duduk didepan sana, Mirah buatin minum,” kata Mirah.

“mBak Lupi mana?”

“Dikamar .. “

“Oo, dikamar sama mas Handoko, jangan diganggu, ayo kita kangen-kangenan diruang tengah saja,” rayu Danang sambil menarik lengan Widi.

“Ogah, siapa kangen sama kamu. Norak !” kata Widi sambil melepaskan tangan Danang yang usil.

Widi duduk dikursi diruang tengah, Danang mengikutinya.

Tiba-tiba Palupi keluar dari kamar.

“Aduuhh.. berisik amat, ternyata ada kamu Nang? Bisa datang berdua sama Widi sih?”

“Iya mbak, Widi nyamperin aku tadi,” goda Danang.

“Enak aja! Nggak mbak, aku barusan datang, pulang kuliah. Apa kabarnya mas Handoko?”

“Itu dikamar, baru tadi pulang dari rumah sakit.”

“Bagaimana keadaannya?”

Yah, begitulah..masuklah.. kamu lihat sendiri sana.”

“Aku juga disuruh ibu melihat keadaan mas Handoko. Kalau baik-baik saja ya sudah, biar Widi saja menemui mas Handoko, aku ketemuan sama mbakyuku yang cantik ini saja.”

“Hiih.. kebiasaan deh..”

“Lama nggak ketemu, mbak Lupi semakin cantik.”

“Kamu itu setiap perempuan kamu bilang cantik..”

“Ya enggak lah mbak, masa nenek-nenek yang sudah peyot juga aku bilang cantik.”

Keduanya bercanda asyik, sementara Widi memasuki kamar Handoko perlahan.

Handoko memang tidak tertidur, ketika pintu kamar terbuka, ia langsung melihat kearah pintu. Bibirnya tersenyum melihat Widi datang.

“Widi, sepupuku yang cantik.. sama siapa?”

“Sendiri mas, tadi bapak menyuruh Widi menengok mas Handoko. Bagaimana keadaanmu mas?”

“Ya seperti inilah, kaki kiri habis dioperasi, masih terasa ngilu. Tadi pusing sekali, tapi sudah minum obat, sudah berkurang. Senang melihat kamu Wid. Lama sekali nggak ketemu.”

“Mas Handoko sibuk bekerja, biasanya Widi mampir kesini, tapi mbak Lupi jarang dirumah, adanya cuma Bintang dan yu Mirah.”

“Iya benar, Lupi sering bepergian.”

“Mas Han nggak bisa bangunkah?”

“Bisa, tadi aku juga makan diruang makan. Tapi ya jalannya masih dibantu kursi roda, ini aku tiduran karena masih agak pusing dan habis operasi masih sedikit ngilu.”

“Sabar ya mas, semoga cepat sembuh. Tadi Widi bawain jeruk, biar dicuci dulu sama yu Mirah.”

“Terimakasih  Wid, kamu repot-repot. Nanti kalau kamu pulang, sampaikan sungkem untuk om Tarman ya.”

“Ya mas, nanti aku sampaikan. Sebenarnya aku ingin berkeluh sama mas Handoko.”

“Ada apa ?”

“Besok-besok saja, kalau mas Handoko sudah sehat, nanti mendengar keluh kesah aku mas Handoko bisa tambah pusing.”

“Tentang apa, pacar ya?”

“Besok aja ceritanya.”

“Baiklah. Itu diluar ramai sekali, ada siapa?”

“mBak Lupi sama mas Danang.”

“Oh, kamu datang sama Danang?”

“Tidak mas, aku datang belakangan, habis dari kuliah. Tapi aku pamit dulu sekarang ya mas?”

“Baiklah Widi, terimakasih sudah menengok kakak kamu ini.”

“Sama-sama mas, cepet sehat ya.” Kata Widi sambil berlalu, keluar dari kamar Handoko.

Mereka saudara sepupu, tapi sangat dekat. Kalau ada sesuatu pasti Widi menceritakannya pada Handoko, karena Handoko sangat kebapakan dan bijaksana.

“mBak Lupi, aku pulang dulu ya..”

“Pulang sekarang?”

“Iya mbak, nanti ditungguin bapak.”

“Aku antar ya,” kata Danang. Aku juga mau kembali ke kantor.”

“Aku naik sepeda motor tuh.”

“Tinggalin saja disini.”

“Nggak ah, repot amat. Dah mbak Lupi...”

Danang hanya sebentar menjenguk kakaknya, dan berbincang ala kadarnya.

“Bagaimana keadaan kantor?”

“Baik mas.. mas nggak usah memikirkan dulu.”

“Hati-hati dengan keuangan, itu bukan uang untuk bersenang-senang.”

“Iya..iya.. nggak percaya amat sih.”

“Kalau aku sudah tidak merasa kesakitan, aku langsung mau mulai kerja lagi.”

“Kenapa tergesa-gesa mas, biarkan mas pulih dulu.”

“Kamu senang kan kalau aku nggak ada dikantor?”

“Ah.. ya enggak. Sudah mas, aku langsung kekantor nih.”

***

“Miraaaah....” Palupi berteriak setelah tamu-tamunya pulang.

Mirah bergegas mendekat.

“Ya bu..”

“Tadi aku kan menyuruh kamu mijitin aku..?”

“Iya bu, kan tadi masih ada tamu. Sekarang bu?”

“Bulan depan...” kata Palupi kesal.

“Baik bu, dimana..?”

“Disini saja, kalau di ranjang kan ada bapak tidur dipinggir, apa kamu juga akan melompati majikan kamu?”

Palupi tiduran di sofa, Mirah duduk dibawah lalu mulai memijit kaki Palupi.

“Yu Miraaah, aku mau minum susu..” tiba-tiba Bintang berteriak.

“Ya mas, sebentar ya..”

“Sekarang yu...” Bintang merengek.

“Bintang ! Nanti, yu MIrah sedang memijit ibu, tahu nggak sih?”

“Yuuuuu... mau minum susu...”

Mirah ingin berdiri, tapi mata Palupi melotot, bagaimana mungkin seorang ibu tidak mau mengalah dengan anaknya sendiri?

“Sebentar ya mas Bintang...”

“Sekarang... mau susu.. sekarang...”

Lalu Bintang menangis keras.

Tiba-tiba entah bagaimana caranya, Handoko muncul dari dalam kamar dengan kursi rodanya.

“Ada apa Bintang?”

“Bintang mau susu... mau susu...”

“Mirah, buatkan dulu susu buat Bintang.”

“Anak manja, menunggu sebentar saja kenapa sih?” gerutu Palupi. Tapi Mirah yang sudah mendengar perintah tuannya segera berdiri tanpa ragu. Digendongnya Bintang, diajaknya kebelakang.

“Sayang, sudah jangan menangis, yu Mirah buatkan susunya ya.”

“Anak itu terlalu dimanjakan.” Palupi masih mengomel. Kemarahan Handoko memuncak.

“Kamu itu seorang ibu, sungguh kebangetan tidak mau mengalah dengan anak sendiri. Apa kamu bukan ibunya?” kata Handoko keras.

“Mas, kamu itu sedang sakit, jangan ikutan marah-marah.”

“Kamu yang sakit, jiwa kamu sakit.”

“Jadi mas ingin mengatakan bahwa aku gila?”

“Aku diam sejak tadi, bukan berarti aku tidak memperhatikan semua kelakuan kamu. Kalau dihari-hari biasa aku diamkan kamu melakukan apa yang kamu suka, tapi sebagai seorang isteri yang melihat suaminya sedang sakit, kamu tetap saja tak peduli. Aku menahan kemarahan aku sejak aku dirumah sakit. Apa kamu memperhatikan aku? Apa kamu peduli? Dan tahukan kamu, bahwa aku mengalami kecelakaan karena kamu?”

“Karena aku? Mas yang tidak becus mengendarai sepeda motor, kok aku yang disalahkan?”

“Mengapa kamu memakai mobil disa’at aku mau berangkat kerja? Aku kan tidak biasa naik motor?”

Mirah yang mendengar pertengkaran itu lalu mengajak Bintang masuk kekamar. Tidak baik seorang anak mendengar pertengkaran kedua orang tuanya, apalagi Bintang masih kecil.

“Apakah bapak marah?” tanya Bintang sambil menyedot susu dalam gelasnya.

“Tidak, bapak hanya menasehati ibu. Ayo dihabiskan susunya.”

Bintang menghabiskan susunya, lalu membaringkan tubuhnya. Mirah menepuk-nepuk pantatnya karena tampaknya Bintang mulai mengantuk.

Ketika Bintang sudah tidur, Mirah kembali mendekati ruang tengah, tapi Palupi sudah tak ada. Handoko masih ada diatas kursi rodanya. Mirah menatapnya dengan iba.

Lalu tak lama kemudian Palupi muncul, sudah berganti pakaian rapi.

“Ada apa kamu?” tanya Palupi sambil melihat kearah Mirah.

“Saya kira ibu masih mau dipijitin.”

“Tidak usah. Banyak tempat yang bisa memijit dengan lebih nyaman,” katanya sambil berlalu. Mirah mengelus dada sambil geleng-geleng kepala. Lalu mendekati Handoko.

“Bapak mau didorong masuk kekamar?”

“Tidak, aku sudah bisa sendiri, nanti kalau mau naik ke ranjang dan tidak bisa aku akan minta tolong kamu.”

“Baiklah.”

“Mana Bintang?”

“Sudah tidur bapak.”

“Syukurlah..”

“Saya mau membuat minum dibelakang ..”

“Ya..ya.” kata Handoko dengan masih duduk dikursi roda. Rasa peningnya sudah hilang, nyeri dikakinya juga sudah berkurang. Handoko mendekati sofa, bermaksud duduk disofa supaya merasa lebih nyaman. Tapi tiba-tiba sebelum tangannya menyentuh sofa, Handoko terjatuh.

“Aaughh!”

Mirah berlari kedepan, mendekati majikannya.

“Ya ampun bapak, mengapa tidak memanggil Mirah?” kata Mirah sambil membantu Handoko berdiri dengan sebelah kakinya, lalu mendudukkannya disofa.

Handoko terengah, menatap Mirah dengan penuh rasa terimakasih.

“Saya ambilkan minum bapak..” kata Mirah sambil bergegas kebelakang.

Handoko merasa kakinya nyeri. Tapi yang lebih nyeri lagi adalah batinnya. Mengapa dalam kesulitannya isterinya tak pernah ada didekatnya? Mengapa hanya Mirah.. Mirah.. dan Mirah?

“Ini bapak, silahkan diminum.”

“Terimakasih Mirah.” Handoko menerima cawan berisi teh hangat dengan gemetar. Mirah masih memegangi cawan itu, khawatir tumpah. Ia juga meminumkannya.

“Ma’af Mirah, kamu jadi repot melayani aku.”

“Mengapa bapak berkata begitu? Itu sudah menjadi kewajiban Mirah,” kata Mirah sambil meletakkan cawan kembali ke meja. Ditatapnya lagi wajah majikan gantengnya, lalu lagi-lagi ia merasa iba.

“Orang sebaik ini, mengapa isterinya menyia-nyiakannya?” katanya dalam hati.

“Mengapa kamu menatap aku seperti itu Mirah? Apa kamu kasihan melihat aku?”

“Oh, tidak bapak.. tidak.. Mirah hanya khawatir ketika bapak terjatuh, adakah yang merasa sakit ?” kata Mirah sambil tersenyum. Dan Handoko baru menyadari, alangkah manis senyum pembantunya.

“Aku tidak apa-apa, kakiku sedikit ngilu, terantuk kaki meja, tapi sekarang sudah reda.”

“Lain kali panggillah Mirah kalau bapak memerlukan sesuatu.”

Handoko mengangguk, lalu Mirah beranjak kebelakang melanjutkan pekerjaannya.

***

“Dari mana kamu Lupi? Tanya Dewi temannya ketika Palupi singgah dirumahnya.

“Dari pijat di salon..”

“Wah, kamu tuh.. memangnya pembantu nggak bisa mijitin? Atau suami kamu?”

“Gimana kamu ini, bukankah suami aku baru saja kecelakaan ? Lagian mana mau dia mijitin aku biar tidak sedang sakit sekalipun.”

“Kamu nih kerja apa, kayak yang sedang kerja keras saja, pake minta pijit segala.”

“Lelah aku. Dan dirumah juga sebel, jadi ya lebih baik keluar, cari udara segar.”

“Bukankah suami kamu sedang sakit? Mengapa malah ditinggalin?”

“Aku tuh nggak bisa jadi perawat, lagian ada pembantu dirumah, biar dia melayani suami aku.”

“Aneh kamu nih, melayani suami disuruh pembantu, bagaimana kalau dia juga melayani yang lainnya?”

Palupi tertawa keras.

“Masa sampai segitunya? “

“Banyak lho, kejadian seperti itu, karena terlalu dekat dengan pembantu, lalu terjadilah hubungan yang tidak kita inginkan.”

“Nggak mungkin lah suami aku mau sama pembantu.”

“Coba aja kamu terus-terusan ninggalin suami kamu hanya sama pembantu.”

“Aah.. ada-ada saja. Ngomong tentang piknik hari Minggu aja, jadinya bagaimana.. berangkat jam berapa.. kumpul dimana,”

“Beneran nih, kamu ngajakin kita jalan-jalan?”

“Ya bener lah..”

“Tega ninggalin suami ?”

“Nggak apa-apa.. sebel lah kalau dirumah saja sambil ngliatin orang sakit.”

***

Hari Minggu itu Palupi jadi pergi. Handoko tak menjawab apapun ketika isterinya berpamit.

“Sudah lho mas, pokoknya aku sudah pamit. Nggak enak sama ibu-ibu kalau aku nggak ikut,” kata Palupi sambil memakai sepatu, sedangkan Handoko duduk di sofa sambil menatap kearah televisi. Kursi rodanya terletak disampingnya.

“Miraaah.. “

“Ya bu..” kata Mirah sambil mendekat.

“Bawa tas yang ada diatas meja makan itu. Itu yang mau aku bawa, hanya beberapa camilan dan minum buat dijalan. Hati-hati, ada keripik disitu, kalau kamu banting nanti remuk dia.”

“Baik bu.”

Mirah mengangkat tas besar yang tadinya terletak diatas meja. Lumayan berat, karena juga berisi minuman, yang tentunya tidak sedikit.

“Langsung saya bawa ke mobil bu?”

“Iya lah, masa aku harus membawanya sendiri.”

Tersaruk langkah Mirah yang membawa tas berat itu. Lalu membawanya ke mobil.

“Langsung masuk ke bagasi Miraah !”

Mirah meletakkan dulu tas itu, baru membuka bagasi mobil.

Tapi ketika itu sebuah mobil masuk, lalu berhenti tepat disamping mobil Handoko.

Palupi sudah turun dari teras ketika seorang wanita setengah tua turun dari mobil itu.

“Mau kemana kamu? Kok membawa bekal begitu banyak?”

Palupi bergeming ditempatnya. Sang ibu mertua menatapnya tajam.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Previous Post Next Post