SANG PUTRI 06

SANG PUTRI  06

(Tien Kumalasari)

 

Palupi yakin, Ryan pasti tahu dirinya karena semalam mengantarkannya pulang.

“Apa hubungan Ryan dengan Widi? Pacarnya? Atau saudaranya?” gumam Palupi sambil memasuki rumah, tak ingin bertatap muka dengan Ryan.

“Ibu menyuruh saya ikut bersama ibu?” tanya Mirah yang sudah berganti pakaian rapi, sedangkan Bintang menggandeng tangannya.

“Sebenarnya tidak, tapi Bintang menginginkannya, ya sudah, ikut saja,” jawab Palupi sambil melangkah menuju garasi.

Mirah mengeluh dalam hati. Jawaban Palupi walau terdengar biasa tapi sangat menusuk perasaan. Sesungguhnya dia tidak dikehendaki untuk ikut. Pasti Bintang yang meminta agar dirinya ikut.

“Ayo cepatlah. Ngapain berdiri disitu terus.” Teriak Palupi ketika melihat Mirah masih berdiri diteras, setelah mengunci pintu.

“Ibu, aku duduk dibelakang sama yu Mirah,” kata Bintang.

“Tidak, Mirah didepan, kamu biar dipangku Mirah. Kalau semuanya dibelakang lalu aku ini apa, sopir, begitu?” omel Palupi, padahal Bintang kan tidak memahami etika duduk diatas mobil.

Mirah membuka pintu depan, lalu menarik Bintang agar duduk bersamanya.

“Kita kemana ibu?”

“Kan ibu sudah bilang kalau kita mau jalan-jalan?”

“Maukah ke kebun binatang?”

“Ah, enggak.. ibu nggak suka, bau !”

“Tapi aku ingin melihat gajah..”

“Nanti kalau pergi sama bapak, ibu tidak suka ke kebun binatang, baunya nggak enak.”

Bintang tak menjawab. Tapi tampak bahwa dia sangat kecewa.

“Sungguh bu Palupi keterlaluan, memikirkan diri sendiri tanpa peduli pada keinginan anaknya,” batin Mirah. Serasa ingin dia membawa lari Bintang untuk diajaknya ke kebun  binatang.

Mobil itu hanya dibawanya berputar-putar..  Mirah tak mengerti apa maksudnya. Mungkin hanya karena ingin mengendarai mobil karena sejak kemarin kuncinya diminta oleh suaminya.

“Yu Miraaah..”

“Ya mas Bintang.”

“Aku mau es krim saja..”

“Oh.. es krim?”

“Minta es krim sama ibu, bukan sama Mirah.. “ kata Palupi seperti tersinggung.”

“Mas Bintang bilang sama ibu, minta es krim ibu.... gitu..” kata Mirah mengajari Bintang.

“Ibu, Bintang mau es krim.”

“Baiklah, kita akan ke restoran yang ada es krimnya.”

Ketika memasuki restoran, dan Palupi sudah memilih tempat duduk, Mirah mendudukkan Bintang disebuah kursi didekat ibunya. Tapi ketika Mirah ingin duduk juga, Palupi melarangnya.

“Mirah, kamu jangan disini, disitu,” Palupi menunjuk kearah meja yang lain.

“Baiklah bu,” kata Mirah sambil menuju kearah kursi yang ditunjuk Palupi, dimeja yang lain. Enggan Palupi duduk semeja dengan pembantu.

Tapi begitu Mirah duduk, Bintang merosot turun dan ikut duduk didekat Mirah.

“Bintang! Kamu disini !” kata Palupi setengah berteriak.

“Bintang sama yu Mirah saja...”

Dan Palupi merasa seperti ada yang hilang dari hatinya.

***

Ryan tidak hanya mengantarkan Handoko sampai kerumah sakit, tapi juga menungguinya sampai selesai kontrol.

“Widi, sesungguhnya aku ingin tahu bagaimana keadaan rumah tangga mas Handoko,” kata Ryan ketika Handoko masih ada diruang dokter.

“Mas Handoko itu sangat baik. Kasihan aku sama dia..”

“Memangnya kenapa?”

“Isterinya tidak pernah memperhatikan dia, apalagi ketika dia sakit.”

“ Itu aneh bukan ?”

“Mas Handoko sangat mencintai isterinya. Dulu ketika sehat, dibiarkan saja mbak Lupi melakukan apa yang disukainya. Mungkin karena mas Handoko menyadari bahwa dia tak pernah dirumah sehingga mbak Lupi kesepian. Tapi ketika sakit, mbak Lupi seperti keterusan melakukan hal yang disukainya tanpa memperhatikan suaminya yang sakit. Kasihan. Sa’at harus kontrol ini tadi, mas Handoko jutru mengajak aku untuk menemani dia. “

“Lalu siapa yang mengurusnya sa’at dia sakit?”

“Ada yu Mirah, pembantunya. Dia melakukan semua pekerjaan rumah tangga, termasuk mengurus anaknya mas Handoko yang masih kecil.”

“Lalu apa yang dilakukan dia ?”

“Kumpul-kumpul sama temannya, ikut banyak organisasi wanita, jalan-jalan..arisan.. ah.. entahlah, itu sebabnya aku kasihan kepada mas Handoko.”

“Kamu tahu, kenapa aku tiba-tiba tertarik mengantar kamu ketika kamu bilang mau mengantar mas Handoko?”

“Iya aku heran, kenapa tiba-tiba kamu ingin mengantar aku pagi ini.”

“Semalam aku ketemu Palupi.”

“Mas sudah kenal sama mbak Palupi?”

“Teman ketika kuliah, pernah dekat juga.”

“Oo, mantan pacar rupanya?”

“Dia itu cewek matre.. mana mau sama orang seperti aku.”

“Mas ketemu dimana ?”

“Disebuah rumah makan, ketika aku mau makan, dia makan sendirian. Aku tanya kok sendiri, mana suaminya.. jawabnya suaminya sakit nggak bisa jalan karena kecelakaan.”

“Itu bukan alasan untuk pergi makan malam sendiri kan?”

“Ya, dan tiba-tiba dia mengeluh kalau hidupnya tertekan karena suaminya  mengekang dia.”

“Aah, jahat sekali mbak Lupi. Itu tidak benar.”

“Sekarang aku tahu bahwa itu tidak benar. Semalam aku juga mengantarnya sampai kedepan rumah.”

“Dia nggak bawa mobil?”

“Nggak tuh.”

“Mungkin kunci mobil dibawa suaminya.”

“Aku tidak simpati sama sekali sama dia.”

Ketika Handoko selesai kontrol, maka Ryan juga mengantarkan ke toko alat-alat kesehatan. Handoko ingin memakai kruk.

“Jadi nggak enak sama mas Ryan. Saya mengganggu dan merepotkan bukan?” kata Handoko ketika mereka turun di toko yang dimaksud, dan Ryan membantunya duduk diatas kursi roda.

“Tidak mas, kebetulan saya hari ini sedang off,  setelah tugas luar kota selama seminggu, dan maksudnya mau jalan sama Widi, tapi Widi mengajak mengantarkan mas Handoko, saya mau, saya ingin mengenal saudara-saudara Widi.”

“Oo, ya.. saya tahu, mas Ryan bakal menjadi sepupu ipar saya ya.. kapan mau menikah?”

“Belum mas, baru menunggu lampu hijau dari bapaknya.”

Ryan membantu Handoko memilih kruk yang pas dan enak dipakai.

“Bagus ini, saya bisa jalan lebih santai, sekaligus melatih kaki saya yang cedera.”

***

Ketika memasuki rumah maka Handoko sudah berjalan tertatih dengan kruknya.

“Bapak bisa jalan ?” teriak Bintang.

“Lho, Bintang sudah pulang, katanya jalan-jalan sama ibu.”

“Cuma beli es krim.”

“Mana ibu?”

“Sudah pergi lagi.” Jawab Bintang sambil menggandeng tangan bapaknya.

Handoko kesal mendengar bahwa Palupi pergi lagi. Rupanya meminjam mobil dengan alasan jalan-jalan sama Bintang hanya alasan agar bisa membawa mobilnya pergi.

Widi saling pandang dengan Ryan mendengar itu semua. Ryan semakin mengerti kelakuan Palupi.

“Ayo silahkan masuk,” kata Handoko.

“Ayo mas, masuk dulu,” kata Widi sambil menggandeng lengan Ryan.

“Bintang, bilang yu Mirah kalau ada tamu ya, biar dia buatkan minum. Eh tapi tunggu dulu, beri salam dulu untuk om Ryan dan tante Widi dong.”

Bintang berlari kebelakang setelah mencium tangan kedua tamunya.

“Yu Miraaaah...” teriaknya.

“Bintang sudah pintar. Kapan mau masuk sekolah mas?” tanya Widi.

“Tahun depan mungkin, dia sudah merengek-rengek terus minta sekolah.”

“Anak pintar.”

“Aku senang kamu segera mendapatkan jodoh yang baik seperti mas Ryan. Bukankah tahun depan kamu sudah selesai kuliah?”

“Iya mas, tapi bapak kok belum memberi ijin. Aku bingung kenapa.”

“Masa? Mungkin karena kamu belum selesai.”

“Aku pernah bilang mau cerita sama mas Handoko, ya ini. Bapak kan kalau sama mas Handoko lebih dekat. Aku mau mas Handoko bilang sama bapak tentang hubungan aku dengan mas Ryan ini.”

“Baiklah, nanti aku sempatkan menemui om Tarman.”

“Tidak usah tergesa-gesa mas, kalau mas Handoko sudah sehat saja.”

“Iya, aku tahu.

Ketika Mirah keluar, Bintang memegangi tangannya, lalu setelah Mirah meletakkan minuman dimeja, Bintang manarik tangan Mirah, agar menyalami Ryan.

“Yu Mirah, ini namanya om Ryan..”

“Oh, iya.. silahkan diminum bapak, mbak Widi.”

Ryan tersenyum,

“Terimakasih mbak Mirah.”

Lalu Mirahpun beranjak kebelakang.

“Bintang pintar ya, pakai ngenalin yu MIrah sama om Ryan segala,” kata Widi sambil menarik Bintang ke pangkuannya.

***

“MIrah...” kata Handoko sore hari itu.

“Ya bapak.. “

“Kursi roda sudah tidak aku pakai lagi. Taruh diruang belakang saja.”

“ Baiklah.”

“Setelah itu ambilkan ponselku dikamar,”

“Baik..”

Handoko kesal, sampai sore Palupi belum juga pulang. Ia menyesal telah memberikan kunci mobilnya tadi pagi.

Mirah menyerahkan ponsel, lalu Handoko menelpon Palupi.

“Ya mas..”

“Pulang !” kata Handoko, tandas.

“Sebentar mas, ini baru rapat ibu-ibu dan ..”

“Pulang sekarang juga.”

Handoko menutup ponselnya dengan kesal.

“Lain kali tak akan aku berikan kunci mobil itu walau apapun alasannya,” gumam Handoko sambil menyandarkan kepalanya disofa.”

“Bapak...”

“Ya Rah?”

“Bapak mau makan sekarang?”

“Sebentar lagi Rah, apa Bintang sudah minta makan?”

“Belum juga bapak.”

“Ya sudah, sebentar lagi saja.”

 Mirah sudah mau beranjak kebelakang ketika Handoko memanggilnya lagi.

“Ya bapak..”

“Tadi sama ibu kemana saja?”

“Nggak kemana-mana bapak, cuma putar-putar, lalu mas Bintang meminta es krim. Setelah makan es krim lalu pulang.”

“Bintang tidak rewel?”

“Tadi minta ke kebun binatang, tapi ibu tidak mau.”

“Besok kita ajak Bintang jalan-jalan ke kebun binatang.”

“Tapi kan bapak belum bisa nyetir?”

“Naik taksi saja, aku juga bosan dirumah terus.”

“Baiklah bapak, apa saya harus ikut?”

“Ya iyalah Rah, kalau kamu nggak ikut Bintang pasti rewel.”

“Baik bapak.”

***

Palupi pulang ketika Handoko dan Bintang sudah selesai makan malam. Handoko sedang duduk didepan televisi ketika itu.

“Tadi mendadak rapat ibu-ibu pengurus, nggak enak kalau aku pulang buru-buru.”

“Mana kunci mobil ?”

Palupi mengulurkan kunci mobil dengan wajah bersungut-sungut.

“Ini..!”

“Miraaah...”

Mirah tergopoh kedepan, agak deg-degan kalau-kalau kedua majikannya berantem karena sejak tadi tuan gantengnya sudah mengomel terus perihal mobil yang dibawanya.

“Ya bapak..”

“Ambilkan tas hitamku diatas kasur.”

Mirah masuk kekamar.

“Rupanya Mirah lebih berarti daripada aku ya mas.”

“Apa maksudmu ?”

“Mirah lebih berarti bukan?”

“Mirah banyak punya arti dirumah ini, karena semua yang melakukannya adalah Mirah. Apa kamu tidak merasakannya? Apa yang terpikir oleh kamu?”

“Ini bapak,” Mirah datang memberikan tas hitam yang diminta Handoko, kemudian berlalu kebelakang.”

Handoko memasukkan kunci mobil kedalam tas hitam itu.

Lalu Palupi beranjak masuk kekamarnya sendiri, kamar yang terpisah dari kamar suaminya. Tapi sebelum masuk kamar, Mirah memburunya.

“Ibu mau makan sekarang?” tanya Mirah.

“Tidak.” Katanya dingin lalu masuk kekamar dan menguncinya.

***

Palupi merasa bahwa dia tidak punya arti dirumah ini. Bintang lebih dekat dengan Mirah, Handoko lebih menghargai Mirah.

“Lalu apakah aku ini?” keluhnya.

Palupi sama sekali tak menyadari, bahwa dialah yang menjauh dari kasih sayang suaminya. Menjauh dari cinta anak semata wayangnya. Ia hanya merasa tidak dihargai dirumah ini. Tidak diperhatikan. Tidak dibutuhkan. Lalu tumpahlah airmatanya.

Bagaimana caranya supaya dirinya punya arti? Ia seperti kehilangan sesuatu yang berharga, tapi dia tak berusaha mencarinya. Atau bahkan tak tahu kemana harus mencarinya.

Ia justru ingin lari dari keadaan itu, lari untuk mencari sesuatu yang dia sama sekali tidak tahu sesuatu itu apa.

***

Pagi-pagi sekali Palupi sudah pergi dari rumah. Mirah menawarkan untuk sarapan tapi Palupi menolaknya.

“Tidak, aku sudah memanggil taksi,” katanya sambil beranjak kedepan. Ia melewati suaminya yang duduk didepan televisi.

“Lupi, kamu tidak mau mendengar kata-kataku?”

“Kata-kata yang mana, mas sudah banyak berkata-kata.”

“Kembalilah kejalan yang benar. Kamu punya keluarga, aku ingatkan kamu dan ini bukan yang pertama kali.”

“Aku ini adalah tumpahan kesalahan. Aku tidak mau dikekang, aku ingin melakukan apa yang aku suka. “ katanya sambil meneruskan langkahnya karena taksi sudah menunggu.

Handoko menghela nafas sedih. Tak tahu harus dengan apa ia bisa menghentikan isterinya.

“Bapaak.. bukankah bapak mau mengajak Bintang ke kebun binatang?” tanya Bintang tiba-tiba.

“Oh iya benar, pengin ya lihat gajah?”

“Iya bapak,” kata Bintang sambil melonjak-lonjak.

Handoko memeluknya penuh haru.

“Mengapa Palupi tak tersentuh dengan kelucuan bocah ini? Melihat binar matanya penuh gembira ketika keinginannya terpenuhi, apakah tak ada cinta yang luruh dihati Palupi?” bisiknya dalam hati, sambil mendekap erat buah hatinya.

“Kata yu Mirah kita harus sarapan dulu.”

“Iya benar, ayo kita sarapan dulu. Yu Mirah masak apa ya?”

“Bintang tadi minta nasi goreng sama telur ceplok. Tapi Bintang nggak mau yang pedes-pedes.”

“Iya baner, bapak juga nggak mau yang pedes kok. Ayo kita makan.”

Ketika Handoko berdiri dan melangkah ke ruang makan, tanpa sadar bahwa bapaknya harus melangkah pelan, Bintang menariknya. Handoko kehilangan keseimbangan dan jatuh tertelungkup.

Mirah sangat terkejut. Diletakkan gelas yang akan ditata diatas meja, lalu memburu tuan gantengnya. Susah payah dia membangunkannya.

“Oo.. ya ampun.. ma’af Mirah, aku tidak apa-apa.”

Handoko sudah berdiri, sebelah tangannya sudah memegang kruk yang diambilkan Mirah karena ikut terjatuh, sebelah tangannya lagi merangkul Mirah.

Sa’at itulah tiba-tiba Palupi masuk dari arah depan. Ia kembali karena ponselnya tertinggal dikamar.

Tak berkedip dipandangnya suaminya yang merangkul Mirah, dan kemarahannya memuncak. Dia langsung membalikkan tubuhnya, dan setengah berlari menuju kearah taksi yang masih menunggunya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

Previous Post Next Post