SANG PUTRI 01
(Tien Kumalasari)
Handoko dipapah turun dari atas mobil yang menjemputnya dari rumah sakit, didudukkan diatas kursi roda yang sudah disediakan sebelumnya. Kecelakaan yang baru saja dialaminya membuaat kakinya cedera sehingga tak bisa berjalan seperti biasa.
Mirah pembantunya mendekat, ketika Palupi isteri Handoko berteriak memanggil.
“Mirah, sini kamu, bantu mendorong bapak masuk kerumah,” perintah Palupi.
Mirah segera mendorong kursi roda itu, sementara Palupi asyik menjawab telpone yang entah darimana datangnya. Ia masih asyik menelpon ketika Handoko sudah berbaring di kamarnya dengan dibantu Mirah.
“Bapak mau minum apa? Teh hangat atau coklat susu?”
“Buatkan teh hangat saja Rah,” jawab Handoko sambil memejamkan matanya. Ia sedikit kesal kepada isterinya karena tak begitu memperhatikan ketika ia mendapat kecelakaan. Ia bersikap seakan Handoko sakit biasa saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Ia bahkan belum masuk kekamar sampai Mirah membawakan gelas berisi teh panas dengan sebuah sedotan untuk memudahkan Handoko meminumnya.
Mirah juga membantu Handoko mengangkat sedikit kepalanya ketika Handoko menyedot minumannya.
“Apakah bapak mau makan?”
“Nanti saja Rah.”
“Baiklah, saya kebelakang dulu, kalau bapak memerlukan sesuatu, panggil Mirah ya.”
Handoko mengangguk, sambil menatap punggung Mirah yang melangkah meninggalkan kamar.
Pembantu yang sudah sejak beberapa tahun berada didalam keluarganya itu, begitu telaten meladeni setiap anggauta keluarga. Baik dirinya, isterinya, dan anak semata wayangnya yang baru berumur lima tahun. Bintang.
Handoko ingin kembali memejamkan matanya karena kepalanya masih terasa pusing, ketika Palupi masuk kedalam kamar.
“Mas, aku mau keluar dulu,”
“Kemana ?”
“Arisan ibu-ibu dimajukan siang ini, karena bu Dewi tidak bisa menerimanya minggu depan.”
Handoko tak menjawab, dan Palupi pun berlalu tanpa peduli Handoko akan menjawab atau tidak. Sekarang Handoko benar-benar memejamkan matanya. Kepalanya terasa berdenyut. Ada rasa kesal memikirkan kelakuan Palupi akhir-akhir ini. Ia sama sekali tak mengurusi rumah tangganya. Anaknya yang masih kecil Mirah yang mengurusnya. Semua kebutuhan dapur, Mirah yang mengurusnya, dan sekarang ketika dirinya sakit, Mirah pula yang mengurusnya.
“Sesungguhnya siapa isteriku, Palupi atau Mirah?” gumamnya masih dengan mata terpejam.
Dan belum juga Handoko terlelap, sebuah tangan kecil menggoyang goyang lengannya.
“Bapak sakit?”
Handoko membuka matanya. Dilihatnya Bintang berdiri disamping ranjang, masih dengan memegangi tangannya.
“Bintang tadi bobuk ya?”
“Iya... “
“Mas Bintang, jangan mengganggu bapak, sini sama yu Mirah,” tiba-tiba Mirah masuk dan menarik tangan Bintang.
“Apa bapak tidak bisa berjalan?”
“Sekarang bapak sedang sakit, jadi tidak bisa berjalan, nanti kalau sembuh pasti bisa. Ayo makan dulu.” kata Mirah sambil menggandeng tangan Bintang.
“Boleh nggak makan sama bapak?”
“Bapak kan lagi sakit mas, makan disana saja. Mau yu MIrah suapin?”
“Makan dulu Bintang,” kata Handoko ikut membujuk anaknya.
Bintangpun menurut.
Dan Handoko benar-benar memejamkan matanya, berharap segera terlelap untukmengurangi pusing di kepalanya.
Tapi bayangan ketika tiba-tiba dia terjatuh ketika mengendarai motor kembali terbayang di kepalanya.
Masih pagi waktu itu, Handoko akan berangkat kekantor ketika melihat mobilnya tidak ada. Ada Mirah diteras sedang menyuapi Bintang.
“Mirah, mobilku kemana ?”
“Tadi pagi ibu keluar, “
“Kemana ?”
“Saya tidak tahu bapak, ibu tidak mengatakan apa-apa.”
“Apa dia lupa kalau aku harus kekantor setiap pagi?” ucapnya kesal.
“Mungkin hanya sebentar bapak.”
Tak sabar menunggu, Handoko pergi ke garasi mengeluarkan sepeda motor.
“Bapak kok naik itu?” teriak Bintang dari arah teras.
“Iya, habis mobilnya dipakai ibu,” kata Handoko sambil menstarter motornya.
“Hati-hati bapak,” kata Bintang sambil mendekati bapaknya yang masih duduk diatas sadel kendaraan. Sudah biasa kalau ada yang mau pergi, Bintang pasti berkata “hati-hati”.
“Baiklah Bintang, Assalamu’alaikum..”
“Salaaam...” teriak Bintang ketika bapaknya sudah berjalan menjauh.
Tapi Handoko sudah lama tidak mengendarai sepeda motor. Ketika disebuah tikungan dia berpapasan dengan sebuah mobil, sepeda motornya dibanting kekiri, lalu menabrak sebuah pohon dipinggir jalan.
Sekarang Handoko tergolek diranjang, tulang kaki sebelah kiri patah dan harus dioperasi. Keadaan itu tidak membuat Palupi jatuh iba. Seperti biasa semuanya diserahkan kepada Mirah dan Palupi melakukan apapun yang diinginkannya. Pergi bersama teman-temannya, melihat pameran-pameran, arisan. Handoko tak berdaya melarangnya.
***
Mirah menyuapi Bintang dengan telaten. Anak kecil itu lebih dekat dengan Mirah setelah bapaknya, daripada dengan ibunya. Karena ibunya tak pernah benar-benar merawatnya, kecuali hanya membelikannya mainan-mainan mahal.
“Apa kakinya bapak patah?”
“Hanya terluka , nanti juga sembuh.”
“Kasihan bapak ya ?”
“Iya sayang, makanya mas Bintang jangan nakal ya, supaya bapak nggak sedih, kalau nggak sedih nanti bapak pasti cepat sembuh.”
“Benar ?”
“Benar..”
“Aku makannya sudah yu..”
“Lho, baru sedikit kok sudah ?”
“Ini, perut Bintang sudah penuh..”
“Kan baru separo.. apa lauknya nggak enak ?”
“Enak kok, tapi aku mau makan sama bapak.”
“Owalah, tapi bapak masih tidur. Berarti nanti kalau bapak sudah bangun mas Bintang makan lagi ya, bareng sama bapak.”
Bintang mengangguk lalu berlari kearah depan.
“Mas Bintang jangan ganggu bapak dulu ya..” teriak Mirah.
“Aku mau ambil mobilku..”
“Baiklah.”
Mirah membereskan sisa makan Bintang, kemudian melangkah kearah kamar. Perlahan ia membuka pintu, dan menjenguk kedalam. Dilihatnya Handoyo masih terbaring, tapi ternyata tidak tertidur.
“Rah..
“Ya bapak...”
“Ada apa?”
“Cuma melihat bapak saja, saya kira masih tidur.”
“Obat-obatku dimana ?”
“Ada, saya taruh disini bapak.”
“Kepalaku masih pusing, kaki terasa nyeri.”
“Sabar ya pak. Sa'atnya minum obat. Tapi bapak harus makan dulu.”
“Baiklah, tapi aku turun saja, mau makan diruang makan,” kata Handoko sambil duduk. Mirah membantunya turun dan mendudukkannya di kursi roda, lalu mendorongnya ke ruang makan. Mirah merasa iba melihat tuannya. Sakit seperti ini dan isterinya sama sekali tak memperhatikan. Handoko yang ganteng, pengusaha kaya, apa kurangnya bagi Palupi? Mengapa ia masih mencari kesenangan diluar?”
Bintang yang melihat bapaknya keluar dari kamar langsung memburunya.
“Bapak mau makan?”
“Iya sayang, Bintang sudah makan?”
“Bintang tadi makan sedikit, sekarang mau makan lagi bareng bapak,” katanya riang.
Mirah segera mendudukkannya dikursi makan, lalu melayani keduanya makan.
“Ini masakan apa Mirah?”
“Semur kentang bapak, bapak tidak suka? Ada sayur bening dan ayam goreng juga.”
“Aku mau sayur bening saja.”
“Baiklah.”
“Aku sama ya yu, kan ada sayurnya. Kata yu Mirah sayuran itu sehat.”
“Bagus Bintang, kamu pintar.”
“Mau disuapin yu Mirah?”
“Nggaaak, aku makan sendiri saja.”
“Baiklah, yu Mirah mengambil obat bapak dulu dikamar.”
Mirah mengambilkan obat Handoko dan meletakkannya dimeja, dekat tempat minumnya.
“Bapak mau ayamnya?”
“Tolong dipotong kecil-kecil bisa Rah?”
“Bisa pak, sebentar..” Mirah mengambil pisau dan memotong-motong nya, lalu ditaruhnya dipiring pak Handoko.
Handoko menyuap makanannya pelan. Ada sesal yang mengiris perasaannya ketika menyadari bahwa tak ada isterinya melayani makan siang itu.
Sudah sering hal itu terjadi, baik ketika dia pulang untuk makan siang dirumah, atau ketika makan malam. Hanya kalau pagi, kadang-kadang bisa makan bersama, itupun Palupi hanya memerintah Mirah untuk mengambilkan i ni itu, bahkan menyendokkan sayur untuk suaminya.
Mirah yang remaja tiba-tiba menyadari sesuatu yang lain. Setiap pagi, siang dan malam, melayani layaknya seorang isteri, kecuali diatas ranjang pastinya, membuat ada sesuatu yang tumbuh diam-diam dihatinya. Majikan ganteng yang tidak diperhatikan isterinya itu membuatnya trenyuh, membuatnya jatuh hati. Aduhai.
“Aku sudah gila, aku ini siapa dan dia itu siapa, mengapa aku merasakan hal seperti ini?”
Diliriknya laki-laki ganteng yang sedang menyuap makanannya dengan lahap, dan jantungnya berdesir kencang, lalu dialihkannya pandangannya kearah lain.
“Yu Mirah.. aku sudah habis?”
“Oh, sudah habis mas Bintang, pinter, mau nambah lagi ?”
“Sudah kenyang.”
“Ya sudah, ini minum dulu.”
Handoko menatap Mirah yang sedang melayani Bintang dengan telaten dan sabar. Gadis sederhana yang bertahun menjadi pembantunya ini sangat rajin dan pintar juga bisa meladeni Bintang dengan sangat baik.
“Mengapa bukan Palupi yang melakukannya?” bisiknya dalam hati sambil mengunyah ayam gorengnya.
Baru kali ini Handoko memperhatikan Mirah. Rambutnya yang digelung, menampakkan wajah bulat oval yang menawan. Memang sih, Mirah tidak wangi seperti isterinya, tapi dia cukup menarik dan sedap dipandang. Lalu Handoko mengibaskan perasaannya.
“Masa sih aku tertarik sama pembantu?” batinnya lagi.
“Bukankah isteriku jauh lebih cantik? Lebih menarik dan lebih pantas duduk disampingku? Tapi mana dia sekarang? Ia tak ada sa’at dibutuhkan.” Handoko terus berbicara dengan batinnya, sambil terus menikmati makan siangnya.
“Bapak mau nambah nasinya?”
“Tidak Rah, ambilkan saja obatku.”
“Ini bapak, sesudah makan semua,” kata Mirah sambil melepaskan obat dari blisternya.
“Bapak obatnya banyak ya?”
“Iya mas Bintang, supaya bapak cepat sembuh.”
Ketika Mirah kembali mendorong Handoko kearah kamar, Palupi muncul dengan senyum merekah. Bau wangi meruah diseantero ruangan.
“Mas.. aku dapat arisan, besok Minggu mau diajak rekreasi ke pantai oleh ibu-ibu itu.”
Handoko tak menjawab.
“Mirah, bapak sudah makan?”
“Sudah, baru saja ibu.”
“Bintang?”
“Mas Bintang juga sudah.”
Mirah terus mendorong kursi roda kekamar.’
“Mas, kalau mas bisa berjalan boleh ikut lho,” kata Palupi tanpa perasaan.
Ia mengikuti suaminya yang masih didorong Mirah, bukannya meminta agar dia saja yang mendorongnya.
Mirah juga membantu Handoko naik keranjangnya. Hati Mirah berdebar. Ia belum pernah merasakan hal seperti ini. Merangkul tubuh Handoko dan membaringkannya diranjang, sementara isterinya asyik melepas semua perhiasan yang semula dipakainya, lalu masuk kekamar mandi.
Handoko berbaring lagi.
“Kepalaku masih sedikit pusing,” keluhnya.
“Bapak sudah minum obatnya, nanti pasti akan hilang rasa pusingnya.”
“Lupi, tolong pijitin kepalaku sebentar,” kata Handoko ketika Palupi keluar dari kamar mandi.
“Mirah, bisakah memijit kepala bapak sebentar?” dan gilanya Palupi malah menyuruh pembantunya.
Mirah yang sudah berada dipintu berhenti melangkah, menoleh kearah majikan putrinya.
“Saya bu ?”
“Iya kamu, aku mau mandi sekalian, gerah sekali,” kata Palupi sambil mengambil handuk di almari lalu kembali masuk kekamar mandi.
Mirah tegak disamping Handoko.
“Ba..bagaimana bapak?”
“Ya sudah, tidak jadi saja, kamu boleh istirahat Mirah,” kata Handoko.
Mirah menghela nafas lega. Tangannya sudah gemetar, tapi dalam hati MIrah mengomel.
“Bagaimana ibu itu, masa orang lain disuruh mijitin suaminya?” lalu Mirah keluar kamar dengan debar yang tak menentu. Diruang tengah dilihatnya Bintang sedang menonton film kartun dilayar televisi, tak peduli melihat ibunya datang.
***
“Danang...” panggil bu Ismoyo ketika melihat Danang datang.
“Ya bu.”
“Kamu sudah menengok kakakmu? Kabarnya hari ini sudah pulang dari rumah sakit.”
“Belum bu, kan pekerjaan di kantor banyak, dan pekerjaan mas Handoko juga Danang yang mengerjakannya.
“Coba kamu melihat keadaan kakakmu. Ibu agak nggak enak badan. Tadi pagi periksa ke dokter dan tensi ibu lumayan tinggi. Dokter menyuruh ibu istirahat.”
“Iya, ibu harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu.”
“Ibu kaget ketika mendengar kakakmu kecelakaan. Sampai sekarang masih terasa nggak enak badan ibu.”
“Mas Handoko itu kan bukan anak kecil lagi, ada isterinya, ada pembantunya yang cantik, jadi pasti dia akan aman-aman saja.”
“Bagaimanapun kan dia anak ibu juga, kalau dia sakit pasti ibu juga memikirkannya.”
“Mas Handoko sudah sembuh, sudah boleh pulang kan berarti sudah sembuh.”
“Nanti kalau mau kembali ke kantor tengoklah kakakmu barang sebentar saja.,
“Iya ibu, baiklah.”
“Tolong juga ambilkan obat ibu, tadi pagi resepnya masih ibu bawa, karena obat sebelumnya masih ada.”
“Dimana bu resepnya?”
“Itu, masih diatas meja, memang ibu menunggu kamu pulang.”
“Baiklah bu.”
“Nanti jangan pulang terlalu malam, simbok sedang pulang ke desa, ibu sendirian. Kamu itu kalau pulang dari kantor pasti langsung mampir kemana-mana.”
“Ibu seperti nggak tahu saja, Danang kan masih muda, masa harus ngendon dirumah saja.”
“Boleh saja sekali-sekali main, tapi kamu itu, sekalinya pulang sore, malamnya pergi lagi dan kadang tengah malam belum sampai dirumah.”
Danang hanya tertawa, lalu meninggalkan ibunya untuk kembali ke kantor.
“Jangan lupa lihat keadaan kakak kamu Nang.”
“Baik bu,” kata Danang sambil memasuki mobilnya.
Bu Ismoyo seorang janda dengan dua orang anak laki-laki, Handoko dan Danang. Perusahaan batik milik pak Ismoyo diserahkan kepada Handoko, dan Danang yang masih bujang hanya membantu pekerjaan kakaknya. Tapi Danang sedikit nakal. Karena sebagai anak bungsu dulu terlalu dimanja oleh ibunya. Dia juga belum ingin menikah, membuat kesal ibunya karena seringnya berganti-ganti pacar.
Bu Ismoyo geleng-geleng kepala melihat Danang berlalu, lalu menutup pintu dan masuk kedalam kamarnya.
***
Mirah sedang membersihkan sisa-sisa makan siang, ketika Palupi memanggilnya.
“Ya bu..” Mirah mendekat dan melihat Palupi berdiri didepan pintu kamar.
“Kamu masih belum selesai?”
“Baru membersihkan ruang makan dan ini mau ke dapur dulu bu, masih berantakan belum sempat Mirah bersihkan.”
“Baiklah, nanti kalau sudah selesai aku tolong dipijitin ya, capek sekali rasanya.”
“Baik ibu.”
"Tadi disuruh memijit suaminya nggak mau, sekarang malah minta pijit, gimana ndara putriku ini," keluh Mirah dalam hati.
Mirah kembali ke dapur dan mulai mencuci semua piring dan peralatan yang kotor. Tapi tiba-tiba Mirah terkejut katika seseorang mendekap kedua matanya dari belakang.
“Adduh.. siapa ini?”
***
Besok lagi ya